Refleksi Iman Kristiani atas Panggilan Merawat Bumi
Setiap bulan Agustus tiba, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan dengan penuh sukacita. Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan banyak acara yang dibuat untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Saat ini bulan kemerdekaan telah berlalu. Namun, perayaan kemerdekaan sejati tidak hanya berhenti pada acara momentum yang meriah saja, tetapi juga dalam tanggung jawab nyata untuk menjaga tanah air yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata para pahlawan.
Indonesia merupakan negara yang amat kaya dengan keanekaragaman hayati dan non-hayati. Maka, kemerdekaan harus dimaknai sebagai panggilan untuk merawat alam yang ada bukan hanya sekadar bebas dari penjajahan politik. Namun keadaan krisis lingkungan saat ini justru mengancam makna kemerdekaan itu sendiri.
Ketika hutan dibabat habis dan dijadikan sumber tambang, sungai tercemar, udara sesak oleh polusi, dan laut penuh sampah plastik, kita sedang menghadapi bentuk “penjajahan baru” yang lebih halus. Penjajahan itu bukan hanya soal politik, tetapi juga oleh kerakusan dan ketidakpedulian.
Lingkungan sebagai Ruang Hidup Kemerdekaan
Kekayaan Indonesia tidak hanya sebagai milik bagi generasi saat ini saja, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Alam yang amat kaya merupakan ruang hidup yang memungkinkan kemerdekaan terwujud dalam kesejahteraan bersama. Kita dapat membayangkan jika alam rusak, maka kemerdekaan generasi mendatang dirampas. Mempertahankan kemerdekaan tanpa mengorbankan keberlanjutan bumi adalah tantangan yang cukup serius.
Merawat bumi tidak hanya menjadi panggilan di Indonesia saja, tetapi juga seluruh negara. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui Sustainable Development Goals (SDGs) menekankan pentingnya menjaga iklim (SDG 13), melindungi laut (SDG 14), dan melestarikan daratan (SDG 15). Program PBB ini sangat sejalan dengan panggilan kita sebagai bangsa merdeka yang harus bertanggung jawab atas tanah airnya. Dengan merawat lingkungan alam yang tersedia, berarti kita juga menghargai kemerdekaan bagi semua ciptaan, bukan hanya manusia saja.
Refleksi Iman Kristiani: Merdeka untuk Mengasihi dan Melayani
Iman Kristiani memberikan dasar spiritual bagi pemahaman kemerdekaan. Rasul Paulus menulis:
“Kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Galatia 5:13).
Kemerdekaan dalam Kristus bukanlah kebebasan untuk bertindak semaunya sendiri, melainkan kebebasan untuk mengasihi. Kasih itu tidak hanya ditujukan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada ciptaan lain. Dengan merawat bumi, kita melayani sesama yang hidup hari ini dan generasi yang akan datang.
Dalam iman Kristiani, alam juga menjadi subjek dalam memuji Allah, maka juga harus ada tindakan keadilan. Alam yang ada saat ini bukan tempat untuk memperkaya diri, melainkan tempat untuk memuji Sang Pencipta. Manusia harus sadar bahwa ketika manusia merusak bumi, ia juga merusak hubungan dengan Sang Pencipta. Dengan bertindak adil kepada alam, manusia sebenarnya sedang menjalankan perintah Sang Pencipta.
Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ juga menyebut bumi sebagai “rumah bersama” yang harus dijaga. Paus menegaskan bahwa krisis ekologis juga merupakan krisis moral dan spiritual. Ketika manusia menyalahgunakan kemerdekaan untuk mengeksploitasi alam, yang terjadi adalah penjajahan baru. Penjajahan itu membuat manusia diperbudak oleh kerakusan, keserakahan, dan hedonisme.
Tantangan dan Harapan
Usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia bukanlah umur yang singkat. Namun di usia yang hampir satu abad ini, masih banyak tantangan yang harus menjadi pekerjaan bersama sebagai warga negara. Kemerdekaan sejati menuntut adanya keberanian melawan mentalitas konsumtif dan memilih gaya hidup berkelanjutan.
Banyak hal yang bisa menjadi cara untuk merawat alam bahkan dari hal sederhana, misalnya dengan mengurangi plastik sekali pakai dan hemat energi selain itu penggunaan transportasi publik, hingga mendukung kebijakan pemerintah yang ramah lingkungan juga menjadi salah satu cara untuk bersikap adil kepada Alam. Gereja dan umat Kristiani dapat menjadi teladan dalam mewujudkan spiritualitas ekologis melalui liturgi, doa syukur atas ciptaan, pendidikan iman, dan aksi nyata di tengah masyarakat.
Meskipun banyak tantangan, namun harapan tetap ada. Gerakan kaum muda yang peduli lingkungan, komunitas iman yang menanam pohon, serta kampanye ramah lingkungan di sekolah dan paroki adalah tanda bahwa kemerdekaan bisa diwujudkan dalam tindakan ekologis.
Kesadaran akan pentingnya bumi melahirkan komunitas-komunitas dengan berbagai aksinya untuk merawat bumi. Dalam Islam ada gerakan eco-pesantren yang menekankan pesantren ramah lingkungan, misalnya dengan bertani organik. Sementara dalam tradisi Katolik juga ada gerakan gereja hijau yang juga berbicara banyak tentang alam yang menjadi penerus semangat ensiklik Laudato Si.
Penutup
Kemerdekaan adalah anugerah Allah yang diberikan melalui perjuangan para pahlawan. Namun, merdeka bukan berarti bebas tanpa arah. Dalam Kristus, merdeka berarti bebas dari egoisme, bebas dari kerakusan, dan bebas untuk mengasihi. Dengan merawat bumi, kita menjaga arti kemerdekaan agar tidak hilang ditelan krisis ekologis.
Maka, mari rayakan kemerdekaan bukan hanya dengan upacara bendera dan berbagai lomba saja, tetapi juga dengan komitmen menjaga lingkungan. Inilah wujud syukur kita kepada Allah dan cinta kepada tanah air. Merdeka bersama bumi, merdeka untuk generasi mendatang.










