Islam dan Kewarganegaraan
KONSEP kewarganegaraan, sebagaimana yang telah terkonsep di dalam pemikiran politik modern, di satu sisi terkait dengan negara-bangsa, dan di sisi lain terkait dengan demokrasi. Dan dalam perkembangan selanjutnya kemudian lebih sering terkait dengan sekularisme, seperti dalam masyarakat-masyarakat sebelum negara-bangsa, di mana saat itu Eropa dikuasai oleh imperium-imperium yang menyatukan berbagai ras dan kebangsaan, dan agama menjadi ikatan yang terbuka dan inklusif.
Ketika imperium-imperium itu hancur dan di atas reruntuhannya berdiri banyak negara-bangsa, sumber-sumber legitimasi alternatif dicarikan melalui serangkaian perkembangan intelektual dan perang agama yang sengit hingga terbentuk Perdamaian Westphalia (Peace of Westphalia) antara negara-negara Eropa pada paruh kedua abad ke-17 yang dikenal sebagai negara-bangsa sekuler dan demokratis, di mana semua penduduknya, tanpa memandang agama dan etnis, menikmati hak yang sama sebagai warga negara, yang berangkat dari prinsip bukan karena satu keyakinan melainkan karena tinggal di satu tanah.
Meskipun kewarganegaraan tidak selalu berarti persamaan hak dengan perbedaan kekayaan dan gender, hak untuk terlibat dalam pemilihan umum tetap terbatas pada pemilik tanah dan aristokrat. Sedangkan perempuan, setidaknya secara teori, tidak mempunyai hak kewarganegaraan paripurna seperti dalam pemilihan umum kecuali pada masa-masa belakangan, bahkan hingga saat ini—dalam praktiknya—mereka masih menjadi korban diskriminasi dengan berbagai bentuknya.
Pertanyaan pentingnya adalah: Apakah kaitan antara negara-bangsa, sekularisme dan demokrasi di satu sisi, dan kewarganegaraan di sisi lain, adalah kaitan konseptual yang memang “diharuskan”, seperti yang diklaim sebagian orang? Atau itu hanya sekedar peristiwa sejarah yang tidak membenarkan untuk menyandera masa depan, karena apa yang terjadi di masa lalu, bahkan jika itu berulang, tidak membawa indikasi penting bahwa masa depan akan dan harus sama?
Kaitan ini, bahkan jika itu benar, tidak membawa signifikansi yang diharuskan, melainkan hanya peristiwa di Barat, dan Barat terbiasa—dalam penelitiannya tentang fenomena sosial—melanjutkan postulat sentralisme kosmiknya, bahwa apa yang benar dalam sejarah dan masyarakatnya adalah sah dan benar secara hukum bagi seluruh umat manusia di masa lalu, masa kini, dan masa depan!
Seperti dikemukakan, bahwa kaitan antara demokrasi dan sekularisme, dalam konteks ini, hanya merupakan suatu peristiwa dan bukan hukum. Hal yang sama berlaku untuk kaitan antara gagasan kewarganegaraan dan sekularisme atau kewarganegaraan dan bangsa-negara. Dunia, termasuk Eropa, telah mengenal negara-bangsa sekuler yang tidak memberikan semua warganya hak atas kesetaraan, tetapi melakukan penindasan terhadap mereka sampai ke titik genosida (pemusnahan), seperti yang dilakukan Nazisme dan fasisme.
Orang kulit hitam di Amerika Serikat, meskipun itu adalah negara-bangsa sekuler, tidak memperoleh hak kewarganegaraan, bahkan dari sisi teori, kecuali pada tahun 1960-an. Dan umat Muslim, berikut ras dan agama lain, masih mengalami diskriminasi dan penindasan mengerikan di banyak negara-bangsa sekuler. Hal ini menegaskan bahwa kaitan tersebut tidak membawa signifikansi trans-historis, melainkan hanya sebuah peristiwa. Di sisi lain, di barat dan timur, banyak pemerintahan demokratis didirikan atas dasar kewarganegaraan tanpa sekularisme, dan agama diadopsi secara resmi seperti dalam Kerajaan Inggris Raya, di mana kepemimpinannya mempertemukan otoritas agama dan politik, juga pemerintahan-pemerintahan di barat dan timur lainnya.
Dalam konteks Islam, orang-orang dari berbagai agama dan ras telah menikmati hak kewarganegaraan. Di bawah pemerintahan Islam, banyak dari mereka terbebas dari perang-perang genosida dan penindasan agama atau etnis, seperti yang berlaku dalam negara Madinah, yang didirikan berdasar konstitusi tertulis yang mengakui hak-hak kewarganegaraan untuk semua komponen agama dan etnis dari seluruh penduduknya sebagai sebuah “bangsa tanpa membedakan individu-individu manusia”, sebagaimana termaktub di dalam konstitusi negara Madinah yang dikenal dengan “Shahîfah Madînah” (Piagam Madinah), yang menegaskan bahwa “umat Yahudi adalah sebuah bangsa dan umat Muslim adalah sebuah bangsa” (yaitu bangsa dengan keyakinannya masing-masing) dan bahwa “umat Muslim dan umat Yahudi adalah sebuah bangsa” (yaitu bangsa politik atau kewarganegaraan)—dalam ungkapan modern, sebagai mitra dalam satu sistem politik yang memberikan mereka hak yang sama sebagai ahli kitab dan ahli dzimmah, yaitu warga negara non-Muslim dari negara Muslim.
Penduduk non-Muslim di Madinah menikmati hak-hak kewarganegaraan, termasuk perlindungan negara bagi mereka, sebagai imbalan bagi mereka karena telah melaksanakan tugas mempertahankan/membela negara. Pelanggaran oleh beberapa orang Yahudi atas kewajiban itu, karena mereka diam-diam bersekutu dengan musuh dari kaum Quraisy untuk menyerang Madinah, adalah pembenaran untuk memerangi dan menghukum mereka, bukan karena agama mereka, melainkan murni karena pengkhiatan mereka.
Semua orang dan pemeluk agama yang tinggal di tanah negara Madinah menikmati hak-hak kewarganegaraan, termasuk dukungan dan perlindungan bagi mereka dari setiap musuh yang mengincar mereka. Sedangkan umat Muslim yang tidak tinggal di tanah negara Islam, tidak menikmati hak-hak ini secara mutlak, bahkan hak untuk saling mendukung antara orang Muslim dan saudaranya hanya dapat diperoleh—dalam batas-batas tertentu—dari kepentingan tertinggi dan perjanjian antarnegara. Inilah yang diatur di dalam Q.S. al-Anfal: 72, yang dengan jelas membedakan antara orang-orang beriman yang berada di tanah negara Islam dan wilayah-wilayah negara lain.
Allah Swt. berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan [kepada orang-orang muhajirin], mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan [terhadap] orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. [Tetapi] jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam [urusan pembelaan] agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” [Q.S. al-Anfal: 72].
Inilah yang membuat artikel terkenal Sayyid Qutb, “Jinsîyyah al-mu`min ‘aqidatuhu” (Kebangsaan orang mukmin adalah keyakinannya) tidak relevan. Sebab kebangsaan negara Islam (kewarganegaraan) tidak dapat dibuktikan kecuali dengan bertempat tinggal di tanah negara Islam, baik Muslim maupun non-Muslim (dzimmîy).
Meskipun konsep dzimmah dirusak oleh ketidakmurnian yang dimanfaatkan untuk mendistorsinya, ia tetap menjadi tonggak toleransi dan keadaban yang menonjol di dalam peradaban Islam, yang didasarkan pada prinsip “tidak ada paksaan dalam [memeluk] agama” [QS. al-Baqarah: 256] dan juga “untukmu agamamu dan untukku agamaku,” [QS. al-Kafirun: 6]. Namun, konsep ini bukan merupakan salah satu syarat dari syariat yang mengikat, sehingga bila suatu saat itu memicu timbulnya bayangan penghinaan terhadap sebagian warga negara non-Muslim, itu dapat diganti dengan konsep lain untuk menghindari perselisihan dan perpecahan, seperti konsep kewarganegaraan, selama memenuhi prinsip Islam mengenai kesetaraan antara warga negara.
Khalifah Umar ibn al-Khattab ra. meminta kepada suatu kabilah mayoritas Arab-Kristen untuk membayar pajak atas nama zakat (al-zakâh), bukan upeti (al-jizyah), yang membantu menyatukan standar pemungutan pajak, sebagaimana para ahli fikih kontemporer, seperti Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dan Syaikh Abdul Karim Zaidan, yang sepakat menganggap upeti (al-jizyah) setara dengan dinas militer. Jika dinas meliter menjadi salah satu tugas setiap warga negara terlepas dari apapun agamanya, maka tidak perlu lagi ada upeti.
Negara-negara modern berpenduduk mayoritas Muslim telah didirikan atas dasar kewarganegaraan, yaitu keterlibatan dalam kepemilikan tanah air oleh semua penduduknya, terlepas dari apapun agama mereka, setelah mereka berpartisipasi dalam pembebasan dan kemerdekaannya dari penjajahan. Legitimasi pembebasan tanah air dari penjajahan telah ditetapkan sebagai dasar bagi masyarakat-masyarakat Muslim modern untuk menggantikan legitimasi penaklukan negeri lain yang menjadi dasar masyarakat-masyarakat pra-kolonial, yang meletakkan dasar umum untuk hak dan kewajiban di antara semua warga negara yang berbeda-beda kecenderungan dan keyakinannya.
Orang yang mempelajari al-Qur`an dan sunnah secara benar tidak akan menemukan kesulitan sedikitpun untuk meletakkan tangannya pada nilai sentral kemanusiaan di dalam struktur agama ini, bahwa kemanusiaan, dengan perbedaan warna, kepercayaan, kekayaan, sikap, dan ras, adalah satu keluarga, dan masing-masing dari mereka membawa kemuliaan Ilahi.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan,” [QS. al-Isra`: 70].
Manusia, seluruhnya, adalah “hamba-hamba Allah Swt., dan manusia yang paling dicintai oleh Allah Swt. adalah yang memberikan manfaat kepada hamba-hamba Allah yang lainnya,” [H.R. Abu Ya’la dan al-Bazzar, dari Anas ibn Malik]. Karenanya Allah Swt. menegaskan,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya,” [Q.S. al-Ma`idah: 32].
Setiap manusia mewakili seluruh umat manusia di dalam jiwanya, sehingga permusuhan terhadapnya adalah permusuhan terhadap mereka semua, dan kemaslahatannya adalah kemaslahatan mereka semua.
Rasulullah Saw. menjelaskan makna ini dengan contoh nyata, saat beliau berdiri untuk menghormati jenazah orang Yahudi, yang membuat para sahabat takjub.
عبد الرحمن بن أبي ليلى قال: كان سهل ابن حنيف وقيس بن سعد قاعدين بالقادسية، فمروا عليهما بجنازة فقاما، فقيل لهما إنها من أهل الارض أي من أهل الذمة، فقالا: إن النبي صلى الله عليه وسلم مرت به جنازة فقام فقيل له إنها جنازة يهودي، فقال: أليست نفسا؟
“Abdurrahman ibn Abi Laila berkata, ‘Suatu hari Sahl ibn Hunaif dan Qais ibn Sa’d duduk di daerah Qadisiyyah, lalu lewatlah di hadapan mereka orang-orang yang membawa jenazah, dan keduanya berdiri. Lalu keduanya diberi tahu bahwa jenazah tersebut adalah penduduk daerah tersebut, yakni ahli dzimmah, lalu keduanya berkata, ‘Sesungguhnya Nabi Saw. suatu hari jenazah (dibawa) lewat di depan beliau, lalu beliau berdiri. Kemudian beliau diberi tahu bahwa itu adalah jenazah seorang Yahudi, dan beliau bersabda, ‘Bukankah ia juga manusia?” [H.R. al-Bukhari dan Muslim].
Inilah pegangan yang mendorong umat Muslim untuk menyambut segala sesuatu yang akan dapat mengangkat derajat makhluk mulia ini, manusia—yang demi kepentingannya alam semesta ini diciptakan—, mempertahankan hak-haknya, menolak segala bentuk agresi, dan menegakkan keadilan Tuhan di bumi. Karena sesungguhnya para rasul diutus untuk mewujudkan semua itu.
Makna keadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Ibn Asyur, penulis buku “al-Tahrir wa al-Tanwir” adalah kesetaraan (al-musâwâh). Realisasi nilai ini dalam hubungan antar manusia merupakan tujuan utama Islam, yang membuat umat Muslim menjadi orang-orang pertama yang bahagia dengan kehadiran setiap piagam hak asasi manusia untuk mengangkat martabat kemanusiaan.
Jika itu adalah kewarganegaraan yang telah terwujud di dalam pengalaman Barat dalam konteks negara-bangsa sekuler, maka itu adalah sebuah peristiwa dan bukan hukum, karena hal itu telah tercapai sebelumnya dengan satu atau lain cara dalam konteks pengalaman Islam dan sangat mungkin juga tercapai dalam konteks pengalaman-pengalaman lain sesuai dengan tingkat perkembangan setiap masyarakat manusia.
Dan karena sebagian besar bidang pengelolaan urusan manusia merupakan bagian dari urusan-urusan duniawi di mana Allah menganugerahkan akal kepada manusia untuk menemukan hukum-hukumnya, apalagi jika itu dituntun oleh cahaya wahyu, maka tidak ada salahnya bagi umat Muslim masa kini untuk “mengadopsi” dari semua pengalaman manusia hal-hal terbaik yang berguna dan relevan untuk mewujudkan satu atau lebih tujuan syariat seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta hak menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, sehingga membuka ruang-ruang hubungan saling pengaruh-mempengaruhi dengan seluruh peradaban di dunia.
Sama halnya seperti sekularisme, dalam semua warna dan tingkat keterkaitan eratnya dengan agama Kristen—bahkan kadang-kadang tampak seperti orang Kristen yang menyamar, sebagaimana ditegaskan oleh filsuf Jerman Carl Schmitt—, yang membuat pintu masuk orang-orang Barat ke modernitas serta produk-produk ilmiah dan politiknya seperti kewarganegaraan dan demokrasi, maka jalan bagi umat Muslim untuk itu adalah Islam itu sendiri dan bukan yang lain. Kenapa? Karena Islam mengkombinasikan antara hati nurani manusia dan sistem sosial, antara material dan spiritual, antara duniawi dan ukhrawi sehingga terbentuk sistem yang koheren. Hal ini menjelaskan bahwa peminggiran Islam oleh kekuatan-kekuatan yang menguasai dunia menjadi faktor utama kegagalan eksperimen pembangunan di setiap level, baik ilmiah, teknis, politik maupun ekonomi. Bagaimana kita mengharapkan pembangunan di tingkat mana pun dengan mengesampingkan semangat kolektif dan bahan bakar yang memotivasi massa?
Keberhasilan revolusi di Iran, misalnya, dalam mengubah keseimbangan kekuasaan di tangan para pembawa obor Islam, menunjukkan indikasi energi pembangunan yang dimiliki Islam jika digunakan bukan untuk terorisme dan penghancuran, tetapi untuk konstruksi dan rekonstruksi. Islam, sebagai motivasi dan semangat, sangat bisa memobilisasi energi dan aktivitas jihad sipil, bukan hanya jihad di medan perang.
Kita yakin sepenuhnya dengan kemampuan konstruktif Islam dalam menumbuhkan akar gagasan kewarganegaraan, demokrasi dan masyarakat sipil. Dalam hal ini perdamaian adalah dasar hubungan dengan non-Muslim, dan jihad tidak bisa dijadikan alat untuk menyerukan Islam atau memaksakannya kepada pihak-pihak lain atau untuk memberantas kekafiran dari muka bumi. Semua ini bertentangan dengan teks, semangat, dan tujuan syariat yang datang untuk menjunjung tinggi kebebasan manusia dan menjadikannya, setelah adanya hujjah, bertanggungjawab atas nasibnya sendiri, “[Yaitu] agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata [pula],” [Q.S. al-Anfal: 42], dan “agar supaya tidak ada hujjah (alasan) bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu,” [Q.S. al-Nisa`: 165]. Sebaliknya, ini adalah cara untuk menangkal agresi dengan memberi setiap orang kebebasan untuk memilih dan beribadah, sehingga kita semua aman dari fitnah dan paksaan, dan hisab kita masing-masing ada di ‘tangan” Tuhan (Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqh al-Jihâd”).
Kita bukan tidak tahu bahwa karena dorongan-dorongan reaksi terhadap kebijakan-kebijakan internasional yang tampak agresif terhadap Islam dan masyarakat Muslim, dan terhadap pemerintahan-pemerintahan yang dipaksakan oleh Barat kepada umat Muslim, dan juga karena efek kesalahpahaman mengenai Islam, telah muncul dari dalam Islam arus-arus yang melawan nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yang sangat merugikan Islam itu sendiri, yang menyediakan bahan bakar untuk api yang dikobarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukainya. Mereka mengubah nilai-nilai luhur Islam dengan mengaitkannya dengan terorisme, sehingga Islam tampak memusuhi segala hal yang diperjuangkan umat manusia dalam hal kebebasan, hak-hak, keadilan, kesetaraan, hak perempuan dan minoritas, seni rupa, dan hubungan-hubungan internasional di mana perdamaian menjadi dasar hubungan Islam dengan non-Muslim.
Islam adalah risalah terakhir Allah Swt. kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya dan rahmat-Nya terhadap mereka. Dan umat Muslim tidak boleh sampai kehilangan nilai-nilai luhur Islam, terutama pada masa revolusi informasi, komunikasi antar manusia, penemuan-penemuan di bidang sains yang semakin cepat dan meningkatnya kebutuhan akan jangkar di saat kepastian terguncang dan kebingungan merajalela.
Pelindung utama dari kesesatan adalah senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk-petunjuk yang termaktub di dalam al-Qur`an dan yang telah dicontohkan langsung oleh Nabi Saw., yaitu petunjuk-petunjuk yang tidak mengekang akal dan membatasi aktivitasnya, melainkan membebaskan dan memerdekakan, yang dilengkapi dengan lentera-lentera untuk membimbing, tujuan-tujuan yang melindungi dari kesesatan, dan dengan kepastian yang menghidupkan hati dan menghindari kebingungan,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
“Maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka,” [Q.S. Thaha: 123].
Selama berpegang erat kepada petunjuk-petunjuk itu, seorang Muslim tidak akan mudah terperdaya oleh bisikan-bisikan setan yang selalu menuntutnya untuk melepaskan nilai-nilai Islam yang luhur sehingga ia menjadi jauh dari Sang Maha Pemberi Rahmat, Allah Swt., dan ia pun kehilangan kompas yang senantiasa menunjukinya kepada arah keseimbangan hidup, yang pada akhirnya mengundang terjadinya kerusakan dan bencana sampai titik mengancam kehidupan manusia seluruhnya,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar],” [Q.S. al-Rum: 41].
Kesimpulannya, kewarganegaraan, menurut Islam, bahkan dalam arti yang paling minimal, adalah pengakuan suatu negara atas hak-hak semua warganya—terlepas dari apapun agama, etnis, suku, dan warna kulitnya—secara setara, yang menunjukkan legitimasi bahwa mereka memiliki hak dan kesempatan serta kewajiban yang sama di hadapan hukum yang adil, berdasarkan kesetaraan, bukan karena pilih kasih atau pengakuan atas mayoritas keyakinan. Karena alam semesta ini memiliki Pencipta yang Adil dan Penyayang, “Dan Allah telah meratakan bumi untuk [seluruh] makhluk-Nya,” [Q.S. al-Rahman: 10].[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!