Obstruction of Justice: Terjalnya Proses Pencarian Keadilan
JIKA otoritas kehakiman gagal membuktikan kejahatan, apakah ini akhir dari keadilan di negeri ini? Jawaban atas pertanyaan ini agak rumit karena peradilan bergantung pada bukti, saksi, praduga, dan alat-alat lain, yang ketiadaannya tidak berarti bahwa suatu kejahatan tidak terjadi. Ada banyak kasus di mana bukti disembunyikan, jalannya peradilan terganggu, atau pelakunya bahkan tidak dihukum.
Di Indonesia, sebagaimana jamak diketahui publik, kasus kematian Brigadir J hingga kini masih terus bergulir. Pelaku utama sudah ditetapkan dan sedang dalam proses pengadilan. Jauh sebelumnya, aktivis HAM terkemuka, Munir Said Thalib—atau yang lebih dikenal dengan Cak Munir—dibunuh pada 7 September 2004. Meskipun pengadilan dijalankan dalam proses yang begitu panjang, itu hanya berhasil menghukum eksekutor lapangan, sementara pihak berwenang gagal menangkap dalang utama di balik pembunuhan tersebut. Tim pemantauan dan penyelidikan telah dibentuk dan bahkan harus diperpanjang. Belum diketahui hasil dari tim tersebut. Berganti-ganti tim tetapi tak kunjung kelihatan hasilnya! Pertanyaan utama di sini adalah siapa yang menghalangi jalannya keadilan dan apa kepentingannya?
Kita dapat mengklaim bahwa kasus Brigadir J dalam kondisi yang lebih baik daripada kasus-kasus yang lain, karena tersangka utamanya sudah tertangkap dan sedang diadili. Namun demikian, mengungkap kasus ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlalu banyak “drama” untuk sampai ke titik ini.
Sudah banyak yang memberikan kesaksian, dan meskipun tersebarnya banyak video dan bukti-bukti lain yang mendokumentasikan kejahatan tersebut, situasinya tetap seperti yang kita lihat saat ini: motif utama pembunuhan itu tidak jelas, dan perhatian publik digiring untuk terfokus hanya pada kasus pembunuhan itu sendiri. Bahkan, beberapa pihak berusaha menutupi kasus ini dengan isu-isu lain supaya kasus ini secara perlahan dilupakan publik.
Dalam hal ini, mereka yang menghalangi jalannya peradilan jutsru adalah para pemangku kepentingan dalam impunitas para pelaku kejahatan untuk menutupi atau bahkan menghapuskan kasus kejahatan itu selamanya. Mereka secara langsung menyebabkan kejahatan atau mendapat manfaat dari menghalangi keadilan.
Semua orang dapat melihat dengan jelas upaya-upaya pelambatan untuk mencapai keadilan yang dilakukan dengan sengaja agar tidak membawa pelaku utama ke pengadilan. Dukungan untuk hipotesis ini adalah bahwa proses penegakan hukum itu terkesan dilakukan secara setengah hati. Dalam kasus Munir, misalnya, pengadilan hanya menjerat aktor lapangan atau eksekutornya. Lebih parah lagi, pada pertengahan Februari 2016, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) mengklaim tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan dokumen laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Singkat kata, dokumen hasil penyelidikan TPF yang tidak pernah dibuka ke publik tersebut dinyatakan hilang.
Banyak pelanggaran dan tindak kejahatan terjadi, dan aksi-aksi penuntutan keadilan dibubarkan, yang menyebabkan kerusakan serius, penghilangan, dan penangkapan di luar proses hukum. Sementara sangat sedikit yang telah mencapai pengadilan, apa yang telah dicapai sejauh ini dalam penegakan keadilan terkait kasus-kasus tindak kejahatan serius dapat dibandingkan dengan setetes air di Samudra Pasifik. Jika sebagian orang mengklaim bahwa menghalangi keadilan dalam skenario jahat adalah tindakan yang sistematis dan terencana, mereka benar.
Persamaan paling besar antara kejahatan-kejahatan yang disebutkan di atas dan kejahatan-kejahatan serupa adalah upaya penghilangan barang bukti. Dan karena barang bukti adalah landasan dari setiap kasus, penghapusan atau penyembunyiannya menghalangi jalannya keadilan. Dan karena para perencana dan pelaksana skenario sadar akan sulitnya tugas itu, mereka dengan sengaja mengulur waktu, suatu tindakan yang ditempuh untuk memudahkan pembelian beberapa saksi yang lemah dan pejabat di dinas peradilan dan keamanan dan lain-lain, atau menggunakan ancaman dan pemerasan. Dan jika semua bukti telah berhasil dilenyapkan, apakah semua saksi akan menghadapi intimidasi, pemerasan, dan segala sesuatu yang akan menghalangi jalannya keadilan?
Ada banyak tindakan yang dapat diambil untuk menghalangi jalannya proses peradilan, termasuk melatih saksi palsu untuk dimanfaatkan di kemudian hari, mengembangkan skenario untuk memanipulasi kesaksian yang sebenarnya selama persidangan dan membuat kesaksian-kesaksian dari pihak lain terbantahkan, serta memalsukan bukti untuk menutupi kebenaran dan kejahatan para pelaku. Dalam beberapa kasus, upaya ini tidak hanya dilakukan dengan ancaman dan pemerasan, tetapi bahkan dengan pembunuhan para saksi. Tujuan utamanya adalah untuk memungkinkan pelaku menikmati impunitas.
Hambatan keadilan tidak hanya terjadi melalui intimidasi, tetapi juga melalui pembelian saksi-saksi, pertukaran keuntungan, pengampunan kejahatan masa lalu, pemberdayaan dan promosi ke posisi yang lebih tinggi dan lain-lain. Dalam beberapa kasus, saksi memberikan identitas palsu kepada penjahat untuk digunakan untuk melarikan diri dan memulai hidup baru setelah persidangan selesai.
Obstruksi keadilan adalah jenis kejahatan terorganisir yang paling buruk, bukan hanya karena menindas orang-orang yang tak bersalah, tetapi juga karena dapat merusak seluruh sistem peradilan. Dan penerima manfaat terbesar dari runtuhnya sistem peradilan adalah mereka yang memiliki pengaruh, karena penegakan keadilan dapat membuat mereka kehilangan banyak keuntungan seperti perilaku korupsi dan hilangnya posisi.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!