Ikhtiar Mewujudkan Perguruan Tinggi Responsif Gender

Oleh: Nur Hayati Aida

 

Siang di bulan Agustus 2021, sebuah pesan instan masuk ke telepon genggamku yang tergeletak di atas meja. Aku meliriknya sekilas. Nama yang muncul lantas membuatku tergerak untuk membacanya segera. 

Semalem aku sama Mbak Muf ngomongke soal peluang gawe acara yang support penyusunan grand desain PTRG di PTKI. Nemokke pengurus PSGA se-Indonesia. Tapi ijik bingung enake gandeng sopo. Kemenag danane di-refocussing kabeh,“ (Semalam aku dan Mbak Muf bicara terkait peluang membuat acara yang mendukung penyusunan grand desain PTRG di PTKI. Mempertemukan pengurus PSGA se-Indonesia. Tapi masing bingung baiknya berkolaborasi dengan siapa. (Sekarang di lembaga di bawah) Kemenag dananya di-focussing semua),” 

Mbak Muf yang dimaksud adalah Dr. Mufliha Wijayati, M.S.I. yang merupakan ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Metro, Lampung. 

Segera aku membalas, “Yuk, kapan bisa ketemu untuk membahas lebih detail.”

Percakapan itu adalah muasal bagaimana Aliansi PTRG (Perguruan Tinggi Responsif Gender) terbentuk.

Sejak 2019, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mendampingi 33 mitra dari tiga komunitas (perguruan tinggi, pesantren, dan NGO). Pendampingan ini sebetulnya masuk dalam skema besar yang disebut dengan Women Voice and Leadership—sebuah konsorsium yang disokong oleh Kedutaan Kanada, dikenal dengan sebutan We Lead.

Melalui program ini, Rumah KitaB ingin melahirkan aktivis muda yang kritis dan berperspektif gender—yang belakangan kian ‘habis’ karena banyak ‘diambil’ oleh pemerintah atau berpindah haluan di sektor ekonomi. 

Pendampingan pada 33 mitra ini didesain sedemikian rupa untuk bisa melahirkan aktivis muda yang kritis dan memiliki perspektif gender, misalnya dengan menyediakan penguatan kapasitas, mulai dari perspektif, penguatan pada isu fundamentalis, serta bagaimana melakukan riset dengan pendekatan feminis. Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2020.

Dari tiga komunitas yang didampingi oleh Rumah KitaB, kelompok perguruan tinggi menjadi salah satu kelompok yang daya ungkitnya tinggi, sehingga dalam perjalanan pendampingan, kelompok ini mampu melakukan berbagai hal untuk mendorong terwujudnya perguruan tinggi yang responsif gender. 

Pengirim pesan di atas adalah Mas Khasan, begitu aku memanggil Khasan Ubaidillah—Kepala PSGA (Pusat Studi Gender & Anak) UIN Raden Mas Said Surakarta (PSGA UIN Surakarta). PSGA UIN Surakarta adalah satu dari sembilan perguruan tinggi yang menjadi dampingan Rumah KitaB dalam program We Lead.

Sebelum mengirim pesan padaku, Khasan mengatakan telah berdiskusi mengenai desain indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) dengan Muflihah Wiyati—atau akrab dipanggil Bu Muf—Kepala PSGA IAIN Metro, Lampung—yang juga merupakan dampingan Rumah KitaB dalam program We Lead. 

Dokumen Indikator PTRG pertama kali dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan  Perlindungan Anak (KPPPA) bersama dengan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dari berbagai perguruan tinggi (Islam) pada tahun 2019 sebagai salah satu upaya menerjemahkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. 

Inpres tersebut menginstruksikan agar pengarusutamaan gender dimasukkan ke dalam seluruh proses pembangunan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari instansi dan lembaga pemerintah, termasuk lembaga pendidikan. Indikator PTRG juga merupakan komitmen pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 sebagai komitmen kementerian dalam membangun pendidikan yang berlandaskan keseimbangan gender. 

Diskusi bersama Khasan mengenai indikator PTRG pun berlanjut pada obrolan melalui telepon dan pesan singkat. Berselang sekitar satu bulan selepas pesan pertama itu dikirim, Khasan dan Muflihah memilah dan mengorganisir kolega mereka sesama kepala PSGA untuk hadir dan membahas lebih dalam tentang keresahan yang mereka alami. Total ada tujuh kepala PSGA yang diundang—tiga di antaranya sudah menjadi dampingan Rumah KitaB, yaitu: PSGA UIN Surakarta, PSGA IAIN Metro, dan PSGA UIN Semarang. 

Dalam pemilihan tim awal ini, Khasan dan Muflihah mempertimbangkan keterwakilan wilayah Indonesia, misalnya, Jawa Tengah diwakili oleh PSGA UIN Walisongo Semarang, UIN Raden Mas Said Surakarta dan IAIN Pekalongan (sekarang UIN Abdurrahman Wahid), Jawa Timur diwakili oleh IAIN Ponorogo, Kalimantan Timur diwakili oleh PSGA UIN Sultan Aji Muhammad Idris, Lampung diwakili oleh PSGA IAIN Metro, Riau diwakili oleh PSGA UIN Sultan Syarif Kasim. 

Selain pertimbangan wilayah, tim awal ini dipilih karena memiliki kegelisahan yang sama mengenai eksistensi PSGA dan implementasi PTRG di perguruan tinggi masing-masing. 

 

Mendorong PSGA

Berawal dari keresahan tersebut, atas dukungan We Lead, Rumah KitaB mendorong PSGA untuk membahas dan menyusun operasionalisasi indikator PTRG. Selama proses itu, Just Associate (JASS) dan Yayasan Hivos mendampingi Rumah KitaB dalam memfasilitasi jaringan PSGA.

Pertemuan secara daring pertama dilakukan pada tanggal 14 September 2021 difasilitasi oleh Rumah KitaB. Awalnya pertemuan ini hendak membahas PTRG, lantas berkembang menjadi ruang refleksi bagi kepala PSGA tentang eksistensi PSGA di kampus dan kebutuhan untuk implementasi Indikator PTRG di lingkungan kampus masing-masing. 

Ada tiga kesepakatan yang dihasilkan, yaitu: Pertama, menurunkan indikator PTRG  dalam kecil dan rinci agar lebih operasional dan aplikatif bagi perguruan tinggi. Kedua, mendorong agar indikator PTRG memiliki kekuatan hukum yang bisa menjadi daya desak di PTKI. Ketiga, pengakuan terhadap eksistensi PSGA di lingkungan atas.

Pertemuan ini merupakan pijakan utama dalam membentuk Aliansi PTRG, yaitu membangun komitmen bersama untuk merespons persoalan yang dihadapi oleh PSGA dan rencana implementasi PTRG.

Pada November 2021, tujuh kepala PSGA  sepakat untuk membahas satu satu pondasi penting untuk segera digarap oleh PSGA, yaitu perlu adanya operasionalisasi dokumen indikator PTRG—sebuah dokumen yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada tahun 2019.  

Dokumen indikator PTRG yang dikeluarkan oleh KPPA itu dirasa oleh tujuh PSGA masih sangat teoritis dan belum implementatif. Hal ini lantaran perbedaan infrastruktur dan SDM yang dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi. Perlu satu dokumen yang memberikan penjelasan dan menggambarkan bagaimana indikator PTRG dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan konteks lokal masing-masing perguruan tinggi.  

Operasionalisasi indikator PTRG menjadi relevan bagi perguruan tinggi, karena selama ini upaya yang dilakukan untuk mewujudkan keadilan gender masih bersifat parsial dan reaktif. Misalnya, kebijakan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual—yang akan menjadi perhatian publik saat ada kasus. 

Dalam penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, Kemenag dan Kemendikbud mengeluarkan kebijakan masing yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Dua kebijakan ini merupakan langkah positif dari pemerintah dalam memerangi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun, dua kebijakan ini masih bersifat parsial dalam pengarusutamaan gender yang lebih komprehensif.

Sementara indikator PTRG tidak hanya membahas terkait budaya nirkekerasan terhadap perempuan dan laki-laki di lingkungan perguruan tinggi, tetapi juga melihat komponen lain yang lebih besar. Ada sembilan indikator PTRG yang dikeluarkan oleh KPPA yaitu: 1) Adanya Pusat Studi Gender dan Anak atau Pusat Studi Wanita; 2) Memiliki data profil gender perguruan tinggi; 3) Adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi; 4) Pendidikan & pengajaran responsif gender; 5) Penelitian responsif gender; 6) Pengabdian masyarakat terintegrasi gender; 7) Tata kelola perguruan tinggi responsif gender; 8) Peran serta sivitas akademika dalam perencanaan sampai dengan evaluasi & tindak lanjut tridarma perguruan tinggi yang responsif gender; 8) Zero tolerance kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki.

Dalam perjalanannya, Aliansi PTRG memadatkan sembilan indikator menjadi empat bagian kunci: Pertama, Kelembagaan yang meliputi: Adanya Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak atau Pusat Studi Wanita; Memiliki data profil gender perguruan tinggi; Adanya peraturan rektor tentang implementasi pengarusutamaan gender (PUG) di perguruan tinggi. Kedua, Tridarma perguruan tinggi yang meliputi: Pendidikan & pengajaran responsif gender dan inklusi sosial; Penelitian responsif gender; Pengabdian masyarakat terintegrasi gender. Ketiga, Tata Kelola & Monitoring/evaluasi yang meliputi penganggaran responsif gender. Keempat, Budaya nirkekerasan terhadap laki-laki dan perempuan.

Dalam sebuah pertemuan daring pada November 2022, tujuh PSGA juga sepakat “menanggung beban” pembiayaan bersama dengan Rumah KitaB selama memproses indikator PTRG. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa proses mengawal dokumen indikator PTRG sampai dapat dinikmati oleh PSGA di seluruh Indonesia membutuhkan napas panjang. Dengan demikian berbagi dukungan dana menjadi sesuatu yang niscaya.

Pada bagian ini, Rumah KitaB mengambil perannya sebagai fasilitator yang memfasilitasi dua ruang: ruang virtual untuk berproses dan berefleksi, dan ruang aman sebagai tempat mengadu dan berefleksi. 

Dalam perjalanannya, tujuh PSGA ini sepakat untuk mengikutsertakan satu PSGA dari perguruan tinggi swasta untuk melihat keragaman karakter PSGA. Sebab, tujuh PSGA yang sudah berada di perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Akhirnya, dengan masuknya PSGA UNISNU (Universitas Islam Nahdlatul Ulama) Jepara. Dengan demikian jumlah tim akhirnya menjadi delapan.

Berselang tiga bulan setelah pertemuan kedua, tepatnya pada 21-24 Maret 2022 di Hotel Novotel Lampung, delapan PSGA tersebut berhasil menyelesaikan rumusan  operasional sembilan indikator PTRG. 

Proses penyusunan operasionalisasi indikator PTRG dilakukan dengan bersandar pada pengalaman delapan PSGA atau perguruan tinggi dalam mengimplementasikan bagian-bagian indikator PTRG. Dalam seluruh rangkaian penyusunan, kegiatan dilakukan dengan metode Pendidikan Orang Dewasa (POD) yang sensitif gender atau dikenal dengan metode pendidikan feminist andragogy.  

Setiap indikator dibahas dengan terlebih dahulu mendengarkan pengalaman-pengalaman, baik yang berhasil atau yang kurang efektif dalam implementasi indikator PTRG. Delapan anggota PTRG memiliki kekhasan dan ketajaman masing-masing dalam implementasi indikator PTRG, misalnya UIN Surakarta menjadi salah satu PSGA yang pertama dalam penerapan SK Rektor tentang penanganan kasus kekerasan seksual dan IAIN Metro yang sangat mendalami penganggaran responsif gender. 

Dalam proses yang panjang, kami mendiskusikan dan menyepakati poin-poin esensial dalam setiap elemen indikator PTRG. Berbagai pengalaman divalidasi menjadi pengetahuan universal melalui proses ekstraksi. Kemudian, pengalaman yang telah diabstraksi menjadi pengetahuan baru yang bisa direplikasi dengan penyesuaian kekhasan setiap perguruan tinggi.

 

Lahirnya Aliansi PTRG 

Selama kurang lebih tiga bulan, delapan perguruan tinggi tersebut telah melakukan proses produksi pengetahuan yang berangkat dari pengalaman. Dalam konteks indikator PTRG adalah adanya rumusan operasional indikator PTRG. Harapannya dokumen ini menjadi bahan advokasi kepada para pengambil kebijakan, baik di tingkat kampus atau kementerian. Dengan demikian perguruan tinggi yang responsif gender bisa terwujud. 

Proses ini yang disebut oleh Rumah KitaB sebagai Knowledge to Policy to Practice (K to P to P)—sebuah cara kerja feminis yang bekerja berdasarkan data dengan menggunakan perspektif gender sehingga mendorong lahirnya kebijakan. Namun, kebijakan saja tidaklah cukup, harus ada upaya praktis di dalam masyarakat, dalam hal ini perguruan tinggi. 

Bertempat di Hotel Horison Lampung, delapan PSGA memandang perlu adanya sebuah wadah untuk bergerak bersama dan lahirlah Aliansi PTRG. Aliansi PTRG kemudian melahirkan ruang aman bagi anggotanya untuk mendiskusikan hal-hal sensitif atau krusial. Tidak hanya itu, aliansi juga menjadi ruang berbagi SDM untuk penguatan kapasitas antar perguruan tinggi.

Aliansi juga menjadi arena untuk saling belajar, baik dari pengalaman yang sukses atau yang gagal dilaksanakan. Proses saling belajar ini melahirkan kegiatan atau bahkan kebijakan, misalnya terkait dengan profil gender. Belajar dari PSGA UIN Raden Mas Said, setidaknya dua PSGA lain (UNISNU Jepara dan UIN Riau) mampu menghasilkan profil gendernya sendiri.

Kepala PSGA UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan Ningsih Fadhilah, mengaku terkesan dengan forum tersebut. 

“Forum ini adalah ruang ekspresi dan curhat kita tanpa ada judgement. Tidak ada pemateri. Tidak ada anggota. Sehingga kita bisa menumpahkan semua keluh kesah kita masing-masing dan saling menguatkan,” ujarnya, usai acara. 

Sementara itu Irma Yuliani dari PSGA IAIN Ponorogo menyatakan keheranannya lantaran para senior di forum ini sangat menghargai pendapat junior dan tidak ada hirarki keilmuan. 

“Dalam dinamika diskusi kita, tidak pernah ada emosi dan kita selalu bahagia mengemukakan pendapat, baik itu diterima atau dipertimbangkan,” imbuhnya.  

Pada bagian inilah capaian akhir yang ingin didapatkan oleh Rumah KitaB dalam program We Lead. Bagaimana antar perguruan tinggi saling terhubung dan mengambil manfaat untuk mewujudkan keadilan gender di perguruan tinggi.

Aliansi PTRG tidak hanya menjadi wadah untuk mendiskusikan indikator PTRG. Lebih dari itu, Aliansi PTRG menjadi ruang aman bagi anggotanya untuk saling berbagi hal dan secara organik menjadi support system

Ningsih Fadhilah menambahkan bahwa forum di aliansi ini merupakan pengalaman menarik, karena membahas sebuah tema secara detail hingga ke akarnya. 

“Apa yang kita bahas ini mungkin berat diimplementasikan karena banyaknya tantangan yang ada, namun di sini saya mendapatkan support system. Di saat di kampus kami merasa sendiri memperjuangkan PUG. Saya optimis PUG bisa diimplementasikan di kampus kita masing-masing meski jalannya pelan namun langkahnya sistematis,” ujarnya. 

 

Membangun Kekuatan untuk Bergerak

Adanya aliansi PTRG membuat delapan PSGA ini memiliki modal dan keberanian untuk membangun dialog dengan para pihak. 

Pada tanggal 8 Juni 2022 bertempat di Hotel Oria, Jakarta, Aliansi PTRG bertemu dan melakukan koordinasi dengan delapan Wakil Rektor Satu dari perguruan tinggi mereka berasal, Kementerian Agama (Kemenag) yang diwakili oleh Subdirektorat Penelitian & PKM, Deputi Gender Kemen PPA. Pertemuan ini tidak hanya memaparkan bahwa indikator PTRG telah berhasil dibahas, diperkaya, dan disusun ulang,  tetapi untuk menggalang dukungan untuk advokasi lanjutan operasionalisasi.

Tanggal 8 Juni 2022, aliansi juga bertemu dengan Pimpinan Komnas Perempuan. Pascapertemuan tersebut, tiga universitas—UIN Semarang, IAIN Metro, dan UIN Samarinda—mendapatkan kunjungan untuk monitoring implementasi SK Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Komnas Perempuan juga memberikan penguatan kapasitas untuk  anggota ULT (unit layanan terpadu) IAIN Metro. 

Kunjungan monitoring itu merupakan bagian dari program kerja Komnas Perempuan. Pada tahun 2022, Komnas Perempuan memiliki target melakukan visitasi ke PTKI untuk melihat dan memantau implementasi SK Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Saat konsolidasi antara Komnas Perempuan, Rumah KitaB, dan perwakilan aliansi PTRG, Komisioner Komnas Perempuan Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah menjelaskan bahwa ada kemungkinan di antara 8 PTKI dari aliansi PTRG akan  didatangi oleh Komnas Perempuan. 

“Saat visitasi bisa dilakukan kegiatan lain yang masih berhubungan dengan SK Rektor tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual, misalnya seperti penguatan kapasitas pengelola ULT atau PSGA,” ujar Alimatul Qibtiyah.

Konsolidasi kepada para pihak terkait merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh Aliansi PTRG untuk mengupayakan indikator PTRG bisa secara sistematis menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Strategi ini sesuai dengan peta jalan yang telah mereka buat pada Januari 2022 bertempat di Hotel Sunan Solo. Peta jalan pertama itu kemudian disempurnakan lagi pada bulan Februari 2022. 

Pada 13 April 2022 bertempat di Hotel Santika BSD, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama membantu menyosialisasikan operasionalisasi indikator PTRG kepada 58 PSGA di bawah koordinasi Kementerian Agama. 

Kemudian, pada November 2022, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kemenag menyelenggarakan PTRG Award. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang memiliki komitmen mewujudkan kampusnya sebagai perguruan tinggi responsif gender. Pada perhelatan itu, Diktis mengadopsi dokumen operasionalisasi Indikator PTRG (bagian monitoring & evaluasi) yang telah disusun oleh Aliansi PTRG sebagai instrumen penilaian PTRG Award. 

Ajang PTRG Award diikuti oleh 58 perguruan tinggi dari seluruh Indonesia dengan memperebutkan tujuh kategori. Empat anggota Aliansi PTRG (dari delapan anggota) memenangkan empat kategori (kampus dengan kelembagaan PSGA terbaik [UIN Raden Mas Said Surakarta], kampus dengan pendidikan dan pengajaran responsif gender [IAIN Metro], kampus dengan budaya nirkekerasan dalam pencegahan terbaik [IAIN Ponorogo], dan kampus dengan pengabdian dan advokasi responsif terbaik [UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan). 

Adanya Dokumen Operasionalisasi Indikator PTRG yang direkognisi oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam – Kementerian Agama RI (Diktis) dengan diadopsi dalam PTRG Award, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia memiliki standar pelaksanaan perguruan responsif gender. Sebelumnya, gender dianggap sebagai ‘lampiran’ karena bukan instrumen akreditasi. 

Sejak mendapatkan PTRG Award, Irma Yuliani dari IAIN Ponorogo menyebutkan: 

“Kepala Pusat (Kapus) kami sudah tersentuh hatinya untuk menjalankan kerja-kerja hasil PTRG. Pada Februari ini Komnas Perempuan akan datang ke IAIN Ponorogo. Ketika kasus di Ponorogo (ratusan anak hamil di luar nikah) diberitakan secara nasional, Bu Kapus menjadikannya sebagai momen untuk meminta para pejabat kampus menandatangani pakta integritas dan dia juga bercerita tentang kondisi riil di Ponorogo, PSGA, dan PTRG kepada mereka. Para pejabat dengan rela hati menandatanganinya karena mereka juga merasakan keresahan itu,” ujarnya.

Selain itu, Aliansi PTRG juga melakukan sosialisasi Dokumen Operasionalisasi Indikator PTRG kepada PTKIN/PTKIS, khususnya kepada 53 PSGA di bawah Kementerian Agama dalam serial Suluh PTRG. 

Suluh PTRG juga merupakan strategi Aliansi PTRG dalam rangka menyiapkan (prasyarat) pengetahuan dasar bagi PTKIN/PTKIS selagi regulasi implementasi indikator PTRG diadvokasi. Sosialisasi ini menjadi penting karena perguruan tinggi adalah produsen kebijakan dan navigator wacana. Oleh karenanya, pemahaman aktor-aktornya tidak boleh bias gender. Insan akademik yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan (policy maker) atau influencer harus punya sikap yang jelas, sensitivitas gender, dan memiliki keberpihakan kepada kelompok marjinal dan minoritas.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.