Kendali Masyarakat Atas Laki-laki dan Perempuan

Banyak orang menulis dan memproduksi pengetahuan yang menentang dan menolak pelecehan terhadap perempuan. Hanya saja, apakah semua yang ditulis atau diproduksi itu mendapat gaung di masyarakat luas? Hal ini tidak dapat dikonfirmasi atau dinafikan. Yang pasti, kendati kita setuju bahwa hal tersebut berdampak pada satu pihak dan tidak berdampak sama pada pidak yang lain, tetapi apakah isu kekerasan terhadap perempuan benar-benar ada hubungannya dengan hegemoni laki-laki sebagaimana yang dibicarakan oleh Pierre Bourdieu, Bovary, dan para ahli teori feminis lainnya? Apakah memang ada budaya maskulin dan bahasa maskulin? Atau apakah kita melihat semua ini adalah kenyataan alami kehidupan, dan apa yang dilakukan orang-orang itu hanyalah memakaikan kepadanya kedok ideologis agar sesuai dengan keinginan mereka sendiri? Masalah ini memerlukan pemikiran dan perenungan yang mendalam.

Ada perkataan terkenal dari Bovary, “Kita tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun kita menjadi perempuan.” Banyak sosiolog yang mengadopsi perkataan ini ketika melihat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat serta memastikan sikap mereka terkait isu perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perkataan ini telah mendorong lahirnya gerakan-gerakan feminis.

Gerakan-gerakan ini memandang bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang “diupayakan” dan bukan sesuatu yang “terberi”. Menurut mereka, perempuan dan laki-laki dilahirkan dengan karakteristik dan kemampuan otak yang sama, namun yang membuat keduanya berbeda adalah masyarakat. Ada fungsi dan metode tertentu di masyarakat yang mereproduksi manusia menjadi laki-laki dan perempuan.

Melalui permainan, misalnya, kalau melihat mainan yang diperuntukkan bagi laki-laki, kita akan menemukan bahwa itu adalah permainan yang menumbuhkan rasa keunggulan dan tanggungjawab dalam diri laki-laki. Berbeda dengan perempuan, kita menemukan mainan yang diperuntukkan bagi perempuan berupa peralatan dapur dan sejenisnya. 

Sejak masa kanak-kanak, keduanya dididik, atau dibuat untuk masing-masing dari keduanya sebuah cara dan ditentukan fungsinya dalam kehidupan. Sehingga karenanya, untuk masing-masing dari keduanya tercipta kondisi-kondisi yang memungkinkan keduanya memilih pekerjaan yang sesuai dengan kondisi masing-masing. 

Belum lagi ruang sekolah, melalui materi, alat belajar, penampilan, warna, dan lain sebagainya. Selain itu, ketika keduanya besar nanti, media juga akan mencurahkan hal yang sama kepada keduanya. Hal ini tentu saja menurut analisis para sosiolog yang tertarik mempelajari sosiologi pendekatan gender. 

Dalam pandangan mereka, hal-hal itulah yang memberikan superioritas pada laki-laki atas perempuan, dan kemudian laki-laki diberi fungsi/tugas di masyarakat, diberi kedudukan yang tinggi, dan lain sebagainya. Sedangkan perempuan dijauhkan dari semua itu, padahal ia mungkin lebih baik dari laki-laki. 

Namun pandangan tersebut ditentang oleh banyak pihak dengan memunculkan pertanyaan, yaitu: jika hal itu terjadi seperti yang mereka katakan, bagaimana perempuan dapat menerima hal ini jika tidak sesuai dengan fungsi biologisnya? Bagaimana mungkin tidak ada seorang perempuan pun dalam sejarah yang memberontak dan berkata kepada laki-laki, “Cukup sudah!”? Dan mengapa tidak terjadi sebaliknya, misalnya jika kita mengatakan bahwa ada kesepakatan di antara keduanya? Mengapa tidak ditemukan bahwa fungsi laki-laki diberikan kepada perempuan dan fungsi perempuan diberikan kepada laki-laki?

Faktanya pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa menafikan ketidakadilan dan kekerasan yang menimpa perempuan, yang tentu saja harus dilawan, meskipun tidak selalu dengan mendirikan organisasi atau partai, melainkan dengan menghasilkan banyak produk pengetahuan. Mungkin tidak ada seorang perempuan pun yang telah melakukan sesuatu untuk umat manusia dan tidak dihormati atau dihargai. Tetapi sejarah telah menjadi saksi yang berlanjut hingga saat ini dan kita menemukan adanya marginalisasi terhadap perempuan, dan bahkan sampai sekarang perempuan dianggap kurang cerdas dan bijaksana. Kalaupun ada di antara mereka yang berprestasi di bidang penulisan kreatif, misalnya, ia akan menyembunyikan namanya dengan nama samaran. Kalau tidak, produksinya akan terpinggirkan. Lebih parah lagi, ia ditakdirkan untuk diejek dan diremehkan, dan ini bahkan terjadi selama berabad-abad setelah Renaisans. Kita menemukan banyak filsuf, pemikir, sosiolog, dan ekonom, tetapi jarang kita menemukan perempuan di antara mereka.

Di sejumlah masyarakat di belahan dunia, kita mungkin tidak akan menemukan adanya dominasi perempuan atau laki-laki, karena hal ini terkait dengan sifat budaya masing-masing negara. Misalnya peneliti di bidang sosiologi, Profesor Fatimah Mernissi, dalam bukunya “Sulthânât Mansîyyât”, ia menelusuri sejarah Islam dan mencoba mengungkap beberapa perempuan yang mengambil alih kekuasaan pada era peradaban Islam dalam peradaban Persia. Menurutnya, terdapat banyak nama sultanah (sultan perempuan) yang tidak disebutkan atau hilang di dalam buku-buku sejarah. Dan yang lebih memprihatinkan, ada beberapa sultanah yang, ketika mereka mempunyai kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan, dipaksa untuk mencitrakan diri mereka sebagai laki-laki, atau mereka menjalankan pemerintahan di belakang seorang laki-laki yang menjadi boneka mereka, seperti yang kita ketahui bersama tentang sultanah bernama Syajarat al-Durr.

Hal itu mungkin bertolak belakang dengan peradaban lain, seperti di Afrika, misalnya, di mana kita menemukan bahwa perempuanlah yang bertanggungjawab atas pemerintahan dan memberikan nasihat, sebagaimana disebutkan oleh novelis Kamerun Leonora Miano dalam novelnya “Season of the Shadow”. Ia menyebutkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam mengatur urusan-urusan suku. Kita juga menemukan hal yang sama dengan ini jika kita melihat, misalnya, pada orang-orang Amazigh. Banyak contoh dalam peradaban manusia, baik yang sudah ketinggalan zaman atau yang masih ada, yang di dalamnya ditemukan bahwa perempuan dihargai, tetapi tidak berarti bahwa mereka mengambil fungsi yang sama dengan laki-laki, dan ini dibenarkan oleh banyak profesor sosiologi.

Dengan demikian, untuk membebaskan perempuan dari keterpurukan, masyarakat harus dididik dan ditingkatkan kesadarannya, demi terciptanya kesetaraan dan keadilan. Masyarakat harus didorong untuk melawan organisasi-organisasi tertentu yang bermaksud mempromosikan ideologi tertentu dengan mengeksploitasi ketidaktahuan dan keterbelakangan sebagian orang dalam upaya memperluas hegemoni mereka.[] 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.