Hukum Penolakan Pemakaman Jenazah Covid-19 dalam Islam
Achmat Hilmi, Lc., MA.
Peneliti Yayasan Rumah Kita Bersama
Covid-19 telah jadi pandemik yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per 4 April 2020, jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai 1.017.693 kasus. Jumlah kematian akibat Covid-19 sebanyak 53.179 orang (5,22%), dan 212.072 orang sembuh (20,83%). Sementara di Indonesia, sebulan sejak virus ini dinyatakan muncul pada Maret 2020, jumlah positif mencapai 1.986 kasus, 181 (9,11%) di antaranya meninggal dunia, dan 134 orang (6,74%) pulih. Presentase kematian akibat Covid-19 di RI lebih tinggi dibanding Global.[1]
Di tengah upaya serius Negara dalam perjuangan melawan covid-19, ada saja insiden memilukan menyusul wabah ini. Dalam dua minggu terakhir tersiar berita dan gambar penolakan pemakaman jenazah Covid-19 di berbagai daerah seperti di Banyumas, Lampung, Makassar, dan Gowa. Sejauh yang diberitakan media, di Makassar dan Gowa, telah terjadi penolakan empat pemakaman Jenazah Covid-19. Di Lampung terjadi dua kali. Sementara di Banyumas dikabarkan terdapat empat kecamatan yang kompak menolak penguburan Jenazah Covid-19. Beberapa penolakan itu berujung kericuhan. Beruntung polisi dan TNI sigap mengamankan situasi.
Dalam berita itu dikabarkan jenazah-jenazah korban Covid-19 itu terusir sebelum dimakamkan. Bahkan di antara mereka ada yang dipaksa “angkat kaki” berkali-kali. Umumnya karena masyarakat tidak mendapatkan informasi bagaimana cara pemulasaraan jenazah dan pemakamannya. Mereka khawatir virus masih dapat menyebar dari jenazah.
Sebenarnya Dinas Pertamanan dan Hutan Provinsi DKI Jakarta telah memiliki prosedur tetap (protap) cara pemulasaraan dan pemakaman jenazah baik yang terduga atau telah positif Covid-19. Namun masyarakat tidak mendapatkan informasi memadai perihal penularan dari jenazah Covid-19 sehingga rasa takut berubah menjadi tindakan cari selamat sendiri dengan menolak pemakaman jenazah di lokasi mereka. Padahal ditilik dari hukum fikih, menyegerakan menguburkan jenazah adalah fardu kifayah- sebuah kewajiban yang mengikat kepada manusia yang jika itu telah dilakukan akan menggugurkan kewajiban bagi yang lainnya. Dasar argumentasinya bersumber dari perintah Rasulullah Saw yang terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani,
[2] عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : أسرعوا بالجنازة
Artinya “Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “percepatlah kalian dalam membawa (mengurus) jenazah” (HR. Bukhari)
Pandangan Hukum Islam atas Penolakan Pemakaman Jenazah
Dalam sejumlah tafsir tentang penciptaan, Allah Swt memuliakan seluruh makhluk-Nya, terutama manusia, baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia. Tubuh manusia sangat dihormati Allah Swt sebagai penciptanya. Tubuh yang masih hidup (bernyawa) dan tubuh yang telah mati (tak bernyawa), tubuh seorang muslim maupun tubuh non muslim, semua mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi di hadapan Allah Swt.
Allah Swt. Berfirman,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya, ”Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam (umat manusia), dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami telah lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra, 17:70)
Ayat ini melukiskan betapa tingginya penghormatan Allah Swt kepada manusia. Dalam penghormatan itu manusia didudukkan secara setara sebagai mahlukNya tanpa membedakan latar belakang suku, ras, agama, jenis kelamin, dan umurnya. Kalimat yang dilukiskan dalam ayat itu menggambarkan ekspresi kebanggaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Bagi Allah, manusia merupakan makhluk-Nya yang paling sempurna dibanding makhluk yang lain.
Berbicara hasil ciptaan tentu bicara soal tubuh manusia yang dihormati kehadirannya. Allah telah menyediakan makanan yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang, sejak tersedianya placenta ketika manusia ada di dalam kandungan ibunya, air susu ibu yang dicukupkan sampai dua tahun, lalu segala jenis tumbuhan dan binatang yang dihalalkan syariat guna memberi asupan bagi tubuh. Dalam pandangan agama, semua itu disediakan Allah dalam rangka pemeliharaan Allah atas tubuh manusia. Kecukupan kebutuhan tubuh manusia, Allah sempurnakan dengan kecukupan kebutuhan ruhaniah berupa spiritualitas, rasa senang, bahagia, tenteram, dicintai, mencintai dan seterusnya.
Dalam keyakinan Islam, agar manusia mampu menjaga hal-hal yang telah dimuliakan oleh Allah, maka salah satu prinsip yang harus dimiliki oleh manusia adalah hifdzu al-nafs (hak untuk memelihara hidup). Hak ini, bersama hak-hak lainnya menjadi kewajiban individu, masyarakat secara kolektif, negara, dan masyarakat internasional/global. Mereka harus dapat menjamin hak-hak kemanusiaan yang paling mendasar.
Selain itu Islam mementingkan tentang kewajiban untuk menjaga kehormatan manusia atau hifdzu al-’irdhi (menjaga kehormatan). Hal ini berlaku bagi manusia setika masih hidup, juga terhadap kehormatan orang yang telah meninggal.
Begitu pentingnya menjaga kehormatan atas tubuh, hukum Islam secara rinci membahas soal etika dan nilai yang bertujuan untuk mengormati manusia. Termasuk di dalamnya etika saat berziarah, menghormati pemakaman, larangan duduk di atas makam, dan lain-lain.[3] Meski manusia telah mati dan dikuburkan, Allah mewajibkan kepada yang hidup untuk menghormati jasad yang telah mati dan dikuburkan. Penghormatan itu setara dengan ketika mereka masih hidup. Manusia apapun latar belakangnya haram dilecehkan, dilukai/disakiti termasuk ketika telah menjadi ahli kubur.
Berdasarkan penjelasan di atas yang diperkuat berbagai literatur keislaman otoritatif (mu’tabarah) penulis merumuskan sebuah kaidah, ”Segala tindakan yang diharamkan terhadap tubuh selama hidup juga diharamkan terhadap tubuh yang telah mati” termasuk di antaranya penolakan terhadap pemakaman jenazah. Karena pemakaman jenazah merupakan hak tubuh yang telah mati.
كل ما يحرم على أجسام الإنسان يحرم على أجساده. (مؤلف, أحمد حلمي)
“Segala yang diharamkan atas tubuh manusia juga diharamkan atas jasadnya” (Penulis, Achmat Hilmi).
Islam mengakui hak-hak tubuh yang masih hidup dan hak-hak tubuh yang telah mati, muslim dan non muslim, perempuan dan laki-laki, di antara haknya jenazahnya di angkat dan dimakamkan.[4]
Hukum pemulasaraan jenazah dalam Islam adalah fardhu kifayah[5], sebagaimana ijma (konsensus) para ulama.[6] Fardhu kifayah merupakan kewajiban kolektif, bila tidak ada seorang pun yang mengurusnya, maka seluruh penduduk negeri berdosa, tanpa terkecuali. Penolakan masyarakat terhadap pemakaman jenazah merupakan pelanggaran keras atas kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang dibebankan oleh Syariat Islam.
Para jenazah korban covid-19 merupakan orang-orang yang telah dijanjikan pahala selevel dengan pahala para syuhada. Penghormatan atas jenazahnya juga seperti penghormatan terhadap jenazah para syuhada. Mereka telah berjuang melawan wabah hingga maut mengakhiri perjuangan mereka.
Rasullullah Saw bersabda,
فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ[7]
Tidaklah seseorang yang di negerinya mewabah thaun (pandemik/wabah) lalu ia tetap berada di situ dengan sabar dan berharap pahala, ia tahu tidak ada musibah yang menimpanya kecuali apa yg telah Allah tetapkan bagi dirinya melainkan baginya pahala seperti pahala seorang syahid.” (HR. Al-Bukhari, Nomor3474)
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: «مَا تَعُدُّونَ الشّهيدَ فِيكُم؟» قالوا: يا رسول الله من قُتِلَ في سبيل الله فهو شهيد، قال: «إن شُهَدَاءَ أمتي إذًا لَقَلِيلٌ»، قالوا: فمن هم يا رسول الله؟ قال: «مَنْ قُتِلَ فيِ سَبيلِ اللهِ فَهُو شَهِيدٌ، وَمَن مَاتَ في سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَن مَاتَ في الطَّاعُونِ فَهُو شَهِيدٌ، وَمَن مَاتَ في البَطنِ فَهُو شَهِيدٌ» قال ابن مقسمٍ: أشهد على أبيك في هذا الحديث أنه قال: «وَالغَرِيقُ شَهِيدٌ».
Artinya, Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw., bersabda: ”Siapakah orang yang dianggap Syahid di antara kalian?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah Saw, yaitu orang yang dimatikan di jalan Allah Swt maka dia syahid.” Rasulullah bersabda, “Bila demikian, sesungguhnya para syuhada umatku nisacaya (hanyalah) sedikit.” Mereka bertanya, ”Siapa mereka wahai Rasulullah?, Rasulullah bersabda, “yaitu orang yang wafat di jalan Allah maka dia syahid, orang yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid, orang yang meninggal dalam (kondisi positif terkena) thaun (pandemik/wabah) maka dia syahid, orang yang meninggal di dalam perut (ibunya) atau keguguran maka dia syahid.” Ibnu Muqsim berkata, ”Aku bersaksi atas ayahmu di dalam hadits ini, sesungguhnya dia berkata, orang yang (mati) tenggelam itu syahid.
Covid-19 merupakan pandemik/wabah yang telah merenggut banyak nyawa di seluruh dunia. Status covid-19 sebagai pandemik ditetapkan secara resmi oleh Badan Kesehatan Dunia/WHO (World Health Organization).[8] Karena itu maka orang yang mengisolasi diri agar terhindar dari wabah diganjar dengan pahala syahid, dan orang yang menjadi korban covid-19 termasuk para syuhada. Artinya tidak hanya terkait pahala, tetapi terkait penghormatan atas tubuh, bahwa jenazahnya merupakan jenazah syahid, tentu penghormatannya sebagaimana penghormatan terhadap jenazah syahid.
Segala bentuk penolakan pemakaman korban Covid-19 merupakan penolakan terhadap jenazah para syuhada, dan dipandang sebagai bentuk penghinaan atas kemuliaan ciptaan Allah. Perilaku demikian merupakan pelanggaran atas hak jenazah para syuhada. Para pelaku penolakan tersebut telah melakukan beberapa tindakan yang dianggap berdosa dalam hukum Islam: Pertama, karena melanggar perintah syariat Islam terkait hukum fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dalam pemulasaraan dan pemakaman jenazah; kedua, karena tidak mengindahkan kehormatan jenazah (tubuh orang yang telah meninggal)/pelanggaran terhadap maqasid syariah, dan ketiga karena tidak menjunjung kehormatan para syuhada.[]
[1] https://www.detik.com/, diakses 4 April 2020, pukul 02.15 WIB
[2] Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqalani Abu Al-Fadhl Syihabuddin, Fathul Bari Syarah Shahȋh Al-Bukhârȋ, Mathba’ah Assalafiyyah, Kairo-Mesir, Cet. Pertama, 2015, Vol 3, Hal 184
[3] Utsman ibn Syatha Al-Bakri Abu Bakar, I’ânatu Al-Thâlibȋn ’alâ Halli Alfâzhi Fathi Al-Mu’ȋni, Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah Isa Al-Babil Halabi, 1300H, Kairo-Mesir, Vol 2, Hal. 105.
[4] Abu Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi, Bidâyatu Al-Mujtahid wa Nihâyatu Al-Muqtashidi, Farid Abdul Aziz Al-Jindi (Pentahkik), Darul Hadits, Kairo-Mesir, 1425H/2004M, Vol1, hal. 242
[5] Utsman ibn Syatha Al-Bakri Abu Bakar, I’ânatu Al-Thâlibȋn ’alâ Halli Alfâzhi Fathi Al-Mu’ȋni, …, Vol 2, Hal. 104.
[6] Zainuddin Al-Malibari, Fathu Al-Mu’in bi Syarh Qurratul ’Ain, Maktabah Al-Hidayah, Surabaya-Indonesia, hal 44-47
[7] Al-Imam Al-Hafidz Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Maktabah Al-Salafiyyah, Kairo-Mesir, tt.., Vol 10, hal 194
[8] https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-happen, diakses 4 Maret 2020
Sumber gambar: https://metro.tempo.co/read/1327821/depok-sosialisasi-protokol-jenazah-positif-corona-atasi-penolakan
Trackbacks & Pingbacks
[…] [2] عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : أسرعوا بالجنازة […]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!