Domestikasi Perempuan: Antara Ketetapan Syariat dan Parsialitas Pemahaman

Patriarki merupakan suatu sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan utama. Dalam keluarga yang menganut sistem ini, laki-laki dipandang sebagai sosok yang pantas untuk berkarir karena ia adalah pemimpin keluarga yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Sedangkan perempuan merupakan sosok yang paling bertanggungjawab atas pekerjaan domestik.[1]

Pada sebagian kasus, perempuan dituntut untuk meninggalkan cita-cita dan karirnya demi  fokus mengurus rumah. Mengutip dari website Indonesia Bussiness Coalition for Women Empowermemt (IBCWE), sebanyak 40% perempuan Indonesia meninggalkan dunia kerja setelah menikah dan memiliki anak.[2] Selain itu, sebuah riset yang dilakukan oleh para peneliti Australia menemukan bahwa lebih dari 46% perempuan Indonesia tidak bekerja setelah satu tahun dari kelahiran anak pertama mereka. Diperkirakan sekitar 8,5 juta perempuan Indonesia berusia 20-24 tahun keluar dari pekerjaan mereka setelah memiliki anak pertama.[3]

Sebagian kalangan mengatakan bahwa pembagian tugas ini telah ditetapkan dalam syariat secara mutlak. Oleh karena itu, tidak seharusnya seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik yang hanya menjadi kewajiban perempuan secara mutlak. Perempuan yang berkarir juga dianggap sebagai perempuan yang telah menyalahi kodrat dan ketetapan syariat. Pertanyaannya, apakah benar pembagian tugas ini telah ditetapkan syariat secara mutlak atau sekadar hasil dari pemahaman parsial dari syariat?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengungkap makna yang tepat dari teks keagamaan. Pertama, Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang berarti rahmat bagi seluruh makhluk di alam semesta tanpa memandang jenis kelamin. Tidak ada satu pun syariat Islam yang merugikan perempuan. Sebaliknya, Islam datang untuk mengangkat derajat perempuan yang sebelumnya dipandang hina. Jika ada suatu pernyataan yang merugikan satu pihak, maka dipastikan terjadi kekeliruan dalam menafsirkan teks keagamaan.[4]

Kedua, pengetahuan tentang latar belakang historis dari turunnya suatu dalil sangat penting agar tidak terjadi kekeliruan dalam melakukan penafsiran. Pengetahuan ini merupakan langkah untuk mengetahui pesan utama dari sebuah dalil sehingga dapat dikontekstualisasikan dengan problem masa kini.[5]

Ketiga, suatu ayat tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan penafsiran dari ayat lainnya. Hal ini dikarenakan setiap ayat dalam Al-Qur’an saling berkaitan satu sama lain. Adapun posisi hadis dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an menempati posisi kedua setelah penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya.[6]

Untuk menjawab pertanyaan mengenai peran laki-laki dan perempuan, mari kita terlebih dahulu merujuk kepada surah An-Nisa’ ayat 1 yang merupakan dalil kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada ayat ini dijelaskan bahwa umat manusia berasal dari nafs wahidah atau satu esensi, yakni sama-sama berasal dari bapak dan ibu yang sama. Dari keduanya lahirlah umat manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Keduanya sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, yakni bertakwa dan menjalin relasi yang baik satu sama lain.[7]

Pada surah At-Taubah ayat 71 dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan auliya’ atau penolong bagi satu sama. Relasi keduanya diibaratkan seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan dan ibarat tubuh yang akan merasakan sakit seluruh tubuh jika ada satu saja anggota tubuh yang terluka.[8]

Dalam konteks keluarga, relasi keduanya bukan hanya sekadar akad yang menghalalkan hubungan keduanya. Lebih dari itu, akad nikah disebut dengan mitsaqan ghalidza atau perjanjian agung dikarenakan akad yang dilakukan merupakan janji keduanya kepada Allah SWT untuk saling berbuat baik satu sama lain.[9] Relasi keduanya diibaratkan seperti pakaian bagi satu sama lain yang menghangatkan di musim dingin dan menyejukkan di musim panas. Maksudnya ialah hendaknya keduanya saling memberi kenyamanan dan ketenangan.[10]

Lalu bagaimana dengan redaksi ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa dalam surah an-Nisa’ ayat 34 yang seringkali dijadikan sebagai dalil tingginya kedudukan laki-laki dibandingkan kedudukan perempuan? Asbab an-nuzul dari surah an-Nisa’ ayat 34 berkenaan dengan seorang suami yang memukul istrinya hingga berbekas. Tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka turunlah ayat ini.[11] Jika seorang istri melakukan kesalahan, ia tidak boleh dipukul dengan pukulan yang menyebabkan luka fisik bahkan psikis. Pukulan yang dimaksud ialah tindakan suami yang membuat istri sadar akan kesalahan yang diperbuatnya yang tidak sampai melukai fisik dan psikisnya.[12]

Sedangkan lafadz qawwamuna pada ayat ini berasal dari kata qama yang berari berdiri. Kata qama dan derivasinya tersebar di banyak tempat dalam al quran. Meskipun memiliki banyak derivasi, makna intinya adalah berdiri mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang telah diperintahkan Allah SWT. Seperti kata aqama as sholah dalam surah al-Baqarah ayat 177 yang memiliki arti mendirikan, mengerjakan, menyempurnakan, mengerjakan sholat sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Adapun kata qawwamuna dalam surah an-nisa ayat 34 memiliki arti mengurus, merawat, memperbaiki, melindungi, menafkahi, mengingatkan kepada kebaikan, serta mencegah pada kemungkaran. Singkatnya, qawwamuna adalah sosok yang memberi kenyamanan secara fisik maupun psikis.[13]

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling bagus akhlaknya dan orang yang paling bagus akhlaknya ialah yang paling baik perilakunya terhadap perempuan yang ada di keluarganya.[14] Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Sayyidah Aisyah mengenai kegiatan yang dilakukan Nabi SAW ketika berada di rumah. Sayyidah Aisyah menjawab bahwa Nabi SAW membantu mengerjakan pekerjaan rumah.[15]

Status laki-laki yang menjadi qawwam bagi perempuan juga berlaku sebaliknya, perempuan juga dapat menjadi qawwam bagi laki-laki dengan merujuk kepada ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan kesalingan dan kesetaraan antara keduanya.

Tak hanya melulu berkutat pada ranah domestik, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk berkarir dan menggapai cita-citanya. Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah melarang istri-istrinya untuk bekerja. Sayyidah Khadijah merupakan seorang pengusaha sukses yang menggunakan hartanya untuk mendukung perjuangan Nabi SAW mendakwahkan Islam.[16] Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Ummu Salamah meriwayatkan hadis dari Nabi SAW dan mengajarkannya kepada murid-muridnya.[17]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam sejatinya membuka kesempatan bagi siapa pun untuk mengejar karir dan cita-citanya. Di saat yang bersamaan, Islam juga mengajarkan relasi kesalingan antara  keduanya, terutama dalam ranah domestik. Hidup berkeluarga dengan berlandaskan pemahaman tentang ajaran Islam yang baik dan benar akan menciptakan suasana kekeluargaan yang nyaman, penuh cinta, dan tentunya senantiasa dirahmati oleh Allah SWT.

 

[1] Raewyn Connell, Gender In World Perspective (Cambridge : Polity Press, 2009), hlm.3. Lihat juga Allan G. Johnson, The Gender Knot : Unvarelling Our Patriarchial Legacy (Philadelphia : Temple University Press, 2005), hlm. 40.

[2] Motherhood Penalty Affects Women’s Career, IBCW, diakses 29 Juli 2025, https://ibcwe.id/motherhood-penalty-affects-womens-careers/

[3] Lisa Cameron, Diana Contreras Suarez, Yi-Ping Tseng, Women’s Transitions in The Labour Market as a Result of Childbearing: The Challenges of Formal Sector Employment in Indonesia, Melbourne Institute Working Paper No. 06/23 (Melbourne : Melbourne Institute, 2023), hlm. 4

[4] Helmi Basri, Fiqih Muwazanah dan Moderasi Islam : Menyingkap Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perspektif Maqasid Syari’ah (Bogor : Guepedia, 2020), hlm. 61.

[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid 1 (Mesir : Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), hlm. 107-108. Lihat juga Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Maktabah al-Ma’arif li an-Nasyr a a-Tauzi’, 2000), hlm. 75.

[6] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Jilid 1 (Riyadh : Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), 7.

[7] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 9 (Beirut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 475-481.

[8] Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 4, hlm. 73.

[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,Vol. 2 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), 386-387. Lihat juga Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 4 (Mesir: Penerbit Mustafa al-Babi al-Halabi,1946), hlm. 216. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 4 (Damaskus : Dar al-Fikr, 1991), 304.

[10] A-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 2 (Kairo :Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 316-317. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah :Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 411.

[11] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Jilid 2 (Riyadh : Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), 256.

[12] Al-Syafi’i, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, Vol. 2 (Arab Saudi : Dar al-Tadmuriyyah, 2006), 600-601. Lihat juga Muhammad Asad, The Message of The Qur’an, (Inggris : The Book Foundation, 2003), 127.

[13] Muhammad al-Thahir bin Muhammad bin Muhammad al-Thahir al-Tunisi, Al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. 5 (Tunisia : Al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984), 37-38. Lihat juga Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, Jilid 1 hlm 505. Lihat juga Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhith fi a-Tafsir, Vol 3 (Beirut : Dar al-Fikr), 622.

[14] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Vol. 2 (Beirut : Dar al-Gharb al-Islami, 1996), 454.

[15] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 1 (Damaskus : Dar Ibn Katsir, 1993), hlm. 239

[16] Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, Vol. 1 (Kairo : Dar al-Hadits, 2006), hlm. 171.

[17] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Vol. 6 (Beirut : Dar al-Gharb al-Islami, 1996), 182.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses