Menalar Program ‘Makan Bergizi Gratis’ dari Perspektif Lingkungan

Memberi makan orang-orang miskin memang perbuatan terpuji yang diajarkan oleh semua agama, termasuk Islam. Tapi dalam pelaksanaan yang terpuji itu lantas harus sejalan dengan prinsip kehati-hatian (ihtiyath), keadilan (‘adl), dan tanggung jawab terhadap lingkungan (khalifah fil ardh) yang juga menjadi pilar filosofi dalam Islam. Keracunan makan bergizi gratis (MBG) adalah salah satu bentuk kelalaian pemimpin dalam tata kelola menjamin tiga pilar tersebut.

”Jadi bisa dikatakan yang keracunan, atau perutnya enggak enak itu sejumlah 200, dari 3 koma sekian juta, kalau tidak salah 0,005 (persen). Berarti keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) 99,99 persen,” tegas Presiden Prabowo Subianto seperti ditulis kompas.com di awal bulan Mei lalu.

Klaim Prabowo Subianto terkait keberhasilan program MBG dengan mengutip angka-angka statistik (kuantitatif) itu masih sangat perlu diperbedatkan secara metodologis. Sementara dari sisi kualitatif, hak anak atas kesehatan, klaim Prabowo Subianto yang mengecilkan anak korban program MBG, juga menjadi persoalan terkait dengan hak asasi manusia (HAM).

Islam mengajarkan untuk menjaga nyawa dan kesehatan manusia (hifzhun nafs). Al-Qur’an menyatakan, ”Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195). Anak-anak korban keracunan program MBG sangat penting untuk diperhatikan. Karenanya jumlah anak yang tidak keracunan menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur keberhasilan program MBG, adalah sebuah kesalahan berfikir.

Kasus keracunan bukan satu-satunya cermin kacaunya tata kelola program MBG. Kekacauan dari tata kelola program itu juga akan nampak bila kita melihatnya dari ’kacamata’ lingkungan hidup. Program MBG terkait erat dengan persoalan pangan. Untuk mengukurnya tentu harus menggunakan perspektif sistem pangan. Seperti diungkapkan Koalisi Sistem Pangan Lestari dalam buku sakunya terkait sistem pangan, yang menyatakan bahwa dalam perspektif sistem pangan, kita akan melihat bahwa persoalan pangan tidak berdiri sendiri.

Pangan mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh elemen-elemen lain dari sistem pangan. Kesehatan adalah salah satu elemen dari sistem pangan. Elemen lainnya dari sistem pangan adalah lingkungan hidup.  Lantas, bagaimana bila program MBG dilihat dan dinalar dengan kajian lingkungan hidup?

Untuk itu, kita perlu mengetahui darimana pasokan pangan program ini akan didapatkan. Seperti ditulis detik.com, Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono sejak dilantik sudah memastikan bahwa hasil panen food estate dipakai untuk program MBG. Proyek food estate adalah pertanian skala besar yang merusak biodiversitas alam. Di Merauke, Papua Selatan, konversi lahan gambut dan hutan primer untuk proyek ini jelas termasuk dalam  fasad (kerusakan) yang dilarang. Berpotensi melepas 782,45 juta ton CO₂, setara dengan 47,73 triliun rupiah kerugian karbon. Angka ini dua kali lipat dari emisi tahunan sektor energi Indonesia (386 juta ton CO₂ pada 2023), sekaligus mengancam target Net Zero 2050 dengan memperlambat pencapaian 5-10 tahun.

Deforestasi masif tidak hanya merusak habitat endemik Papua, tetapi juga memicu bencana ekologis berantai: kebakaran lahan gambut di musim kemarau, banjir bandang saat hujan, dan hilangnya keanekaragaman hayati yang menjadi penopang ekosistem. Padahal Islam dalam filosofinya mengajarkan bahwa semua makhluk adalah umat Allah yang berhak dilindungi (QS. Al-An’am: 38).

Dampak sosial-ekonomi dari integrasi MBG-food estate tidak kalah meresahkan. Marginalisasi kaum petani lokal terlihat dari alih fungsi 85.000 hektar lahan adat di Kalimantan Tengah untuk proyek serupa, yang justru menggeser pola pertanian subsisten berbasis kearifan lokal. Bukan hanya dari pasokan bahan pangannya, program MBG juga bisa dinilai dari seberapa besar sampah pangan yang dihasilkannya.

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) seperti ditulis tempo.co, mengungkapkan bahwa dengan asumsi setiap siswa menghasilkan sampah makanan sebesar 50-100 gram per hari, potensi timbulan dapat mencapai 2.400 ton/hari atau 624 ribu ton/tahun. Filosofi Islam sangat melarang israf (berlebihan) dan pemborosan. Allah SWT berfirman, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebihan” (QS. Al-A’raf: 31). Nabi SAW juga mengingatkan, “Sesungguhnya membuang sisa makanan adalah perbuatan setan” (HR. Muslim).

Timbunan sampah itu akan semakin meningkat seiring dengan munculnya kasus keracunan akibat MBG. Makanan beracun dari program MBG dapat dipastikan menambah potensi volume sampah dari program ini. Terkait dengan itulah, untuk melihat keberhasilan dari program MBG, tidak bisa tidak, harus menggunakan ukuran-ukuran yang jelas dalam sistem pangan.

Elemen-elemen dari sistem pangan, seperti kesehatan, sistem pertanian, sampah pangan, kebijakan ekonomi-politik dan lingkungan hidup harus menjadi elemen kunci pula untuk mengukur keberhasilan MBG. Dengan ukuran-ukuran yang berasal dari elemen-elemen sistem pangan itu kita bisa melihat persoalan MBG secara utuh bukan parsial. Dengan melihat persoalan MBG secara utuh itu, maka beberapa perbaikan program ini dapat diambil secara tepat sasaran.

Persoalan pangan adalah persoalan krusial bagi masyarakat. Program terkait pangan, termasuk MBG ini tidak bisa dilakukan secara serampangan. Untuk menghindarinya, monitoring dan evaluasi dari program ini harus menggunakan parameter yang tepat, seperti sistem pangan, bukan klaim-klaim keberhasilan sepihak tanpa dasar.

Membangun Sensitivitas Media dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual

Sebagai instrumen komunikasi yang mampu menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat, media massa mempunyai peran strategis yang teramat vital. Sepanjang ini, media sering kali dipandang sebagai sarana utama untuk memperoleh informasi dan mengikuti perkembangan fenomena di sekitar kita.

Sebagai saluran penyebar pesan, arus media mampu berakselerasi mengirimkan informasi secara efektif, cepat dan tanpa henti kepada beragam audiens. Dampaknya pun sangat besar, mempengaruhi pandangan, pola pikir, opini publik dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam upaya pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di masyarakat, media massa juga mempunyai posisi yang tak dapat dikesampingkan. Media mampu menjangkau publik secara menyeluruh, terlebih jika mereka mengedepankan perspektif gender yang seimbang. Ini penting supaya informasi atau berita yang disebarluaskan tidak terperangkap dalam bias atau keberpihakan yang tidak adil, yang justru dapat memarjinalkan kelompok rentan atau minoritas.

Dalam setiap pendistribusi informasi, media juga perlu memperhatikan cara penyajian informasi, terutama dalam berbagai kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh, sering kali pemberitaan kurang berpihak pada korban kekerasan seksual, bahkan tak jarang justru makin memperkeruh keadaan mereka.

Tidak sedikit berita yang mengambil sudut pandang yang merugikan kondisi korban, sehingga menambah beban emosional mereka, dan menciptakan luka traumatis yang semakin mendalam. Meskipun tidak semua media bersikap demikian, penting juga bagi mereka untuk menyadari akan dampak yang ditimbulkan dari cara mereka mempublikasikan informasi.

Harapan kita, tidak hanya mengutamakan objektifitas dan akurasi, media juga harus menyentuh aspek psikologi dan perasaan korban yang juga diperhatikan. Harus ada langkah untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi terhadap mereka, serta memberikan akses pemahaman yang lebih sensitif terhadap hak-hak mereka. Alhasil, pemberitaan dapat lebih berperan dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan peka terhadap isu kekerasan seksual seperti ini.

Misalnya, dalam salah satu publikasinya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan bahwa sejumlah media massa telah melanggar kode etik dalam memberitakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah seorang oknum guru terhadap muridnya di Gorontalo.

Dalam laporan tersebut, sejumlah media ini secara terang-terangan memuat nama korban, bahkan menyebutkan nama sekolah dan organisasi tempat korban berkegiatan. Tindakan ini jelas memperlihatkan minimnya sensitivitas media terhadap pentingnya perlindungan identitas korban yang semestinya diproteksi dengan sangat hati-hati.

Lebih buruk lagi, sejumlah media bahkan menyiarkan potongan rekaman video yang memperlihatkan peristiwa kejahatan tersebut. Kendati diburamkan, penayangannya tetap mengungkapkan ketidakpedulian media terhadap keadaan korban.

Keputusan untuk menyiarkan rekaman semacam itu justru akan menambah beban psikologis bagi korban yang sudah terperangkap dalam kondisi trauma yang mendalam. Pemberitaan seperti ini tidak hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi juga bertentangan dengan prinsip fundamental dalam perlindungan anak dan perempuan yang semestinya dijunjung tinggi oleh media.

Media massa seharusnya tidak terbuai pada hasrat untuk memperoleh popularitas dan viralitas semata ketika memberitakan kasus kekerasan seksual. Sebaliknya, media harus melaksanakan perannya sebagai penjaga etika, yang tidak hanya berperan untuk menyebarluaskan informasi, tetapi juga melindungi hak dan kondisi korban.

Media mempunyai imperatif moral dan tanggung jawab untuk merawat empati terhadap korban kekerasan seksual dan mengedukasi publik supaya lebih bijak serta peka dalam memahami isu-isu semacam  ini. Melalui cara demikian, media dapat berperan tidak hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mendukung terciptanya kesadaran kolektif dan proses pemulihan bagi korban.

Cara media massa mempublikasikan kasus kekerasan seksual mempunyai dampak yang signifikan terhadap bagaimana masyarakat memposisikan dan memahami risiko kekerasan seksual. Ketika media mengedepankan pemberitaan yang hiperbolis dan sensasional mengenai kasus kekerasan seksual, hal ini justru beresiko semakin mengakarnya pandangan negatif tentang kasus kekerasan seksual dalam masyarakat. Penyajian berita yang berlebihan dapat menciptakan ketakutan yang tidak proporsional, meskipun mungkin tidak menggambarkan kenyataan dengan akurat.

Ketidakseimbangan dalam pemberitaan, seperti sudut pandang yang berlebihan pada kasus tertentu atau tendensi pada elemen sensasional, seringkali dapat menyebabkan informasi yang tidak akurat. Pada gilirannya, hal ini dapat memantik ketidaknyamanan dalam masyarakat. Misalnya, pemberitaan yang menonjolkan detail-detail mengerikan atau memvisualisasikan kekerasan seksual, bisa membuat individu merasa cemas berlebihan akan kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekitar mereka.

Meskipun kewaspadaan terhadap potensi bahaya sangat penting, rasa takut yang berlebihan dan tak seimbang juga dapat menyebabkan depresi dan kecemasan yang tidak perlu. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya kedudukan media dalam mendesain pandangan masyarakat secara objektif dan bertanggung jawab.

Karena media massa mempunyai kekuatan besar dalam membentuk pandangan publik tentang risiko ancaman kekerasan seksual, mereka mesti menyadari dampak yang ditimbulkan baik positif maupun negatif dari cara mereka mempublikasikan isu tertentu. Maka dari itu, media perlu memastikan pemberitaannya adil, berimbang dan akurat, tanpa melebih-lebihkan, mendramatisir atau menyelewengkan fakta, agar dapat mendistribusikan pemahaman yang lebih komprehensif kepada masyarakat dan mencegah terjadinya ketakutan yang tidak mendasar.

Mengatasi Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan di Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan. Dalam lima tahun terakhir, kasus kekerasan seksual, kekerasan verbal, penganiayaan, pelecehan seksual, dan kekerasan yang berujung pada kematian terjadi di lembaga pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Belum lagi kasus yang terjadi di kendaraan umum seperti Busway, kereta api, bis, dan berbagai tempat umum lainnya. Kasus terakhir terjadi di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Data survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 77% responden dari kalangan dosen mengatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Sementara 60% dari angka tersebut tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual. Peristiwa kekerasan seksual ini melibatkan pelaku dari kalangan mahasiswa, mahasiswi, dosen, tenaga kependidikan, pimpinan dosen, dan lainnya, dan dapat terjadi dalam proses belajar-mengajar, pengabdian masyarakat, bimbingan, kuliah kerja nyata, dan magang (Kompas.id, 15 Maret 2023).

Pada tahun ini saja, kekerasan seksual terjadi di beberapa lembaga pendidikan, antara lain di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dilakukan oleh wakil dekan (Solopos, Juli 2024), Universitas Pancasila Jakarta (Kompas.id, 25 Februari 2024), dan di Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo. Dua kasus dari bawah terduga dilakukan oleh rektor kampus masing-masing. Di tempat lain seperti di SMAN 3 Mandau dilakukan oleh seorang guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (04/06/2024). Di Lampung, dilakukan oleh seorang guru ngaji terhadap santriwatinya (Kompas.id, 25 Mei 2024). Di Surabaya, pencabulan dilakukan oleh seorang guru ngaji terhadap santriwatinya (04/01/2024). Dan masih banyak lagi kasus yang juga terjadi di kalangan pondok pesantren.

Perlu diingat bahwa persentase angka 78% kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama. Pelakunya terdiri dari 55% guru/tenaga pendidik dan 22% kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren (Kementerian Agama RI, 11 April 2023). Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kasus KSBE yang diterima Komnas Perempuan mencapai 2.776 kasus, sementara ada 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan.

Darurat Kekerasan

Banyaknya kasus kekerasan seksual dan kekerasan yang berujung kematian seorang siswa/santri tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pesantren dan lembaga pendidikan. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga pendidikan berpotensi terus terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) dan otoritas terkait dituntut segera mungkin melakukan perbaikan tata kelola lembaga pendidikan.

Hari ini, Kemenag baru menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi terjadinya kembali kasus serupa. Di antaranya, langkah pertama yang akan dilakukan adalah melakukan investigasi. Kedua, Kemenag akan menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya. Ketiga, Kemenag akan memperbaiki prosedur pemberian izin operasional lembaga pendidikan agama dan keagamaan.

Tidak Sekadar Teknis

Dalam kaitan ini, kita tidak boleh keliru mempersiapkan solusi atas keberadaan lingkungan lembaga pendidikan agama. Sebagai ruang belajar anak didik, keberadaan lembaga pendidikan harus nyaman, aman, dan kondusif agar berbagai kegiatan proses pembelajaran dan interaksi sosial berjalan secara sinergis dan produktif.

Solusi terbaik dalam penanganan kekerasan seksual tidak sekadar memikirkan hal-hal yang bersifat teknis. Untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya kekerasan di lembaga pendidikan, dibutuhkan audit solusi secara fundamental. Kita perlu mengevaluasi perilaku, persepsi, kebijakan, dan juga kurikulum dalam memperlakukan fungsi pendidikan.

Selama ini, kita seringkali menganggap bahwa kurikulum dan aspek lain di dalam lembaga pendidikan tidak penting. Akibatnya, kita menghilangkan fungsi “belajar kesalingan,” persepsi, dan perlakuan kepada santri/mahasiswa sebagai objek pasif, serta hanya memperdulikan sikap mekanis-teknis. Maka tak heran, lembaga pendidikan sering kehilangan fungsinya sebagai sistem interaksi sosial yang hidup di tengah masyarakat, tidak bisa memberikan sumbangsih riil kepada masyarakat, dan seringkali mengejar peringkat dan slogan ambisius yang tidak perlu.

Anehnya, perilaku tersebut masih terus berlangsung. Lembaga-lembaga pendidikan ini berlomba-lomba mengejar peringkat internasional agar terindeks unggul dan menjadi lembaga pendidikan yang seolah-olah sudah berada di puncak world-class university. Mereka tiap hari mengampanyekan slogan-slogan fantastis meskipun misterius. Padahal, sumber daya manusia (SDM), infrastruktur lembaga, dan bahkan kelas belajar saja mereka tidak memilikinya. Jangan tanya soal atmosfer keilmuan.

Enam Aspek Penting

Untuk mengubah lembaga pendidikan menjadi lebih ramah dan nyaman sebagai tempat belajar, baik bagi santri/mahasiswa maupun masyarakat sebagai penopang kegiatan sosial yang lebih berkualitas, setidaknya ada beberapa aspek yang perlu kita pikirkan.

Pertama, transparansi oleh lembaga pendidikan. Dalam banyak kasus, kampus dan pesantren seringkali menutupi kasus yang terjadi. Akibatnya, banyak kasus tidak bisa diungkap dan dicarikan solusinya, sehingga mengental menjadi sikap kewajaran. Kekerasan seksual tidak boleh ditutup-tutupi; harus dibuka secara transparan dan terang benderang. Sekali lagi, penanganan kasus yang tidak transparan seringkali terjadi di kampus/pesantren demi hanya menjaga nama baik kampus/pesantren. Padahal, nama baik akan terjaga manakala kasus tersebut diselesaikan secara tuntas, bukan malah ditutup-tutupi.

Kedua, membuat desain kebijakan dan kurikulum yang tepat (fleksibel/tidak kaku), teknik dan penyajian materi yang sesuai zaman (efektif/humanis), model penilaian yang tepat dan terukur, serta didukung dengan fasilitas yang memadai. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak hanya dapat meningkatkan hasil belajar anak didik, tetapi juga dapat menjawab tantangan zaman dan menyantunkan praktik gaya hidup anak didik.

Rancangan kebijakan dan kurikulum harus menawarkan topik tentang bagaimana cara membangun karakter yang moderat, pengenalan kebangsaan, berlaku adil kepada sesama, menciptakan budaya kreatif, inovatif, mandiri, membangun persaudaraan umat, melestarikan kebudayaan Nusantara, dan bersikap santun kepada semua orang. Kurikulum seperti ini tidak hanya menyajikan produk ilmu atau ajaran keagamaan semata, tetapi juga mendorong bagaimana ilmu dan ajaran keagamaan itu diproduksikan menjadi karakter bangsa.

Ketiga, mengintegrasikan keilmuan interdisipliner seperti ilmu agama, teknologi, sastra, dan sains. Seorang anak sangat perlu pengenalan ilmu agama, teknologi, sastra, dan sains agar dapat belajar agama dengan benar dan tidak menjadi radikal-ekstrem. Begitu juga dengan materi umum, harus didekati dengan pendekatan agama supaya tidak sekuler.

Implementasi dari model interdisipliner ini membuat peserta didik dapat berkarakter baik, moderat, menjadi generasi hebat, bermartabat, dan berkualitas. Model ini juga menunjukkan bahwa tidak ada dikotomi dalam pembelajaran lembaga pendidikan seperti di kampus, pesantren, dan madrasah.

Keempat, menciptakan budaya mutu lembaga pendidikan yang tertib, disiplin, dan baik sebagai norma dan dogma utama dalam pembelajaran. Untuk menciptakan budaya ini, wajib kiranya berangkat dari dan menanamkan budaya jujur (شِدْقُ), budaya saling percaya (أَمَانَة), budaya komunikasi (تَبْلِيغ), dan budaya kecerdasan (فَطَانَة). Paling tidak, poros lembaga pendidikan kita bisa menjadikan anak didik mengetahui jati dirinya sebagai manusia, yang merdeka dan memerdekakan, tidak korupsi dan manipulatif, serta memanusiakan manusia.

Kelima, menginternalisasikan nilai moderasi dalam pendidikan. Kita tahu, lembaga pendidikan memiliki fungsi sebagai pintu masuk penyebaran ideologi tertentu sekaligus merupakan pintu keluar untuk mencari solusi hidup. Supaya lembaga pendidikan berjalan dalam praktik moderat, kita perlu mentransformasikan nilai moderasi mulai dari kurikulum, program ekstra-intra, literatur, dan bagaimana anak didik dilibatkan dalam arena ini untuk menghasilkan tujuan hidup-maksud (مَقَاصِد الشَّارِعَة) yang lebih maslahah bagi semua.

Keenam, memberikan ruang kepada SDM profesional yang berintegritas. SDM berkualitas tidak cukup hanya pintar. Banyak orang pintar, tetapi seringkali suka menipu dan korupsi. Oleh sebab itu, kita memerlukan SDM (guru-guru, dosen, tenaga kependidikan) yang berintegritas, terampil-moderat, dan memiliki pemahaman keilmuan-keagamaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Melalui SDM profesional berintegritas, kita bisa melihat signifikansinya, masa depan, lapangan kerja, potensi, serta tantangan dunianya di masa depan.

Pengaman Sosial

Menjadi ironis jika lembaga pendidikan tidak menjadikan murid/siswa peka terhadap masalah pribadi, lingkungan, keagamaan, membangun pikiran, imajinasi, dan akal budi mereka, atau tidak menjadikan mereka lebih sejahtera secara keilmuan dan kehidupan. Apalagi jika ditambah dengan persoalan kekerasan. Bila demikian terus terjadi, sungguh kita wajib mengakui bahwa pendidikan selama ini tidaklah mencerdaskan dalam arti yang sesungguhnya. Karena itu pula, pendidikan jangan sampai memutilasi keharmonisan sosial yang berpuncak pada matinya rasa kemanusiaan.

Tawaran enam aspek penting di atas menuntut kita untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan harus steril dari kekerasan dan tetap menjadi sumber kekuatan manusia yang tertinggi hari ini. Utamanya, lembaga pendidikan juga harus mendukung terwujudnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan fungsi yang nyata.

Lembaga pendidikan harus melintas batas antara tantangan, agensi, prospek, dan potensi manusia Indonesia. Pendidikan harus menjadi pengaman sosial dari semburan kekerasan seksual, fanatisme politik dan agama, serta menjadi pusaka sebagai penerang masa depan manusia, negara, dan bangsa yang bermartabat, adil, dan memanusiakan manusia.

Perempuan dan Perlawanan dalam Sunyi

Sebagian besar penjual di pasar terapung Lok Baintan (salah satu destinasi wisata di Kalimantan Selatan) adalah perempuan. Rasanya sulit menjumpai laki-laki berdagang di atas jukung (sampan kecil). Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan di Lok Baintan setara dengan laki-laki, terutama di ranah pekerjaan.

Menariknya, pemandangan seperti itu tak dijumpai di pasar terapung Kuin. Di sini laki-laki bisa dijumpai dengan cukup mudah. Fenomena ini bukan berarti berbeda dan berbanding terbalik dengan fenomena di atas. Sebaliknya, konstruksi sosial di sebuah wilayah turut mempengaruhi bagaimana relasi perempuan-laki-laki, termasuk di Kalimantan Selatan. Lok Baintan dan Kuin mungkin masih satu wilayah, namun memiliki konstruksi dan relasi berbeda.

Akses perempuan ke ruang publik, termasuk sebagai pencari nafkah keluarga, di masyarakat Banjar terbilang cukup luas. Perempuan bisa dengan mudah terlibat dalam urusan ekonomi keluarga. Namun, di beberapa sisi kehidupan, perempuan Banjar masih berkelindan dengan narasi, imaji, hingga tradisi berlatar patriarkis.

Sejarah perempuan Banjar di ruang publik sangatlah kompleks. Sejarah, konstruksi sosial, memori masyarakat, kondisi sosio-politik, hingga ajaran agama turut memengaruhinya. Kehadiran perempuan di ruang publik, bagi masyarakat Banjar, terus berubah-ubah dan dinamis. Perempuan tidak selalu memiliki ruang bebas dan leluasa untuk beraktifitas.

Konstruksi masyarakat Banjar atas perempuan sangatlah kompleks, terlebih hari ini. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

***

Arlene E. MacLeod pernah menulis buku berjudul Accommodating Protest: Working Women, the New Veiling, and Change in Cairo. Dalam buku tersebut, Arlene mengeksplorasi fenomena membingungkan dari praktik cadar di kalangan perempuan kelas menengah ke bawah di Kairo. Apa yang dia temukan?

Arlene melihat para perempuan bercadar tersebut berkelindan pada dua sisi identitas yang berbeda, namun dijalankan bersamaan. Di satu sisi, para perempuan bercadar tersebut adalah bagian dari kelas menengah yang modern, namun di sisi lain mereka juga secara sukarela mengadopsi simbol tradisional subordinasi perempuan.

Dari fenomena tersebut, Arlene menjelaskan fenomena tersebut adalah perilaku reaksioner sebagai gaya baru dalam perjuangan politik, yang dia sebut sebagai protes yang akomodatif. Sebagian besar perempuan bercadar tersebut adalah pekerja administrasi di birokrasi pemerintahan yang besar. Di mana mereka merasa ambivalen dengan bekerja di luar rumah, karena menganggapnya sebagai perubahan yang membawa beban baru dan juga manfaat penting.

Pada saat yang sama mereka menyadari bahwa meninggalkan rumah dan keluarga menciptakan situasi yang tidak dapat ditoleransi yaitu erosi status sosial dan hilangnya identitas tradisional mereka. Cadar, menurut Arlene, telah menjadi simbolisme baru dari dilema subkultural yang menegangkan ini, yang melibatkan elemen-elemen perlawanan dan persetujuan.

Kehidupan kita, dalam hal ini para perempuan, tidaklah statis. Cadar di kalangan perempuan Mesir adalah contoh bagus untuk kita tidak lagi beranggapan bahwa kehidupan kita hari ini tidak sekedar pilihan atau oposisi biner.

***

Aktifitas perempuan di ruang publik dengan beragam kebebasan dan keleluasaannya pun bukan berarti dalam posisi egaliter. Buku berjudul “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?” karya Katrina Marçal, bisa membantu kita memahami bagaimana keterlibatan perempuan dalam beragam peran di ruang publik tidak selalu berkonotasi egaliter.

Dalam buku tersebut, Marçal menggambarkan bahwa feminisme juga melatari apa yang mungkin merupakan pergeseran ekonomi terbesar abad lalu. Di mana kehadiran perempuan sebagai pekerja telah menghadirkan pergeseran ekonomi dan sosial raksasa, di mana separuh populasi manusia mengalihkan sebagian kerjanya dari rumah ke pasar. Pada saat yang sama, kehidupan keluarga berubah.

Ilmu ekonomi yang dibangun oleh Adam Smith yang populer dengan sebutan kapitalisme, telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Ada sebuah ilustrasi yang digunakan Marçal atas kehidupan perempuan, di mana perempuan karier dengan bayi menangis, dia menunggu hingga usia empat puluh tahun untuk melahirkan, dan kini tidak memiliki waktu untuk mengasuhnya. Sosok perempuan ini disebut egois, tidak bertanggung jawab, dan bukan perempuan baik-baik.

Sebaliknya, ibu muda kelas pekerja duduk di rusun bantuan pemerintah, hidup dari tunjangan sosial dan tanpa laki-laki menopang hidupnya. Dia juga disebut egois, tidak bertanggung jawab, dan bukan perempuan baik-baik. Begitu paradoxnya kehidupan perempuan modern hari ini.

Dinamika kehidupan perempuan Banjar yang hadir di ruang publik dalam bingkai pekerjaan tidak berarti intimidasi dan penindasan atas perempuan musnah. Selain itu, eksistensi perempuan sebagai pekerja sebenarnya bisa saja menjadi jalan keluar dari beragam masalah jika dibarengi dengan kesetaraan dalam ekonomi, bukan hanya keterbukaan peluang belaka.

Beragam tradisi, narasi agama, hingga tuntutan ekonomi berkelindan dan membentuk bagaimana perempuan hari ini, termasuk di masyarakat Banjar. Perempuan Banjar muslim yang berjualan di pasar terapung atau pekerja penuh di perusahaan swasta di kota memiliki irisan yang serupa dalam pembentukan kehidupan mereka. Mereka pun memiliki suara perlawanan masing-masing atas penindasan dan intimidasi yang mereka hadapi. 

Kemanusiaan

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin Cirebon

 

ISRAEL mulai dikucilkan dan ditinggalkan banyak negara, termasuk sekutu-sekutunya yang dulu. Pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Palestina di Gaza mengundang simpati dunia. Sejak diproklamirkan pada 15 November 1988, negara yang mengakui Palestina sudah 145 dari 193 negara anggota PBB. Yang baru-baru ini mengakui adalah Spanyol, Irlandia, Nowegia, dan Slovenia. Negara-negara lain seperti Prancis dan Jerman akan menyusul secepatnya. Palestina sendiri belum diakui sebagai anggota PBB karena status keanggotaannya selalu diveto Amerika.

Sekarang ini dukungan terhadap Palestina justru banyak bermunculan bukan dari negara-negara Islam. Ironisnya, hal ini terjadi di saat negara-negara Islam, terutama negara-negara Arab tengah menjalin normalisasi dengan Israel, sehingga banyak yang memilih aman dan tak memiliki nyali berhadapan dengan Israel. Negara-negara sekuler seperti Bolivia, Kolombia, Cile malah memutus hubungan diplomatik dengan  Israel, menyeret negara tersebut ke pengadilan internasional (ICC) atas gnosida yang sekarang tengah berlangsung di Gaza.

Gelombang protes yang biasanya hanya marak terjadi di negara-negara muslim dengan membawa bendera dan isu agama, sekarang ini muncul dan bergerak dari kampus-kampus besar dan ternama di Amerika dan Eropa. Mereka membawa pesan dan keperihatinan yang sama, yaitu krisis dan bencana kemanusiaan. Tidak ada lagi isu islam garis keras, terorisme, atau pun ekstrimisme.

Yang terjadi di Gaza bukanlah perang seperti Rusia-Ukraina, tapi sebuah pembantaian masal terhadap bangsa/etnis tertentu oleh sebuah negara yang disokong dana dan persenjataan oleh negara-negara Barat. sekarang ini korban tewas sudah mencapai 33.037 orang dan korban luka-luka 75.668 orang. Israel telah menjatuhkan 70.000 bom di Jalur Gaza, melampaui jumlah bom yang dijatuhkan pada Perang Dunia II.

Jika perang Rusia-Ukraina negara Barat (NATO) membackup habis-habisan Ukraina dengan dana dan persenjataan, perang Israel-Palestina malah sebaliknya. Banyak negara Barat, terutama Amerika, menutup mata atas kekejaman dan kejahatan perang Israel. Ketika Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengajukan surat penangkapan terhadap Netanyahu, negara-negara sekutu Israel menolak dan bahkan mengecam.

Namun, dunia tidak buta dan tuli atas penderitaan rakyat Palestina. Keadilan sedang berangsur-angsur mendekati Palestina. Takdir Tuhan bekerja melalui caranya sendiri, di luar nalar manusia.[]

 

Hakikat Puasa

Bicara tentang puasa memang tidak ada penjelasan memuaskan dari siapa pun, terutama tentang hakikat dan hikmahnya. Sedangkan manfaatnya bagi tubuh, bahwa ia sebagai obat dan pintu siasat dalam pengelolaan tubuh, para dokter telah menyelesaikan penelitian tentangnya; seolah-olah hari-hari di bulan yang penuh berkah ini tidak lebih dari tiga puluh pil yang diminum setahun sekali untuk menguatkan lambung, mencuci darah, dan melindungi jaringan tubuh.

Islam memberikan banyak inspirasi dan menyediakan aturan-aturan hukum untuk kebijakan realitas di bumi yang kecil, yang mengupayakan kelanjutan gagasan manusia di dalamnya, agar jiwa tidak berubah-ubah seiring dengan perubahan dan pergantian peristiwa yang berlangsung terus-menerus.

Di antaranya kemukjizatan al-Qur`an adalah ia menyimpan di dalam setiap lafazhnya kebenaran-kebenaran yang tidak diketahui setiap zaman, dan kemudian mengungkapkannya pada saatnya di mana ilmu pengetahuan penuh dengan labirin dan kebingungan. Al-Qur`an menantang sejarah dan masyarakat yang memandang rendah agama dengan menunjukkan fakta-fakta empiris.

Kalau kita merenungkan hikmah puasa dalam Islam, kita akan melihat bulan Ramadhan sebagai sistem praktis yang paling kuat dan inovatif. Sebab puasa merupakan “kemiskinan” yang dipaksakan oleh syariat kepada manusia agar mereka setara secara internal (batin), baik mereka yang memiliki uang triliunan, mereka yang hanya memiliki satu rupiah, atau mereka yang tidak memiliki apa-apa. Sama seperti semua orang setara dalam hilangnya kesombongan kemanusiaan melalui shalat yang diwajibkan Islam bagi setiap Muslim, atau hilangnya ketimpangan sosial dalam ibadah haji yang diwajibkan bagi mereka yang mampu.

“Kemiskinan” yang dipaksakan, dengan praktik yang jelas, dimaksudkan untuk membuat jiwa manusia merasa bahwa kehidupan yang benar itu berada di luar kehidupan dan bukan di dalamnya, dan hanya dapat dicapai sepenuhnya ketika orang-orang setara dalam rasa, bukan saat mereka berbeda, dan ketika mereka bersimpati dengan satu rasa sakit, bukan saat mereka bertengkar dengan perasaan yang berbeda-beda.

Kita dapat melihat bahwa manusia tidak berbeda dalam hal kemanusiaan karena akal, garis keturunan, pangkat, atau apa yang mereka miliki. Sebaliknya, mereka berbeda karena perut yang kemudian mempengaruhi akal dan emosi; jika perut dan otak berbeda kebutuhannya, maka perut akan mensuplai pasokan tenaga pencernaannya sehingga tidak ada yang tersisa.

Oleh karena itu, puasa mengatasinya dengan halus, disiplin, dan pelatihan, serta menjadikan manusia setara di dalamnya: mereka semua hanya mempunyai satu perasaan, satu indera, dan satu sifat. Puasa menghalangi materi untuk masuk ke dalam perut, menahan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh, mencegahnya menerima makanan dan kenikmatan bahkan dari kepulan asap.

Dengan demikian, puasa menempatkan seluruh umat manusia dalam keadaan psikologis tunggal yang menyelimuti jiwa. Puasa mengeluarkan suara ruh yang mengajarkan belas kasih dan menyerukannya. Rasa lapar dan dahaga dalam puasa memunculkan gagasan kesetaraan antara si kaya dan si miskin. Dari gagasan ini, “kesetaraan”, hidup menjadi damai karena rukunnya jiwa-jiwa yang dipertemukan dalam satu rasa yang sama.

Salah satu aturan jiwa adalah rahmat muncul dari rasa sakit, dan ini adalah salah satu rahasia besar puasa. Puasa melakukan tindakan keras dan menaruh perhatian besar dalam menjauhkan makanan dari perut dan sekitarnya untuk jangka waktu tertentu hingga energi habis. Inilah cara praktis untuk membangkitkan rasa welas asih di dalam jiwa.

Dan ketika welas asih dari orang lapar yang kaya kepada orang lapar yang miskin tercapai, kata-kata batiniah manusia akan memiliki otoritas yang efektif di mana dorongan psikologis akan menguasai materi. Orang kaya mendengar dalam hati nuraninya suara orang miskin yang berkata: “Berilah padaku.” Orang kaya tidak mendengar kalimat ini sebagai permintaan harapan, melainkan permintaan perintah yang harus dipenuhi dan ditanggapi maknanya. Sama seperti orang yang menderita menghibur seseorang yang mengalami penderitaan yang sama dengannya.

Kemukjizatan reformasi apakah yang lebih ajaib dari mukjizat puasa, yang seolah-olah telah menetapkan bahwa sejarah perut dihilangkan dari seluruh umat manusia selama tiga puluh hari setiap tahunnya, untuk digantikan dengan sejarah jiwa? Terdapat perbandingan matematis yang menjadi hikmah dalam berpuasa sebulan penuh dari setiap dua belas bulan, dan perbandingan itu terlihat dalam pengaruh jiwa terhadap raga, dan pengaruh raga terhadap jiwa. Seolah-olah ini adalah bulan kesehatan yang ditetapkan oleh pengobatan setiap tahun untuk istirahat, penyembuhan, dan perubahan hidup, untuk mewujudkan pemulihan saraf dalam tubuh.[]

Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas

Rumah KitaB diwakili Achmat Hilmi memenuhi undangan Rumah Alifa, dalam kegiatan “Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas” pada hari Minggu, 4 Februari 2024, berlokasi di Pondok Pesantren Al-Istiqamah Bandung.

Rumah Alifa merupakan organisasi yang secara khusus memiliki perhatian khusus terhadap kelompok berkebutuhan khusus di wilayah Bandung Jawa Barat. Organisasi ini dipimpin oleh Ustadzah Hj. Emma Siti Maryamah Imron, salah seorang ulama perempuan muda yang punya perhatian mendalam pada kelompok berkebutuhan khusus di wilayah Bandung. Saat ini Rumah Alifa telah mengelola keanggotaan lebih dari 200 orang, terdiri dari kelompok berkebutuhan khusus dan para pendampingnya.

Kegiatan ini mendiskusikan problem dan tantangan bagi kelompok berkebutuhan khusus dan para pendampingnya dalam berhadapan dengan praktik hukum (ritual keagamaan) di masyarakat yang belum berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus.

Kegiatan ini merupakan salah satu upaya bersama Rumah Alifa dan Rumah KitaB dalam penguatan kelompok berkebutuhan khusus, termasuk bagi para pendamping, di mana keduanya dituntut beradaptasi dengan ritual dan praktik keagamaan yang belum berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus. Problem utamanya, karena pembelajaran fikih masih berorientasi pada rumus hukum normalitas, meskipun dalam fikih klasik sebetulnya juga memiliki kekhasan tersendiri terkait fikih disabilitas, tetapi masih belum menempatkan mereka sebagai subjek hukum, hanya sebatas objek hukum yang perlu dibantu.

Kegiatan ini melibatkan 60 persen dari jumlah anggota aktif Rumah Alifa yang saat ini telah mencapai 200 anggota, mereka berdomisili di Kecamatan Pacet Bandung. Mereka yang hadir terdiri dari para pendamping dan pihak yang berkebutuhan khusus rata-rata berusia antara 2 – 10 tahun. Para peserta Rumah Alifa lainnya tidak hadir karena keterbatasan aksesibilitas mereka, mengingat sebagian mereka mengalami lumpuh otak sebagian, stroke ringan hingga stroke berat.

Kegiatan tersebut dimulai pukul 08.30 WIB, dan berakhir pukul 11.15 WIB. Para peserta sangat antusias menghadiri kegiatan tersebut. Penerimaan peserta terhadap kehadiran Rumah KitaB sangat positif. Kegiatan tersebut sangat berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus. Selama ini fikih (hukum Islam) secara praktis di masyarakat masih belum berpihak pada kelompok berkebutuhan khusus.[]

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (2/8)

Menguatnya Pengkafiran dan Ekstremisme di Masa Kekhilafahan Ali ibn Abi Thalib

Beberapa cendekiawan dan sejarawan percaya bahwa kemunculan kelompok Khawarij dimulai dengan pemberontakan terhadap Utsman ibn Affan dalam rangkaian peristiwa yang disebut dengan al-Fitnah al-Ula (Kekacauan Pertama) yang berujung pada pembunuhannya. Ibn Katsir menyebut orang-orang yang memberontak terhadap Utsman ibn Affan sebagai golongan Khawarij. Ia berkata, “Orang-orang Khawarij datang dan merampok Baitul Mal yang di dalamnya terdapat banyak harta.”[1]

Sementara, mayoritas ahli fikih sepakat bahwa kemunculan kelompok Khawarij dimulai dengan pemberontakan terhadap Ali ibn Abi Thalib setelah terjadi persoalan tahkîm atau arbitrase antara dirinya dan Muawiyah ibn Abi Sufyan semasa Perang Shiffin pada tahun 37 H. Saat itu posisi ideologis dan pandangan keagamaan kelompok Khawarij mulai menguat, dan semakin menguat dengan munculnya kelompok Muhakkimah dan kemudian gerakan Azariqah, sehingga sejarawan Mesir Ahmad Amin mensinyalir bahwa penyematan nama Khawarij kepada mereka dikarenakan mereka memberontak kepada Ali ibn Abi Thalib.

Para ahli fikih juga menggambarkan bahwa kelompok Khawarij dari kalangan Qurra’ (penghafal al-Qur`an) menuntut Ali ibn Abi Thalib untuk menerima arbitrase dengan al-Qur`an, setelah para pendukung Muawiyah mengangkat al-Qur`an di ujung tombak saat mereka kalah perang. Dalam tuntutannya para Qurra` itu berkata, “Hai Ali, kabulkan [permintaan] kaum itu [dengan berpijak] kepada Kitabullah (al-Qur`an) bila kau diminta. Kalau tidak, kami akan membunuhmu sebagaimana kami telah membunuh [Utsman] Ibn Affan. Demi Allah, kami benar-benar akan melakukannya bila engkau tidak mengabulkannya.”[2]

Para Qurra` itu meyakini bahwa agama merintahkan arbitrase dengan dalih Q.S. Ali Imran: 3, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian dari al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi [kebenaran].” Ali ibn Abi Thalib pun mengabulkan tuntutan mereka, dan karenanya mereka tidak seharusnya memberontak kepada Ali. Di sini terbukti kebenaran ucapan Nabi bahwa kelompok Khawarij membaca al-Qur`an tetapi tidak melebihi tenggorokan mereka, padahal mereka dikenal sebagai sebagai orang-orang yang taat beribadah.

Orang-orang Khawarij memaksa Ali untuk menerima arbitrase. Mereka lalu memintanya memilih Abu Musa al-Asy’ari untuk mewakilinya, padahal Ali sendiri lebih menghendaki Abdullah ibn Abbas. Mereka bilang, “Ia (Ibn Abbas) adalah bagian darimu (keluargamu).” Mereka juga menolak Ali memilih al-Asytar. Mereka menuntut Ali untuk memilih sosok sahabat yang tidak memihak kepada Ali atau Muawiyah. Arbitrase itu menghasilkan kesepakatan yang mengandung kerelaan dari kedua belah pihak untuk kembali kepada al-Qur`an sebagai penengah, dan juga kepada sunnah Nabi, dan bahwa siapapun yang melanggar kesepakan tersebut akan dikenakan sanksi, dan bahwa selanjutnya akan dilakukan perundingan dan keputusan dari perundingan itu akan dibacakan pada bulan Ramadhan.[3]

Kesepakatan tersebut menjadi titik awal munculnya pemberontakan terhadap Ali ibn Abi Thalib. Ketika al-Asy’ats mengumumkannya, banyak orang yang menentangnya. Orang pertama yang memberontak adalah Urwah ibn Adiyah yang terkenal dengan ucapannya yang mengiringi rangkaian peristiwa ekstrimisme dan terorisme hingga saat ini, “Apakah kalian memberlakukan hukum manusia dalam perkara Allah? Tidak ada hukum selain Allah.”[4]

Setelah mereka memaksa Ali untuk menerima arbitrase dan menandatangani kesepakatan, mereka lalu memaksanya membatalkan kesepakatan tersebut dan memintanya untuk bertaubat, “Bertaubatlah atas kesalahanmu, tinggalkan kesepakatan itu, dan pergilah bersama kami untuk memerangi musuh-musuh kita sampai kita bertemu dengan Tuhan kita.” Ali berkata, “Aku ingin kalian tunduk pada kesepakatan itu, tetapi kalian malah menentangku. Kita telah membuat kesepakatan antara kita (Ali dan kelompoknya) dan mereka (Muawiyah dan kelompoknya) dengan syarat-syaratnya. Kita terikat perjanjian dengan mereka. Allah berfirman, ‘Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji,’ [Q.S. al-Nahl: 91].” Mereka memutuskan untuk untuk memberontak kepada Ali dan menuduhnya kafir. Mereka lalu pergi ke Kufah dan membaiat (sumpah setia) Abdullah ibn Wahb al-Rasibi sebagai pimpinan mereka. Di dalam pidatonya, setelah dibaiat, Abdullah ibn Wahb al-Rasibi menjelaskan mengenai dasar-dasar pemikiran ekstrimisme, pengkafiran ​​masyarakat yang tak sepaham, perlunya hijrah dan pembentukan masyarakat alternatif.[5]

Berbagai pidato yang disampaikan para pemimpin Khawarij seakan memberikan petunjuk jalan bagi pengkafiran dan perang terhadap masyarakat Muslim khususnya dan masyarakat secara keseluruhan. Harkus ibn Zuhair al-Sa’di berkata di dalam pidatonya, “Kesenangan dunia ini sangat sedikit, dan pemisahan dengannya sangat dekat. Jangan biarkan perhiasan atau kesenangannya menguasai kalian, jangan sampai membuat kalian berpaling dari penegakan kebenaran dan pengingkaran terhadap ketidakadilan, ‘Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan,’ [Q.S. al-Nahl: 128].” Zaid ibn Hashn al-Tha’i memerintahkan kaum Khawarij untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad dengan landasan ayat-ayat al-Qur`an, “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” [Q.S. al-Ma’idah: 44] dan “Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik,” [Q.S. Al-Ma’idah: 47].[6]

Mereka menyerang para pendukung Ali karena dianggap mengikuti hawa hafsu dan mengabaikan hukum al-Qur`an. Menurut mereka, jihad yang mereka lakukan adalah hak bagi orang-orang mukmin. Mereka pun mengajak dan memprovokasi umat Muslim yang lain untuk memerangi Ali dan para pendukungnya. Abdullah ibn Sakhbarah, salah seorang pembesar dari mereka berkata dengan lantang, “Tikamlah wajah dan kening mereka dengan pedang sampai Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ditaati. Jika kalian berhasil (menang), maka taatilah Allah sebagaimana yang kalian kehendaki, niscaya Dia akan memberikan kalian pahala orang-orang yang taat dan menjalankan perintah-Nya. Jika kalian gagal (kalah), maka tidak ada yang lebih utama daripada ridha Allah dan surga-Nya.”[7]

 

Pembunuhan Abdullah ibn Khabbab

Kisah pembunuhan Abdullah ibn Khabbab oleh orang-orang Khawarij menjadi contoh sangat jelas dari tindakan terorisme dan ekstremisme yang tidak diterima oleh agama. Abdullah ibn Khabbab, yang berjalan di suatu daerah di dekat Nahrawan bersama istrinya yang sedang hamil, beberapa perempuan dan beberapa budak, bertemu dengan sekelompok orang Khawarij yang saat itu menduduki wilayah Nahrawan. Saat itu Abdullah ibn Khabbab memegang al-Qur`an di atas dadanya. Mereka menghardiknya dan menangkapnya dalam sebuah adegan yang tidak jauh beda dengan apa yang dipraktikkan oleh ISIS dan kelompok-kelompok teroris lain saat ini. Di dalam kitab “al-Kâmil fî al-Târîkh” Ibn al-Atsir menceritakan insiden kriminal yang tidak manusiawi ini.

Ketika rombongan Khawarij datang dari Basrah hingga mendekati Nahrawan, sebagian dari mereka melihat seorang laki-laki menuntun keledai yang membawa seorang perempuan. Mereka menghentikan laki-laki itu dan bertanya, “Siapa engkau?” “Aku Abdullah ibn Khabbab sahabat Rasulullah,” jawab laki-laki itu. Mereka bertanya lagi, “Apa kami membuatmu takut?” Ia menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Tidak usah takut, ceritakan hadits dari ayahmu yang engkau dengar dari Rasulullah yang dapat bermanfaat bagi kami!” Abdullah berkata, “Ayahku menceritakan padaku, bahwa Rasulullah bersabda, ‘Akan terjadi suatu fitnah di mana hati seseorang sudah mati sebagaimana matinya tubuhnya. Sore hari ia seorang mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Pagi hari ia kafir, lalu sorenya ia mukmin.”[8]

Rombongan Khawarij itu lalu bertanya, “Dengan hadits ini aku ingin bertanya kepadamu, apa pendapatmu tentang Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar ibn al-Khatthab?” Abdullah ibn Khabbab memuji keduanya. Mereka bertanya lagi, “Apa pendapatmu tentang masa kekhalifahan Utsman di masa awal dan akhirnya?” “Masa kekhalifahan Utsman adalah haqq (kebenaran) dari awal sampai akhir,” jawab Abdullah. “Bagaimana dengan masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib sebelum tahkîm (arbitrase) dan setelahnya?” Tanpa ragu Abdullah menjawab, “Ali lebih mengenal Allah daripada kalian, lebih menjaga agama-Nya, dan lebih tajam pandangannya.” Mendengar jawaban Abdullah ibn Khabbab, pemuka Khawarij sangat marah dan dengan sangat dingin berkata, “Engkau mengikuti hawa nafsumu. Mengikuti pemimpin hanya berdasarkan kebesaran namanya, bukan perbuatannya. Demi Allah kami akan membunuhmu dengan cara yang tidak pernah kami lakukan kepada siapapun!” Mereka lalu mengikat kedua tangannya, begitu juga istrinya yang sedang hamil tua.[9]

Seorang dari mereka menemukan satu biji kurma yang telah jatuh ke tanah dari pohonnya, ia kemudian memungut kurma itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka sebagian dari mereka berkata kepadanya, “Itu adalah kurma milik orang kafir mu’âhad (warga kafir yang mendapat jaminan keamanan dari umat Muslim), maka dengan apa kamu menghalalkannya untuk memakannya?” Maka orang tersebut segera memuntahkan kurma itu dari mulutnya. Kemudian seorang dari mereka melihat seekor babi lewat di hadapannya, ia pun menghalaunya dengan pedangnya, maka sebagian dari mereka berkata kepadanya, “Itu adalah babi milik kafir mu’âhad, dengan apa kamu menghalalkannya untuk membunuhnya?”[10]

Melihat perbuatan mereka itu, Abdullah ibn Khabbab berkata, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu keharaman yang lebih besar dari apa yang kalian hindari itu?” Mereka menjawab, “Ya, tunjukkan apa itu.” Abdullah berkata, “Aku lebih haram untuk kalian ganggu dari semua itu.” Mendengar jawaban Abdullah ibn Khabbab, mereka langsung mendorongnya ke arah sungai dan menebas lehernya, mayatnya mereka lemparkan ke sungai dan dibawa arus sampai hilang. Mereka juga membunuh istrinya yang hamil tua, membelah perutnya, mengeluarkan janinnya dan mencincangnya. Setelah itu mereka membunuh beberapa perempuan dan budak yang menyertai Abdullah ibn Khabbab.[11]

Peristiwa ini terjadi pada tahun 37 Hijriah. Atas peristiwa tak manusiawi yang dilakukan kelompok Khawarij ini, Ali ibn Abi Thalib mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka di Nahrawan. Mereka berhasil dihancurkan, dan tidak ada yang selamat kecuali sebagian kecil yang berhasil melarikan diri.

_____________________

[1]          Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Juz 7), Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1990, hal. 202

[2]          Al-Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr (Juz 42), Lebanon: Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, tt., hal. 176

[3]          Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk (Juz 2), Mesir: Dar al-Ma’arif, 1967, hal. 670

[4]          Abdul Wahab al-Najjar, al-Khulafâ` al-Râsyidûn, Beirut: Dar al-Qalam, Cet. 4, 1993, hal. 442

[5]          Ibn Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987, hal. 188

[6]          Ibid., hal. 213

[7]          Ibid., hal. 188

[8]          Ibn al-Atsir, al-Kâmil fî al-Târîkh (Juz 3), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. 1, 1987, hal. 218

[9]          Ibid.

[10]         Ibid.

[11]         Ibid.

Insiden Armina dan Strategi Penyelenggaraan Haji Pemerintah Indonesia

Oleh: Nur Hayati Aida, Peneliti di Rumah KitaB dan Anggota Aliansi PTRG

 

“Puluhan tahun menunggu untuk beribadah haji, tetapi pas pelaksanaan tidak diberi fasilitas yang memadai.”

 

Begitu banyak komentar yang bertebaran di media sosial tentang haji. Insiden Musdalifah adalah puncaknya. Setidaknya 10 jam jemaah haji Indonesia tertahan di Musdalifah saat hendak ke Mina karena antrean panjang kendaraan yang menyebabkan macet. Cuaca ekstrem dan rasa lelah membuat sebagian jamaah jatuh sakit, tak sedikit yang harus dibawa ke rumah sakit.

Meski ibadah haji dilaksanakan setiap tahun, tetapi di tiap tahunnya pula ada berbagai masukan dan kritik bagi penyelenggaranya, baik dari Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Arab Saudi. Sebab, pelaksanaan haji tidaklah sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Sepengetahuan saya, tak ada agama, kecuali Islam, yang bisa mempertemukan umatnya pada satu tempat di waktu yang sama, atau seperti event-event tahunan yang pesertanya mencapai jutaan orang. Oleh karenanya, penyelenggaraan ibadah haji membutuhkan SDM dan sistem yang profesional, tanpa itu mustahil rasanya bisa mengelola satu juta delapan ratus orang (970.000 laki-laki dan 875.000 perempuan), mulai dari transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan media informasi. Terlebih, 221.000 jemaah, usianya 50 tahun ke atas. Usia yang tak lagi muda, sehingga membutuhkan penanganan khusus.

 

Terobosan Kementerian Agama RI

Mengantisipasi hal itu, Kementerian Agama RI membuat satu terobosan pada musim haji kali ini. Pertama, layanan haji yang ramah terhadap jemaah lanjut usia (lansia) dan resiko tinggi (resti). Strategi ini ditempuh karena jemaah haji asal Indonesia rata-rata adalah lansia yang tak jarang juga resti. Dalam strategi ini, Kementerian Agama RI menerjunkan 4.200 petugas haji pada tahun ini yang terbagi dalam bagian pelayanan transportasi, pelayanan akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan ibadah, pelayanan sistem komunikasi informasi, pelayanan kesehatan untuk tiap-tiap kloter. Jumlah petugas haji ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya 1.901.

Petugas haji inilah yang menjadi “tongkat” bagi para jemaah haji, terutama yang lansia dan risti, dalam keseharian menjalani ibadah selama di tanah suci. Mulai dari memastikan akomodasi selama di Makkah dan Madinah, serta selama puncak ibadah haji di Arafah, Musdalifah, dan Mina; transisi dari satu kegiatan ibadah ke kegiatan lainnya—petugas-petugas haji juga di tempatkan di lokasi-lokasi strategis untuk mengantisipasi jemaah yang tersesat; memantau kesehatan jemaah hingga perawatan jemaah yang sakit dengan melakukan kunjungan secara teratur ke maktab-maktab.

Strategi ini bukanlah omong kosong belaka, beberapa orang yang saya kenal dengan baik menjadi petugas haji tahun ini. Meski tidak setiap saat, mereka meng-update perkembangan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain terkait dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci. Sungguh, pekerjaan itu tidak mudah karena harus bertemu dengan berbagai macam karakter. Taruhlah pengumuman ke Masjidil Haram akan dilaksanakan pukul sekian dengan menggunakan bus, tetapi karena tidak sabar, ada saja jemaah yang berjalan kaki ke Masjidil Haram. Akhirnya, tak sedikit kelelahan atau kesasar. Dan, cerita semacam ini banyak ragamnya.

Kedua, perempuan terlibat penuh dalam penyelenggaraan haji ini, baik sebagai Tim Amirul Hajj atau sebagai petugas haji. Langkah ini ditempuh karena dari 221.000 jemaah haji Indonesia 55,1%  adalah perempuan, sisanya 44,9% laki-laki. Dengan jumlah lebih dari 55% jemaah perempuan, strategi melibatkan lebih banyak perempuan dalam pelaksanaan haji tahun ini adalah jitu. Dalam beberapa kasus, jemaah perempuan lebih nyaman dilayani oleh petugas haji perempuan ketimbang petugas laki-laki, terutama jika berkenaan dengan hal-hal yang lebih privat. Dengan kepekaan dan sensitivitasnya, perempuan dapat lebih mudah beradaptasi dan membantu jemaah perempuan dalam menjalankan aktivitasnya.

Dalam sejarah Indonesia, baru kali ini kita melihat perempuan masuk dalam Tim Amirul Hajj. Catatan sejarah ini membantah semua prasangka bahwa perempuan tak memiliki kompetensi yang layak dalam penyelenggaraan haji.

 

Insiden Armina

Insiden Armina tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rentetan insiden itu adalah antrian panjang di Musdalifah, tenda yang melebihi kapasitas dan makanan yang tak terdistribusi dengan baik, hingga jauhnya akses toilet dari tenda. Insiden ini harus diselesaikan dan ditindaklanjuti karena secara profesional Indonesia telah menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah Arab Saudi, sehingga wajib bagi Indonesia untuk menuntut pelayanan yang layak. Di antara strategi yang bisa ditempuh adalah negosiasi bilateral yang menjelaskan kepentingan dan konsen Pemerintah Indonesia terhadap jemaahnya yang umumnya lansia. Jika ini bisa terkomunikasikan dengan baik, maka bisa menjadi pembelajaran di pelaksanaan haji tahun depan.

Di luar semua itu, apresiasi yang tinggi kepada semua petugas haji yang telah bekerja dengan hati untuk melayani jemaah.[]

 

Bunuh Diri Absurd

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

 

SERANGAN Bom bunuh diri kembali mengguncang Indonesia, kali ini di Bandung. Pelakunya diduga berasal dari jaringan Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Sebagai kelompok teroris, mereka memiliki “ideologi kematian” sebagai dasar bagi pikiran dan tindakan mereka. Bom bunuh diri adalah salah satunya. Melalui kaca mata Albert Camus, filsuf eksistensialis Aljazair, tulisan ini mencoba melihat bom bunuh diri sebagai “pilihan” yang dilakukan kelompok terorisme-radikalisme.

Alangkah absurdnya. Kematian “dipilih” sebagai jalan untuk perjuangan. Padahal tujuan perjuangan itu merebut kehidupan. Banyak teori sosial psikologis lahir dari pemikiran soal kematian yang direnggut untuk sebuah tujuan atau akibat sebuah situasi. Teori sosial paling klasik, dari aliran struktural fungsional Emile Durheim, menjelaskan tentang alienasi manusia atau keterasingan. Ia meyakini pada dasarnya manusia itu berkelompok dan bunuh diri hanya dilakukan oleh mereka yang tercerai dari kelompoknya. Fenomena ini menunjuk pada perantau yang tercerabut dari desa dan tak mampu berjejaring dalam budaya baru di tempatnya yang baru, seperti di kota-kota besar. Teori ini terus berkembang utamanya mengamati soal ragam model keterasingannya yang tak hanya menyoal keterasingan fisik emosional tetapi juga ideologi, agama dan hal-hal yang lebih batiniah. Namun inti entrinya tetap sama, bunuh diri sebagai tindakan akibat situasi jiwa yang teralienasi, terasing dan tak punya tujuan hidup.

Namun dalam tradisi lain, bunuh diri secara kultural diterima bahkan dipuji. Misalnya hara-kiri bom bunuh diri yang dilakukan balatentara Dai Nipon pada perang Dunia ke II. Dalam tradisi samurai Jepang bunuh diri atau sapuku yang dijalankan dalam bentuk ritual suci itu diterima sebagai pilihan jalan menuju kematian sempurna yang mereka nilai tinggi yaitu mempersembahkan nyawa secara sadar sebagai bentuk kesetiaan, tanggungjawab dan kehormatan.

Dalam Islam, secara normatif sebenarnya tindakan bunuh diri dilarang, diharamkan dan dianggap dosa besar. Dalam tradisi pemikiran kalam, bunuh diri dianggap sebagai bentuk penentangan paling radikal kepada takdir yang digariskan Allah Swt. Dan karenanya bunuh diri bukan hanya dianggap sikap pengecut, tetapi juga menentang Tuhan. Sebagai konsekuensinya, secara radikal pelaku bunuh diri juga tidak mendapatkan hak untuk diurusi sebagai mayat seorang Muslim. Padahal dalam hukum Islam memandikan, mengafani dan menguburkan seorang Muslim yang mati menjadi kewajiban secara kifayah bagi orang hidup. Namun kewajiban itu gugur ketika kematiannya direnggut sendiri oleh yang bersangkutan dalam bentuk bunuh diri.

Pertanyaannya, mengapa ajaran yang begitu keras menolak laku bunuh diri dengan hukuman sosial yang juga begitu keras bisa bertransformasi menjadi sesuatu yang “dirindukan” dalam kelompok Islam radikal. Dari mana datangnya gagasan yang memuliakan tindakan bunuh diri serupa dengan hara-kiri dalam tradisi budaya Jepang? Sejumlah kajian tentang prilaku bunuh diri dalam kelompok jihadis biasanya menunjuk pada adanya konsep tentang “pengantin surga”. Laki-laki yang melakukan bunuh diri sebagai perjuangan politik ideologi agama diyakini akan mendapatkan surga dan di sana akan ditemani oleh 70 atau 72 bidadari.

Jika itu pendorongnya, yaitu cita-cita untuk mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat, cukup masuk akal jika pelakunya adalah anak muda, miskin dan kurang gaul.

Tetapi kita masih bertanya-tanya, kira-kira pikiran apa yang mengeram dalam benak para pelaku bom bunuh diri, apakah mengakhir kidup itu didasarkan pada alasan serupa dengan pelaku bunuh diri dengan cara lainnya seperti gantung diri atau minum racu atau menabrakan diri ke kereta dengan penyebab karena krisi sosial kejiwaan sebagaimana diteorikan Durheim? Tapi apakah pada pelaku bunuh diri demi “perjuangan” juga didasarkan anggapan yang sama, bahwa hidup yang dijalani tak bermakna dan karenanya tak apa diakhiri?

Lantas hidup ini layak atau tidak untuk dijalani? Apakah hidup ini bermakna? Jika hidup ini tidak bisa memberikan makna apa-apa, pantaskah mengakhirinya dengan melakukan bunuh diri? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menghasilkan sebuah keputusan: apakah kita harus mengakhiri atau menjalani hidup meskipun irasional? Menjelaskan makna hidup di tengah ketidakjelasan hidup, kata Albert Camus, sama sulitnya dengan mencarikan bukti bahwa hidup ini bermakna.

Penyebab Bunuh Diri
Tindakan bunuh diri, menurut Camus, berawal dari keheningan hati seperti juga awalnya sebuah karya besar. Ada keterkaitan antara pikiran individual dan bunuh diri. Seorang anak SD tiba-tiba memutuskan untuk gantung diri setelah ia tidak lagi mampu membayar biaya SPP. Ketidakmampuan dia dan keluarganya untuk membayar biaya sekolah menjadikan beban hidupnya bertambah. Ia mulai digerogoti oleh perasaannya. Pada titik ini, tidak ada peranan masyarakat, ulatnya terdapat dalam hati manusia sendiri.

Orang yang melakukan bunuh diri sama halnya dengan membuat pengakuan bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau ia tidak mengerti kehidupan. Menurutnya, membunuh diri semata-mata mengakui bahwa “hidup sudah tidak layak dijalani”.

Memang, hidup ini tidak mudah. Banyak orang menuntut kejelasan dari hidup yang dihadapi. Ia terus di desak oleh tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh eksistensi berdasarkan berbagai alasan. Sedangkan mati secara sukarela mengandaikan bahwa si pelaku mengakui bahwa hidup yang dijalaninya tidak memiliki arti sama sekali.

Wajar jika perasaan-perasaan itu muncul pada manusia. Manusia banyak memendam hasrat kejelasan dari dunia ini. Sayangnya, dunia tidak sesederhana yang dibayangkan akal. Walau bagaimanapun, menurut Camus, sebuah dunia yang dapat diterangkan dengan berbagai alasan adalah dunia yang sudah dikenal. Manusia banyak menuntut kejelasan dari dunia, sedangkan dunia sendiri tidak bisa memberikan kejelasan sama sekali.

Menurut Camus, perceraian antara manusia dan hidupnya, antara sang aktor dan pentasnya, itulah perasaan absurditas yang sesungguhnya. Dalam hal ini, bunuh diri merupakan jalan keluar dari yang absurd. Kepercayaan pada absurditas kehidupan inilah yang menjadi dasar prilakunya.

Jadi, adakah hubungan penolakan terhadap hidup dan tindakan menolak hidup? Apakah absurditas kehidupan menuntut seseorang untuk melakukan bunuh diri? Sehingga jika pertanyaan ini kita kerucutkan pada persoalan bom bunuh diri, apakah yang dilakukan para teroris disebabkan karena adanya penolakan mereka terhadap makna hidup?

Tidak semua orang yang menjalani hidup mengerti akan makna hidup. Terkadang, mereka berpaling dari kematian dengan membuat sebuah ‘harapan’. Mereka berharap pada ‘kehidupan lain’ yang harus diperjuangkan. Jadi, mereka menjalani kehidupan bukan untuk kehidupan itu sendiri, melainkan demi sebuah gagasan besar yang melebihi hidup, yang memuliakannya, memberinya suatu makna dan sekaligus mengkhianatinya. Dalam hal ini, seperti yang dikatakan Camus, pilihan hidup hanyalah sekedar ‘pelipur lara’.

Lantas, apakah bom bunuh diri yang dilakukan para teroris merupakan bentuk penolakan terhadap makna hidup? Mungkin, para teroris berpikir bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, karena ada kehidupan lain yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Panggilan ‘jihad’ adalah sebagai dasar prilakunya. Mereka hendak membangun kehidupan lewat kehidupan yang lain.

Langkah absurd yang dilakukan pelaku bom bunuh diri terletak pada cara-cara yang dilakukan: mereka ingin membangun kehidupan dengan cara merusak kehidupan. Sejatinya, mereka memandang bahwa kehidupan ini sudah tidak sesuai dengan harapan mereka, sehingga mereka harus berpaling dan memilih kematian. Mereka tidak tahan dengan ketidakjelasan dunia ini. Mereka berkeyakinan bahwa dunia saat ini diatur oleh hukum-hukum “setan” dan tidak sesuai dengan “citra Tuhan” (syariat Islam). Karena itu, salah satu caranya adalah menegasikan hidup ini dengan bom bunuh diri.

Bunuh Diri Bukan Solusi
Tindakan menolak ataupun menerima hidup bertolak dari pandangan bahwa hidup ini absurd. Absurditas muncul dari kontradiksi antara harapan dan kenyataan, kerinduan akan kesatuan, dan perceraian antara satu kenyataan dengan kenyataan tertentu.

Dalam menghadapi absurditas hidup, manusia hanya dihadapkan pada dua pilihan: pasrah dengan memilih bunuh diri atau membiarkan diri untuk tetap hidup dan menghimpun segala kekuatannya untuk memancarkan suatu tatanan dan moral.

Dari kedua pilihan itu, Camus tidak memilih yang pertama. Bunuh diri bukan sebuah solusi, kata Camus. Camus mengatakan, “Adalah kehormatan bagi manusia, dan semestinya juga menjadi kebahagiaan baginya, bahwa ia menerima dengan besar hati hasrat yang ditanam dalam dirinya untuk memperoleh kejelasan ditengah ketidakrasionalan yang begitu banyak.”

Dengan demikian, kita harus melakukan pemberontakan terhadap absurditas dengan cara memberikan perhatian dan mengarahkan kesadaran kepadanya, membuat sesuatu yang tadinya tidak bermakna menjadi bermakna. Kuncinya, maknailah terus hidup ini agar kehidupan kita terasa bermakna.

Jadi, bunuh diri bukanlah sebuah keputusan tepat. Apapun alasannya, mengharapkan kehidupan dengan cara memusuhinya adalah sesuatu yang absurd alias tidak masuk akal. Sehingga apa yang dilakukan para pelaku bom bunuh diri dengan alasan panggilan agama (jihad) jelas bertentangan dengan ajaran, tujuan dan nilai-nilai agama itu sendiri. Sebab, agama apapun pasti memberikan apresiasi dan dukungan terhadap kehidupan. Agama yang memusuhi kehidupan adalah musuh kehidupan itu sendiri. Wallahu ‘alam bi al-shawab