Kesalahan Rezim Orde Baru

Aku masih kecil, bahkan tidak pernah ingat memori kelam tumbangnya Orde Baru (Orba) 1998. Bukan hanya karena saat itu masih balita, tapi karena aku lahir di pelosok Kalimantan yang sepi, tak terjamah “pembangunan”.

Sayup-sayup, ingatanku mulai terbentuk ketika pemilu pertama presiden tahun 2004. Ada kegembiraan, setelah sekian lama negara ini dikuasai rezim dan dipaksa untuk menguning semua. Seiring berjalannya waktu, rezim Orba ternyata tak pernah tumbang. Bahkan, saat ini, tokoh utama langgengnya pemerintahan tersebut diusulkan menjadi pahlawan.

Kita yang muda dapat menggugat, “siapa sebenarnya yang disebut pahlawan?” Untuk menjawab itu, Bung Karno sudah mengatakan, “JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kita bisa belajar dari sejarah.

Karenanya, kita perlu bersuara, meskipun generasi Alpa, Z, bahkan milenial akhir yang tidak punya banyak kenangan rezim Orba. Setidaknya dengan dua alasan. Pertama, alasan historis. Kita belajar sejarah dari mereka yang menjadi korban kebengisan rezim otoriter. Kedua, alasan pragmatis, bahwa sejarah itu berulang. Seorang tiran itu selalu ada di setiap zaman. Bersuara lantang menolak Soeharto menjadi pahlawan adalah gerakan untuk menatap masa depan dengan secercah harapan. Dengan dua alasan ini, generasi muda tidak boleh apatis melihat kondisi negeri.

Soeharto memang tidak sepenuhnya bersalah selama memimpin. Ada sumbangsihnya dalam memerintah. Terutama di awal kepemimpinannya. Bagi sebagian orang, tumbangnya Orde Lama dan dibasminya PKI adalah harapan baru. Muncullah Soeharto yang membawa angin perubahan. Banyak orang yang memandang ia sebagai titisan Sabdo Palon, sebuah lakon dalam dongeng Majapahit. Ia adalah sosok lama yang dirindukan dan hadir menumpas kezaliman.

Sebenarnya sejak awal kepemimpinannya dengan menumpas PKI, Soeharto sudah mempunyai catatan kelam. Tragedi 1965 amat memilukan. Cak Nur menyebutnya dengan ungkapan yang lebih halus, “prosesnya itu agak berlebihan”. Semua orang yang kontra dengan pemerintah dicap komunis dan bisa dihabisi tanpa melalui peroses pengadilan.

Dalam perjalanannya memimpin, Soeharto mengatur strategi utama, ada dua obsesinya: pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik. Dan benar, di masanya, pertumbuhan ekonomi meningkat dengan angka rata-rata 6-7% per tahun. Data ini disebutkan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan dalam buku “Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia”. Tak heran, sebagian orang mengidolakan rezim Soeharto karena pertumbuhan ekonomi tersebut ditambah dengan “kestabilan” politik. Dari luar, rezim Orba tampak seperti surga yang menenangkan rakyat. Rakyat dininabobokan dengan jargon: “Pembangunan Lima Tahun” (Pelita).

Namun, di tengah gegap gempita program pemerintah dari ‘Bapak Pembangunan’ ini, Orba mempunyai catatan kelam.

Pertama, Pancasilaisme. Belajar dari pendahulunya, Soeharto tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Jika Soekarno memahami semangat Pancasila dengan ruh sosialis sehingga lahirlah istilah Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom), maka Soeharto menutup pintu ideologi luar. Baik komunis maupun islamis, semua terlarang. Satu-satunya ideologi yang diterima adalah Pancasila. Penafsirannya pun tidak bisa diotak-atik. Orang dulu mengenal istilah butir-butir pengamalan Pancasila yang dihafal dan ditatar dalam kegiatan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau dikenal juga Eka Prasetya Panca Karsa.

Dengan gerakan tersebut, seluruh masyarakat Indonesia, terutama pegawai pemerintah wajib berideologi Pancasila. Pancasila menjadi pandangan tertutup. Ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah pada awalnya menolak. Namun, akhirnya menerima setelah terjadi “negosiasi” dengan pemerintah. Puncaknya, pemerintah pun menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. “Pancasila tidak pernah sakti. Justru itu ia berarti”, demikian kata Goenawan Mohamad, salah seorang tokoh yang ikut menurunkan rezim Orba.

Mengapa pancasilaisme ini bermasalah? Sebab Pancasila hampir-hampir dianggap keramat. Dengan budaya Jawa yang masih melekat, Pancasila pun dipahami dengan kekuatan sakti mandraguna. Seolah semua masalah selesai dengan P4. Pancasila juga menjadi bahasa eksklusif yang dimiliki penguasa. Ada keseragaman. Bagi mereka yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, akan “diamankan”. Istilah ini pun khas Orba. Mereka yang “diamankan” sejatinya justru tidak aman.

Pancasilaisme hari ini mirip dengan gerakan Moderasi Beragama. Secara substansi, baik Pancasila maupun moderasi sebenarnya punya makna yang mendalam. Namun, mengeksklusifkan keduanya sebagai bagian integral dari pemerintah dengan tafsirannya sendiri, menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Mereka yang mengkritik pemerintah akan dituduh berencana membuat makar, melawan pemerintah yang sah, radikal, dan sebagainya.

Puncaknya, Pancasilaisme di era Soeharto dilakukan dengan cara represif. Jika kritik dilawan dengan kritik, kata dibalas dengan kata, tulisan dibalas dengan tulisan, maka itu tak menjadi soal. Tetapi dalam realitasnya kala itu, tulisan justru dibalas dengan senapan. Ada istilah Penembak Misterius (Petrus) yang membunuh orang-orang “bermasalah” tanpa melalui jalur pengadilan. Bagi generasi Z dan A yang sering menonton siniar kriminal Nadia Omara di Youtube tentu tidak asing dengan kisah Petrus di masa Orba.

Represif terhadap sipil ini berkaitan dengan dosa kedua Orba, yaitu militerisme. Faktanya, Soeharto adalah seorang jenderal. Ia besar dalam pendidikan militer. Pun dalam bernegara, peran militer juga dibutuhkan. Tak ada yang menolak eksistensinya. Yang menjadi catatan penting, perlu pembagian kerja militer dan sipil. Inilah yang tidak terjadi di era Soeharto memimpin.

Ada istilah dwi-fungsi, artinya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, gabungan militer tentara dan kepolisian), dapat memainkan peran ganda sebagai militer dan politisi. ABRI memiliki peran angkatan bersenjata untuk memastikan pertahanan dan keamanan negara. Pada saat yang sama, ABRI juga bertindak sebagai entitas politik yang berfungsi mengontrol rakyat dan pemerintahan.

Sederhananya, ABRI mengurus seluruh masalah di negeri ini, mulai dari maling ayam di desa hingga pihak asing yang mau masuk ke wilayah Indonesia. Militer juga menjadi satu bagian penting yang memperoleh jatah kursi DPR yang dipilih langsung oleh presiden.

Dari spirit militerisme ini, dapat dilihat bagaimana Soeharto mengamankan kekuasaannya selama 32 tahun. Kalaulah, bagi sebagian orang, selama ia memimpin tidak ada konflik besar, semua aman terkendali, itu bukan karena kepemimpinannya sukses, tetapi ada ketakutan bagi mereka yang mau bersuara. Damai yang dirasakan saat itu adalah damai pasif, sebab semua diatur dan dipaksa untuk tak bertikai. Tidak boleh ada suara pedas pada pemimpin. Semua wartawan diatur, media dibredel, rumah ibadah pun diawasi. Tak ada kebebasan yang hidup dalam kepalsuan dan pemaksaan.

Potret Orba kala itu mengingatkanku pada Arc Dressrosa di kisah One Piece. Dressrosa adalah negara yang terlihat subur dan makmur. Rakyatnya kelihatan bahagia. Namun, daerah itu dipimpin oleh tirani dan manipulasi yang disembunyikan di balik fasad pulau yang terlihat gembira. Dengan gambaran harga pangan murah dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, itu sudah cukup membuat rakyat menjadi diam dan bungkam.

Dressrosa menggambarkan negara yang dibuat seragam. Semua rutinitasnya sama, makanannya sama, dan ketaatannya pada pemimpin pun sama. Ini juga yang terjadi di masa Orba. Seolah seragam padahal hakikatnya Indonesia ini beragam. Dari Sabang sampai Merauke, semua hendak disetarakan dengan Jawa sebagai titik sentrumnya. Jawanisme adalah kritik Orba yang ketiga. Sebenarnya presiden dari Jawa tak menjadi soal. Permasalahannya adalah ketika menggunakan cara hidup Jawa untuk mengatur Indonesia yang bhinneka. Padahal budaya Jawa belum tentu sesuai dengan tradisi hidup di Papua.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, misalnya politik makanan. Kita tahu, swasembada pangan terjadi di era Soeharto. Namun, di balik swasembada itu, ada budaya pangan masyarakat Papua, Sulawesi, dan Kalimantan yang diberangus. Mereka yang terbiasa memakan sagu dipaksa untuk makan nasi. Padahal kontur tanahnya belum tentu cocok untuk ditanami padi.

Belum lagi dari aspek pendidikan. Bahkan hingga kini, kita masih mengingat kalimat yang diajarkan di sekolah dasar, “Ini Ibu Budi”. Mengapa harus Budi? Padahal di Papua lebih banyak nama Yohanes, sementara di Aceh bernama Ahmad. Budi adalah nama khas di Jawa. Dari ujung Barat sampai Timur, pola pendidikannya diajarkan Jawa-sentris. Unifikasi pendidikan ini juga dapat dilihat dari program sekolah Instruksi Presiden (Inpres). Memang sekolah masuk hingga ke pelosok desa, tetapi pola pendidikannya Jawa-sentris. Hingga kini, pengaruh Jawa masih terlihat dengan jelas. Pembangunan masih berpusat di Jawa. Jawa adalah kunci, bagi sebagian orang. Hanya satu presiden yang berasal dari luar Jawa, yaitu B.J. Habibie.

Sekali lagi, tulisan ini tidak sedang menyerang orang Jawa. Budaya Jawa mempunyai kearifan yang elok. Namun, yang digugat adalah ketika Jawa menjadi ideologi untuk memimpin negara yang beragam ini. Sudah banyak yang membahas ini, misal karya John James MacDougall dalam “Indonesia: Economic Growth and Political Order”. Cak Nur pun sebagai tokoh bangsa yang dekat dengan Soeharto menyampaikan pandangannya, bahwa Soeharto memimpin negeri ini dengan sangat njawani. Salah satu karakter utama dari budaya Jawa, yang juga dapat ditemukan di beberapa budaya lainnya adalah maskulinitas yang kuat. Istilah wanita bagi perempuan juga adalah hasil dari budaya Jawa, wani ditata.

Problem maskulinisme hingga ketimpangan gender dapat dilihat dari rezim Orba. Karenanya, semangat reformasi mengamanatkan keterlibatan perempuan minimal 30% di parlemen. Hal ini berangkat dari minimnya partisipasi perempuan dalam pemerintahan.

Bagi beberapa kalangan yang membela, mungkin akan menjawab, di era Soehartolah Dharma Wanita didirikan. Dharma Wanita adalah organisasi perempuan yang berisi istri-istri pegawai negeri sipil dan BUMN. Sejak awal berdiri, Dharma Wanita dibuat untuk mendampingi suami bekerja dan berpolitik. Sebagai anak dari ibu yang aktif di Dharma Wanita tahun 90-an, saya melihat ada celah krusial. Pertama, dari segi nama, “wanita”, falsafah bahasanya sudah tidak setara. Istri pejabat ini harus mengikuti apa kata suami. Mereka tidak boleh membantah. Kedua, dari aspek tata kelola, Dharma Wanita hanyalah pelengkap bagi suami. Agar istri pejabat ada kegiatan ketika sang suami sedang kunjungan ke suatu daerah, dibuatlah Dharma Wanita.

Justru semangat Dharma Wanita sangat misoginis. Sebab melihat bahwa pekerjaan perempuan berbeda dengan pekerjaan pria, sehingga mereka perlu dipisahkan. Padahal pekerjaan tak mengenal identitas gender. Pekerjaan melihat kapasitas. Inilah yang absen dalam rezim Orba. Perempuan tak didengarkan suaranya. Bahkan banyak yang menjadi korban kekerasan.

Ketika program Keluarga Berencana (KB) digulirkan, perempuan di desa banyak yang diancam dengan kekuatan militer untuk menggunakan alat kontrasepsi. Salah satu korban perempuan yang namanya melegenda dan perjuangannya terus dilanjutkan adalah Marsinah. Sebagai buruh perempuan yang mendapatkan pengalaman diskriminatif, ia bersuara lantang. Namun sayangnya ia harus tumbang dalam berjuang. Marsinah hanya satu di antara banyak perempuan yang menjadi korban, dari tragedi 1965 hingga 1998. Semua berkaitan dengan kekuatan represi militer yang menekan kehidupan sipil. Siapa dalang dari itu semua? Silakan jawab di hati masing-masing. Naasnya, kini Marsinah dan Soeharto sama-sama menjadi pahlawan.

Tahun 1998 adalah puncak dari kegeraman dan kemarahan seluruh elemen masyarakat. Mereka turun ke jalanan menuntut presiden yang sudah lama berkuasa nan korup agar segera mangkat dari jabatan. Itulah yang kini disebut reformasi. Ada angin segar perubahan.

Sayangnya, negeri ini bahkan belum merasakan reformasi hakiki. Perlahan, semangat Orde Baru itu hidup kembali. Mereka yang berkuasa adalah anak-bapak, mertua-menantu, suami-istri. Hukum bisa diubah demi memuluskan koleganya mendapat kursi.

Di tengah persimpangan jalan, negeri ini mengangkat sosok dengan catatan kelam sebagai pahlawan. Bisa jadi, bukan salah sang tokoh, tapi kitalah yang tak mampu melihat kebenaran atau sudah nyaman dengan kepalsuan.

Kalaulah 32 tahun itu waktu yang diidamkan, hingga ada ujaran “penak jamanku to?”, apakah kita mau hidup (seolah) damai padahal takut tiba-tiba lenyap? Orba tak pernah senyap, ia hanya berkamuflase, berganti topeng, dan kita rakyat Indonesia dengan senang gembira menyebutnya sebagai pahlawan.

Selamat Hari Pahlawan bagi para pencari keadilan.

Taliban dan Larangan Buku Karya Perempuan

Bekerja, berkarir, berpendidikan, merupakan hak setiap manusia tanpa memandang  jenis kelamin. Kita berhak untuk memilih hidup seperti apa. Menjadi perempuan merdeka, adalah sebuah privilege yang cukup memuaskan. Namun, hal ini sama sekali tidak dirasakan oleh perempuan Afghanistan. Para perempuan tidak diperkenankan untuk hidup. Bahkan seperti dibunuh pelan-pelan atas nama tegaknya Islam. Benarkah Islam memenjarakan perempuan?

Dilansir dalam laporan BBC Indonesia, Pemerintahan Taliban telah menghapus buku-buku karya perempuan dari kurikulum semua universitas di Afghanistan sebagai bagian dari kebijakan baru yang juga melarang pengajaran Hak Asasi Manusia dan pelecehan seksual.

Dalam informasinya, Sekitar 140 buku karya perempuan—termasuk buku dengan judul seperti “Keselamatan di Laboratorium Kimia”—tercakup dalam 680 buku yang dianggap “memprihatinkan” karena dituding memuat “kebijakan anti-Syariah dan Taliban”. Universitas-universitas di Afghanistan juga tidak lagi diizinkan untuk mengajarkan 18 mata kuliah karena dianggap tidak islami atau bertentang dengan syariat Islam.

Sejak awal kemunculannya pada tahun 2021, pemerintah Taliban sangat problematik dan bias gender. Membawa embel-embel Islam, misalnya. Dia sama sekali tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk hidup. Mereka mengaku menerapkan aturan hukum Islam dengan sangat ketat. Kebijakan tersebut membawa dampak buruk terhadap perempuan Afghanistan karena mengalami peminggiran, bahkan penindasan dari berbagai sisi.

Dalam konteks politik, contohnya. Ketika pihak Taliban di Afghanistan akan bertemu dengan utusan-utusan internasional, pada Minggu (30/6) di Qatar untuk melakukan pembicaraan yang digagas PBB, mereka mengesampingkan perempuan Afghanistan. Fenomena tersebut mendapat banyak kecaman dunia internasional karena tidak melibatkan perempuan.

Dalam konteks publik, seperti radio, Taliban juga menangguhkan siaran radio Begun yang dioperasikan oleh para perempuan. Kebijakan bias gender terbaru, datang dari dunia pendidikan seperti yang disampaikan di atas. Kursus-kursus seperti kebidanan (midwifery) ditutup. Itu adalah jalur pendidikan dan pekerjaan yang penting untuk perempuan dan layanan kesehatan perempuan.

Kebijakan-kebijakan Taliban, semakin memperkuat bukti bahwa kekerasan sistemik yang diciptakan oleh negara kepada perempuan, membawa perempuan pada jurang kehancuran. Sebab dalam bidang apapun, kelompok perempuan tidak memiliki ruang apapun untuk hidup.

Kekerasan Sistemik Adalah Racun

Berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan, selalu dialami oleh perempuan Afghanistan, pasca berdaulatnya Taliban. Kebijakan tersebut berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan kehidupan perempuan di wilayah tersebut dan masuk dalam kategori kekerasan. Perlu diketahui bahwa, dalam perspektif CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dan Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berupa fisik, akan tetapi juga: kekerasan struktural, kekerasan psikologis dan simbolik, kekerasan ekonomi dan sosial, dan kekerasan ekonomi.

Dalam konteks Taliban, pemerintah adalah pelaku atas kekerasan yang dialami oleh perempuan karena melakukan beberapa hal, di antaranya: pertama, penghilangan secara paksa terhadap buku-buku yang ditulis oleh perempuan, berarti tidak mengakui bahwa perempuan tidak punya peran terhadap bidang akademik ataupun tidak bisa berkontribusi secara intelektual.

Fenomena ini bisa dikatakan sebagai bentuk gender apartheid, yakni segregasi sistematis yang melarang perempuan mengakses ruang pengetahuan, sehingga menghapus generasi perempuan intelektual di Afghanistan. Pengalaman perempuan ataupun personal perempuan, dianggap tidak berguna dalam ruang intelektual.

Kedua, dengan menghapus jurusan kebidanan dan pembatasan terhadap mata kuliah gender karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, membuktikan bahwa perempuan tidak lagi memperoleh akses kesehatan yang memadai terhadap masalah-masalah biologis perempuan.

Ketiga, pembatasan terhadap ruang pekerjaan, ruang karier terhadap perempuan, menunjukkan bahwa pemerintah tidak melibatkan perempuan dalam pembangunan nasional. Ini adalah bentuk kontrol tubuh dan penghapusan ruang sosial perempuan, membuat perempuan seolah hanya boleh eksis di ranah domestik. Hal ini jelas-jelas akan mematikan peran perempuan sebagai manusia utuh yang merdeka.

Islam Sebagai Alasan

Penerapan syariat Islam secara ketat oleh Taliban, menunjukkan ketidakberpihakan mereka terhadap perempuan. Berbagai kebijakan yang meminggirkan perempuan, semakin meneguhkan kekerasan yang berlapis. Dan pertanyaan, sampai kapan Islam dijadikan dalil peminggiran perempuan?

Sementara pada berbagai bidang, butuh kehadiran perempuan untuk hadir dalam ruang kemaslahatan. Butuh berbagai perspektif perempuan sebagai basis pengetahuan agar kebijakan yang ditetapkan, bisa inklusif dan tidak memihak satu kelompok saja.

Isu perempuan di Afghanistan, adalah masalah global, terutama negara-negara mayoritas Muslim. Suara-suara dari berbagai negara, perlu untuk disampaikan, agar Islam yang ditegakkan tidak misoginis dan menjadikan korban sebagai korban terus menerus.

Advokasi global perlu dilakukan oleh negara, terutama negara-negara mayoritas Musllim karena kebijakan Taliban, menjadikan Islam sebagai pijakan kebijakan. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan. Kebijakan Taliban justru sama sekali tidak merepresentasikan ajaran Islam itu sendiri. Karena menyiksa dan membunuh kehidupan perempuan. Wallahu A’lam.

Warna sebagai Bahasa Perlawanan Rakyat

Dalam sejarah perlawanan rakyat di dunia, warna menjadi hal penting. Sejarah “aksi warna” global dipakai sebagai simbol tanda dan perjuangan.

Pada 1990-an aksi warna berbicara. Aksi warna ini menjadi simbol visual pasca runtuhnya Uni Soviet untuk menggerakkan massa pada masa itu. Kemudian berlanjut pada tahun 2000-an yang disebut color revolutions (revolusi warna), seperti revolusi oranye di Ukraina, revolusi mawar di Georgia 2003, revolusi tulip di Kirgistan 2005.

Warna-warna dipilih sebagai salah satu cara menandai keanggotaan aksi massa. Warna itu juga menjadi sumber inspirasi dan identitas kolektif. Bahkan menjadi simbol perlawanan sipil.

Kini, di tengah gelombang protes sosial-politik terbaru, muncul kombinasi warna yang mengejutkan sekaligus segar: pink dan hijau. Hal ini berbeda dengan massa aksi tahun-tahun lalu yang memakai merah (semangat), putih (kesucian) dan hitam (perlawanan).

Pink dan hijau, kedua warna ini merambah linimasa media sosial. Ribuan akun pribadi, komunitas, hingga selebritas mengganti foto profil dengan filter Brave Pink dan Hero Green.

Fenomena ini terkait erat dengan kampanye “17+8 Tuntutan Rakyat”, sebuah rangkaian aspirasi publik yang menggabungkan 17 tuntutan jangka pendek dan 8 reformasi jangka panjang. Dari sinilah pink dan hijau menjelma bahasa politik visual baru di Indonesia.

“17+8 Tuntutan Rakyat” ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Umum Partai Politik, Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan Kementerian Sektor Ekonomi.

Pemerintah telah merespons berbagai tuntutan ini. Pemerintah akan membaca dan menyeleksi mana yang bisa diakomodir. Namun sampai artikel ini ditulis belum ada upaya serius untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Keberanian dan Solidaritas

Pink selama ini diasosiasikan dengan kelembutan, feminitas, bahkan hal-hal manis. Namun, pada 28 Agustus 2025, warna ini menemukan makna baru. Seorang ibu berhijab pink berdiri di garis depan demonstrasi di depan DPR Senayan. Dia menghadapi aparat dengan keberanian luar biasa. Momen ini kemudian menjadi ikon.

Sejak saat itu, pink dipopulerkan sebagai Brave Pink. Maknanya adalah keberanian yang lahir dari empati dan cinta. Pink menjadi pengingat bahwa rakyat turun ke jalan bukan hanya karena marah, tetapi juga karena cinta pada keluarga, masa depan, dan bangsa. Dengan demikian, pink dianggap sebagai simbol perlawanan moral.

Jika pink lahir dari keberanian seorang ibu, hijau muncul dari tragedi. Pada aksi yang sama, Affan Kurniawan, seorang driver ojol, tewas dilindas rantis Brimob. Jaket hijau ojol yang dikenakannya menjelma simbol duka dan penghormatan. Dari situlah istilah Hero Green lahir.

Hijau kemudian dimaknai sebagai harapan, kehidupan, dan solidaritas akar rumput. Warna ini merepresentasikan perjuangan rakyat kecil. Hero Green menjadi pengingat bahwa perjuangan rakyat lahir dari realitas hidup sehari-hari.

17+8 Tuntutan Rakyat

Fenomena pink dan hijau tak bisa dilepaskan dari kampanye 17+8 Tuntutan Rakyat. Tuntutan ini memuat agenda demokratisasi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Uniknya, kampanye ini digerakkan oleh aktivis, mahasiswa, dan influencer seperti Jerome Polin, Ferry Irawan, Andovi da Lopez, Fathia Izzati, dan Abigail Limuria. Sebuah fenomena langka yang belum pernah terjadi.

Melalui media sosial, tuntutan ini menjelma gelombang digital. Filter Brave Pink dan Hero Green dipakai ribuan akun untuk menegaskan keberpihakan. Fenomena ini membuktikan bahwa gerakan rakyat kini bekerja dalam dua arena: fisik di jalanan dan digital di linimasa. Sayangnya, yang terakhir ini sedang mengalami penggembosan lewat penangkapan influencer dengan tuduhan “makar”.

Keduanya menunjukkan bahwa perjuangan rakyat Indonesia bukan hanya soal perut (ekonomi, kebutuhan hidup), tetapi juga soal hati (kemanusiaan, kasih sayang, dan masa depan). Perlawanan menjadi lebih utuh: keras sekaligus lembut, marah sekaligus penuh kasih.

Warna sebagai Bahasa Politik Baru

Fenomena Brave Pink dan Hero Green menjadi bahasa politik modern. Ia lahir dari pengalaman nyata dari keberanian seorang ibu dan tragedi seorang driver ojol. Dan diperkuat oleh solidaritas digital jutaan warganet.

Warna menjadi identitas kolektif yang menghubungkan lintas kelas, lintas generasi, bahkan lintas ruang. Dari jalan raya hingga media sosial, warna berbicara lebih keras daripada slogan. Sejarah mungkin akan mencatat bahwa di era ini, pink dan hijau adalah warna yang menyatukan suara bangsa.

Kala Senjata Memberangus Pena

Kamis, 20 Maret 2025 menjadi pukulan telak demokrasi Indonesia. Setelah reformasi ditegakkan Mei 1998, kini upaya menghadirkan cita-cita perubahan itu kandas pasca pengesahan UU TNI. Salah satu amanat reformasi yang dulu digaungkan mahasiswa adalah mengembalikan tentara ke barak, tidak mencampuri urusan sipil. Lantas bagaimana jika TNI hendak masuk ke ranah sipil? Ia harus menanggalkan senjatanya, alias mundur sebagai anggota TNI. Setidaknya ini dapat dilihat dari kasus mundurnya Agus Harimurti Yudhoyono ketika hendak mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.

Sebagai gambaran, bagi generasi yang tidak merasakan kehidupan di bawah rejim Orde Baru. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI—sebutan TNI kala itu), mempunyai wewenang yang amat banyak. Selain mempertahankan keamanan negara, ABRI juga diberikan kekuasaan untuk menjabat sejumlah urusan sipil. Bahkan, di perwakilan rakyat pun diberikan satu fraksi khusus, faksi ABRI.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Simpel saja, sebab presiden saat itu, Soeharto, memiliki gelar Mayor Jenderal. Sebuah pangkat tertinggi dalam pangkalan bersenjata ABRI. Hal inilah yang menjadi amanat reformasi ketika ribuan mahasiswa turun ke jalanan. 32 tahun Soeharto menjabat, pola pikir militerisme menghantui pemerintahannya.

Tak ada kebebasan berpendapat, semua yang mengkritik langsung dibabat. Banyak jurnalis yang diteror bahkan hilang hingga saat ini. Kalau boleh digambarkan, tak ada yang berani secara langsung mengkritik pemerintah. Semua mengikuti apa kata komandan, “Siap, Ndan”. Dalam bahasa lain, yang dilakukan saat itu hanyalah ABS, ‘Asal Bapak Senang’.

Semangat semacam itu, bukanlah kehidupan demokratis. Presiden menjabat seumur hidup, tak ada kata redup. Demo besar-besaran 1998 adalah upaya menggulingkan pemerintah sekaligus menyongsong kehidupan baru keluar dari bayang-bayang militer. Sipil sudah selayaknya berdikari di negeri sendiri.

Cita-cita reformasi itu kian mendapatkan angin segar di bawah pemerintahan Gus Dur. Melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 dan Keppres No. 89 Tahun 2000, Presiden Gus Dur menegaskan pemisahan peran antara militer  dan institusi sipil serta memisahkan pula Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Perlu dipahami, sebelum reformasi, ABRI adalah gabungan dari Polri dan TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU).

Ironinya, apa yang sudah dirintis oleh Gus Dur, diperjuangkan dan dipertahankan oleh koalisi masyarakat sipil, harus berakhir dengan disahkannya UU TNI yang baru ini. Mengapa undang-undang ini perlu dengan lantang ditolak?

Logical Fallacy Pembuatan Undang-undang

Pertama dan terutama, secara filsafat hukum, undang-undang ini cacat logika. Jika membaca naskah akademik yang beredar, sebagaimana dituturkan Prof. Karlina Supeli, undang-undang ini dibuat karena ada kepentingan mengakomodasi prajurit aktif TNI yang masuk ke dalam pemerintahan. Artinya, TNI sudah masuk dalam ranah sipil, sementara regulasinya masih nihil. Karena itulah undang-undang ini dibuat. Cara berpikir ini sungguh berbahaya. Dalam logika dikenal istilah post-factum. Artinya sudah dilakukan baru dibuat regulasinya. Padahal aturan seharusnya dibuat terlebih dahulu sebelum melahirkan kebijakan. Kalau kebijakannya ada terlebih dahulu, maka kebijakan itu cacat hukum dan harus ditolak.

Belum lagi persoalan pelibatan publik dalam perumusan undang-undang. UU TNI ini menjadi gambaran utuh semangat militerisme, saat sipil tak mendapatkan supremasi hukum. Rakyat tidak dilibatkan sama sekali dalam penyusunan aturan yang sangat berkaitan erat dengan hajat masyarakat. Alih-alih melibatkan rakyat, undang-undang ini justru dibuat di hotel mewah, saat presiden sendiri menginstruksikan pemberlakuan efisiensi kegiatan.

Hypermasculinity dalam Penyelenggaraan Negara

Selain soal proses pembuatannya, undang-undang ini juga menyiratkan metode berpikir yang terlalu maskulin (hyper-masculinity). Hal ini dapat dilihat dari kehidupan militer yang memang dirancang sangat maskulin. Sampai ada anggapan bahwa pekerjaan TNI juga Polri, bukanlah tempat yang cocok bagi perempuan. Tentu maskulinitas berlebih ini dapat berimplikasi pada ketidakseimbangan dalam kehidupan bernegara. Sebab pada akhirnya memberangus dimensi feminim. Isu ini bukan hanya soal keterlibatan perempuan, tetapi juga pola pikir pemerintahan.

Menonjolkan aspek maskulin saja, akan berakhir pada penyelesaian urusan dengan kekerasan, ketegasan dan kepatuhan tanpa kata tapi. Padahal negeri ini pun dibangun dengan kesadaran femininitas. Kita mengenal istilah ibu pertiwi dan ibu kota. Istilah itu menyiratkan semangat keibuan dalam sebuah negara, selain penting juga menghadirkan semangat kebapakan. Namun, dengan penguatan militerisme, dimensi keibuan kian diredam dalam diam.

Hal ini bisa dilihat dari kasus terbaru, seorang TNI yang membunuh tiga polisi di Lampung, karena mengganggu bisnis sabung ayam yang diduga milik seorang pejabat TNI. Seorang prajurit aktif TNI, bersenjata, kemudian ditekan oleh keadaan, hal pertama yang dilakukan adalah membela dengan menodongkan senjata. Tidak terpikir olehnya untuk berdialog secara kekeluargaan. Dalam konteks menjaga pertahanan negara melawan penjajah, mindset itu memang diperlukan, tetapi tidak dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Apalagi dalam kasus ini, sang TNI juga bersalah karena melakukan bisnis haram.

Kasus tersebut menambah daftar panjang kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat TNI atau Polri di tahun 2025 menjadi 9 kasus dengan 11 korban dari Januari hingga Maret. Data tersebut belum termasuk kasus-kasus pembunuhan di luar hukum seperti yang terjadi di Papua, kala aparat keamanan maupun aktor non-negara kerap melakukan pembunuhan di luar hukum dengan impunitas (Selengkapnya lihat di sini).

Mindset Militerisme dalam Pembangunan

Selain persoalan maskulinitas, pola pikir militerisme juga mempunyai catatan pelik dalam proses pembangunan negara. Analogi sederhananya, antara arsitek dan pemadam kebakaran dalam membangun kota, menyiapkan rancangan pembangunan serta eksekusinya. Seorang arsitek akan membangun kota dengan melihat sumber daya yang dimiliki, tantangan serta kebutuhan masyarakat. Sedangkan pemadam kebakaran itu harus bergerak cepat, selalu waspada dengan lingkungan sekitar.

Lantas bagaimana jika pemadam terlibat dalam merancang kota? Bisa jadi pemadam akan menerapkan kebijakan yang berorientasi pada ancaman. Seolah kota tersebut dalam bahaya kebakaran api yang perlu dipadamkan. Sehingga fokusnya adalah melakukan upaya pencegahan kebakaran dengan memperbanyak pengadaan alat pemadam. Padahal boleh jadi kota tersebut tidak membutuhkannya.

Pola pikir selalu terancam dan menerapkan kecurigaan berlebih justru dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan negara. Alih-alih melihat peluang kolaborasi dan kerja sama, justru semua dianggap punya potensi menjadi lawan sehingga harus menjaga jarak.

Sikap ini misalnya bisa dilihat di negara Korea Utara yang menutup dari dunia luar. Tentu Indonesia jauh lebih baik dari Korut, tetapi dengan kembalinya kekuatan militer, tidak menutup kemungkinan potensi-potensi itu bisa terjadi. Inilah yang perlu dikontrol bersama, bukan justru mengesahkan undang-undang TNI.

Dwifungsi ABRI/TNI yang Hidup Kembali

Memang beberapa pengamat mencatat bahwa mustahil dwifungsi TNI hidup kembali dengan undang-undang ini. Misalnya apa yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD dalam berbagai kesempatan menanggapi UU TNI. Tetapi, catatan kritis dari berbagai akademisi, jurnalis dan masyarakat sipil yang hingga hari ini keluarganya ‘hilang’ di masa Orba, perlu diperhatikan.

Terlebih ada indikasi besar dwifungsi TNI hidup kembali. Meski istilahnya tidak lagi menggunakan dwifungsi. Sebelum berbincang lebih lanjut soal dwifungsi, perlu dipahami apa maknanya secara sederhana. Sebagaimana diulas di bagian awal tulisan, setelah reformasi, Dwifungsi ABRI dicabut oleh Gus Dur. Artinya jabatan sipil hanya boleh dipimpin oleh orang yang tidak punya kewenangan membawa senjata. Kalau ABRI/TNI mau menjabat sipil, sebagai menteri, anggota DPR, gubernur, bupati dan jabatan sipil lainnya, maka ia perlu mengembalikan senjatanya ke negara. Alias mundur dari jabatan TNI. Setelah itu, dia berhak dipilih untuk menjabat publik.

Sayangnya, UU TNI memberikan kewenangan agar prajurit aktif TNI dapat rangkap jabatan dengan sejumlah jabatan lain. Ada 14 jabatan yang dibolehkan, yaitu: Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara; Pertahanan Negara/Dewan Pertahanan Nasional; Kesekretariatan Negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden; Intelijen Negara; Siber dan/atau Sandi Negara; Lembaga Ketahanan Nasional Search and Rescue (SAR) Nasional; Narkotika Nasional; Pengelola Perbatasan; Penanggulangan Bencana; Penanggulangan Terorisme; Keamanan Laut; Kejaksaan Republik Indonesia; dan Mahkamah Agung.

Dari beberapa jabatan tersebut, ada beberapa yang mungkin masih bisa diterima karena berkaitan dengan tugas keamanan juga, seperti Pertahanan Negara, Keamanan Negara, dan Intelijen Negara. Tetapi, dua jabatan terakhir, Kejaksaan dan Mahkamah Agung, agak jauh dari semangat TNI.

Belum lagi, ada sejumlah prajurit TNI aktif yang juga menjabat di luar 14 jabatan tersebut. Misalnya Mayjen TNI Irham Waroihan juga dimutasi menjadi Irjen Kementerian Pertanian (Kementan); Laksamana Pertama TNI Ian Heriyawan di Badan Penyelenggara Haji (BPH); Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog); Jenderal TNI Maruli Simanjuntak sebagai Komisaris Utama PT Pindad (Menantu Luhut Binsar Panjaitan); Laksamana TNI Muhammad Ali sebagai Komisaris Utama PT PAL Indonesia. Coba diperhatikan dan dibandingkan dengan seksama jabatan yang ada di UU TNI terbaru, banyak prajurit aktif TNI yang menjabat tidak sesuai fungsi TNI. Bagaimana bisa TNI mengurus pertanian, haji, Bulog, hingga bisnis usaha negara di bawah BUMN.

Mengancam Kebebasan Pers

Terakhir, penguatan TNI ke berbagai lini sipil ini juga akan mengancam kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Tidak ada dialog, langsung main golok. Tidak ada diskusi, pokoknya dipersekusi. Tidak ada gerakan pena, semua ditodong senjata.

Semangat demokrasi jelas sulit diterapkan di tengah menguatnya militerisme. Orang tidak bisa bebas mengkritik karena dibayang-bayang ketakutan. Hari ini, kita menyaksikan, Redaksi TEMPO, media jurnalis independen yang selalu kritis sejak dulu ini mendapatkan ancaman teror: kepala babi dan bangkai tikus yang dikirim ke kantornya. Inikah semangat demokrasi?

Mengembalikan Marwah TNI: Pesan Profetik Kenabian

Tulisan ini dibuat bukan untuk menyerang fungsi TNI. Tentu kita pun harus fair. Ada banyak jasa pasukan bersenjata ini dalam menjaga negara. Justru di sinilah pentingnya mengembalikan marwah TNI ke asalnya. Mindset militerisme bukan berarti ditolak sepenuhnya, tetapi dikembalikan pada tempatnya. TNI yang menjaga negara ini di wilayah perbatasan, tentu harus bermental pemadam kebakaran, bukan pola pikir arsitek yang merancang kota.

Mengingat saat ini sedang bulan puasa, pesan profetik kenabian tentang profesionalitas dapat menjadi refleksi bersama. Suatu ketika Nabi bersabda:

“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”.

Hadis ini menjadi catatan penting, ketika banyak TNI yang diberikan jabatan di luar keahlian dan kapasitasnya. Alih-alih menatap masa depan emas, bisa jadi yang tercipta adalah generasi cemas.

Saat ini, harga diri TNI dipertaruhkan dengan keterlibatannya pada jabatan sipil dan politik praktis. Dorongan yang besar dari masyarakat dan mahasiswa yang menolak UU TNI adalah bentuk cinta rakyat terhadap negara dan angkatan bersenjata. Bukan berarti TNI tidak dapat mengabdi pada negeri, tetapi semua sudah ada porsinya masing-masing. Jika ingin terlibat dalam kehidupan sipil secara aktif, maka tanggalkan gaman yang melekat di badan. Sebab rakyat tidak boleh digertak dan ditakuti dengan senapan.

Pada saat yang sama, senjata hanya bisa membunuh nyawa, tetapi tidak dapat memberangus cita yang bersenyawa.

Membumikan Fikih yang Berpihak Pada Perempuan

PADA Minggu, 12 Juni 2023, Rumah KitaB diwakili oleh Kiyai Achmat Hilmi menghadiri undangan mengisi ceramah di salah satu komunitas mitranya di Jakarta Utara, yaitu Komunitas Aisyah Humairo (KAH). Kegiatan ini merupakan pengajian rutin KAH yang dikemas dari kegiatan Arisan Komunitas KAH. Komunitas ini merupakan jaringan 84 majelis taklim kaum ibu yang telah tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Kabupaten Bekasi.

Siang itu, ba’da Zhuhur, seakan matahari tepat di atas kepala, sangat terik mencengkeram kulit mereka yang melintas di bawahnya tanpa penutup kepala. Tak menyurutkan langkah puluhan perempuan di atas usia 30 tahun sebagian besar mengendarai sendiri sepeda motornya menuju rumah Haji Suaebah berlokasi di samping pelataran Masjid Al-Alam, sebuah masjid tertua di ujung utara Sungai Ciliwung. Masjid itu dibangun pada abad ke-17 Masehi oleh Raden Fatahillah, di pintu utama yang menghadap ke Sungai terdapat tulisan Jawa Kuno berbunyi, “Isun titip Tajug lan Fakir Miskin,” (Saya titipkan masjid dan fakir miskin agar dirawat). Rupanya itu pesan dari Sunan Gunung Djati (w. 1568 M).

Rumah Haji Suaebah berada di komplek pemukiman padat penduduk yang berlokasi tepat di samping pelataran parkir sebelah barat masjid Al-Alam, terdapat jalan kecil selebar 70 cm, yang hanya dapat dilalui kendaraan roda dua.

Para jamaah perempuan yang telah tiba, mereka duduk mengambil tempat di sela-sela ruang kecil, ditemani dua kipas angin yang berputar kencang menghapus sebagian keringat mereka. Tampak wajah-wajah antusias mereka saat menyimak paparan, sebagian mereka berkaca-kaca dan beberapa di antaranya menangis meneteskan air mata. Sebagian mereka mengungkapkan selama ini agama menjadi pembenar perlakuan diskriminatif terhadap mereka, menempatkan mereka sebagai pihak nomor dua, sebagai pihak yang boleh dipoligami, boleh dididik dengan kekerasan fisik, dan menempatkan takdir mereka sebagai pelayan bagi suami. Bahkan pandangan agama yang disosialisasi selama ini membuat mereka merasa berdosa ketika mereka mencari peruntungan pendapatan alternatif, dan meninggalkan pelayanannya terhadap suami. Sedangkan pendapatan suami tidak cukup memenuhi kebutuhan dapur, dan tidak cukup membiayai keperluan pendidikan anak-anak.

Ceramah Hilmi siang itu bertajuk “Membumikan Fikih yang Berpihak Pada Perempuan”, dengan lima poin pembahasan. Pertama, syariat Islam berisi ajaran yang menjadi pemandu manusia dalam menggapai maslahat hidup di dunia dan di akherat. Maslahat yang dimaksud tidak hanya dikhususkan bagi laki-laki, tetapi juga berlaku bagi perempuan dan anak-anak. Bahkan ajaran Islam berfokus pada memperjuangkan hak perempuan dan kelompok rentan yang mengalami diskriminasi, yang dikenal dalam Islam sebagai kelompok mustadh’afin. Kedua, lima prinsip hak asasi manusia dalam Islam meliputi hifzh al-dîn (memelihara hak beragama), hifzh al-nafs (memelihara hidup), hifzh al-‘aql (memelihara akal melalui pendidikan), hifzh al-nasl (memelihara kualitas keturunan dan perlindungan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-mâl (memelihara harta dan hak mencari pendapatan). Kelimanya merupakan hak bagi perempuan dan laki-laki. Ketiga, internalisasi kelima hak dasar manusia dalam hak perempuan bekerja dan kewajiban bersama suami-istri dalam pengasuhan anak. Keempat, kritik praktik poligami yang sering terjadi di masyarakat sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, yang berlawanan dengan syariat Islam. Kelima, KAH (Komunitas Aisyah Humairo) harus selalu dipelihara dan dikembangkan sebagai komunitas Majelis Taklim atau pesantren ramah perempuan dan anak-anak, sebagaimana telah dipraktikkan kanjeng Nabi Muhammad yang senantiasa membawa serta kedua cucunya ke dalam masjid.

Salah seorang Jamaah bertanya, apa hukumnya suami yang tidak mencari nafkah? Ia melimpahkan beban mencari nafkah itu kepada istrinya, kemudian istrinya sibuk berdagang mencari pendapatan untuk kebutuhan keluarga, namun di saat yang sama suaminya tidak mau menggantikan peran-peran domestik istrinya?

Merujuk pada al-Qur`an terdapat beberapa ayat yang memberi pesan tentang kesalingan yang digali dari maqashidnya (maksud luhurnya), termasuk kesalingan dalam hal pekerjaan, suami mengerjakan pekerjaan yang tidak dilakukan istrinya, begitu juga istri melakukan pekerjaan yang sedang tidak dilakukan suaminya. Di dalam Q.S. al-Nisa`: 34, tanggungjawab lebih banyak dibebankan kepada laki-laki. Ketika suami tidak memiliki kemampuan mencari nafkah, suami harus mengerjakan pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak, membersihkan rumah.

Pada prinsipnya dalam Islam tidak ada pekerjaan khusus untuk laki-laki atau perempuan. Sebagaimana tafsir Q.S. al-Nisa`: 34 yang disajikan dalam buku “Maqashid Syariah Lin Nisa” (Rumah KitaB, 2023), bahwa laki-laki dapat menjadi penopang bagi istrinya, dengan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya. Begitu juga perempuan dapat menjadi penopang bagi suaminya ketika memiliki kapasitas. Inilah yang dimaksud dengan “bimâ fadhdhala Allâhu”, artinya mereka yang mempunyai kelebihan dapat menjadi penopang bagi yang lain yang tidak memiliki kemampuan. Semua kembali pada komunikasi suami-istri di mana mereka dapat berbagi peran sesuai dengan keinginan, kapasitas, dan kesepakatan.[]

 

Laporan Seminar Internasional Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Rumah KitaB, 21 Oktober 2020

 

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Muslim Indonesia dikenal memiliki cara pandang keagamaan moderat (wasathiyyah). Dua aspek yang menonjol dan hampir tak dimiliki oleh negara berpenduduk Muslim lain adalah terbukanya akses bagi perempuan ke ruang publik untuk sektor apapun, dan terjadinya konvergensi alamiah antara feminis sekuler dengan feminis Islam –yang bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan perempuan. Selain, tentu saja, dipengaruhi dua Ormas keagamaan raksasa di negeri ini, yaitu NU dan Muhammadiyah.

 

Namun, seiring perubahan, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional, moderatisme Islam yang menjadi ciri umum masyarakat Indonesia mendapat tantangan serta banyak mengalami pergeseran. Hal ini ditandai semakin menyempitnya ruang gerak perempuan  akibat fundamentalisme agama, yaitu sebuah paham yang memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak.

 

Inilah salah satu yang melatarbelakangi penelitian Rumah KitaB tentang dampak fundamentalisme agama terhadap perempuan. Desember 2019 sampai Juni 2020 Rumah KitaB melakukan penelitian di lima wilayah di Indonesia, yaitu Depok, Jakarta, Bogor, Bandung dan Solo Raya. Menurut Lies Marcoes, selaku direktur eksekutif sekaligus koordinator penelitian ini, Rumah KitaB merekrut dan melatih 14 peneliti muda yang  didampingi 4 supervisor untuk melakukan penelitian sekaligus kaderisasi peneliti feminis.

 

Hasil penelitian itu kemarin (21/10) diluncurkan melalui Webinar dengan tajuk “Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan”. Webinar hasil kerjasama Rumah KitaB dengan Sydney Southeast Asian Centre The University of Sydney (SSEAC) ini mengundang sejumlah pembicara dan panelis: Lies Marcoes, M.A. (Direktur Rumah KitaB), Nur Hayati Aida (Peneliti Rumah KitaB), Prof. Dr. Musdah Mulia (Indonesian Conference on Religion and Peace [ICRP]), Prof. Dr. Michele Ford (sydney Southeast Asian Centre, The University of Sydney, Australia), Nurhady Sirimorok, M.A. (peneliti senior Rumah KitaB), Dr. Noor Huda Ismail (Nanyang Technological University, Singapura), Ihsan Ali Fauzi, M.A. (PUSAD Paramadina), R. Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M. (Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme [BNPT]). Acara dibuka oleh Ulil Abshar Abdalla (board Rumah KitaB) dan Walter Doetsch (Director Office of Democratic Resilience dan Governance, USAID Indonesia. Acara ini dihadiri sekitar 234 peserta, termasuk di antaranya datang dari Malaysia, New Zealand, Australia, dan Belanda. Peserta yang hadir beragam mulai dari akademisi, peneliti, aktivis CSO, pengurus organisasi kemasyarakatan, wartawan, hingga dari unsur pemerintahan

 

Dalam sambutannya, Doetsch mengucapkan terima kasih kepada Rumah KitaB yang telah melakukan penelitian penting ini. Menurutnya, hal ini sejalan dengan perhatian dan kerja organisasinya dalam mendorong kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Penelitian ini juga sangat berguna dan ikut memberikan kontribusi signifikan dalam CVE dan demokratisasi.

 

Dalam presentasinya, Lies Marcoes menyebut bahwa penelitian ini berhasil menemukan dan meredefinisi konsep kekerasan ekstrem. Selama ini kekerasan lebih banyak dipahami secara maskulin sebagai kekerasan fisik yang menyebabkan kematian fisik. Dengan menelaah everyday oppression melalui hegemoni ajaran tentang fitrah dan fitnah perempuan mengalami kematian jiwa, pikiran, kemandirian dan kebebasan. Kekerasan ini bersifat non-fisik akibat cara pandang tentang perempuan sebagai fitnah dan fitrah. Inilah kekerasan ekstrem yang dialami banyak perempuan yang hanya dapat dilihat jika digunakan alat analisis yang tepat yaitu analisis gender.

 

Cara efektif yang mereka lakukan untuk menyebarkan gagasannya adalah  mendelegitimasi ajaran-ajaran Islam wasathiyyah –yang tadinya bersifat cair dan memberi ruang kepada perempuan. Melalui konsep hijrah, ruang gerak perempuan dipersempit dan selalu dalam pengawasan laki-laki (hegemoni patriarki). “Fenomena ini tak hanya terjadi di perkotaan, tapi sudah merambah ke pedesaan.  Ajaran ini semakin menemukan momentumnya setelah berkawan dan berkawin dengan kapitalisme,” ujar Lies. Dalam maksud itu ajaran fundamentalisme diterjemahkan oleh pasar dan melahirkan “ merek” barang dan jasa yang dicap syar’i dan tidak syar’i.

 

Mempertajam pemaparan Lies Marcoes, Aida menjelaskan bahwa melalui riset feminis-etnografi ini struktur-struktur relasi sosial dan gender yang timpang, yang menjadi ancaman bagi keamanan insani perempuan bisa terlihat dengan jelas. Ancaman itu terjadi sepanjang hari terhadap perempuan, dan hampir-hampir sulit untuk dikenali sebagai sebuah kekerasan. Sebab, peran dan relasi gender dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang punya daya paksa dalam membentuk kepatuhan. Hasil temuan penelitian ini mengerucut pada ajaran tentang perempuan sebagai fitnah. Karena itu, untuk menjaga stabilitas moral, maka fitrah perempuan harus tunduk secara permanen kepada lelaki sebagai upaya mengatasi masalah sosial yang ditimbulkan oleh fitnah perempuan.

 

Melalui dua ajaran tersebut menghasilkan rumusan tentang konsep gender transendental, yaitu sebuah ide tentang keadilan yang akan diraih perempuan ketika negara Islam atau minimal syarat Islam telah diterapkan, atau kelak di akhirat.

 

Tiga temuan ini menjadi antitesis atas konsep keadilan gender yang selama ini dikembangkan sebagai metode dan strategi untuk meraih kesetaraan gender. Tiga temuan itu menjelaskan tentang narasi dan logika kekerasan berbasis gender terhadap perempuan akibat hegemoni paham fundamentalisme melalui proses penundukkan yang berlangsung terus menerus dan setiap hari. Ajaran fundamentalisme juga mendelegitimasi tradisi dan ajaran Islam wasathiyyah yang selama ini menghargai keberagaman.

 

Selain itu, kata Prof. Michele Ford, ketidakbolehan perempuan bekerja akibat konsep fitnah dan fitrah, menyebabkan ketergantungan perempuan. Bagi mereka yang mapan secara ekonomi, mungkin hal ini tak begitu bermasalah. Namun, bagi mereka yang secara ekonomi kurang mapan, tentu akan menambah beban ganda bagi perempuan. Namun, Michele juga merekomendasikan semestinya penelitian ini lebih jeli dalam melihat bahwa di lapangan pandangan serupa itu tak melulu ditemukan dalam kelompok Salafi Fundamentalis, tetapi di dalam pandangan tradisional pun juga muncul.  Sebagaimana yang ia amati dalam kelompok atau lingkungan buruh yang menjadi pusat amatannya. Karenanya, ia mengusulkan harus melihatnya sebagai sebuah kontinum dari yang moderat sampai yang fundamentalis.

 

Karena itu, menurut Musdah Mulia, penting sekali merebut kembali ruang publik untuk menarasikan bahwa agama sudah seharusnya tegas menyuarakan indahnya cinta, kasih sayang, komitmen persaudaraan, solidaritas, emansipasi, kesetaraan, dan keadilan. Agama harus mampu mengentaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan,dan keterbelakangan. Singkatnya, agama harus mampu mentransformasikan manusia menjadi lebih manusiawi.

 

Di samping mengapresiasi hasil penelitian ini, para panelis juga memberikan masukan dan beberapa catatan. Salah satunya dari Ihsan Fauzi. Menurutnya, penting juga dijelaskan karakteristik masing-masing wilayah penelitian: Mengapa wilayah itu dipilih dan unsur-unsur apa saja yang dilihat. Juga dipertajam bentuk-bentuk resiliensinya.

 

Nurhady Sirimorok mencatat sejumlah rekomendasi sebagai penajaman yang diusulkan Ibu Musdah tentang pentingnya melanjutkan penelitian dan produksi pengetahuan. Sebagai pegiat dalam gerakan sipil, Nurhady menyarankan untuk melakukan penelitian terlibat agar perempuan sendiri dapat mencatat dan menganalisis problem yang mereka alami ketika berhadapan dengan hegemoni fundamentalisme dalam kehidupan sehari-hari mereka.

 

Sementara Noor Huda Ismail menekankan perlunya penggunaan media populer yang kreatif untuk mensosialisasikan ancaman keamanan insani agar tak elitis dan hanya menjadi isu kalangan elit saja.

 

Sejumlah penanggap mengapresiasi tinggi atas penelitian dan merekomendasikan agar kajian ini disosialisasikan dengan cara populer dan dilakukan studi lanjutan untuk mendokumentasikan perempuan yang berhasil melakukan resiliensi. [] JM

ic

 

 

 

 

 

LAPORAN BOOK ROADSHOW: “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak”

Kamis, 12 September 2019

Pukul: 13.00 – 16.00

Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat

DALAM rangka Book Road Show 2019, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) menyelenggarakan diskusi dan bedah buku “Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak”, di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Kamis, 12 September 2019. Sambutan disampaikan oleh Dr. Zaky Mubarak, M.Si., Direktur Pasca Sarjana Institute Agama Islam Cipasung, dan Lies-Marcoes-Natsir, MA., Direktur Eksekutif Rumah KitaB. Acara ini dihadiri 149 peserta yang terdiri dari para dosen, guru, dan santri Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.

Pemantik diskusi disampaikan oleh Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd. (PP Cipasung) yang berbicara banyak tentang pengalaman Pondok Pesantren Cipasung dalam mempraktikkan keadilan gender. Selanjutnya para peserta bersama para narasumber, yaitu Prof. Dr. Amina Wadud (USA), Jamaluddin Mohammad (Tim Penulis Rumah KitaB), dan Ulil Abshar Abdalla, MA. (PBNU), mendiskusikan beragam upaya pembacaan ulang yang melahirkan tafsir hubungan relasi gender yang lebih setara dan adil sebagai produk pemikiran yang secara sosial mempunyai pengaruh sangat luas di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim.

Acara ini dimulai dengan pembacaan QS. al-Isra`: 13 yang menyatakan bahwa setiap manusia tanpa membeda-bedakan jenis kelaminnya telah ditetapkan amal perbuatannya dan pada hari Kiamat kelak akan dibukakan kepadanya sebuah kitab yang berisi catatan seluruh amal perbuatannya semasa di dunia.

 

Pengalaman Pondok Pesantren Cipasung

Disampaikan oleh Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd., bahwa sejak awal berdirinya Pondok Pesantren Cipasung, KH. Muhammad Ruhiyat, yang merupakan kakek Ibu Nyai Ida—sapaan akrab Dra. Hj. N. Ida Nurhalida, M.Pd.—dan pendiri Pondok Pesantren Cipasung, sudah menerapkan apa yang disebutnya sebagai keadilan gender.

Berdasarkan ceritanya, saat memimpin dan mengasuh pesantren ini, yaitu pada tahun 1931, KH. Muhammad Ruhiyat, dalam mengajar, selain dibantu oleh putranya yaitu KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat, juga dibantu oleh seorang ajengan perempuan yaitu Ibu Hj. Suwa. KH. Muhammad Ruhiyat tidak pernah beranggapan bahwa perempuan tidak mempunyai keahlian apa-apa sehingga tidak bisa memberikan manfaat bagi pesantren. Ibu Hj. Suwa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajar kitab “al-Jawhar al-Maknûn”, “Alfîyyah”, dan kitab-kitab lainnya kepada santri laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan bahwa KH. Muhammad Ruhiyat sesungguhnya merupakan sosok yang sangat adil gender.

Menurut Ibu Nyai Ida, diskusi dan bedah buku “Fikih Perwalian” bukanlah kegiatan pertama terkait pembacaan ulang terhadap fikih mengenai perempuan. Jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1994, di Pondok Pesantren Cipasung sudah ada kegiatan sejenis yang dimulai dengan program Fiqh al-Nisa` P3M bersama Kiyai Masdar F. Mas’udi dan kawan-kawannya. Program ini bahkan mendapat dukungan penuh dari ayahnya, KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat. Saat itulah untuk pertama kalinya Ibu Nyai Ida mengenai istilah “gender”.

Setelah mengenal dan memahami istilah “gender”, Ibu Nyai Ida kemudian berkesimpulan bahwa kesetaraan sejatinya merupakan nilai luhur yang kehadirannya tak bisa dibantah di dalam keseharian Pondok Pesantren Cipasung. Ayahnya sendiri, KH. Muhammad Ilyas Ruhiyat, sangat menghargai istri dan anak-anaknya. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama tanpa pembedaan dan tanpa pengekangan. Setiap orang diberi kebebasan untuk menekuni bidangnya masing-masing, dan bahkan diberi kebebasan untuk memilih jodohnya tanpa ada paksaan.

Meskipun ibunya hanyalah tamatan SD, tetapi ayahnya selalu mengajaknya bermusyawarah dalam masalah apapun. Di balik kesuksesan ayahnya yang merupakan Rais ‘Amm PBNU, ada ibunya yang sederhana yang selalu memberikan masukan dan mendukung setiap langkahnya.

Dalam perkembangannya, di Pondok Pesantren Cipasung, perempuan tidak hanya diberi kesempatan untuk mengajar atau menjadi guru ngaji, tetapi juga diberi amanah untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan formal. Sebut saja, misalnya, Kepala MI, MTs, MAN, SMA, dan bahkan Ketua STIE di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, semuanya adalah perempuan. Dan berdasarkan pengamatan, para perempuan yang memimpin lembaga-lembaga pendidikan formal itu dinilai cukup berhasil.

Mengenai perkawinan anak, Ibu Nyai Ida bercerita bahwa salah seorang bibinya dinikahkan di usia 9 tahun. Setelah dinikahkan ia tidak langsung boleh hidup dalam satu rumah bersama suaminya. Ia baru boleh berkumpul dengan suaminya setelah berusia 15 tahun. Ia mempunyai banyak anak, dan semuanya menjadi orang sukses.

Dalam kehidupan sehari-hari, kenang Ibu Nyai Ida, bibinya tampak baik-baik saja. Tetapi begitu diajak mengobrol dari hati ke hati, ternyata cukup banyak masalah yang dialaminya. Ia sangat sedih karena tidak bisa bersekolah lagi. Kesempatannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hilang begitu saja saat ia diketahui telah menikah. Kepada anak-anaknya ia mewasiatkan untuk tidak menikah kecuali setelah lulus kuliah.

Ibu Nyai Ida mendengar banyak cerita dari beberapa saudaranya yang menikah di usia anak. Mereka bilang, “Kalau nikah anak sebaiknya jangan.” Mereka bahkan terlibat dalam kampanye pencegahan perkawinan anak di lingkungan pesantren. Sebab di pesantren biasanya ada seorang santriwati yang dibawa pulang oleh orangtuanya untuk dinikahkan. Tidak jarang pihak pesantren harus bernegosiasi dengan orangtua supaya anaknya diberikan kesempatan untuk lulus dari pendidikan di pesantren, dan ketika usianya sudah cukup dewasa baru boleh dinikahkan.

Bagi Ibu Nyai Ida, perkawinan anak adalah masalah darurat yang dalam penanganannya perlu melibatkan banyak pihak, termasuk pihak-pihak di dunia pendidikan pesantren. Memang tidak ada ajaran agama yang secara tegas melarang perkawinan anak. Para ulama pun masih berbeda pendapat mengenainya. Sebagian menganggap perkawinan anak itu sah, dan sebagian lainnya menganggapnya tidak sah. Meskipun mungkin dianggap sah, tetapi perkawinan anak bukanlah sesuatu yang baik karena berdasarkan pengalaman lebih banyak mengandung mafsadat daripada maslahat.

Dalam membaca teks, menurut Ibu Nyai Ida, sangat penting untuk melihat latarbelakangnya: kenapa teks itu muncul, kapan, dan dalam konteks apa? Inilah yang disebut dengan kontekstualisasi yang senantiasa menuntut penyeimbangan antara teks dan konteks supaya misi Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamin, rahmat bagi laki-laki dan perempuan, itu tetap bisa dijalankan.

Untuk lebih menunjukkan kepedulian terhadap perempuan, di Pondok Pesantren Cipasung telah dibentuk WCC (Women Crisis Center) atau PUSPITA (Pusat Perlindungan Wanita) yang merupakan bagian dari Puan Amal Hayati. Banyak kasus yang telah ditangani oleh PUSPITA. Di antaranya adalah kasus seorang anak perempuan yang berkali-kali diperkosa oleh ayah kandungnya. Diceritakan oleh Ibu Nyai Ida, setiap kali si ayah hendak melakukan perbuatan jahatnya itu, dengan sengaja ia mengungsikan istrinya keluar, sedangkan si anak tidak boleh ikut. Ini dilakukannya berkali-kali tanpa perlawanan dari si anak, sampai akhirnya kejahatannya itu terbongkar dan kemudian dilaporkan ke PUSPITA. Si ayah itu pun ditangkap dan dipenjara. Sementara si anak didampingi oleh PUSPITA dan diikutsertakan dalam kursus rias, dan akhirnya ia diambil menantu oleh guru riasnya. Sekarang ia hidup bahagia bersama suaminya.

Dalam pandangan Ibu Nyai Ida apa yang dilakukan oleh PUSPITA itu adalah upaya untuk melindungi nyawa dan martabat manusia dan merupakan bagian dari keberagamaan. “Di manapun kita berada, di sanalah kita harus menjalankan keberagamaan kita. Ketika kita berada di sekolah atau di kampus, di sanalah kita menjalankan keberagamaan kita, bukan hanya lewat shalat atau puasa,” tuturnya.

 

Antara Teks dan Konteks

Pengalaman yang disampaikan oleh Ibu Nyai Ida adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Tidak berangkat dari teori, tetapi dari realitas sosial yang menunjukkan bahwa perempuan mempunyai apa yang dalam istilah ilmu-ilmu sosial itu disebut sebagai agency atau ahlîyyah, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau mengubah sesuatu di dalam masyarakat, dan itu dibuktikan dengan sangat baik oleh pengalaman Ibu Nyai Ida sendiri melalui institusi di Pondok Pesantren Cipasung. Pengalaman seperti ini tersebar luas di masyarakat, bahwa perempuan mempunyai kapasitas dan agency yang dalam beberapa hal melebihi agency laki-laki.

Diakui atau tidak, pandangan yang menguasai kita saat ini adalah pandangan yang dibangun oleh laki-laki. Di dalam sejarah penafsiran al-Qur`an, misalnya, pemain utamanya sebagian besar adalah laki-laki. Jarang sekali ditemukan penulis tafsir dari kalangan perempuan. Di Indonesia, atau bahkan di dunia, semua penulis tafsir al-Qur`an adalah laki-laki.

Karenanya, seperti disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla, MA., pandangan tentang peran perempuan di dalam masyarakat itu kadang-kadang tidak balance. Tafsir terhadap teks-teks al-Qur`an dan hadits yang terkait dengan perempuan, yang dibangun dan ditulis oleh para laki-laki, belum mencerminkan pengalaman perempuan. Akibatnya terjadi gap antara teks dan realitas. Di satu sisi kenyataannya perempuan semakin banyak berkiprah di masyarakat, di sisi lain tafsir al-Qur`an dan hadits—yang kebanyakan ditulis oleh para laki-laki—masih memandang rendah peran-peran perempuan.

Gap tersebut, menurut Ulil Abshar Abdalla, sudah terjadi sejak lama, dan belakangan mulai dipertanyakan oleh para intelektual muslim, termasuk para intelektual muslim Indonesia. Dalam perkembangan saat ini, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia sudah melakukan tindakan-tindakan yang besar menyangkut pemberian peran yang semakin besar kepada perempuan. Terkadang tindakan-tindakan tersebut dilakukan tanpa terlebih dulu meminta persetujuan dari para ulama. Kalau para ulama dimintai persetujuan, mungkin tidak semuanya akan sepakat. Contoh, sekarang ini bagian dari gerakan dunia adalah memberikan kepada perempuan representasi yang cukup di dalam peran-peran sosial. Misalnya, di dalam undang-undang politik kepartaian dicantumkan bahwa semua partai politik diwajibkan untuk mengalokasikan 30% dari caleg mereka adalah perempuan.

Selain itu, di dalam struktur keorganisasian partai-partai politik juga diharuskan memberikan alokasi yang cukup kepada perempuan. Ketika terjadi pembahasan undang-undang politik di parlemen mengenai representasi 30% caleg perempuan, tidak ada yang mempermasalahkannya. Tidak pernah terjadi suatu keributan di Indonesia berdasarkan alasan keagamaan yang mempersoalkan peran perempuan yang semakin besar di dalam partai politik. Padahal sebetulnya kalau melihat pengalaman di negera-negara lain, yang juga berpenduduk mayoritas muslim, masalah ini terus menjadi perdebatan.

Di negeri-negeri Arab Teluk seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emerat Arab, dan seterusnya, bahkan kedudukan perempuan sebagai anggota parlemen pun masih dipersoalkan: apakah perempuan boleh menjadi anggota parlemen? Apakah perempuan mempunyai ahlîyyah atau agency untuk menjadi anggota parlemen?

Tetapi di Indonesia, masalah-masalah semacam itu tidak pernah dipersoalkan. Padahal konstruksi tafsirnya hingga saat ini masih tradisional yang memandang perempuan sebagai makhluk yang seharusnya selalu ada di dalam rumah, bukan di luar rumah. Hal ini sangat kontras dengan realitas di masyarakat yang memperlihatkan banyak sekali perempuan yang aktif di dalam partai politik, menjadi anggota parlemen, dan menjadi pejabat negara.

Dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla, pada tahun 1950-an seorang sarjana Amerika Serikat bernama Daniel S. Lev melakukan penelitian mengenai lembaga-lembaga peradilan di berbagai wilayah di Indonesia. Di dalam penelitiannya ia menjumpai seorang perempuan yang menjadi hakim agama. Tentu saja hal ini sangat mengagetkannya, sebab bagaimana mungkin di negeri seperti Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim memberikan ruang kepada perempuan untuk menjadi seorang hakim, sesuatu yang nyaris tak bisa dibayangkan terjadi di negeri-negeri muslim yang lain.

Di dalam al-Qur`an terdapat sebuah ayat yang menyatakan “Al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`,” [QS. al-Nisa`: 34]. Menurut Ulil Abshar Abdalla, tafsir para ulama terhadap ayat ini cenderung seragam, yaitu bahwa kepemimpinan atau leadership itu ada di tangan laki-laki, sementara perempuan hanya dianggap sebagai makmum. Fakhruddin al-Razi, misalnya, di dalam kitab “Mafâtîh al-Ghayb” (tafsir besar Sunni terakhir, abad ke-13 M) mengatakan bahwa “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” maknanya adalah “laki-laki itu diberikan hak untuk menjadi seorang pemimpin yang menguasai perempuan”.

Kalau dilihat, seluruh konsep mengenai wilâyah dan qiwâmah basisnya adalah “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” (laki-laki pemimpin bagi perempuan). Tetapi di dalam praktik sehari-hari banyak sekali dijumpai pengalaman “al-nisâ` qawwâmâtun ‘alâ al-rijâl” (perempuan pemimpin bagi laki-laki). Contohnya adalah Ibu Nyai Ida yang kini menjabat sebagai Kepala MAN II Cipasung. Dengan kedudukannya itu ia membawahi banyak sekali laki-laki.

Apakah kedudukan Ibu Nyai Ida sebagai Kepala MAN itu bertentangan dengan al-Qur`an? Jadi, sekarang ini kita berhadapan dengan suatu keadaan di mana terjadi gap antara “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ`” sebagai teks dan “al-nisâ` qawwâmâtun ‘alâ al-rijâl” sebagai konteks atau sebagai kenyataan sosial. Dengan demikian maka tantangan para sarjana muslim ke depan adalah membangun konstruksi fikih yang dialogis antara teks (al-Qur`an dan hadits) dengan konteks (realitas sosial).

 

Pentingnya Pendidikan untuk Kesetaraan

Ibu Nyai Ida menyampaikan bahwa ketika memberikan ceramah di majelis-majelis taklim dan pengajian-pengajian selalu menyisipkan materi tentang pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. “Di majelis-majelis taklim kita ceritakan bahwa kalau ingin mempunyai keturunan yang baik, maka ibunya harus pintar. Kalau punya anak, baik laki-laki dan perempuan, keduanya harus diberi kesempatan yang sama untuk belajar dan memperoleh pendidikan,” katanya.

Pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan juga disampaikan oleh Prof. Dr. Amina Wadud. Dengan mengutip salah satu hadits Rasulullah Saw. yang menyatakan, “Mencari ilmu itu wajib baik bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan,” ia mengatakan bahwa sejarah Islam selama 1441 tahun telah menunjukkan pentingnya pendidikan, sebab ayat pertama yang turun kepada Rasulullah Saw. adalah “Iqra`” (Bacalah!) yang menekankan pentingnya membaca. Adanya perintah untuk membaca sebagaimana ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. tersebut telah menambah pengetahuan umat Muslim pada masa itu.

Menurut Prof. Dr. Amina Wadud, umat Muslim mencapai masa keemasannya persis ketika bangsa Eropa sedang berada dalam masa kegelapannya. Tetapi mereka gagal mempertahankannya karena mereka tidak bisa menjaga semangat pentingnya pendidikan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Sangat penting untuk dicatat, bahwa kata “tarbiyah” (pendidikan) yang berasal dari akar kata “rabbâ” (mendidik, mengasuh) di dalam bahasa Arab tidak semata-mata terkait dengan kuantitas angka, tetapi terkait dengan pengasuhan untuk meningkat kualitas kehidupan dan pertumbuhan anak-anak laki-laki dan perempuan.

Kualitas pertumbuhan dan perkembangan harus terus ditingkatkan melalui pendidikan sehingga memungkinkan setiap orang mempunyai peluang untuk menjadi hamba yang baik bagi Allah. Dalam pandangan Prof. Amina Wadud, ketika Allah menyebutkan bahwa Dia akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi, itu menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki tanggungjawab untuk memberikan yang terbaik yang bisa dilakukan guna meningkatkan kualitas kehidupan manusia di muka bumi.

“Sesungguhnya sejarah masa depan belum ditulis,” kata Prof. Amina Wadud. Karenanya setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan yang sama untuk merumuskan langkah-langkah besar demi terwujudnya masa depan yang lebih baik.

 

Tawaran Metodologis dari Buku “Fikih Perwalian

Menurut Ulil Abshar Abdalla, buku “Fikih Perwalian” sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk menjembatani gap antara teks dan konteks dengan cara mengajukan suatu tafsir berbasis maqâshid al-Islâm atau maqâshid al-syarî’ah dan kemaslahatan. Salah satu tema yang menjadi pembahasan di dalam buku ini adalah soal perkawinan anak. Di dalam fikih dikenal suatu konsep tentang wali mujbir, yaitu wali yang punya hak memaksa anaknya untuk menikah. Sebetulnya konsep ini masih menjadi perdebatan antarmazhab; ada mazhab yang membolehkan wali memaksa anak perempuannya untuk menikah, ada yang tidak membolehkan, dan seterusnya.

Selama ini pemahaman populer tentang wali mujbir di masyarakat adalah bahwa seorang wali atau orangtua berhak memaksakan otoritasnya kepada anak perempuannya untuk menikah. Ini terjadi pada kasus perkawinan anak di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Rumah KitaB menemukan fakta bahwa Indonesia termasuk negeri dengan presentasi praktik perkawinan anak yang cukup besar.

Di antara faktor kenapa orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih sangat belia adalah faktor ekonomi, kehamilan di luar nikah, faktor adat atau pandangan sosial bahwa jika seorang anak perempuan sudah sampai pada usia tertentu tetapi belum menikah maka akan menimbulkan rasa malu yang luar biasa sehingga orangtua berhak memaksa anaknya untuk menikah meskipun kadang-kadang dengan pasangan yang mungkin tidak disukai oleh anaknya, dan seterusnya. Konsep wali mujbir ini kemudian dipakai—atau disalahpakai—oleh para orangtua untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan tanpa izin mereka.

Selain soal wali mujbir yang menggambarkan hubungan antara orangtua dan anak dalam kerangka konsep wilâyah (perwalian), buku “Fikih Perwalian” juga membahas tentang relasi antara suami dan istri dalam kerangka konsep qiwâmah (kepemimpinan). Disampaikan oleh Jamaluddin Mohammad, analisis gender sangat diperlukan dalam melihat konsep wilâyah dan qiwâmah. Karena selama ini konsep wilâyah dan qiwâmah sudah menjadi sebuah institusi sosial yang mapan, dipraktikkan sejak 1300 tahun yang lalu, dan menjadi sistem nilai yang diakui dan dianut oleh umat Muslim. Sehingga upaya pembaharuan apapun pasti dicurigai untuk mengubah nash atau teks yang sudah establish dan sudah mapan. Sesuatu yang sudah mapan yang diklaim tidak bisa diganggu gugat, itu coba ditafsir ulang.

Dengan analisis gender sebagai kacamata kritis akan ditemukan bahwa konsep wilâyah dan qiwâmah itu mengandung asimetrisme atau ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan secara umum. Analisis gender ini kemudian diperkuat dengan pendekatan maqâshid al-Islâm atau maqâshid al-syarî’ah (hifzh al-dîn, hifzh al-‘aql, hifzh al-nafs, hifzh al-nasl, dan hifzh al-mâl) dalam kerangka trianggulasi yaitu: teks, konteks, dan maqâshid al-Islâm. Di sini teks dan konteks didorong untuk sampai pada cita-cita besar Islam yaitu maqâshid al-Islâm.

Di dalam buku “Fikih Perwalian” disebutkan sejumlah upaya dari para pemikir dan praktisi untuk menunjukkan bahwa upaya pembacaan ulang terhadap konsep wilâyah dan qiwâmah bukan merupakan sesuatu yang baru di dalam studi Islam. Sejumlah nama tokoh yang bisa disebutkan di antaranya adalah Prof. Dr. Teungku H. Mohammad Hasbi Ash-Shiddiqiy, Prof. Dr. Mr. Hazairin Harahap, S.H., Dr. (HC). KH. Sahal Mahfudz, dan Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Ada juga para ulama Timur Tengah seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Thahir al-Haddad, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin. Mereka adalah para pemikir dan praktisi yang berusaha mengkontekskan perubahan sosial dengan teks agar teks tetap relevan dalam mengatasi asismetrisme hubungan gender di dalam keluarga.

Pemikiran mereka sangat luar biasa. Sebut misalnya Thahir al-Haddad, pemikir dari Tunisia, yang pada masanya sudah menawarkan bahwa pencatatan nikah itu menjadi bagian dari sahnya rukun pernikahan. Surat nikah menjadi rukun dalam pernikahan. Selain itu juga soal talak, menurutnya talak itu adalah hak laki-laki dan perempuan. Jadi, yang bisa mentalak bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, dan itu hanya bisa dilakukan melalui pengadilan. Sekedar mengucapkan “thalaqtuki tsalâtsan” (aku talak kamu tiga kali) tidak bisa langsung terjadi talak. Kalau di dalam kitab fikih klasik memang seperti itu, dan itulah yang coba diubah oleh para ulama.[Roland]

 

Lewat Lenong, Remaja Cilincing Stop Kawin Anak

Dulu, remaja Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara menganggap kawin anak adalah hal biasa. Kini, tidak lagi. Mereka bahkan berkampanye mencegah pernikahan anak lewat seni pertunjukan lenong.

Aye nggak mau kawin, aye mau sekolah dulu,” tangis seorang remaja yang diperankan oleh Febi (17), anggota Teater Itaci saat melakukan pementasan di acara Hari Perempuan Internasional yang diadakan Komisi Perlindungan Anak, beberapa waktu lalu.

Ia memerankan siswi SMP yang mau dinikahkan orangtuanya. Penonton yang sebagian merupakan aktivis dan para aparatur pemerintahan di bidang HAM dan perlindungan perempuan dan anak-anak itu pun larut dalam guliran cerita. Alkisah, ayah Febi berutang pada seorang juragan di daerahnya dan tak mampu membayar. Febi pun di paksa menikah dengan juragan itu agar utangnya lunas, padahal dia masih duduk di bangku SMP.

Ini bukan kali pertama Teater Itaci tampil di acara bertemakan perempuan dan anak. Sebelumnya, mereka pernah tampil di Festival Lenong pada bulan Juli 2018. Dalam festival itu, para remaja dari Kalibaru, Cilincing, itu juga membawakan tema stop perkawinan anak.

Dalam situasi nyata, tokoh Febi merupakan satu dari sekian anak di Cilincing yang terancam dinikahkan di saat usia mereka masih di bawah umur. Berdasarkan data Susenas 2013 yang diolah Statistik Kesejahteraan Rakyat, anak perempuan di DKI Jakarta yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 5,6%, sementara usia 16-18 tahun sebanyak 20,13% dan usia 19-24 tahun sebanyak 50,08%[1].  Hasil asesmen Achmat Hilmi, Program Officer Program Berdaya di Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), pada tahun 2017, tercatat ada 20 persen perempuan melahirkan di Puskesmas Kalibaru ketika masih berusia anak-anak (di bawah 18 tahun).

Kumuh Miskin

Kalibaru merupakan salah satu pemukiman padat di Jakarta. Masyarakat sering menyebutnya daerah kumis, kumuh miskin. Rumah-rumah petak di wilayah itu umumnya berukuran 3×5 meter, dan dihuni 5-8 orang. Sejatinya, lokasi itu diperuntukkan untuk lokasi industri, maka tidak heran jika banyak dari rumah-rumah yang dibangun di daerah tersebut tidak memiliki izin alias ilegal. Rumah-rumah yang dibangun semi permanen itu berdempetan dengan batas selokan dan jalan setapak sempit antara bangunan satu dan yang lain.

Masyarakat Kalibaru terdiri dari beragam suku seperti Betawi, Bugis, Banten, Jawa, Sunda dan Madura. Mata pencaharian kaum lelaki umumnya buruh pabrik, kuli bangunan, pedagang keliling/gerobak makanan, supir, kuli kayu, kenek, serta beberapa guru dan PNS. Tak sedikit pula yang bekerja serabutan atau menganggur.

Sementara mata pencaharian perempuan umumnya adalah buruh upahan harian, pekerja lepas untuk pabrik mainan dan makanan jajanan, warungan, buruh jahit konveksi, dan pekerjaan keterampilan seperti salon dan pemulung di wilayah-wilayah bekas gusuran.

 

Suasana Pasar Kalibaru

Suasana lingkungan Kalibaru

Suasana lingkungan Kalibaru

Penelitian tersebut juga mencatat faktor penyebab perkawinan anak di sana antara lain karena kehamilan yang tidak dikehendaki. Misalnya saja kasus Wiwin (bukan nama sebenarnya). Dia hamil saat berusia 16 tahun karena pergaulan bebas. Sebenarnya dia tak masalah jika menikah karena umurnya sudah 16 tahun dan itu tak melanggar hukum. Namun, yang menjadi masalah pacarnya juga masih berusia 16 tahun. Upaya menikah di KUA kandas dan pak kyai setempat pun menyarankan agar mereka menikah setelah anaknya lahir karena menurut dia, agama tidak membolehkan menikahkan perempuan yang sedang hamil.

Faktor lainnya adalah maraknya anak-anak putus sekolah yang beralih profesi menjadi buruh kasar, serta banyaknya masyarakat dan para tokoh formal dan non formal yang belum menyadari bahaya perkawinan bagi anak-anak perempuan di bawah umur.

Berdaya

Faktor-faktor itulah yang mendorong Rumah KitaB menetapkan Kalibaru sebagai lokasi program penelitian. Sejak tahun 2017, Rumah KitaB mengembangkan Program Berdaya; pemberdayaan para pihak untuk cegah kawin anak. Kegiatan ini didukung Bappenas yang bekerja sama dengan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT)- Australia Indonesia Partnership For Justice 2 (AIPJ2). Upaya cegah kawin anak ini diselenggarakan di tiga wilayah urban, yaitu Cilincing- Jakarta Utara, Cirebon dan  Makassar.

Pelatihan Berdaya Rumah KitaB untuk penguatan remaja di Kalibaru dilaksanakan selama tiga hari, Jum’at, 29 Juni 2018 sampai Minggu, 1 Juli 2018. Kegiatan berlangsung di Pendopo Gudang Kayu milik H. Abdul Karim, ketua RW 06.

Para peserta merupakan remaja warga Kelurahan Kalibaru, terdiri dari remaja aktif bersekolah dan remaja putus sekolah yang berisiko mengalami perkawinan anak. Jumlah peserta sebanyak 31 orang, 21 perempuan dan 10 laki-laki. Usia mereka berkisar antara 13-18 tahun. Semua peserta merupakan hasil seleksi ketat agar pasca pelatihan para remaja dapat terlibat dalam kampanye pencegahan kawin anak di Kelurahan Kalibaru.

Dengan permainan dan diskusi kelompok, para peserta diajak memahami perkawinan anak, permasalahannya dan bahayanya bagi perkembangan remaja. Mereka juga diminta memetakan para aktor pendorong maraknya perkawinan anak di Kalibaru. Sesi ini juga membantu peserta memahami lingkaran kehidupan dalam ruang sosial, baik interpersonal, komunitas dan hubungan imajinatif terkait struktur atau kebijakan.

Selain itu peserta diajak memahami peran laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang biologis dan sosiologis, serta konsep dasar gender dan pengaruhnya dalam perkawinan anak beserta implikasinya yang berbeda di kalangan anak laki-laki dan anak perempuan.

Rupanya, pelatihan yang dilakukan Rumah KitaB tersebut cukup berdampak bagi para remaja. Andre (26), ketua Karang Taruna Kalibaru dan koordinator remaja mengungkapkan, dirinya terinspirasi dari pelatihan yang diadakan Rumah KitaB. Ia mengembangkan poin-poin yang didapat selama pelatihan menjadi sebuah naskah cerita dan kemudian dibuat pertunjukan lenong yang diperankan oleh komunitas Teater Itaci.

“Insya Allah kampanye stop kawin anak akan terus kita sosialisasikan lewat pertunjukan. Lenong kan sifatnya menghibur, jadi pesan pencegahan bisa sampai dengan gaya ringan,” kata Andre, yang juga Ketua Teater Itaci.

 

Dalam proses kreatifnya, Rumah KitaB berperan dalam mengembangkan komunitas Teater Itaci. Selain materi pelatihan, alat-alat pentas, dan perspektif pengetahuan, mereka juga mendapatkan wadah untuk mengekspresikan diri dengan diundang di acara-acara yang melibatkan Rumah KitaB dan AIPJ2. Bahkan Teater Itaci sekarang sedang mempersiapkan diri mengikuti Festival Teater Jakarta.

Andre (Tengah)

Agen Perubahan

Berubahnya pemahaman masyarakat, khususnya remaja, soal kawin anak terlihat dari hasil survei baseline dan endline, berupa pre test dan post test serta pelaksanaan-pelaksanaan inisiatif di tingkat komunitas.

Menurut hasil baseline,  responden di Kota Jakarta Utara adalah responden yang paling menerima praktik perkawinan anak dibandingkan Cirebon dan Makassar. Jika ditinjau dari status respondennya, di Kabupaten Cirebon dan Jakarta Utara, responden remaja  paling menerima perkawinan anak. Sedangkan di Kota Makassar,  orangtua lah yang paling menerima perkawinan anak.

Untuk tokoh formal dan non formal, sudah ada kesadaran yang cukup baik yang terlihat dari rendahnya skor indeks penerimaan perkawinan anak di ketiga kabupaten. Faktor pendidikan dan pendapatan juga terbukti cukup menentukan tingkat penerimaan responden terhadap perkawinan anak.[2]

Hasil endline belum bisa dimunculkan, karena masih ada kegiatan lanjutan berupa diskusi tentang rencana tindak lanjut kegiatan. Namun, dari situasi di lapangan bisa terlihat bahwa level pengetahuan remaja tentang indeks penerimaan kawin anak sudah berubah.

Jika pada awalnya mereka menerima perkawinan anak, sekarang mereka menolaknya, bahkan ikut mengampanyekan penolakan kawin anak lewat lenong. Para remaja itu kini telah menjadi agen perubahan. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka berinisiatif menyebarkannya kepada sebayanya yang juga memiliki  kemungkinan terdampak praktik perkawinan anak.

Keberhasilan itu tampak dalam acara puncak Program Berdaya yang dilakukan Rumah KitaB pada tanggal 4 April 2019 yang bertajuk “RW 06 Kalibaru Menuju RW Layak Anak”. Acara yang dihadiri oleh perwakilan dari tingkat RT/RW, Kelurahan, Walikota, Dinas-Dinas, sampai Kementerian itu merupakan wujud kesepakatan warga dan remaja Kalibaru untuk menjadi RW layak anak, dan secara khusus menolak kawin anak.

Acara hari itu di selenggarakan persis di mulut gang yang dulu dikenal dengan nama “gang sempit”. Gang sempit  berada di dekat pelabuhan bongkar muat dan pelelangan ikan dan pernah dikenal sebagai daerah prostitusi kelas teri. Kini, berkat persuasi dari banyak pihak, wilayah itu telah menjadi hunian keluarga dan bukan lagi lokalisasi.

Sejak hari itu, “Gang Sempit” diubah Namanya menjadi “Gang Berkah”. Babak baru dalam kehidupan warga Kalibaru itu dimeriahkan oleh penampilan Teater Itaci yang membawakan tema stop kawin anak. Di bawah tenda merah putih, lebih dari 500 warga tumpah ruah ikut riuh menyaksikan penampilan lenong.

Dengan kemasan yang ringan dan menghibur, lenong berhasil menjembatani problema masyarakat. Memang, perubahan itu baru terjadi di sebuah kelurahan, di pesisir utara kota Jakarta. Namun, bukankah sebuah perubahan besar kerap dimulai dari perubahan kecil? [Seto]

[1] http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-1-Razali-Ritonga.pdf,

[2] Laporan Baseline AIPJ2 Rumah KitaB kuantitatif

Remaja Kalibaru saat pelatihan

Remaja Kalibaru saat main lenong

Gang Berkah

 

Korps PMII Puteri se-Provinsi Jawa Barat Mengadakan Pelatihan Instruktur Wilayah “Kesetaraan Gender dalam Islam”

PERSATUAN Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Provinsi Jawa Barat mengundang Achmat Hilmi, Manager Kajian dan Media, Rumah Kita Bersama, untuk menjadi fasilitator dalam sesi “Kesetaraan gender dalam Islam (Perspektif Ushul Fikih, Maqashid al-Islam dan Mubadalah) dalam kegiatan Pelatihan Instruktur Wilayah Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (KOPRI) PKC PMII Jawa Barat, dengan tema “Progressive Women Instructors For The Progressive Women’s Organization” di Balai Kemakmuran Masjid Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Jawa Barat, pada hari Sabtu 27 Oktober 2018.

Kegiatan ini dihadiri oleh para ketua organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri dari 21 Kabupaten dan Kota se-Provinsi Jawa Barat. Para peserta merupakan para instruktur dan ketua organisasi PMII Puteri di wilayahnya masing-masing, di antaranya, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar, Kabupaten Garut, Kabupaten  Purwakarta, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Pangandaran, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Cirebon, Majalengka, Indramayu, Kuningan, Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok.

Dalam kegiatan ini, Hilmi memfasilitasi sesi “Kesetaraan gender dalam Islam (Perspektif Ushul Fikih, Maqashid al-Islam dan Mubadalah)”, selama 2 jam, dimulai pukul 08.30 hingga 10.30 WIB. Hilmi menjelaskan Kesetaraan Gender telah disuarakan oleh Nabi Muhammad Saw. sejak fase awal dakwahnya. hanya saja dalam perjalanannya paska Nabi wafat, umat Muslim menafsiran ajaran agama dalam perspektif tradisinya masing masing, terutama tradisi patriarkhisme dan feodalisme yang mengakar kuat dalam peradaban manusia di era Klasik di Timur Tengah, yang merupakan bekas daerah teritorial kerajaan Persia dan kerajaan Romawi Timur. Karena itu, perlu diferensiasi antara Islam sebagai ajaran agama dan Islam sebagai pemahaman masyarakat yang melekat dalam tradisi keagamaan.

Pembacaan terhadap teks keagamaan untuk menghasilkan pemahaman agama yang setara bisa menggunakan beberapa perspektif, yaitu ushul fikih yang berbasis pada rasionalisme dan kemaslahatan, yang dipraktikkan oleh Rifa’at Thahthawi, maqashid al-Islam yang digunakan oleh Rumah KitaB, dan Mubadalah seperti yang digunakan oleh Kang Faqih-Fahmina.

Para peserta terlihat sangat antusias dalam sesi ini, terbukti dalam sesi diskusi banyak sekali respon peserta berupa komentar, pertanyaan, dan saling bertukar pengalaman dalam pengorganisasian masyarakat yang masih mengalami kendala yang diakibatkan oleh ketimpangan relasi gender yang dipraktikkan masyarakat.

Sesi diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan pandangan bahwa perempuan dalam posisi setara dengan laki-laki, memiliki peran yang sama dalam ruang domestik dan ruang publik. Menariknya, diskusi tersebut juga menghasilkan kesepakatan pandangan juga bahwa poligami itu haram, perkawinan anak itu haram, dan perilaku lainnya yang mendiskriminasi perempuan.

Para peserta sangat terkesan dengan metode maqashid al-Islam yang ditawarkan oleh Hilmi sebagai perspektif dalam membaca teks keagamaan untuk menghasilkan pemaknaan gender equality dalam dunia teks. Karena itu dalam sesi ini lebih banyak membahas cara mempraktikkan maqashid al-Islam sebagai alat baca teks. Hilmi menjelaskan bahwa teks keagamaan dalam Islam itu terbagi kepada dua tipologi, yaitu teks-teks universal (ijmaliy) yang berisi maqashid al-Islam, dan teks-teks parsial (tafshiliy) yang berisi kalam-kalam Ilahi dan sunnah Nabi, keduanya tidak ada yang bertentangan, bahkan saling menguatkan untuk menghasilkan kemaslahatan, dan kemaslahatan itu bisa dicapai hanya dalam kondisi masyarakat yang setara.

Pertemuan ini sangat bermanfaat bagi Rumah KitaB, di antaranya yaitu meluasnya dan mengakarnya jaringan Rumah KitaB di provinsi Jawa Barat, terutama di 21 Kabupaten dan Kota yang tersebar di Jawa Barat.

Tepat pukul 10.30 WIB sesi yang difasilitasi oleh Hilmi berakhir, dan ditutup dengan pemberian sertifikat/kenang-kenangan dari Ketua Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri PKC Jawa Barat kepada narasumber dan foto bersama dengan seluruh peserta.[]

Kegiatan Kreasi Kerang Hijau untuk Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kalibaru

Rumah Kita Bersama memberikan pendampingan kepada TIM Remaja Cegah KANAK (Kelompok Remaja Alumni Pelatihan Berdaya Rumah KitaB dan AIPJ2 2018) di Kalibaru, melalui kegiatan kreasi Kerang Hijau untuk Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kalibaru, pada hari Minggu, 23 September 2018, berlokasi di Pendopo Pak Haji Abdul Karim-Ketua RW 06 Kelurahan Kalibaru. Kegiatan ini melibatkan 27 orang remaja yang belum ikut pelatihan BERDAYA Rumah Kita Bersama-AIPJ2, berasal dari 6 RW di kelurahan Kalibaru.

Panitia kegiatan ini di antaranya, Robby, Wahyu, Kadmi, Andri, dan Jumadi, mereka didampingi oleh Hilmi dari Rumah Kita Bersama didukung oleh Ketua RW 06 kelurahan Kalibaru. Robby, remaja yang sudah dua tahun putus sekolah, mengetuai kegiatan ini. Robby menuturkan bahwa dirinya sangat bangga mampu menyelenggarakan kegiatan ini melibatkan partisipasi banyak remaja di Kelurahan Kalibaru untuk membangun pengetahuan pentingnya pencegahan perkawinan anak yang saat ini marak di Kalibaru.

Tujuan dari kegiatan ini adalah berubahnya pengetahuan para remaja dari tidak tahu menjadi tahu tentang bahaya perkawinan anak. Bahkan, remaja bernama Nuni, sangat antusias dan berkomitmen untuk menyebarkan pengetahuan ini kepada lingkungan sekitarnya, terutama teman-teman sebaya.

Kegiatan ini menghasilkan 5 buah karya remaja Kalibaru, sebuah kreasi seni untuk kampanye pencegahan perkawinan anak di Kalibaru. Kelima hasil kerajinan ini akan dipamerkan di sekolah-sekolah saat momen kampanye pencegahan perkawinan anak berikutnya, dan juga akan dipamerkan di kelurahan Kalibaru untuk kegiatan sosialisasi pencegahan perkawinan anak yang akan dilaksanakan oleh gabungan para tokoh formal dan non formal, orang tua dan remaja.

Ketua TIM Cegah Kanak, Robby, sudah 2 tahun dia putus sekolah, berkat kegiatan yang diselenggarakannya ini dia berkomitmen untuk berusaha lanjut sekolah meski orang tuanya tidak mampu, dia sedang mencari peluang untuk mengejar paket C, agar dirinya bisa mendapat pekerjaan untuk mendapatkan biaya kuliah. [Hilmi]