Pemuda dan Politik Dinasti

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon

 

Jokowi terkadang terlalu berlebihan menilai anak muda. Di awal periode kedua pemerintahannya, ia mengangkat sejumlah stafsus millenial. Harapannya, lewat anak-anak muda ini, muncul terobosan-terobosan besar untuk kemajuan bangsa ini.

“Tugas mereka secata khusus adalah mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang,” katanya sesaat setelah melantik anak-anak muda pilihan ini.

Sampai menjelang akhir periode, terus terang saya tidak pernah mendengar teobosan-terobosan ataupun gagasan-gagasan besar yang muncul dari stafsus-stafsus millenialnya itu.

Ini bukan berarti kegagalan generasi millenial. Hanya, kebetulan saja millenial yang digadang-gadang Jokowi ini seperti “kerupuk melempem”.

Hal Ini menunjukkan bahwa pengangkatan stafsus hanyalah gimmick politik Jokowi, pepantes, atau sekadar pajangan untuk mempercantik etalase kekuasaannya. Jelek-jeleknya, mereka adalah bekas timsesnya dulu.

Narasi pemimpin muda yang memiliki banyak terobosan, ide-ide kratif, inovatif, bahkan memiliki pikiran-pikiran revolusioner belum bisa dibuktikan Jokowi. Bahkan ketika anaknya memimpin Solo pun tidak kelihatan hebatnya.

Narasi kepemimpinan anak muda muncul lagi ketika anak sulung Jokowi dipasang menjadi cawapres Prabowo—melalui rute politik yang cukup mulus, mengkonsolidasikan ketua-ketua umum partai di Istana, mengaktifkan kembali simpul-simpul relawan pendukungnya, memasang anak bungsunya memimpin partai politik, hingga mengamankan salah satu pasal di MK melalui iparnya yang ketua MK agar anak sulunya bisa lolos melenggang mendampingi Prabowo.

Sekenario politik ini sudah dirancang dan dipersiapkan jauh-jauh hari demi memuluskan jalan Gus Gibran, gus politik, menuju kursi kekuasaan. Jadi, ini bukan perkara enteng-entengan seperti ucapan Jokowi, “Kan yang memilih rakyat”, melainkan sebuah proses yang tidak fair, melanggar prinsip meritokrasi, mengancam dan menghambat demokrasi. Demokrasi dibegal oleh oligarki kekuasaan yang mampu membeli segalanya: partai politik, media, lembaga negara, hingga lembaga survey.

Mungkin saja ini bukan sepenuhnya kehendak Jokowi, melainkan keinginan orang-orang di sekeliling Jokowi yang selama ini sudah nyaman dan tak mau kehilangan kekuasaan. Ada banyak projek, misal di IKN, yang belum selesai dan perlu diamankan pada periode selanjutnya.

Apapun alasannya, dinasti politik yang sedang dirancang Jokowi harus di-ambyar-kan, agar preseden buruk sejarah ini tak terulang kembali.[]

Di Manakah Harga Kemanusiaan?

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon

 

JIKA ingin melihat peta pertarungan dan kekuatan global saat ini, Perang Rusia-Ukraina dan Israel Palestina bisa menjadi perbandingan. Pada 24 Februari 2022 Rusia menginvasi Ukraina, seluruh blok Barat (Nato) langsung memberikan dukungan dan bantuan persenjataan kepada Ukraina. Hal ini berbanding terbalik ketika Palestina berperang melawan Israel. Negara-negara Barat berlomba-lomba membantu Israel. Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pun ikutikut mengecam Hamas dan sepenuhnya membela Israel. Padahal, mereka sama-sama tengah dijajah negara lain.

Padahal, sebagaimana kita tahu, Barat (Amerika Serikat [AS] dan sekutunya) kerap kali mengklaim selalu membawa misi kemanusiaan. Pada 2003 AS menginvasi Irak dengan dalih membebaskan rakyat Irak dari cengkeraman rezim diktator Saddam Husein dan menghancurkan senjata pemusnah masal yang tak bisa dibuktikan hingga hari ini. AS dibantu 20 negara yang tergabung dalam pasukan multinasional memporakporandakan Irak dan menggulingkan pemerintahan Saddam. Invasi AS dan sekutunya ini menyisahkan penderitaan panjang bagi rakyat Irak. Irak porak poranda, masa depan negara ini suram. Kebiadaban AS terhadap Irak juga dialami Afganistan, Suriah, Libia, dll. Siapa yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan ini?

Jika negara-negara Barat berbicara kemanusiaan, mereka sebetulnya sedang menceramahi mereka sendiri. Mereka kerap kali menuduh negara lain melakukan pelanggaran HAM dan kemanusiaan, sementara tangan mereka sendiri berlumuran darah, menciptakan penderitaan dan tragedi kemanusiaan. Meskipun kebijakan-kebijakan luar negeri mereka seringkali tidak mewakili aspirasi dan banyak ditentang rakyatnya. Kendati pun  Amerika dan hampir seluruh anggota NATO memberikan dukungan dan bantuan terhadap Israel, tak sedikit rakyat mereka melakukan demonstrasi membela Palestina dan mengutuk keras Israel.

 

Butuh Keseimbangan Baru

Pasca perang dunia kedua, muncul dua negara super power yaitu Amerika dan Uni Soviet. Keduanya saling bersaing, berebut pengaruh, dan berlomba-lomba menguasai dunia. Perang dingin antar dua negara adi daya ini mewakili pertarungan ideologi kapitalisme dan komunisme. Pada 1991 perang dingin berakhir. Uni Soviet jatuh dihantam krisis ekonomi. Amerika menjadi satu-satunya kekuatan tunggal. Negara Paman Sam ini kerap dijuluki “polisi dunia”. Dominasi tunggal Amerika ini tak berlangsung lama. Munculnya kekuatan-keuatan baru seperti China, Rusia, dan india yang mulai menggeser dominasi tunggal AS. Dalam banyak hal kebijakan luar negeri AS pun banyak yang tak sejalan dan ditentang oleh negara-negara tersebut.

Dalam menyikapi konflik Palestina-Israel, AS dan Rusia saling berseberangan. Dua negara ini saling memveto resolusi masing-masing. Kubu AS dan sekutunya membela Israel dengan dalih “membela diri”, sedangkan Rusia mendukung kemerdekaan Palestina. Rusia menganggap serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober silam sebagai bagian dari perlawanan terhadap kolonialisme Israel. Rakyat Palestina sedang menuntut hak-hak atas kemerdekaan mereka.

Selama didominasi AS dan sekutunya masih sangat kuat dan mencengkeram banyak negara, Palestina tidak akan memperoleh kemerdekaanya. Resolusi PBB yang dianggap merugikan Israel pasti akan diveto AS. Begitu pun konflik Ukraina-Rusia sekarang ini tidak akan mengalami banyak perubahan selama Rusia memiliki hak veto di PBB. Negara-negara kecil seperti Indonesia hanya bisa menonton pertarungan global negara-negara besar. Karena itu, kita butuh kekuatan baru yang tidak terjebak pada konflik lama seperti AS dan Rusia. Negara-negara dunia ketiga yang tak memiliki beban sejarah harus bersatu menyuarakan kemanusiaan dan keadilan global. Sebagaimana pernah dilakukan Sukarno melalui gerakan non-blok ỵang berhasil menyatukan negara-negara bekas jajahan untuk bersatu dan memberikan suara berbeda. Kelihatannya arus sejarah sedang bergerak menuju tatanan baru. Dunia sedang menata diri menuju keseimbangan baru. Semoga keseimbangan baru ini membawa kemaslahatan menuju kemanusiaan universal.[]

Ghasab

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon

 

Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Irian Barat [sekarang Timor Leste] tidak termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI]. Menanggapi ini Sukarno meminta pendapat Kiai Wahab Chasbullah.

“Pak Kiai, bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat?”

“Mereka Ghasab,” jawab Kiai Wahab

“Dasarnya apa, Kiai?”

“Dalam kitab Fathul Qarib, ghasab artinya mengambil menguasai, atau merampas hak orang lain tanpa hak.”

“Lantas bagaimana, Kiai?”

“Dijelaskan dalam syarah Bujairami, orang yang ghasab yang tidak mau berdamai maka diambil paksa,” kata Kiai Wahab

 

Cuplikan dialog ini saya dapat dari ceramah Kiai Dimyati Rois, Kaliwungu. Yang menurut saya menrik, Kiai Wahab menggunakan argumentasi (dalil) fikih untuk menjawab pertanyaan politik Sukarno. Kiai Wahab menggunakan konsep “ghashab” untuk menyebut dan menghukumi pendudukan Belanda di Timor Leste. Mengapa ghasab bukan sariqah [mencuri]? Meskipun sama-sama menguasai harta milik orang lain, ghasab mengambinya secara terang-terangan. Berbekal fatwa dari Kiai Wahab Chasbullah, Sukarno melancarkan Operasi Seroja untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.

Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia sangat menentang dan anti terhadap penjajahan. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan: “Bahwa seungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.”

Karena itulah kenapa sampai hari ini Indonesia tidak mau mengakui Israel dan mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mendapat hak-hak kemerdekaan tanah airnya. Israel sudah menghasab tanah milik orang Palestina. Sampai sekarang mereka terus berjuang, baik melalui perlawanan fisik maupun diplomasi, mendapatkan kembali tanah kelahirannya. Meskipun tanah air mereka setiap tahun terus menyusut, tetapi perlawanan mereka tak pernah surut. Di sinilah akar persoalan sesungguhnya. Selama rakyat Palestina tidak diberikan kemerdekaan, maka perlawanan itu tak pernah berhenti. Konflik Palestina-Israel tidak akan selesai. Maka, solusi dua negara adalah solusi paling realistis untuk saat ini.

Sudah sejak lama dunia tidak adil memperlakukan Palestina. 29 Novemper 1947, setahun sebelum David Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel pada 14 Mei 1948, PBB mengeluarkan Resolusi No 181. Dalam resolusi itu PBB mengusulkan wilayah mandat Palestina dibagi: 56% untuk kelompok Yahudi yang jumlahnya setara 32% populasi, 42% untuk kelompok Arab yang jumlahnya 67% populasi, 2% untuk Jarusalem yang manjadi wilayah internasional.

Resolusi PBB  tak pernah terealisasi. Yang terjadi sejak proklamasi pembentukan negara Israel, Israel terus memperluas kekuasaannya. Pada Perang Arab-Israel 1948 sekitar 700.000 orang Palestina terusir dari tanah kelahirannya. Tahun 1967 meletus Perang Enam Hari. 300.000 warga Palestina mengungsi dari Tepi Barat dan berbagai wilayah yang diduduki Israel selepas kesepakatan 1949. Dengan mendapat sokongan penuh AS dan negara-negara Barat lainnya, Israel terus memperluas negara apartheidnya dengan terus mengusir dan membersihkan etis Arab Palestina.

Pada saat bersamaan, melalui sponsor AS, Israel terus menyisir negara-negara Arab untuk melakukan normalisasi. Negara-nagara Arab yang dulu membela mati-matian eksistensi Palestina, satu per satu mulai melakukan normalisasi dengan Israel. Mesir, Turki, Maroko, Jordania, UEA. Arab Saudi mulai ikut menjajaki. Sementara Palestina mulai ditinggalkan.

Dari sinilah mengapak Hamas terus melancarkan serangan terhadap Palestina. Jika tidak memahami akar persoalan sesungguhnya kita tidak akan bisa mengerti kenapa tanggal 7 Oktober kemarin Hamas melakukan serangan mematikan terhadap Israel. Israel dan Barat menyebut Hamas sebagai oraganisasi teroris, sementara rakyat Palestina sendiri menyebutnya sebagai tentara pembebasan Nasional.

Memasuki hari ke-19 pertempuran Palestina-Israel, koban tewas sudah mencapai 6.546 jiwa. Dunia [termasuk PBB] tidak bisa menghentikan perang yang tak seimbang itu. Dengan memberikan ultimatum agar rakyat Palestina segera mengungsi dan meninggalkan Gaza, Israel sebetulnya ingin mengulang kesuksesan perang 1948 dan 1967 di mana penduduk Palestina mengungsi dan tanahnya akan diambil alih. Israel akan melakukan serangan darat sebagai dalih untuk menghabisi militan Hamas. Ironisnya kekejaman Israel mendapat sponsor dan legitimasi dari AS dan sekutunya. Mereka seolah-olah terus mengipas-ngipasi agar perang semakin berkobar, rakyat Palestina habis, dan Israel bisa lebih leluasa menganeksasi teritorail Palestina. Apakah dunia sudah melupakan Palestina?[]

Politik Santri, Politik Kemaslahatan

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin, Cirebon

 

SETIAP kali memasuki tahun politik komunitas santri selalu didekati para kandidat. Dalam rumus demokrasi elektoral, komunitas santri merupakan lumbung suara. Para santri umumnya bersikap husnuzan. Mereka didekati para kandidat karena peduli dan perhatian, bukan semata-semata butuh suara mereka. Dalam bayangan mereka, setelah kandidat itu terpilih, nasib mereka akan diperhatikan, suara mereka didengarkan.

Bagi santri, kekuasaan hanyalah wasilah (perantara), bukan tujuan. Karena tujuan politik adalah terciptanya keadilan dan kemaslahatan. Sebagaimana dikatakan al-Ghazali maupun al-Mawardi, bahwa politik adalah perbaikan umat manusia menuju keselamatan dan kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat. Dengan demikian, orang berpolitik tak berhenti pada kekuasaan. Setelah berkuasa bagaimana kekuasaan ia menggunakan dan mendistribusikan kekuassaan itu untuk kemaslahatan dan kepentingan orang banyak.

Karena politik memiliki tujuan dan cita-cita mulia, maka tidak boleh dikotori oleh hal-hal yang bertentangan dengan tujuan politik itu sendiri. Berpolitik adalah khidmah (pengabdian): berkhidmah kepada orang banyak. Karena itu dibutuhkan ketulusan dan keikhlasan. 

Karena itulah pada momentum Hari Santri Nasional (HSN) ini penting mengedepankan etika politik santri yang berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan. Dengan begitu, di tahun politik ini para santri berharap pemimpin yang akan terpilih nanti bisa membawa kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia, sesuai dengan sila kelima Pancasila dan sejalan dengan kaidah fikih “tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi mashlahah al-mar’îyyah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat).

Di tahun politik ini para kontestan Pemilu/Pilpres juga harus mengedepankan etika politik, menghindari permusuhan dan perpecahan umat, tidak menggunakan politik identitas, hate spin, apalagi menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Hakikat kekuasaan adalah amanat dan tanggung jawab. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw., “Kullukum râ’in wa kullukum mas`ûlun ‘an ra’îyyatihi” (setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya).

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa kekuasaan hanyalah “wasîlah” (perantara) bukan “maqâshid” (tujuan). Tujuan kekuasaan adalah menciptakan dan mewujudkan kemaslahatan dan keadilan untuk umat. Karena itu, seluruh kontestan Pemilu/Pilpres hendaknya tidak berhenti pada wasilah berupa kekuasaan tetapi bagaimana agar kekuasaan itu berdampak dan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi orang banyak. Sebagaiman demokrasi kita tidak hanya berhenti pada demokrasi prosedural melainkan beranjak pada demokrasi substantial. Tidak hanya berhenti pada demokrasi politik meliankan juga demokrasi ekonomi.

Saya berharap momentum Hari Santri Nasional (HSN) ini mengingatkan perjuangan para santri terdahulu yang mengedepankan pengabdian, ketulusan, dan keikhlasan dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Para santri patut bersyukur dan berterimakasih kepada negara yang telah melahirkan HSN. HSN tidak hanya milik dan untuk santri melainkan untuk semua yang berjiwa santri, yaitu mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilan kesantrian, seperti tawassuth (moderat), tasâmuh (toleran), ta’âdul (keadilan), tawâzun (seimbang).[]

 

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Perempuan Menjadi Imam Shalat

Pada 5 Maret 2005, di New York, Amerika Serikat, seorang perempuan Muslim Amerika memimpin shalat Jum’at, dan banyak laki-laki dari komunitas Muslim di New York menjadi makmum dalam shalat tersebut, meskipun mendapatkan kritik tajam dari para pemimpin Muslim di Timur Tengah yang mengatakan bahwa apa yang dilakukannya melanggar syariat.

Pada 26 Juli 2023, Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin, saat menghadiri acara peringatan Milad ke-48 MUI di TMII menyatakan bahwa “perempuan jadi imam itu bukan perbedaan tetapi penyimpangan. Hal ini disampaikannya untuk merespon kontroversi di masyarakat mengenai Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun K.H. Panji Gumilang yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat di pesantrennya tersebut.

Panji Gumilang sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada 1 Agustus 2023 dan terancam pidana 10 tahun penjara atas dugaan penistaan agama. Alasannya, pertama, karena ucapan “shalom aleichem” yang oleh sebagian orang dipandang sebagai salam umat Yahudi. Kedua, karena ia menyebut bahwa al-Qur`an bukanlah firman Allah Swt. melainkan kalam Nabi Muhammad Saw. yang didapat dari wahyu Allah. Ketiga, karena ia membolehkan perempuan menjadi khatib dan imam shalat Jum’at bersama makmum laki-laki.

Kita tidak akan membahas tiga masalah tersebut, melainkan hanya akan membahas mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki.

Pertama,

1 – Apa yang disampaikan Kiyai Ma’ruf Amin merupakan pendapat umum dalam fikih Sunni. Daripada hanya fokus menanggapi pendapatnya, lebih baik kita melihat sejumlah pendapat para imam fikih yang menjadi pijakannya.

Imam Malik adalah ulama tertua yang melakukan kodifikasi fikih dan hadits. Ia sama sekali tidak menyinggung masalah ini dalam kitab yang disusunnya, “al-Muwaththa`”. Imam al-Syafi’i di dalam kitab “al-Umm” adalah ulama pertama yang mengeluarkan fatwa mengenai masalah ini.

Mengenai shalat Jum’at, ia mengatakan: “Seorang perempuan tidak boleh [menjadi imam shalat Jum’at bagi] kelompok perempuan, karena shalat Jum’at adalah imamah seluruh jamaah (perempuan dan laki-laki), dan perempuan tidak termasuk orang yang boleh menjadi imam bagi seluruh jamaah,” (Al-Umm, 1/171). Maksudnya, seorang perempuan tidak boleh menjadi imam shalat Jum’at, meskipun hanya untuk sekelompok perempuan saja, karena perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam (pemimpin) seluruh jamaah (laki-laki dan perempuan).

Imam al-Syafi’i tidak menggunakan satu ayat atau satu hadits pun sebagai argumen. Seolah-seolah ia ingin mengatakan bahwa untuk melarang perempuan menjadi imam (pemimpin) tidak memerlukan dalil dari al-Qur`an maupun hadits. Pernyataannya lemah dan sangat bias patriarkis, dan tanggapan terhadap pernyataan tersebut mudah diperoleh dari al-Qur’an dan sejarah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa seorang perempuan menjadi ratu di negeri Saba’. Ia memerintah rakyatnya dan ia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. Rakyatnya mengakui kekuasaannya dengan berkata: “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa [untuk berperang], tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan,” [Q.S. al-Naml: 33].

Di sini kita dihadapkan pada seorang perempuan yang memimpin suatu bangsa dan disebutkan dalam al-Qur’an yang mengakuinya sebagai ratu yang bijaksana bagi rakyatnya. Di sisi lain, al-Qur`an menyebut cerita-cerita lain mengenai para tiran yang seluruhnya adalah laki-laki yang kezhaliman mereka mencapai titik mengklaim sebagai Tuhan, menganiaya para nabi dan menindas rakyat, sehingga mereka pantas dikutuk dan dibinasakan.

Patut dicatat bahwa Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Sayyid al-Thanthawi pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai presiden republik. Meskipun agak telat, ini merupakan ijtihad yang layak mendapatkan apresiasi. Pertanyaannya adalah: Jika seorang perempuan menjadi imam/pemimpim dalam memerintah dan memimpin umat Muslim–meskipun ada keberatan dari Imam al-Syafi’i–, apakah tidak boleh baginya mengimami shalat?

Mungkin ada yang berkata: Memimpin politik berbeda dengan memimpin shalat. Kita katakan, bahwa dalam mazhab Sunni tidak ada perbedaan antara keduanya, karena seorang khalifah yang berkuasa juga menjadi imam shalat, bahkan itulah tugas utamanya. Dari sinilah seorang khalifah memperoleh gelar “imam” di dalam kitab-kitab fikih, dan gelar “imam” ini kemudian diberikan kepada setiap penguasa politik.

2 – Kembali kepada penyataan al-Syafi’i, bahwa Allah Swt. memberikan contoh terbaik bagi seluruh orang beriman (laki-laki dan perempuan) berupa dua orang perempuan, yaitu istri Fir’aun dan Maryam. Dia juga memberikan contoh terburuk bagi seluruh orang beriman berupa dua perempuan, yaitu istri Nuh as. dan istri Luth as.. Artinya, perempuan bisa menjadi teladan dalam kebaikan dan keburukan siapapun suaminya. Bisa saja sang suami adalah seorang tiran yang bodoh–seperti Fir’aun–, sedangkan istrinya adalah seorang imam bagi orang-orang yang beriman. Sebaliknya, bisa saja sang suami adalah seorang nabi besar, sedangkan istrinya berkhianat kepadanya. Al-Qur`an menyebutkan dua contoh ini untuk menunjukkan kemandirian perempuan dan kelayakan mereka menjadi teladan dalam kebaikan dan keburukan. Imamah artinya imam, dan imam adalah teladan bagi orang yang dipimpinnya dalam shalat.

Sejarah mencatat bahwa Sayyidah Aisyah ra. memimpin sebuah pasukan untuk melawan seorang imam yang sah bagi umat Muslim. Terlepas dari penilaian terhadap sikapnya, mereka yang memprotesnya tidak mengatakan bahwa imam perempuan dilarang. Mereka hanya mengatakan bahwa kewajiban istri-istri Nabi Saw. adalah berada di dalam rumah dan tidak meninggalkannya, sesuai dengan aturan di dalam al-Qur`an yang khusus untuk mereka: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” [Q.S. al-Ahzab: 33].

3 – Kembali ke al-Syafi’i yang mengeluarkan ketentuan hukum mengenai imam perempuan dalam shalat berjamaah: “Tidak diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk menjadi imam shalat bagi laki-laki dalam kondisi apapun.” Ia berpendapat bahwa perempuan boleh mengimami shalat hanya untuk makmum perempuan saja. Kalau ada laki-laki dan anak laki-laki yang shalat (menjadi makmum) di belakangnya, maka shalatnya tidak sah. Ia mengutip firman Allah Swt.: “Laki-laki qawwam (pemimpin) bagi perempuan,” [Q.S. al-Nisa`: 34], dan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin. (al-Umm, 1/145).

Pendapat ini perlu ditinjau kembali, sebab seorang laki-laki tidak mempunyai hak qiwamah atas istrinya apabila sang istri mensyaratkan hal tersebut dalam akad nikah. Secara umum, di dalam al-Qur`an qiwamah disyaratkan dengan infaq (pemberian nafkah) dari suami ke istri. Di sini qiwamah tidak berarti penguasaan dan dominasi suami atas istri, tetapi pengayoman dan tanggungjawab memberi nafkah, dan ini adalah masalah khusus dalam hubungan suami-istri (perkawinan), tidak ada kaitannya dengan shalat yang merupakan relasi dengan Allah. Imam shalat haruslah orang yang paling baik dalam membaca al-Qur`an, paling taat/rajin mendirikan shalat, dan paling berkomitmen pada akhlak yang baik–ini adalah syarat-syarat objektif menjadi imam shalat, apapun jenis kelaminnya. Bagaimana hukumnya jika sang suami sejenis dengan Fir’aun dan istrinya sejenis dengan istri Fir’aun, dan ketika shalat berjamaah di rumah apakah sang suami harus mengimami istrinya shalat padahal ia hanya pandai bermaksiat?

Dan yang aneh adalah, di dalam kitab yang sama, Imam al-Syafi’i menetapkan posisi imam perempuan di tengah-tengah shaf dalam shalat bersama para makmum perempuan. Ia berkata: “Seorang perempuan boleh mengimami perempuan-perempuan baik dalam shalat fardhu atau yang lainnya dan kami memerintahkan agar imam perempuan itu berdiri di tengah-tengah shaf, dan jika terdapat perempuan-perempuan yang banyak maka kami memerintahkan agar shaf yang kedua berdiri di belakang shafnya, demikian juga shaf-shaf yang seterusnya. Dan hendaklah mereka bershaf seperti shafnya laki-laki jika kebetulan mereka banyak. Mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan laki-laki dalam penempatan shaf mereka, hanya saja imam perempuan hendaklah berdiri di tengah-tengah,” (al-Umm, 1/145). Kita merasa aneh, bagaimana bisa seorang imam berada di tengah-tengah shaf dan bukan di depan makmum? Sebenarnya ini ketentuan siapa? Apakah ini benar-benar ketentuan dari syariat (Allah dan Rasul-Nya)? Atau hanya sebatas pandangan para ulama fikih karena menurut mereka sebenarnya perempuan tidak boleh menjadi imam shalat?

4 – Mayoritas ulama fikih, terutama para pengikut Imam al-Syafi’i dan imam-imam mazhab yang lain, juga mempunyai pandangan yang sama. Mereka mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang sebenarnya merupakan pandangan pribadi dan orang-orang setelah mereka menjadikannya sebagai hukum syariat. Di dalam kitab “al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah” Syaikh al-Jaziri menyajikan pendapat-pendapat para ulama fikih pada masa dinasti Utsmaniyah yang ia anggap rajih (kuat) tetapi ia mengabaikan stagnasi pemikiran fikih di masa itu. (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 1/384-385).

Mengenai kehadiran perempuan dalam shalat Jum’at di masjid, kitab ini merangkum pendapat mazhab-mazhab fikih. Kita sebutkan di sini dengan memberikan sedikit komentar:

  • “Hanafiyah mengatakan: Lebih baik bagi seorang perempuan untuk shalat Zhuhur di rumahnya daripada shalat Jum’at, karena shalat Jum’at tidak disyariatkan untuknya.” Pandangan ini tidak tepat, sebab perintah menunaikan shalat Jum’at berlaku umum bagi semua orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, begitu pula seluruh ibadah.
  • “Malikiyah mengatakan: Jika seorang perempuan sudah tua dan tidak lagi bergairah terhadap laki-laki, maka diperbolehkan baginya untuk menghadiri shalat Jum’at. Namun jika ia sudah tua dan masih bergairah terhadap laki-laki, maka makruh baginya untuk menghadiri shalat Jum’at. Dan diharamkan bagi perempuan menghadiri shalat Jum’at jika ia masih muda dan dikhawatirkan laki-laki akan tergoda olehnya di perjalanan dan di dalam masjid.” Di sini kita bertanya-tanya, kriteria apa dari perempuan tua atau muda yang dapat membuat laki-laki tergoda? Seberapa besar hasrat laki-laki terhadap perempuan ini atau itu? Apakah kita sedang mengadakan kontes kecantikan untuk perempuan di mana laki-laki bisa menilai siapa di antara perempuan-perempuan itu yang memiliki dan tidak memiliki hasrat seksual?
  • “Hanbaliyah berkata: Diperbolehkan perempuan menghadiri shalat Jum’at dengan syarat ia tidak cantik (hasna`). Namun jika ia cantik, maka makruh baginya untuk menghadirinya.” Masalahnya adalah, setiap perempuan merasa dirinya cantik, dan tidak ada perempuan yang Allah ciptakan tanpa keindahan dan kecantikan dalam dirinya. Selera laki-laki terhadap kecantikan perempuan itu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Lantas di mana standarnya dan bagaimana kita menerapkannya? Apakah kita akan memasang pengumuman di setiap masjid yang berisi nama-nama perempuan cantik yang dilarang masuk dan nama-nama perempuan jelek yang boleh masuk? Kalau ada perempuan cantik ingin menambah keimanannya dengan menghadiri shalat Jum’at di masjid, apakah kita akan berkata kepadanya: “Malu, Cantik. Lebih baik kau masuk diskotik saja agar tidak mengganggu orang-orang saleh di masjid?!”
  • “Syafi’iyah berkata: Makruh bagi perempuan menghadiri shalat Jum’at jika ia musytahah (dapat menimbulkan hasrat)–maksudnya, dapat menimbulkan hasrat laki-laki kepadanya–bahkan meski ia berpakaian lusuh. Jika ia tidak musytahah, tetapi ia berhias, memakai pakaian bagus dan memakai wewangian (parfum), maka makruh juga baginya menghadiri shalat Jum’at. Dalam semua hal, Syafi’iyah menetapkan bahwa perempuan boleh menghadiri shalat Jum’at dengan dua syarat: izin wali dan tidak ada kekhawatiran bahwa kehadirannya akan membuat seseorang tergoda olehnya. Kalau tidak, maka dilarang baginya untuk pergi shalat Jum’at.”

Maksud dari pendapat Syafi’iyah adalah tidak bolehnya seorang perempuan yang jelek atau tua yang tidak dikehendaki laki-laki pergi ke masjid, kecuali jika keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak cukup hanya itu, ia juga harus berjanji terlebih dahulu kepada orang-orang saleh di masjid bahwa jika ia datang, tidak ada seorang pun yang akan tergoda olehnya, kemudian ia memohon kepada walinya untuk mengizinkannya pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Tidak peduli walinya itu lebih muda darinya atau bahkan putranya sendiri, yang penting ia adalah laki-laki di keluarganya, berdasarkan ketentuan fikih dan konsensus ulama laki-laki.

Dari pandangan-pandangan tersebut, kita melihat dengan sangat jelas bahwa para ahli fikih tersebut terobsesi secara seksual terhadap perempuan dan tidak melihat apa pun dari perempuan kecuali aurat yang harus disembunyikan di antara pakaian dalam mereka agar tidak ada orang asing yang dapat melihatnya. Mereka telah mereduksi perempuan menjadi sebatas “bagian-bagian pribadi” yang hanya bisa dilihat melalui hasrat seksual.

5 – Sebagian pandangan fikih merupakan cerminan dari masa dinasti Abbasiyah pada abad ke-3 dan ke-4 H di mana situasi sosial perempuan sangat memperihatinkan. Perdagangan budak perempuan telah mencapai puncaknya dan mengisi rumah-rumah masyarakat kelas atas dan sebagian besar kelas menengah. Budak-budak perempuan di masa itu bukan hanya cantik, tetapi juga terpelajar, karena mereka diculik dari kampung halamannya dan terombang-ambing di tangan para bandit dan penjual budak, hingga berakhir di tangan pedagang budak profesional di Baghdad atau ibu kota lainnya, yang mengajari mereka bahasa Arab, al-Qur’an, hadits, sejarah, humor, puisi, sastra, nyanyian, permainan, kecerdasan, dan etiket sehingga membuat harga mereka naik berkali-kali lipat. Mereka bisa dijual ke istana kekhalifahan dan rumah-rumah para menteri dan pejabat.

Kedua, secara singkat bisa dikatakan:

1 – Islam menggariskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kewajiban, pahala dan hukuman. Hal ini terlihat dalam seruan-seruan umum al-Qur`an kepada laki-laki dan perempuan dengan bentuk “Wahai manusia”, “Wahai anak Adam”, “Wahai orang-orang yang beriman”, “jiwa”, “pasangan”, dsb. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,” [Q.S. al-Baqarah: 183]; “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli,” [Q.S. al-Jumu’ah: 9]. Ada juga seruan dalam bentuk yang lebih rinci dengan menyebut “laki-laki” dan “perempuan”, seperti: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya,” [Q.S. al-Nisa`: 124 – 125].

Dalam masyarakat Madinah, di mana ada kebebasan mutlak dalam berpikir, berkeyakinan, dan berpolitik, perempuan diperbolehkan untuk menyampaikan apa yang mereka yakini, baik maupun buruk. Ketika orang-orang beriman mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, orang-orang munafik di Madinah melakukan sebaliknya; mengajak kepada kemungkaran, mencegah kebaikan, menolak memberi sedekah, dan menyatakan pendirian mereka dalam iklim kebebasan yang tidak kita bayangkan terjadi saat ini. Al-Qur`an mencatat hal ini: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah [sama], mereka menyuruh [berbuat] yang mungkar dan mencegah [perbuatan] yang makruf,” [Q.S. al-Taubah: 67]. Sementara orang-orang yang beriman, sebagaimana digambarkan di dalam al-Qur`an: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh [berbuat] yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,” [Q.S. al-Taubah: 71].

Jadi kita dihadapkan pada masyarakat yang dinamis dan interaktif di mana masing-masing kelompok menyampaikan pendapatnya secara jujur. Dengan adanya interaksi ini, tidak mungkin membayangkan seorang perempuan terisolasi atau terlupakan dan terabaikan di dalam tembok rumahnya. Di sini perempuan beriman boleh keluar dari rumahnya menyeru laki-laki dan perempuan beriman untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran bersama-sama dengan pendakwah laki-laki beriman yang melakukan hal serupa. Mereka melakukan hal itu bukan melalui layar televisi, melainkan dengan interaksi langsung, di mana perempuan berdiri menyampaikan seruan kepada para pendengarnya, begitu pula laki-laki.

Pada masa itu arena amr ma’ruf dan nahy munkar meliputi jalan, masjid, pasar, rumah, dan seluruh ruang yang di dalamnya ada kehidupan manusia. Istilah “al-ma’ruf” (kebaikan) di dalam al-Qur`an adalah apa yang diakui sebagai nilai moral luhur berupa keadilan, kebenaran, perdamaian, toleransi, kesabaran, dan kebajikan. Kebalikannya, “al-munkar” (keburukan) adalah ketidakadilan, permusuhan, perilaku buruk, dan tindakan-tindakan tercela.

Dengan demikian, amr ma’ruf dan nahy munkar menurut Islam tidak terbatas hanya pada segelintir orang yang mengkhususkan diri mereka dalam pekerjaan ini dan menjadikannya sebagai alat untuk mengendalikan manusia–mereka menyeru manusia untuk berbuat baik dan melupakan diri mereka sendiri dengan mengatakan apa yang tidak dilakukan–, melainkan merupakan kewajiban agama yang bersifat umum bagi setiap manusia dengan cara sebatas saling memberikan nasihat dan teguran tanpa memcampuri kehidupan pribadi sepanjang tidak melakukan tindakan kriminal terhadap orang lain sehinga layak dihukum.

2 – Perempuan punya hak untuk berpartisipasi secara politik dan sosial dalam segala hal sama seperti laki-laki tanpa dibatasi oleh gender atau jenis kelamin dalam ibadah atau muamalah. Al-Qur`an menyebutkan alasan-alasan diperbolehkannya tidak menunaikan beberapa kewajiban yang sama sekali bukan al-unutsah (perempuan). Berbeda dengan mayoritas pandangan fikih yang mensyaratkan al-dzukurah (laki-laki) dalam banyak hal.

Misalnya, laki-laki dan perempuan yang lemah, sakit dan miskin punya alasan untuk tidak ikut jihad dan hijrah, di samping orang-orang buta dan pincang. Pesan-pesan dalam Q.S. al-Taubah: 91, Q.S. al-Nisa`: 98, Q.S. al-Nur: 61, dan Q.S. al-Fath: 17 sangat jelas ditujukan untuk laki-laki dan perempuan sekaligus.

Di dalam al-Qur`an tidak ada satu ayat pun yang menyebut larangan perempuan menjadi imam shalat, yang berarti diperbolehkan. Bolehnya perempuan menjadi imam shalat ditegaskan dengan fakta bahwa syariat Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan dalam beribadah sebagaimana ditermaktub di dalam al-Qur`an. Pandangan mayoritas ulama fikih tidak bisa dianggap sebagai landasan permanen (al-tsabit), melainkan merupakan hasil ijtihad yang kontekstual untuk zamannya sehingga bisa dipersoalkan dan diskusikan.

3 – Shalat, haji, puasa, zakat, dan haji adalah ajaran warisan Ibrahim yang terus-menerus harus dikukuhkan dengan keikhlasan beragama kepada Allah. Umat Muslim diperintahkan untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat tidak hanya dengan menunaikannya saja, melainkan dengan menjaga dan memeliharanya berdasar ketakwaan dan kelurusan akhlak, dan ini memerlukan kesadaran. Kesadaran itu muncul melalui nasihat atau dalam bahasa al-Qur`an “amr ma’ruf” dan “nahy munkar” sebagai pengejawantahan ajaran surah al-Ashr yang menggambarkan secara ringkas kehidupan masyarakat muslim yang dinamis dan interaktif dengan kebaikan. Hal ini membuat shalat dan ibadah-ibadah lainnya mempunyai fungsi sosial dan moral yang kemudian berubah menjadi perilaku atau perbuatan baik yang bermanfaat bagi manusia. Inilah makna al-Qur`an tentang mendirikan atau memelihara shalat. Salah satu tugas Nabi Saw. adalah membersihkan agama Ibrahim dari apa-apa yang ditambahkan kaum Quraisy berupa penyembahan berhala dan menyekutukan atau bahkan melupakan Allah.

Kita bisa membaca kembali ayat-ayat Makkiyah di dalam al-Qur’an untuk melihat bagaimana perintah mendirikan shalat dan membayar zakat kepada penduduk Makkah. Pesannya bersifat umum bagi laki-laki dan perempuan, tanpa mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan. Segala sesuatu yang kita warisi mengenai shalat adalah benar selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Pandangan para ahli fikih tentang larangan perempuan memimpin laki-laki (baik dalam shalat maupun politik) tidak merepresentasikan ajaran al-Qur’an yang sesungguhnya.[]

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Qiwâmah dalam Islam: Antara Tafsir Klasik dan Kontemporer (7)

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang salehah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar,” [Q.S. al-Nisa`: 34].

________________________________________

 

Q.S. AL-NISA`: 34 telah memicu timbulnya berbagai problem di dalam pemikiran Islam secara historis, yang menyita perhatian para pemikir secara luas dalam konteks pembahasan mengenai kedudukan perempuan, posisi alamiahnya di dalam Islam, dan bagaimana Islam memandangnya serta peranannya di masyarakat. Secara khusus perhatian mereka terfokus pada masalah “qiwâmah” (potensi/kualitas kepemimpinan) yang merupakan akar paling dasar dalam bangunan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam pemikiran Islam.

Orientasi dalam upaya memahami masalah “qiwâmah” dari para pemikir, baik Muslim maupun non-Muslim, cukup beragam. Di satu sisi, masalah “qiwâmah” dijadikan dasar untuk menuduh Islam sebagai agama yang menindas perempuan, merampas kebebasannya, dan menjadikannya elemen sekunder yang selalu tunduk pada otoritas laki-laki. Di sisi lain, perdebatan terjadi di dalam pemikiran Islam sendiri, terutama mengenai “qiwâmah” dalam memahami realitas hubungan laki-laki dan perempuan serta bagaimana Islam memandang perempuan secara komprehensif.

 

Tafsir Klasik

Muhammad ibn Jarir al-Thabari (224 – 310 H) adalah ulama terkemuka dan memiliki posisi tinggi dalam sejarah kebudayaan Islam, dan kitab tafsirnya adalah karyanya yang paling terkenal.[1] Dalam menafsirkan, seperti diakuinya sendiri, ia mengikuti metode dan pendapat al-salaf al-shâlih (para pendahulu yang saleh) untuk menghindari pendapat para ahli bid’ah, para ahli kalam (mutakallimin, teolog), dan kaum Muktazilah.[2] Hal ini menunjukkan bahwa interaksi al-Thabari dengan teks sangat terbatas, sebab ia tidak memberikan ruang yang lebih luas untuk mengkaji banyak teks dengan pendekatan yang ia klaim dari para pendahulunya.

Al-Thabari memandang Q.S. al-Nisa`: 34 secara khusus berbicara tentang hubungan antara suami dan istri di dalam rumah tangga, yang menegaskan otoritas laki-laki atas perempuan, di antaranya adalah hak suami mendisiplinkan istrinya untuk memastikan kepatuhan perempuan kepada Tuhan. Ia percaya bahwa ini adalah pola relasi yang adil, karena menentukan komitmen bersama atau timbal-balik: laki-laki membayar mahar untuk perempuan, menafkahinya, dan menjamin kehidupannya. Sedangkan perempuan memikul tanggungjawab yang meliputi pengabdian yang tulus dalam pernikahan, menjaga kesucian dirinya, melayani dan patuh kepada suami.[3].

Berkenaan dengan nusyûz (pembangkangan), al-Thabari melihatnya mencakup pemberontakan istri terhadap supremasi suami, kebebasan bergerak yang tidak perlu, menolak hubungan seksual saat suami menginginkannya, dan praktik-praktik lain yang menentang otoritas laki-laki. Sebagaimana ia juga menunjukkan di dalam tafsirnya tentang frasa “بما فضل الله بعضهم على بعض” (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka [laki-laki] atas sebagian yang lain [perempuan]) bahwa laki-laki mempunyai keistimewaan berupa kemampuan ekonomi atas perempuan, kemampuan untuk menghidupi istri, dan kewajiban-kewajiban lain yang menjadi tugasnya.[4].

Metode al-Thabari dalam menafsirkan Q.S. al-Nisa`: 34 jelas mengandalkan literalisme teks, dan ia berusaha mengumpulkan berbagai argumen yang menguatkan keutamaan laki-laki atas perempuan sebagai standar kausal untuk membuktikan legitimasi “qiwâmah” dan justifikasinya. Standar kausal ini terkonsentrasi pada dua sisi: pertama, kewajiban timbal-balik antara laki-laki dan perempuan. Kedua, kemampuan laki-laki di bidang ekonomi untuk menghidupi perempuan. Penjelasan seperti ini sudah tentu didasarkan, paling tidak, pada asumsi bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tidak mampu menghidupi dirinya sendiri dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Sementara itu, Nashiruddin al-Baidhawi (w. 1286), yang karya tafsirnya disebut sebagai ringkasan dari karya-karya tafsir sebelumnya, terutama tafsir al-Zamakhsyari dan al-Razi, melihat bahwa “qiwâmah” terkait dominasi laki-laki karena kemampuan-kemampuan dan kualitas-kualitas potensial yang dimilikinya. Ia mengatakan bahwa frasa “بما فضل الله بعضهم على بعض” di dalam Q.S. al-Nisa`: 34 menunjukkan keutamaan laki-laki daripada perempuan dengan akal atau pikiran yang sempurna dan keterampilan yang baik dalam menangani berbagai urusan dan pekerjaan. Karena alasan ini laki-laki diberi keutamaan untuk mengemban misi kenabian, imamah, mengambil keputusan, melaksanakan ritual-ritual keagamaan, kesaksian dalam semua kasus hukum, kewajiban jihad, kewajiban menghadiri shalat Jum’at, mengenakan surban sebagai simbol kemuliaan, mendapatkan bagian warisan terbesar, dan hak memutuskan talak.[5]

Tampak ada kesamaan antara fondasi yang menjadi landasan penafsiran al-Thabari dan al-Baidhawi, yaitu dalam masalah preferensi laki-laki—baik secara materi maupun non-materi—atas perempuan. Namun, al-Baidhawi melangkah lebih jauh, ia mengaitkan “qiwâmah” dengan preferensi absolut laki-laki atas perempuan dalam berbagai aspek, dan tidak seperti al-Thabari yang membatasinya hanya pada keistimewaan secara ekonomi dan komitmen penunaian hak atas pasangan, melainkan melihat kelebihan mutlak laki-laki sebagai laki-laki atas perempuan berdasarkan pemilihan nabi-nabi dan ketetapan syariat sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad Saw.

 

Tafsir Kontemporer

Pemikir dan pembaharu Mesir, Muhammad Abduh (w. 1905), dianggap sebagai representasi gerakan modernisasi Islam pertama di dunia Arab. Ia berpandangan bahwa Islam sejalan dengan modernitas, dan berusaha memperbarui moralitas Islam dan mereformasi sistem sosial tradisional dengan mengajak umat Muslim kembali kepada keimanan dan moralitas baru sebagaimana generasi Muslim awal.[6] Manifestasi paling menonjol dari metodenya adalah pemisahan antara ibadah dan mu’amalah, dengan anggapan bahwa ibadah berada di luar lingkup tafsir, sedangkan mu’amalah, sesuai dengan sifatnya, selalu memerlukan penafsiran dan adaptasi dari setiap generasi Muslim sesuai dengan tuntutan-tuntutan zamannya masing-masing. Dalam artian, tafsir teks zaman kuno tidak relevan digunakan untuk zaman-zaman yang secara mendasar berbeda dari segi pemahaman, cara hidup, dan tuntutan-tuntutannya.[7]

Dalam menafsirkan Q.S. al-Nisa`: 34, Abduh melihat bahwa yang dimaksud dengan “qiwâmah” adalah “riyâsah” (kepemimpinan) di mana “mar`ûs” (orang yang dipimpin) bisa melakukan tindakan berdasarkan kehendak dan pilihannya, tidak bermakna bahwa “mar`ûs” harus selalu tunduk tanpa punya kehendak apapun dan tidak melakukan perbuatan apapun kecuali atas keinginan “ra`îs” (orang yang memimpin). Seseorang yang menjadi pemimpin atas yang lain berarti memberikan arahan, bimbingan, dan pengawasan terhadapnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Di sini Abduh seolah-olah memaknai “qiwâmah” sebagai pemberian arahan dan bimbingan dalam pengelolaan urusan keluarga.[8]

Mengenai frasa “بما فضل الله بعضهم على بعض”, Abduh mengatakan bahwa Allah tidak berfirman, “بما فضلهم عليهن” (oleh karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan), yang menunjukkan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari perempuan. Seperti anggota tubuh, laki-laki adalah kepala dan perempuan adalah jasad, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa kepala lebih utama dari tangan atau mata, karena semua anggota tubuh bekerja untuk kepentingan tubuh itu sendiri.[9]

Abduh tidak menafikan pandangan para mufassir klasik mengenai preferensi (tafdhîl) yang cenderung mengutamakan laki-laki daripada perempuan dengan karakter-karakter yang memungkinkannya untuk memimpin berupa kekuatan dan kemampuan untuk bekerja dan melindungi. Ia memandang, yang dimaksud preferensi di dalam Q.S. al-Nisa`: 34 sejatinya untuk satu individu atas individu yang lain, bukan untuk seluruh individu laki-laki atas seluruh individu perempuan. Sebab banyak perempuan yang lebih baik dari laki-laki dalam pengetahuan dan pekerjaan, bahkan lebih kuat secara fisik dan lebih besar penghasilannya.[10]

Tetapi laki-laki, menurut Abduh, yang umumnya punya kekuatan, terutama dari segi fisik, lebih bertanggung jawab mencari nafkah, mencukupi dan melindungi perempuan, serta memegang kepemimpinan di kelompoknya, juga dalam hal pengesahan akad nikah dan penentuan talak. Dan Abduh menolak preferensi seperti yang digambarkan para ahli fikih dalam masalah kenabian, imamah, pelaksanaan ritual keagamaan, dan lain sebagainya.[11] Ia justru menegaskan bahwa di dalam masalah perceraian dan akad nikah peran perempuan diakui oleh syariat, sebab pernikahan tidak terjadi kecuali dengan persetujuan dari perempuan, dan perempuan punya hak meminta cerai melalui pengadilan jika ia menginginkannya saat ia menemukan cacat dalam sistem hubungan pernikahan yang sakral itu.[12]

Perlu dicatat bahwa pandangan mengenai preferensi sebagaimana disebutkan di dalam tafsir klasik, meskipun dengan corak yang berbeda, masih ada di dalam tafsir kontemporer, termasuk di dalam tafsir Abduh, tetapi preferensi yang dimaksud bukan preferensi mutlak seperti di dalam tafsir al-Baidhawi. Artinya, ada upaya penggalian lebih dalam oleh Abduh untuk memahami konteks teks dengan mempertimbangkan berbagai kondisi dan tujuan-tujuan syariat (maqâshid al-syarî’ah).

Sayyid Qutb (w. 1966) adalah seorang pemikir dan pembaharu Islam terkemuka kelahiran Mesir di abad ke-20. Di dalam kitab tafsirnya, “Fî Zhilâl al-Qur`ân”, ia mengatakan bahwa Q.S. al-Nisa`: 34 berbicara mengenai institusi keluarga di mana perempuan memiliki peranan sangat penting di sisi laki-laki. Ia menegaskan bahwa “qiwâmah” di dalam institusi keluarga berada di tangan laki-laki, karena beberapa hal, di antaranya: Allah memberikan keutamaan-keutamaan kepada laki-laki yang memungkinkannya menjadi pemimpin, dan kewajiban laki-laki mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan setiap orang di dalam institusi keluarga.

Keutamaan yang diberikan Allah kepada laki-laki, menurut Qutb, maknanya bukan sebatas perbedaan jenis antara laki-laki dan perempuan, dengan anggapan bahwa salah satu dari keduanya lebih baik dari yang lain, tetapi maknanya adalah mempersiapkan masing-masing dari kedua jenis itu secara fisik dan mental dengan kelebihan-kelebihan yang membedakan satu sama lain demi terjalinnya hubungan yang saling melengkapi antara keduanya di dalam satu keluarga. Perempuan memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki laki-laki, yang memungkinkannya mampu melakukan tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dengan cinta dan kasih-sayang.[13]

Sementara laki-laki memiliki kelebihan-kelebihan yang berbeda dari perempuan, yang memungkinkannya mencari nafkah, dan melindungi institusi keluarga dari bahaya-bahaya yang mengancam, mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok keluarga dan memberikan perlindungan kepada istri agar dapat mencurahkan tenaga dan pikirannya kepada tugas-tugasnya. Dari itu, menurut Qutb, sangat adil jika laki-laki diberi keistimewaan dalam bentuk dan susunan fisik, saraf, pikiran, dan jiwa sedemikian rupa yang dapat membantunya melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan kodratnya sebagai laki-laki. Demikian juga perempuan diberi bentuk dan susunan tubuh, saraf, pikiran, dan jiwa yang dapat membantunya melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan.[14]

 

Upaya Tafsir Baru

Kita menyaksikan bahwa sebagian besar kajian Islam kontemporer justru semakin memperkuat bangunan konsep “qiwâmah” yang melahirkan asimetrisme relasi antara laki-laki dan perempuan, di mana mampir seluruh argumen fikih yang terkait fungsi perlindungan berpusat kepada laki-laki dalam perannya sebagai suami. Sangat sulit menemukan upaya yang memperlihatkan kesinambungan tradisi masa lalu dengan pengetahuan masa kini, serta menunjukkan bahwa perubahan cara pandang terhadap hukum Islam ke arah yang lebih adil adalah mungkin dan sangat diperlukan.

Dalam memaknai Q.S. al-Nisa`: 34, asumsi yang perlu dibangun adalah bahwa laki-laki dan perempuan adalah subyek yang setara, di mana yang satu tidak berhak melakukan kekerasan dan diskriminasi kepada yang lain. Kata “رجال” dan “نساء” di dalam ayat tersebut tidak melulu merujuk pada laki-laki saja atau perempuan saja, tetapi bisa selang-seling, dan seringkali menyasar laki-laki sekaligus perempuan. Artinya, kata “رجال” bukanlah jenis kelamin, tetapi gambaran orang yang menyandang sifat maskulinitas, kejantanan, dan keperkasaan. Demikian juga kata “نساء” yang tidak bermakna jenis kelamin, melainkan gambaran orang yang menyandang sifat feminitas dan kelemah-lembutan.

Frasa “بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ” mencakup laki-laki dan perempuan sekaligus. Sebab kalau “بَعْضَهُمْ” bermakna laki-laki saja, maka berarti hanya sebagian laki-laki dan bukan seluruhnya, dan kalimat berikutnya akan berbunyi “عَلَى بَعْضِهِنَّ” yang berarti sebagian perempuan dan bukan seluruhnya, sehingga menghasilkan pemahaman bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian laki-laki atas sebagian perempuan. Dan bisa dikatakan bahwa “بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ” mencakup laki-laki dan perempuan sekaligus, sehingga frasa tersebut bermakna: “Karena Allah memberikan kelebihan bagi sebagian laki-laki dan perempuan atas sebagian lain dari laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan bahwa kelebihan dalam diri manusia tergantung pada kemampuan dalam mengatur/memimpin, kebijaksanaan serta tingkat keilmuan dan kesadaran yang memang berbeda antara satu dengan lainnya: ada laki-laki yang punya kelebihan dibandingkan perempuan, demikian juga sebaliknya ada perempuan yang punya kelebihan dibandingkan laki-laki.

Kemudian, frasa “وبما أنفقوا من أموالهم” (Dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka), menyiratkan makna bahwa orang berharta—tanpa memandang kemampuan serta tingkat keilmuan dan kesadarannya—mempunyai qiwâmah. Pemilik pabrik lulusan SD, misalnya, bisa menentukan seorang manager tamatan perguruan tinggi untuk mengurus pabriknya. Betapapun tingginya jenjang pendidikan seorang manager pabrik, ia akan tunduk kepada perintah sang pemilik pabrik yang mempunyai qiwâmah untuk memberikan nafkah/gaji.

Kesimpulannya, qiwâmah dalam konteks Q.S. al-Nisa`: 34 tidak terbatas pada hubungan antara suami dan istri di dalam keluarga sebagaimana anggapan sebagian mufassir klasik seperti al-Thabari dan al-Baidhawi, atau bahkan mufassir kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Qutb, tetapi sangat luas mencakup pekerjaan, perniagaan, industri, pertanian, dan managemen, juga mencakup bidang pendidikan, kedokteran, dan olahraga, bahkan juga mencakup bidang pemerintahan dan jabatan-jabatan tinggi negara. Banyak sekali contoh di dalam sejarah lama yang darinya bisa diambil pelajaran.[]

_________________________

[1]. Abbas Taufiq, Muhammad ibn Jarîr al-Thabarîy wa Manhajuhu fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Kitâbuhu al-Târîkh, Dar al-Nasyr, tt., hal. 10
[2]. Ibid., hal. 7
[3]. Yvonne Yazbeck Haddad dan John L. Esposito, al-Islâm wa al-Janûsîyyah wa al-Taghayyur al-Ijtimâ’îy (Terj. Amal al-Syarqi), Amman: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 2003, hal. 92
[4]. Ibid.
[5]. Ibid., hal. 97
[6]. Ibid., hal. 98
[7]. Ibid., hal. 98 – 99
[8]. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr (Juz 5), Mesir: Mathba’ah al-Manar, 1328 H, hal. 69
[9]. Ibid.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid., hal. 70
[12]. Ibid.
[13]. Sayyid Qutb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Kairo: Dar al-Syuruq, 2003, hal. 651
[14]. Ibid.

Konsep Relasi Manusia dan Tuhan Menurut Islam

KONSEP Tuhan yang dipahami manusia dan daya nalar manusia merupakan dua eksistensi dinamis yang tidak pernah berhenti berdialektika dalam sebuah pola hubungan eksklusif yang tertutup. Tanpa memberikan pertimbangan awal dan tendensi apapun terhadap berbagai macam paradigma pemahaman yang melandasi bentuk ataupun karakter interaksi tersebut. Apapun bentuk proyeksi ide ketuhanan itu, telah menciptakan sebuah pola hubungan tertutup antara Tuhan yang telah dipahami tersebut dan manusia menjadi simpul yang mengikat eksistensi keduanya.

Jika simpul interaksi eksklusif yang telah terbentuk antara manusia dan Tuhan tersebut kita buka dan lepaskan, akan kita dapati keduanya sebagai dua unsur yang terpisah. Keduanya diletakkan sebagai dua struktur mandiri, tanpa ada jalinan interaksi apapun antara keduanya. Manusia kita jadikan sebagai makhluk “polos” tanpa memiliki proyeksi ide apapun tentang pemahaman terhadap Tuhan, apapun konsepnya. Sesosok manusia yang tidak atau belum mengenal jati diri Tuhannya sama sekali atau manusia tanpa ide tentang Penciptanya.

Konsep manusia “polos” yang kita gambarkan hanya terbatas pada pengetahuannya. Manusia bayi yang tidak memiliki pengetahuan apapun, namun memiliki alat pengetahuan dan kemampuan fitrah yang membuatnya memiliki kemampuan mencapai berbagai macam pemahaman tentang segala hal. Perangkat-perangkat kemanusiaannya tidak kita lucuti. Manusia menjadi manusia karena ia memiliki perangkat-perangkat tersebut. Perangkat-perangkat itu adalah pembeda yang menunjukkan perbedaan manusia dari makhluk-makhluk lainnya. Jika diklasifikasikan, kita akan mendapati tiga komponen nyata yang melekat pada diri manusia sebagai alat dan perangkat manusia untuk memahami dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ketiganya adalah: panca indera, hati dan akal pikirannya.

Dengan perangkat kemanusiaannya itu, manusia mulai membentuk proyeksi ide-ide terhadap dirinya dan alam. Tataran terdasar dari persentuhan ini berawal dari kebutuhannya untuk bertahan hidup, yang tidak lepas dari produksi alam di sekitarnya. Dinamika persentuhan manusia dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya ini semakin memperkaya muatan nalar pemahamannya terhadap hakikat keberadaannya di atas muka bumi. Manusia mulai mencoba untuk memahami segala perbuatannya dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Pengembaraan inilah yang kemudian membentangkan ide-ide tentang Tuhan dalam dirinya. Kejadian-kejadian yang dialaminya pada tahapan ini menjadi akumulasi kuantita awal yang berangsur-angsur mengarahkan proyeksi ide-ide dalam diri manusia, baik tentang alam, dirinya dan asal-usul segala yang ada dalam kosmos.

Proyeksi ide-ide dalam diri manusia tidak bisa lepas dari kejadian-kejadian dan gambaran-gambaran realita praksis yang dialaminya. Tidak heran jika kemudian kita dapati fenomena-fenomena penyembahan terhadap “materi-materi” yang dipandang memiliki kekuatan transenden dalam agama-agama paganisme, animisme dan dinamisme sebagai agama “kuno” manusia. “Materi-materi” yang mampu diindera namun tak mampu dikuasai.

Dengan pengertian lain, kekuatan transenden ini secara sederhana dapat kita asumsikan sebagai sebuah kekuatan yang berada di atas kekuatan manusia. Sesuatu yang berada di luar kemampuan dan otoritas perangkat-perangkat yang dimilikinya. Kenyataan yang menciptakan psikis inferior dalam dirinya dan kemudian berakhir dengan pemujaan dan penyembahan. Kondisi inilah yang kemudian mengidentikkan agama—sebagai metamorfosa dari penyembahan dan pemujaan—dengan nuansa-nuansa sakralitas, mutlak, dan absolut.

Pada tahap ini terjadi pluralitas konsep “religius” sebagai sebuah pemahaman yang diperoleh dari hasil akumulasi kuantitas praksis. Pluralitas konsep ini, secara konkret, ditandai dengan pluralitas keyakinan dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat sosial secara umum. Pluralitas ini merupakan perwujudan akumulasi kualitatif sebagai hasil eksploitasi akumulasi kuantitatif sebelumnya.

Dan pada tahap ini pula, interaksi antara manusia dan Tuhan yang telah kita putuskan sebelumnya kembali terjalin. Nuansa interaksi yang terjalin menjadikan manusia sebagai titik inferior di hadapan superioritas konsep Tuhan yang dibentuknya dan diilustrasikan sebagai sebuah zat yang berada di luar jangkauan perangkat kemanusiaannya. Daya nalar manusia mampu menciptakan berbagai macam konsep tentang sumber dan pencipta dirinya beserta seluruh makhluk lain.

Dari pembacaan di atas kita melangkah ke dalam kacamata agama, dengan tetap menggariskan benang merah antara kacamata agama dengan perspektif di atas. Dalam dan dari perspektif agama samawi—dalam hal ini adalah Islam dan demikian seterusnya—, kelemahan dan relativitas perangkat-perangkat manusia dalam menggapai zat transenden menciptakan chaos dalam bangunan agama yang disusunnya. Kekacauan tersebut termanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan, terlebih dalam ritual-ritual praksis-religi yang merupakan media pemahaman dan pendekatan terhadap Zat yang diyakini sebagai Tuhan. Gambaran agama yang diproyeksikan oleh daya nalar manusia secara mandiri hanya menciptakan agama chaos yang tidak seimbang dan tidak proporsional dalam menentukan berbagai hal terkait seluruh sendi kehidupan manusia.

Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan dan menjustifikasi peran wahyu sebagai solusi transenden dari Tuhan. Adalah Tuhan yang kemudian merepresentasikan diri-Nya kepada manusia melalui media-media yang dapat dimengerti oleh manusia. Dia mengatakan kepada manusia siapa yang seharusnya disembah, disertai dengan deskripsi dialektis yang menjelaskan hakikat-Nya, dan menuntun manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ritual-ritual agama yang ditetapkan melalui teks adalah rahasia abadi Tuhan yang tidak bisa diganggu dan dimengerti secara maksimal oleh daya nalar manusia. Makna ibadah ritual tidak mampu diraba secara pasti oleh manusia. Hal ini menjadikannya sebagai wilayah yang tidak boleh diganggu gugat oleh logika kreatif manusia. Ritualitas adalah sebuah ketentuan wahyu tekstual yang absolut, mutlak dan tidak boleh “diganggu”.

Muatan teks transenden inipun tidak lepas dari tuntutan yang mengatur interaksi-interaksi yang seharusnya terjalin dalam kehidupan sosial umat manusia. Maka teks agama, dalam kaitannya dengan kehidupan praksis manusia, mengandung dua muatan yang berbeda. Muatan yang menunjukkan kerusakan adat kebiasaan manusia kala itu serta tuntunan ke arah pola kehidupan yang seharusnya; sesuai dengan petunjuk Tuhan. Manusia dikehendaki untuk hidup sebagai manusia dengan derajat yang sama antara mereka. Secara reduktif, ide dasar dari wahyu transenden ini dapat kita simpulkan dalam adagium “memanusiakan manusia dan menuhankan Tuhan”, atau “menempatkan makhluk sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Tuhan.”

Wahyu transenden sebagai bukti petunjuk kasih-sayang Tuhan kepada manusia dengan sendirinya tidak menafikan atau memarginalkan derajat manusia. Namun sebaliknya, justru mengangkat derajat kemanusiaan sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia.

 

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar,” [QS. al-Nisâ’: 40].

 

Pengejawantahan pemujaan dan penyembahan terhadap Tuhan selanjutnya termanifestasikan dalam penghormatan terhadap hakikat kemanusiaannya—hak dan kewajibannya—sebagai manusia. Menyembah Tuhan berarti menghormati hakikat kemanusiaan. Sebab Tuhan menurunkan petunjuknya agar manusia menyadari hakikat diri dan hakikat kehidupan yang dijalaninya. Mentaati aturan Tuhan berarti keselamatan dan kedamaian.

Pengejawantahannya dalam kehidupan sosial berarti kedamaian dalam segala dimensi kehidupan sosial. Tuhan sebagai titik pusat kredo agama beriringan dengan pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pusat agama. Teosentrisme agama berarti pula antroposentrisme agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Agama menjadi wadah berdialektika bagi realita kehidupan manusia dan tuntunan serta kasih-sayang Tuhan.

Fenomena ini berjalan lancar ketika media-media penyampai kehendak Tuhan itu tampak nyata dan berbaur dalam kehidupan sosial. Namun ketika individu-individu pilihan tersebut tidak lagi ada, kenyataannya menjadi lain. Manusia yang tidak bisa lepas dari jaringan realita praksis yang dihidupinya, juga tidak mampu menghindari pengaruh realita material tersebut dalam membentuk konsep-konsep pemahaman yang disusunnya, termasuk pemahamannya terhadap teks sakral dan Zat Tuhan.

Konseptualisasi Tuhan yang berpusat pada teks sakral tidak bisa lepas dari pengaruh bangunan-bangunan material praksis kehidupan yang terjadi dalam realita sosial. Sakralitas yang sebelumnya ada dalam “kekuatan-kekuatan” material tertentu dan beralih ke dalam konsep-konsep tertentu, pada tahapan ini berkamuflase dan terejawantahkan ke dalam pemahaman-pemahaman terhadap teks suci agama. Urgensi ajaran teks selanjutnya bergantung pada pemahaman dan alat baca (metodologi) terhadap teks sakral. Pemahaman inilah yang kemudian diperjuangkan dan dipertahankan sebagai sebuah ideologi teologis dalam rancang bangun agama selanjutnya. Pada tahapan ini, konsep Tuhan kembali menjadi proyeksi pemahaman manusia yang bergerak secara dialektis antara teks dan realita yang dihadapinya.

Ajaran yang dikandung oleh teks terwujud dalam diri manusia sebagai sebuah pemahaman, yaitu pemahaman yang bersifat transenden dan diterima secara berantai. Jalinan mata rantai warisan ini menjadi justifikasi kontinuitas nilai sakral pemahaman tersebut. Pola pemikiran religi setelah ditinggal oleh penyampai awal teks cenderung bersifat defensif, mempertahankan pemahaman yang ada dan diterima sebelumnya.

Jika teks yang tersurat memiliki makna dan retorika yang monolog, linear serta jelas, maka permasalahan dan pertikaian tidak akan pernah terjadi di dalam masyarakat Muslim. Namun teks yang tersurat dalam kitab suci memiliki retorika yang plural, demikian pula makna yang dikandungnya. Dinamika ini merupakan metodologi al-Qur`an dalam memahami, mendekati dan memperbaiki kondisi masyarakat Arab saat itu. Larangan dan perintah tidak secara serta-merta turun dan diterapkan, namun lebih persuasif dan berangsur-angsur. Di sinilah peran konteks yang dimaksud sebagai kondisi sosial masyarakat.

Di sisi lain, realita masyarakat Muslim yang membengkak menyediakan realita yang jauh lebih kompleks daripada sebelumnya. Akulturasi dan asimilasi antara budaya Arab dengan budaya-budaya lokal di daerah taklukan melahirkan pergumulan politik, sosial, ekonomi dan agama yang jauh lebih rumit dari sebelumnya. Adanya bangunan agama dan teologi lokal yang telah mengakar kuat menyediakan pertanyaan-pertanyaan dan tantangan teologis yang menjadikan teologi Islam harus berkembang dan menjawab tantangan-tantangan yang diajukan. Dari perspektif lain, upaya-upaya untuk merusak bangunan akidah Islam dari dalam oleh kelompok-kelompok tertentu semakin mengharuskan bangunan akidah membutuhkan pondasi dasar kuat. Faktor-faktor internal dan eksternal ini memiliki peran penting dalam memecah belah persatuan umat Muslim baik dalam tataran akidah-agama, sosial dan politik. Agama turut berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik, hingga sangat sulit memisahkan antara keduanya pada masa-masa awal kebudayaan Islam—terutama pasca-wafatnya Nabi Saw.

Kenyataan menunjukkan bahwa kondisi sosial masyarakat Muslim tidak diam di tempat. Dinamika, perkembangan dan perubahan beriringan dengan upaya penyebarluasan ajaran agama. Perubahan konteks ini dengan seluruh muatan yang dikandungnya menyebabkan pembacaan-pembacaan terhadap teks agama menghasilkan pluralitas tafsir yang saling berbeda bahkan bertentangan. Perbedaan ini ditengarai kembali kepada cara dan alat baca atau metodologi yang digunakan dalam tiap-tiap pembacaan.[]