Politik Santri, Politik Kemaslahatan

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin, Cirebon

 

SETIAP kali memasuki tahun politik komunitas santri selalu didekati para kandidat. Dalam rumus demokrasi elektoral, komunitas santri merupakan lumbung suara. Para santri umumnya bersikap husnuzan. Mereka didekati para kandidat karena peduli dan perhatian, bukan semata-semata butuh suara mereka. Dalam bayangan mereka, setelah kandidat itu terpilih, nasib mereka akan diperhatikan, suara mereka didengarkan.

Bagi santri, kekuasaan hanyalah wasilah (perantara), bukan tujuan. Karena tujuan politik adalah terciptanya keadilan dan kemaslahatan. Sebagaimana dikatakan al-Ghazali maupun al-Mawardi, bahwa politik adalah perbaikan umat manusia menuju keselamatan dan kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat. Dengan demikian, orang berpolitik tak berhenti pada kekuasaan. Setelah berkuasa bagaimana kekuasaan ia menggunakan dan mendistribusikan kekuassaan itu untuk kemaslahatan dan kepentingan orang banyak.

Karena politik memiliki tujuan dan cita-cita mulia, maka tidak boleh dikotori oleh hal-hal yang bertentangan dengan tujuan politik itu sendiri. Berpolitik adalah khidmah (pengabdian): berkhidmah kepada orang banyak. Karena itu dibutuhkan ketulusan dan keikhlasan. 

Karena itulah pada momentum Hari Santri Nasional (HSN) ini penting mengedepankan etika politik santri yang berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan. Dengan begitu, di tahun politik ini para santri berharap pemimpin yang akan terpilih nanti bisa membawa kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia, sesuai dengan sila kelima Pancasila dan sejalan dengan kaidah fikih “tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi mashlahah al-mar’îyyah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat).

Di tahun politik ini para kontestan Pemilu/Pilpres juga harus mengedepankan etika politik, menghindari permusuhan dan perpecahan umat, tidak menggunakan politik identitas, hate spin, apalagi menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Hakikat kekuasaan adalah amanat dan tanggung jawab. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw., “Kullukum râ’in wa kullukum mas`ûlun ‘an ra’îyyatihi” (setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya).

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa kekuasaan hanyalah “wasîlah” (perantara) bukan “maqâshid” (tujuan). Tujuan kekuasaan adalah menciptakan dan mewujudkan kemaslahatan dan keadilan untuk umat. Karena itu, seluruh kontestan Pemilu/Pilpres hendaknya tidak berhenti pada wasilah berupa kekuasaan tetapi bagaimana agar kekuasaan itu berdampak dan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi orang banyak. Sebagaiman demokrasi kita tidak hanya berhenti pada demokrasi prosedural melainkan beranjak pada demokrasi substantial. Tidak hanya berhenti pada demokrasi politik meliankan juga demokrasi ekonomi.

Saya berharap momentum Hari Santri Nasional (HSN) ini mengingatkan perjuangan para santri terdahulu yang mengedepankan pengabdian, ketulusan, dan keikhlasan dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Para santri patut bersyukur dan berterimakasih kepada negara yang telah melahirkan HSN. HSN tidak hanya milik dan untuk santri melainkan untuk semua yang berjiwa santri, yaitu mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilan kesantrian, seperti tawassuth (moderat), tasâmuh (toleran), ta’âdul (keadilan), tawâzun (seimbang).[]

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses