Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Perempuan Menjadi Imam Shalat

Pada 5 Maret 2005, di New York, Amerika Serikat, seorang perempuan Muslim Amerika memimpin shalat Jum’at, dan banyak laki-laki dari komunitas Muslim di New York menjadi makmum dalam shalat tersebut, meskipun mendapatkan kritik tajam dari para pemimpin Muslim di Timur Tengah yang mengatakan bahwa apa yang dilakukannya melanggar syariat.

Pada 26 Juli 2023, Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin, saat menghadiri acara peringatan Milad ke-48 MUI di TMII menyatakan bahwa “perempuan jadi imam itu bukan perbedaan tetapi penyimpangan. Hal ini disampaikannya untuk merespon kontroversi di masyarakat mengenai Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun K.H. Panji Gumilang yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat di pesantrennya tersebut.

Panji Gumilang sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada 1 Agustus 2023 dan terancam pidana 10 tahun penjara atas dugaan penistaan agama. Alasannya, pertama, karena ucapan “shalom aleichem” yang oleh sebagian orang dipandang sebagai salam umat Yahudi. Kedua, karena ia menyebut bahwa al-Qur`an bukanlah firman Allah Swt. melainkan kalam Nabi Muhammad Saw. yang didapat dari wahyu Allah. Ketiga, karena ia membolehkan perempuan menjadi khatib dan imam shalat Jum’at bersama makmum laki-laki.

Kita tidak akan membahas tiga masalah tersebut, melainkan hanya akan membahas mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki.

Pertama,

1 – Apa yang disampaikan Kiyai Ma’ruf Amin merupakan pendapat umum dalam fikih Sunni. Daripada hanya fokus menanggapi pendapatnya, lebih baik kita melihat sejumlah pendapat para imam fikih yang menjadi pijakannya.

Imam Malik adalah ulama tertua yang melakukan kodifikasi fikih dan hadits. Ia sama sekali tidak menyinggung masalah ini dalam kitab yang disusunnya, “al-Muwaththa`”. Imam al-Syafi’i di dalam kitab “al-Umm” adalah ulama pertama yang mengeluarkan fatwa mengenai masalah ini.

Mengenai shalat Jum’at, ia mengatakan: “Seorang perempuan tidak boleh [menjadi imam shalat Jum’at bagi] kelompok perempuan, karena shalat Jum’at adalah imamah seluruh jamaah (perempuan dan laki-laki), dan perempuan tidak termasuk orang yang boleh menjadi imam bagi seluruh jamaah,” (Al-Umm, 1/171). Maksudnya, seorang perempuan tidak boleh menjadi imam shalat Jum’at, meskipun hanya untuk sekelompok perempuan saja, karena perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam (pemimpin) seluruh jamaah (laki-laki dan perempuan).

Imam al-Syafi’i tidak menggunakan satu ayat atau satu hadits pun sebagai argumen. Seolah-seolah ia ingin mengatakan bahwa untuk melarang perempuan menjadi imam (pemimpin) tidak memerlukan dalil dari al-Qur`an maupun hadits. Pernyataannya lemah dan sangat bias patriarkis, dan tanggapan terhadap pernyataan tersebut mudah diperoleh dari al-Qur’an dan sejarah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa seorang perempuan menjadi ratu di negeri Saba’. Ia memerintah rakyatnya dan ia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. Rakyatnya mengakui kekuasaannya dengan berkata: “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa [untuk berperang], tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan,” [Q.S. al-Naml: 33].

Di sini kita dihadapkan pada seorang perempuan yang memimpin suatu bangsa dan disebutkan dalam al-Qur’an yang mengakuinya sebagai ratu yang bijaksana bagi rakyatnya. Di sisi lain, al-Qur`an menyebut cerita-cerita lain mengenai para tiran yang seluruhnya adalah laki-laki yang kezhaliman mereka mencapai titik mengklaim sebagai Tuhan, menganiaya para nabi dan menindas rakyat, sehingga mereka pantas dikutuk dan dibinasakan.

Patut dicatat bahwa Syaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Sayyid al-Thanthawi pernah mengeluarkan fatwa bahwa perempuan mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai presiden republik. Meskipun agak telat, ini merupakan ijtihad yang layak mendapatkan apresiasi. Pertanyaannya adalah: Jika seorang perempuan menjadi imam/pemimpim dalam memerintah dan memimpin umat Muslim–meskipun ada keberatan dari Imam al-Syafi’i–, apakah tidak boleh baginya mengimami shalat?

Mungkin ada yang berkata: Memimpin politik berbeda dengan memimpin shalat. Kita katakan, bahwa dalam mazhab Sunni tidak ada perbedaan antara keduanya, karena seorang khalifah yang berkuasa juga menjadi imam shalat, bahkan itulah tugas utamanya. Dari sinilah seorang khalifah memperoleh gelar “imam” di dalam kitab-kitab fikih, dan gelar “imam” ini kemudian diberikan kepada setiap penguasa politik.

2 – Kembali kepada penyataan al-Syafi’i, bahwa Allah Swt. memberikan contoh terbaik bagi seluruh orang beriman (laki-laki dan perempuan) berupa dua orang perempuan, yaitu istri Fir’aun dan Maryam. Dia juga memberikan contoh terburuk bagi seluruh orang beriman berupa dua perempuan, yaitu istri Nuh as. dan istri Luth as.. Artinya, perempuan bisa menjadi teladan dalam kebaikan dan keburukan siapapun suaminya. Bisa saja sang suami adalah seorang tiran yang bodoh–seperti Fir’aun–, sedangkan istrinya adalah seorang imam bagi orang-orang yang beriman. Sebaliknya, bisa saja sang suami adalah seorang nabi besar, sedangkan istrinya berkhianat kepadanya. Al-Qur`an menyebutkan dua contoh ini untuk menunjukkan kemandirian perempuan dan kelayakan mereka menjadi teladan dalam kebaikan dan keburukan. Imamah artinya imam, dan imam adalah teladan bagi orang yang dipimpinnya dalam shalat.

Sejarah mencatat bahwa Sayyidah Aisyah ra. memimpin sebuah pasukan untuk melawan seorang imam yang sah bagi umat Muslim. Terlepas dari penilaian terhadap sikapnya, mereka yang memprotesnya tidak mengatakan bahwa imam perempuan dilarang. Mereka hanya mengatakan bahwa kewajiban istri-istri Nabi Saw. adalah berada di dalam rumah dan tidak meninggalkannya, sesuai dengan aturan di dalam al-Qur`an yang khusus untuk mereka: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” [Q.S. al-Ahzab: 33].

3 – Kembali ke al-Syafi’i yang mengeluarkan ketentuan hukum mengenai imam perempuan dalam shalat berjamaah: “Tidak diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk menjadi imam shalat bagi laki-laki dalam kondisi apapun.” Ia berpendapat bahwa perempuan boleh mengimami shalat hanya untuk makmum perempuan saja. Kalau ada laki-laki dan anak laki-laki yang shalat (menjadi makmum) di belakangnya, maka shalatnya tidak sah. Ia mengutip firman Allah Swt.: “Laki-laki qawwam (pemimpin) bagi perempuan,” [Q.S. al-Nisa`: 34], dan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin. (al-Umm, 1/145).

Pendapat ini perlu ditinjau kembali, sebab seorang laki-laki tidak mempunyai hak qiwamah atas istrinya apabila sang istri mensyaratkan hal tersebut dalam akad nikah. Secara umum, di dalam al-Qur`an qiwamah disyaratkan dengan infaq (pemberian nafkah) dari suami ke istri. Di sini qiwamah tidak berarti penguasaan dan dominasi suami atas istri, tetapi pengayoman dan tanggungjawab memberi nafkah, dan ini adalah masalah khusus dalam hubungan suami-istri (perkawinan), tidak ada kaitannya dengan shalat yang merupakan relasi dengan Allah. Imam shalat haruslah orang yang paling baik dalam membaca al-Qur`an, paling taat/rajin mendirikan shalat, dan paling berkomitmen pada akhlak yang baik–ini adalah syarat-syarat objektif menjadi imam shalat, apapun jenis kelaminnya. Bagaimana hukumnya jika sang suami sejenis dengan Fir’aun dan istrinya sejenis dengan istri Fir’aun, dan ketika shalat berjamaah di rumah apakah sang suami harus mengimami istrinya shalat padahal ia hanya pandai bermaksiat?

Dan yang aneh adalah, di dalam kitab yang sama, Imam al-Syafi’i menetapkan posisi imam perempuan di tengah-tengah shaf dalam shalat bersama para makmum perempuan. Ia berkata: “Seorang perempuan boleh mengimami perempuan-perempuan baik dalam shalat fardhu atau yang lainnya dan kami memerintahkan agar imam perempuan itu berdiri di tengah-tengah shaf, dan jika terdapat perempuan-perempuan yang banyak maka kami memerintahkan agar shaf yang kedua berdiri di belakang shafnya, demikian juga shaf-shaf yang seterusnya. Dan hendaklah mereka bershaf seperti shafnya laki-laki jika kebetulan mereka banyak. Mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan laki-laki dalam penempatan shaf mereka, hanya saja imam perempuan hendaklah berdiri di tengah-tengah,” (al-Umm, 1/145). Kita merasa aneh, bagaimana bisa seorang imam berada di tengah-tengah shaf dan bukan di depan makmum? Sebenarnya ini ketentuan siapa? Apakah ini benar-benar ketentuan dari syariat (Allah dan Rasul-Nya)? Atau hanya sebatas pandangan para ulama fikih karena menurut mereka sebenarnya perempuan tidak boleh menjadi imam shalat?

4 – Mayoritas ulama fikih, terutama para pengikut Imam al-Syafi’i dan imam-imam mazhab yang lain, juga mempunyai pandangan yang sama. Mereka mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang sebenarnya merupakan pandangan pribadi dan orang-orang setelah mereka menjadikannya sebagai hukum syariat. Di dalam kitab “al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah” Syaikh al-Jaziri menyajikan pendapat-pendapat para ulama fikih pada masa dinasti Utsmaniyah yang ia anggap rajih (kuat) tetapi ia mengabaikan stagnasi pemikiran fikih di masa itu. (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 1/384-385).

Mengenai kehadiran perempuan dalam shalat Jum’at di masjid, kitab ini merangkum pendapat mazhab-mazhab fikih. Kita sebutkan di sini dengan memberikan sedikit komentar:

  • “Hanafiyah mengatakan: Lebih baik bagi seorang perempuan untuk shalat Zhuhur di rumahnya daripada shalat Jum’at, karena shalat Jum’at tidak disyariatkan untuknya.” Pandangan ini tidak tepat, sebab perintah menunaikan shalat Jum’at berlaku umum bagi semua orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, begitu pula seluruh ibadah.
  • “Malikiyah mengatakan: Jika seorang perempuan sudah tua dan tidak lagi bergairah terhadap laki-laki, maka diperbolehkan baginya untuk menghadiri shalat Jum’at. Namun jika ia sudah tua dan masih bergairah terhadap laki-laki, maka makruh baginya untuk menghadiri shalat Jum’at. Dan diharamkan bagi perempuan menghadiri shalat Jum’at jika ia masih muda dan dikhawatirkan laki-laki akan tergoda olehnya di perjalanan dan di dalam masjid.” Di sini kita bertanya-tanya, kriteria apa dari perempuan tua atau muda yang dapat membuat laki-laki tergoda? Seberapa besar hasrat laki-laki terhadap perempuan ini atau itu? Apakah kita sedang mengadakan kontes kecantikan untuk perempuan di mana laki-laki bisa menilai siapa di antara perempuan-perempuan itu yang memiliki dan tidak memiliki hasrat seksual?
  • “Hanbaliyah berkata: Diperbolehkan perempuan menghadiri shalat Jum’at dengan syarat ia tidak cantik (hasna`). Namun jika ia cantik, maka makruh baginya untuk menghadirinya.” Masalahnya adalah, setiap perempuan merasa dirinya cantik, dan tidak ada perempuan yang Allah ciptakan tanpa keindahan dan kecantikan dalam dirinya. Selera laki-laki terhadap kecantikan perempuan itu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Lantas di mana standarnya dan bagaimana kita menerapkannya? Apakah kita akan memasang pengumuman di setiap masjid yang berisi nama-nama perempuan cantik yang dilarang masuk dan nama-nama perempuan jelek yang boleh masuk? Kalau ada perempuan cantik ingin menambah keimanannya dengan menghadiri shalat Jum’at di masjid, apakah kita akan berkata kepadanya: “Malu, Cantik. Lebih baik kau masuk diskotik saja agar tidak mengganggu orang-orang saleh di masjid?!”
  • “Syafi’iyah berkata: Makruh bagi perempuan menghadiri shalat Jum’at jika ia musytahah (dapat menimbulkan hasrat)–maksudnya, dapat menimbulkan hasrat laki-laki kepadanya–bahkan meski ia berpakaian lusuh. Jika ia tidak musytahah, tetapi ia berhias, memakai pakaian bagus dan memakai wewangian (parfum), maka makruh juga baginya menghadiri shalat Jum’at. Dalam semua hal, Syafi’iyah menetapkan bahwa perempuan boleh menghadiri shalat Jum’at dengan dua syarat: izin wali dan tidak ada kekhawatiran bahwa kehadirannya akan membuat seseorang tergoda olehnya. Kalau tidak, maka dilarang baginya untuk pergi shalat Jum’at.”

Maksud dari pendapat Syafi’iyah adalah tidak bolehnya seorang perempuan yang jelek atau tua yang tidak dikehendaki laki-laki pergi ke masjid, kecuali jika keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak cukup hanya itu, ia juga harus berjanji terlebih dahulu kepada orang-orang saleh di masjid bahwa jika ia datang, tidak ada seorang pun yang akan tergoda olehnya, kemudian ia memohon kepada walinya untuk mengizinkannya pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Tidak peduli walinya itu lebih muda darinya atau bahkan putranya sendiri, yang penting ia adalah laki-laki di keluarganya, berdasarkan ketentuan fikih dan konsensus ulama laki-laki.

Dari pandangan-pandangan tersebut, kita melihat dengan sangat jelas bahwa para ahli fikih tersebut terobsesi secara seksual terhadap perempuan dan tidak melihat apa pun dari perempuan kecuali aurat yang harus disembunyikan di antara pakaian dalam mereka agar tidak ada orang asing yang dapat melihatnya. Mereka telah mereduksi perempuan menjadi sebatas “bagian-bagian pribadi” yang hanya bisa dilihat melalui hasrat seksual.

5 – Sebagian pandangan fikih merupakan cerminan dari masa dinasti Abbasiyah pada abad ke-3 dan ke-4 H di mana situasi sosial perempuan sangat memperihatinkan. Perdagangan budak perempuan telah mencapai puncaknya dan mengisi rumah-rumah masyarakat kelas atas dan sebagian besar kelas menengah. Budak-budak perempuan di masa itu bukan hanya cantik, tetapi juga terpelajar, karena mereka diculik dari kampung halamannya dan terombang-ambing di tangan para bandit dan penjual budak, hingga berakhir di tangan pedagang budak profesional di Baghdad atau ibu kota lainnya, yang mengajari mereka bahasa Arab, al-Qur’an, hadits, sejarah, humor, puisi, sastra, nyanyian, permainan, kecerdasan, dan etiket sehingga membuat harga mereka naik berkali-kali lipat. Mereka bisa dijual ke istana kekhalifahan dan rumah-rumah para menteri dan pejabat.

Kedua, secara singkat bisa dikatakan:

1 – Islam menggariskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kewajiban, pahala dan hukuman. Hal ini terlihat dalam seruan-seruan umum al-Qur`an kepada laki-laki dan perempuan dengan bentuk “Wahai manusia”, “Wahai anak Adam”, “Wahai orang-orang yang beriman”, “jiwa”, “pasangan”, dsb. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,” [Q.S. al-Baqarah: 183]; “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli,” [Q.S. al-Jumu’ah: 9]. Ada juga seruan dalam bentuk yang lebih rinci dengan menyebut “laki-laki” dan “perempuan”, seperti: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya,” [Q.S. al-Nisa`: 124 – 125].

Dalam masyarakat Madinah, di mana ada kebebasan mutlak dalam berpikir, berkeyakinan, dan berpolitik, perempuan diperbolehkan untuk menyampaikan apa yang mereka yakini, baik maupun buruk. Ketika orang-orang beriman mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, orang-orang munafik di Madinah melakukan sebaliknya; mengajak kepada kemungkaran, mencegah kebaikan, menolak memberi sedekah, dan menyatakan pendirian mereka dalam iklim kebebasan yang tidak kita bayangkan terjadi saat ini. Al-Qur`an mencatat hal ini: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah [sama], mereka menyuruh [berbuat] yang mungkar dan mencegah [perbuatan] yang makruf,” [Q.S. al-Taubah: 67]. Sementara orang-orang yang beriman, sebagaimana digambarkan di dalam al-Qur`an: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh [berbuat] yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya,” [Q.S. al-Taubah: 71].

Jadi kita dihadapkan pada masyarakat yang dinamis dan interaktif di mana masing-masing kelompok menyampaikan pendapatnya secara jujur. Dengan adanya interaksi ini, tidak mungkin membayangkan seorang perempuan terisolasi atau terlupakan dan terabaikan di dalam tembok rumahnya. Di sini perempuan beriman boleh keluar dari rumahnya menyeru laki-laki dan perempuan beriman untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran bersama-sama dengan pendakwah laki-laki beriman yang melakukan hal serupa. Mereka melakukan hal itu bukan melalui layar televisi, melainkan dengan interaksi langsung, di mana perempuan berdiri menyampaikan seruan kepada para pendengarnya, begitu pula laki-laki.

Pada masa itu arena amr ma’ruf dan nahy munkar meliputi jalan, masjid, pasar, rumah, dan seluruh ruang yang di dalamnya ada kehidupan manusia. Istilah “al-ma’ruf” (kebaikan) di dalam al-Qur`an adalah apa yang diakui sebagai nilai moral luhur berupa keadilan, kebenaran, perdamaian, toleransi, kesabaran, dan kebajikan. Kebalikannya, “al-munkar” (keburukan) adalah ketidakadilan, permusuhan, perilaku buruk, dan tindakan-tindakan tercela.

Dengan demikian, amr ma’ruf dan nahy munkar menurut Islam tidak terbatas hanya pada segelintir orang yang mengkhususkan diri mereka dalam pekerjaan ini dan menjadikannya sebagai alat untuk mengendalikan manusia–mereka menyeru manusia untuk berbuat baik dan melupakan diri mereka sendiri dengan mengatakan apa yang tidak dilakukan–, melainkan merupakan kewajiban agama yang bersifat umum bagi setiap manusia dengan cara sebatas saling memberikan nasihat dan teguran tanpa memcampuri kehidupan pribadi sepanjang tidak melakukan tindakan kriminal terhadap orang lain sehinga layak dihukum.

2 – Perempuan punya hak untuk berpartisipasi secara politik dan sosial dalam segala hal sama seperti laki-laki tanpa dibatasi oleh gender atau jenis kelamin dalam ibadah atau muamalah. Al-Qur`an menyebutkan alasan-alasan diperbolehkannya tidak menunaikan beberapa kewajiban yang sama sekali bukan al-unutsah (perempuan). Berbeda dengan mayoritas pandangan fikih yang mensyaratkan al-dzukurah (laki-laki) dalam banyak hal.

Misalnya, laki-laki dan perempuan yang lemah, sakit dan miskin punya alasan untuk tidak ikut jihad dan hijrah, di samping orang-orang buta dan pincang. Pesan-pesan dalam Q.S. al-Taubah: 91, Q.S. al-Nisa`: 98, Q.S. al-Nur: 61, dan Q.S. al-Fath: 17 sangat jelas ditujukan untuk laki-laki dan perempuan sekaligus.

Di dalam al-Qur`an tidak ada satu ayat pun yang menyebut larangan perempuan menjadi imam shalat, yang berarti diperbolehkan. Bolehnya perempuan menjadi imam shalat ditegaskan dengan fakta bahwa syariat Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan dalam beribadah sebagaimana ditermaktub di dalam al-Qur`an. Pandangan mayoritas ulama fikih tidak bisa dianggap sebagai landasan permanen (al-tsabit), melainkan merupakan hasil ijtihad yang kontekstual untuk zamannya sehingga bisa dipersoalkan dan diskusikan.

3 – Shalat, haji, puasa, zakat, dan haji adalah ajaran warisan Ibrahim yang terus-menerus harus dikukuhkan dengan keikhlasan beragama kepada Allah. Umat Muslim diperintahkan untuk mendirikan shalat. Mendirikan shalat tidak hanya dengan menunaikannya saja, melainkan dengan menjaga dan memeliharanya berdasar ketakwaan dan kelurusan akhlak, dan ini memerlukan kesadaran. Kesadaran itu muncul melalui nasihat atau dalam bahasa al-Qur`an “amr ma’ruf” dan “nahy munkar” sebagai pengejawantahan ajaran surah al-Ashr yang menggambarkan secara ringkas kehidupan masyarakat muslim yang dinamis dan interaktif dengan kebaikan. Hal ini membuat shalat dan ibadah-ibadah lainnya mempunyai fungsi sosial dan moral yang kemudian berubah menjadi perilaku atau perbuatan baik yang bermanfaat bagi manusia. Inilah makna al-Qur`an tentang mendirikan atau memelihara shalat. Salah satu tugas Nabi Saw. adalah membersihkan agama Ibrahim dari apa-apa yang ditambahkan kaum Quraisy berupa penyembahan berhala dan menyekutukan atau bahkan melupakan Allah.

Kita bisa membaca kembali ayat-ayat Makkiyah di dalam al-Qur’an untuk melihat bagaimana perintah mendirikan shalat dan membayar zakat kepada penduduk Makkah. Pesannya bersifat umum bagi laki-laki dan perempuan, tanpa mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan. Segala sesuatu yang kita warisi mengenai shalat adalah benar selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Pandangan para ahli fikih tentang larangan perempuan memimpin laki-laki (baik dalam shalat maupun politik) tidak merepresentasikan ajaran al-Qur’an yang sesungguhnya.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.