Ghasab
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon
Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Irian Barat [sekarang Timor Leste] tidak termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI]. Menanggapi ini Sukarno meminta pendapat Kiai Wahab Chasbullah.
“Pak Kiai, bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat?”
“Mereka Ghasab,” jawab Kiai Wahab
“Dasarnya apa, Kiai?”
“Dalam kitab Fathul Qarib, ghasab artinya mengambil menguasai, atau merampas hak orang lain tanpa hak.”
“Lantas bagaimana, Kiai?”
“Dijelaskan dalam syarah Bujairami, orang yang ghasab yang tidak mau berdamai maka diambil paksa,” kata Kiai Wahab
Cuplikan dialog ini saya dapat dari ceramah Kiai Dimyati Rois, Kaliwungu. Yang menurut saya menrik, Kiai Wahab menggunakan argumentasi (dalil) fikih untuk menjawab pertanyaan politik Sukarno. Kiai Wahab menggunakan konsep “ghashab” untuk menyebut dan menghukumi pendudukan Belanda di Timor Leste. Mengapa ghasab bukan sariqah [mencuri]? Meskipun sama-sama menguasai harta milik orang lain, ghasab mengambinya secara terang-terangan. Berbekal fatwa dari Kiai Wahab Chasbullah, Sukarno melancarkan Operasi Seroja untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.
Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia sangat menentang dan anti terhadap penjajahan. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan: “Bahwa seungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.”
Karena itulah kenapa sampai hari ini Indonesia tidak mau mengakui Israel dan mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mendapat hak-hak kemerdekaan tanah airnya. Israel sudah menghasab tanah milik orang Palestina. Sampai sekarang mereka terus berjuang, baik melalui perlawanan fisik maupun diplomasi, mendapatkan kembali tanah kelahirannya. Meskipun tanah air mereka setiap tahun terus menyusut, tetapi perlawanan mereka tak pernah surut. Di sinilah akar persoalan sesungguhnya. Selama rakyat Palestina tidak diberikan kemerdekaan, maka perlawanan itu tak pernah berhenti. Konflik Palestina-Israel tidak akan selesai. Maka, solusi dua negara adalah solusi paling realistis untuk saat ini.
Sudah sejak lama dunia tidak adil memperlakukan Palestina. 29 Novemper 1947, setahun sebelum David Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel pada 14 Mei 1948, PBB mengeluarkan Resolusi No 181. Dalam resolusi itu PBB mengusulkan wilayah mandat Palestina dibagi: 56% untuk kelompok Yahudi yang jumlahnya setara 32% populasi, 42% untuk kelompok Arab yang jumlahnya 67% populasi, 2% untuk Jarusalem yang manjadi wilayah internasional.
Resolusi PBB tak pernah terealisasi. Yang terjadi sejak proklamasi pembentukan negara Israel, Israel terus memperluas kekuasaannya. Pada Perang Arab-Israel 1948 sekitar 700.000 orang Palestina terusir dari tanah kelahirannya. Tahun 1967 meletus Perang Enam Hari. 300.000 warga Palestina mengungsi dari Tepi Barat dan berbagai wilayah yang diduduki Israel selepas kesepakatan 1949. Dengan mendapat sokongan penuh AS dan negara-negara Barat lainnya, Israel terus memperluas negara apartheidnya dengan terus mengusir dan membersihkan etis Arab Palestina.
Pada saat bersamaan, melalui sponsor AS, Israel terus menyisir negara-negara Arab untuk melakukan normalisasi. Negara-nagara Arab yang dulu membela mati-matian eksistensi Palestina, satu per satu mulai melakukan normalisasi dengan Israel. Mesir, Turki, Maroko, Jordania, UEA. Arab Saudi mulai ikut menjajaki. Sementara Palestina mulai ditinggalkan.
Dari sinilah mengapak Hamas terus melancarkan serangan terhadap Palestina. Jika tidak memahami akar persoalan sesungguhnya kita tidak akan bisa mengerti kenapa tanggal 7 Oktober kemarin Hamas melakukan serangan mematikan terhadap Israel. Israel dan Barat menyebut Hamas sebagai oraganisasi teroris, sementara rakyat Palestina sendiri menyebutnya sebagai tentara pembebasan Nasional.
Memasuki hari ke-19 pertempuran Palestina-Israel, koban tewas sudah mencapai 6.546 jiwa. Dunia [termasuk PBB] tidak bisa menghentikan perang yang tak seimbang itu. Dengan memberikan ultimatum agar rakyat Palestina segera mengungsi dan meninggalkan Gaza, Israel sebetulnya ingin mengulang kesuksesan perang 1948 dan 1967 di mana penduduk Palestina mengungsi dan tanahnya akan diambil alih. Israel akan melakukan serangan darat sebagai dalih untuk menghabisi militan Hamas. Ironisnya kekejaman Israel mendapat sponsor dan legitimasi dari AS dan sekutunya. Mereka seolah-olah terus mengipas-ngipasi agar perang semakin berkobar, rakyat Palestina habis, dan Israel bisa lebih leluasa menganeksasi teritorail Palestina. Apakah dunia sudah melupakan Palestina?[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!