Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Kekhususan Rumah Tangga Nabi Saw. (5)

DI dalam Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, dan lainnya disebutkan bahwa Nabi Saw., yang sedang sakit menjelang wafat, bersabda, “Suruhlah Abu Bakr untuk memimpin shalat bersama orang-orang.” Dan ketika beliau didebat oleh Sayyidah Aisyah ra. mengenai hal itu setelah bersepakat dengan Sayyidah Hafshah ra.—keduanya menginginkan Umar ibn al-Khaththab untuk memimpin shalat bersama orang-orang karena Abu Bakr al-Shiddiq karena hatinya terlalu lembut sehingga ia tidak bisa memperdengarkan bacaan kepada makmun karena tangisannya—, beliau marah kepada keduanya seraya berkata, “Sungguh kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Yusuf.”[1]

Jelas bahwa kalimat tersebut diucapkan Nabi Saw. ketika beliau sedang dalam keadaan lemah karena sakit, di mana beliau merasa bahwa istri-istrinya menentangnya dan tidak melakukan apa yang dimintanya sehingga beliau mengeluarkan ucapan tersebut, yang kemudian dijadikan aturan umum bagi seluruh perempuan Muslim hingga hari ini.

Juga selama sakit, istri-istri beliau, sebagian istri orang-orang beriman, dan paman beliau al-Abbas berkumpul di sisi beliau. Mereka sepakat untuk memberikannya obat (mereka memasukkan obat melalui mulutnya), beliau kemudian bangun karena terganggu oleh tindakan mereka, lalu berkata, “Tidakkah aku telah melarang kalian memasukkan obat ke dalam mulutku [dengan paksa]! Kalian jangan memasukkan obat ke dalam mulutku.” Mereka berkata, “Ah biasa, orang sakit memang tidak suka obat.” Lalu beliau berkata, “Tidak ada seorangpun di rumah ini kecuali dirinya harus diobati [dengan paksa] melalui mulutnya kecuali al-Abbas, karena ia tidak bersama kalian [saat kalian melakukan itu kepadaku],” [H.R. al-Bukhari]. Demikianlah, seluruh istri beliau dan semua orang yang ada dalam di rumah beliau saat itu diberi obat melalui mulut mereka sebagai hukuman, termasuk Maimunah yang saat itu sedang berpuasa, karena beliau bersumpah untuk menghukum mereka atas apa yang telah mereka lakukan.[2]

Ada beberapa kejadian yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra. yang menimbulkan keheranan dan ketakjuban atas keberaniannya berbicara untuk menunjukkan kecemburuan, kemarahan, atau ketidaksabarannya. Nabi Saw. berkata kepada Sayyidah Aisyah ra., “Sesungguhnya aku benar-benar tahu saat kamu ridha padaku dan saat kamu marah kepadaku.” Ia berkata, “Dari mana kau mengetahui hal itu?” Beliau pun menjawab, “Jika kau ridha padaku maka kau berkata, ‘Tidak, demi Rabb Muhammad. Namun jika kamu sedang marah padaku, maka kau berkata, ‘Tidak, demi Rabb Ibrahim.’” Ini adalah percakapan pribadi yang terjadi hanya antara seorang suami dan istrinya, dan ini merupakan salah satu kekhasan kehidupan sehari-hari suami-istri.

Pada kisah lain, suatu hari Nabi Saw. pulang ke rumah Sayyidah Aisyah ra. seusai mengiringi jenazah ke pemakaman al-Baqi’. Kala itu Sayyidah Aisyah ra. sedang mengeluhkan rasa pening di kepalanya sehingga ia berkata kepada Nabi Saw. “Aduh, peningnya kepalaku.” Namun ternyata Nabi Saw. juga mengeluhkan hal yang sama dan berkata, “Aku juga merasakan pening di kepalaku.” Selanjutnya beliau berkata, “Apa salahnya bila kau meninggal sebelumku, maka aku sendirilah yang akan memandikanmu, mengkafanimu, menshalatimu, dan aku pula yang akan menguburkanmu.” Sayyidah Aisyah ra. berkata, “Sungguh aku mengira, bila hal itu terjadi, sepulangmu ke rumahku dari menguburkanku niscaya engkau segera bersenang-senang dengan sebagian istrimu yang lainnya di rumahku ini.” Mendengar jawaban ini, Nabi Saw. tersenyum.[3]

Sangat jelas bahwa ini adalah percakapan sederhana antara suami dan istrinya. Bahkan Sayyidah Aisyah ra. pernah berkata, “Dulu aku cemburu kepada perempuan-perempuan yang telah menyerahkan diri kepada Rasulullah Saw., dan aku berkata, ‘Dapatkah seorang perempuan menyerahkan dirinya [kepada seorang pria]?’ Tetapi ketika Allah menurunkan, ‘Kamu (Muhammad) boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan [boleh pula] menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu,’ [QS. al-Ahzab: 51], aku berkata [kepada Nabi Saw.], ‘Aku merasa bahwa Tuhanmu mempercepat pemenuhan keinginanmu.”[4]

Dalam riwayat yang lain Sayyidah Aisyah ra. berkata, “Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah Saw., lalu beliau teringat ketika Khadijah meminta izin, dan beliau pun tercengang seraya berkata, ‘Ya Allah, [ternyata] ini Halah binti Khuwailid.’ Aku cemburu, lalu berkata, ‘Kenapa masih diingat-ingat perempuan tua renta di antara banyak perempuan tua kaum Quraisy yang telah merah kedua rahangnya (sindiran kepada orang yang sudah tua), ia telah lama wafat dan Allah telah menggantikannya dengan perempuan yang lebih baik darinya.”[5]

Banyak sekali buku yang telah mengurai jejak-jejak pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga Nabi Saw., dan membuat cerita-cerita ini beredar meskipun itu bersifat sangat privat, di mana kejadian yang sama terkadang diriwayatkan dari salah satu istri Nabi Saw. dan terkadang dari istri beliau yang lain, yang menunjukkan ketidakakuratan riwayat.

Di dalam Shahîh al-Bukhârîy disebutkan, “Istri-istri Rasulullah Saw. [terbagi menjadi] dua kelompok: satu kelompok di dalamnya ada Aisyah ra., Hafshah, Shafiyah dan Saudah. Sedangkan kelompok yang lain di dalamnya ada Ummu Salamah dan istri-istri Rasulullah Saw. lainnya.”[6]

Mungkin peristiwa Maghafir—yang tidak ada satupun kitab sîrah dan hadits yang tidak menyebutkannya—merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak boleh diceritakan ke publik mengenai kekhususan rumah tangga Nabi Saw. Meskipun demikian, banyak sekali halaman buku yang dikhususkan untuk membahas tentang itu dan selalu dinisbatkan kepada salah satu istri Nabi Saw., termasuk hadits tentang konspirasi istri-istri Nabi Saw. untuk mengganggu beliau karena kecemburuan mereka. Bahkan gambaran tentang pertengkaran yang disertai hinaan dan cacian di dalam rumah tangga beliau dalam uraian dan penjelasan yang rumit juga memenuhi banyak halaman buku.

Kita tidak tahu, jika cerita-cerita itu memang benar-benar terjadi, mengingat bahwa setiap kejadian dinarasikan dalam bentuk dan redaksi yang berbeda-beda, apakah pantas disebarkan ke publik secara luas, sementara al-Qur`an dan hadits Nabi banyak memuat anjuran untuk menjaga (merahasiakan) privasi rumah tangga dan mencegah pelanggaran kehormatannya yang umum terjadi pada masyarakat pra-Islam.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu [selalu] ingat,” [QS. al-Nur: 27].

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak [makanannya], tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu [untuk menyuruh kamu keluar], dan Allah tidak malu [menerangkan] yang benar,” [QS. al-Ahzab: 53].

Dari Sahl ibn Sa’d, ia berkata, ‘Seorang laki-laki mengintip ke rumah Nabi Saw. melalui lubang pintu. Ketika itu Nabi Saw. sedang menyisir rambut dengan sebuah sisir besi. Maka beliau berkata, ‘Kalau aku tahu engkau mengintip, aku tusuk matamu. Sesunggunyah Allah mensyariatkan izin (memberi salam) demi menjaga pandangan,” [H.R. al-Bukhari dan Muslim].

Itu termasuk kejadian-kejadian lain di setiap rumah tangga, terutama apa yang diketahui dari pribadi Nabi Saw. berupa kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan kelembutannya, di dalam kehidupan pribadinya, yang membuat beberapa kalimat dari beliau di dalam beberapa momen dijadikan sebagai hukum yang disajikan dalam ribuan halaman buku, digeneralisasi dan dijelaskan dalam berbagai tafsir. Padahal kalau kita mengamatinya dengan cermat, itu tidak lebih dari sekedar momen-momen kemanusiaan sehari-hari yang terkadang berisi candaan, atau bahkan kemarahan yang selalu bisa beliau kendalikan karena sosok beliau yang lemah-lembut dan berbudi luhur, yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang tidak menyakiti, seperti kalimat “Sungguh kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Yusuf” yang sebenarnya mengandung celaan lembut, bukan sebagai hukum atas kaum perempuan yang berlaku selama berabad-abad hingga hari ini.

Kejadian lain yang mungkin bisa disebutkan di sini adalah, bahwa suatu ketika Nabi Saw. berada di rumah Sayyidah Aisyah ra., dan saat itu beliau sedang kedatangan para tamu dari kalangan sahabat. Tiba-tiba datanglah seseorang membawa semangkok makanan yang dikirim oleh Ummu Salamah ra. [untuk menjamu tamu yang ada dirumah Sayyidah Aisyah ra.), maka Sayyidah Aisyah ra. pun memukul tangan orang yang membawa semangkok makanan itu hingga jatuhlah mangkok tersebut dan pecah. Nabi Saw. kemudian mengumpulkan pecahan mangkuk itu dan juga makanannya, seraya berkata kepada para sahabat, “Ibu kalian (Sayyidah Aisyah ra.) ini sedang cemburu.” Kemudian beliau menggantikan mangkok yang pecah itu dengan mangkok yang baru dari rumah Sayyidah Aisyah ra.[7]

Disebutkan dalam Shahîh Muslim bahwa Nabi Saw. shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah Saw., putri dari Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abd Syams. Jika mau sujud, beliau meletakkannya [di lantai], dan jika berdiri, beliau menggendongnya kembali.

Cerita-cerita di atas hanyalah sebagian kecil dari ratusan cerita sehari-hari yang dicatat di dalam banyak halaman buku. Disebutkan di sini hanya untuk menunjukkan bahwa tidak setiap kalimat yang diucapkan dan dikatakan di dalam rumah tangga Nabi Saw. dijadikan hukum wajib yang berlaku sepanjang masa; karena sebagiannya—bahkan mungkin banyak—terkait dengan suatu peristiwa tertentu, dengan situasinya yang khusus, yang memicu munculnya reaksi manusiawi, terkadang berupa kemarahan, yang tidak bisa dijadikan sebagai hukum umum.

Mengutip kejadian-kejadian tersebut secara harfiyah akan memunculkan penilaian-penilaian yang kontradiktif, terutama jika kejadian-kejadian itu dilepaskan dari keadaan dan konteksnya. Sebab satu kejadian tertentu terkadang diriwayatkan oleh beberapa orang dengan cara yang berbeda dari apa yang diriwayatkan orang lain.[]

______________

[1]. Cerita ini disebutkan di dalam banyak kitab hadits, lihat, misalnya: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, Sunan al-Darâmîy, dan lain-lain.

[2]. Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997, hal. 360

[3]. Abdul Malik ibn Hisyam, al-Sîrah al-Nabawîyyah (Juz 2), Damaskus-Beirut: Dar Ibn Katsir, 1999, hal. 643. Kisah ini juga di ada di dalam Musnad Ahmad.

[4]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, Sunan al-Nasâ`îy, dan Musnad Ahmad.

[5]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, dan Musnad Ahmad.

[6]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, dan Musnad Ahmad.

[7]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Musnad Ahmad, dan Sunan al-Nasâ`iy Syarh al-Suyûthiy wa Hâsyiyah al-Sanadîy.

[8]. Shahîh Muslim

Khitan Perempuan, Menjaga Kesucian?

ISU mengenai khitan perempuan hingga saat ini memang masih menjadi isu kontroversial, bukan hanya di dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara muslim lainnya. Perdebatan mengenai isu ini terjadi antara lain karena sumber-sumber Islam otoritatif baik al-Qur`an maupun hadits Nabi tidak menyebutkan hukumnya secara eksplisit dan tegas.

Hal ini terungkap dalam diskusi Bahtsul Masail berjudul “Sunat Perempuan dalam Islam” yang digelar Yayasan Rumah Kita Bersama pada Rabu, 25 Mei 2022 di Aula Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan. Acara ini dihelat sebagai kegiatan Pra KUPI II di Jawa Tengah yang rencananya akan mengangkat sejumlah isu utama, di antaranya mengenai sunat perempuan dan kesehatan reproduksi.

Para peserta yang hadir dalam acara ini terdiri dari para ibu nyai dan kiyai muda yang merupakan anggota aktif lembaga-lembaga kajian keislaman berbasis referensi keagamaan klasik dan kontemporer di organisasi Islam seperti Lembaga Bahsul Masail (LBM) PBNU, LBM PWNU DKI Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan ulama Jaringan KUPI, para pengasuh pesantren, juga para peneliti dan pengkajian keislaman di Perguruan Tinggi Islam seperti UIN Jakarta, Institut Ilmu al-Qur`an Jakarta, dan Institut PTIQ Jakarta.

Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, membuka diskusi dengan menegaskan, dengan mengutip data UNICEF 2021, bahwa ada lebih dari 200 juta perempuan termasuk anak-anak di 30 negara yang telah menjalani praktik sunat perempuan, dan Indonesia sendiri ternyata berada di peringkat ke-3 jumlah kasus sunat perempuan terbesar di bawah Mesir dan Etiopia.

Menurutnya, penelitian yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia menemukan motif dilakukannya praktik khitan perempuan, di antaranya adalah bahwa khitan dapat menjaga kesucian anak perempuan dan kemuliaan keluarga. Karena khitan itu bertujuan untuk mengontrol hasrat-hasrat seksual perempuan yang tidak kuasa mengendalikan tubuhnya.

“Persoalan yang lebih mendasar dari sunat perempuan ada di level diskursus dan debat teologis. MUI mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan adalah hal baik dan dianjurkan. Namun, para aktivis perempuan dan pemerhati hak kesehatan reproduksi perempuan merasa bahwa alasan diskursus sangat memojokkan dan merendahkan perempuan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa sunat dilakukan dalam rangka mengontrol seksualitas dan libido seks mereka. Ini jelas persoalan. Seks perempuan hendak dikontrol karena dianggap buruk dan liar,” papar Lies.

K.H. Dr. (HC). Husein Muhammad, narasumber utama dalam diskusi ini, mengemukakan bahwa para ahli fikih sepakat bahwa khitan baik untuk laki-laki maupun perempuan merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam masyarakat kuno untuk kurun waktu yang sangat panjang. Sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir, tradisi ini berkembang di berbagai kebudayaan dunia. Khitan adalah “sunnah qadimah” (tradisi kuno). Kenyataan ini menunjukkan bahwa Islam sebenarnya tidak menginisiasi tradisi khitan perempuan. Dalam banyak ajaran, Islam mengakomodasi tradisi sebelumnya, tetapi dalam waktu yang sama ia juga mengajukan kritik, koreksi dan transformasi ke arah yang lebih baik, jika praktik-praktiknya tidak sejalan dengan misi dan visi Islam, yakni kemaslahatan dan kerahmatan semesta.

“Ada pertanyaan yang tersisa, untuk apa khitan perempuan dilakukan? Apakah ada manfaatnya? Apakah khitan yang tak lain adalah pelukaan atas bagian tubuh perempuan dan reduksi (pengurangan) atas kebahagiaannya, membawa manfaat bagi kesehatan reproduksi perempuan, sebagaimana yang diperoleh pada khitan laki-laki? Pertanyaan ini harus dijawab oleh para ahli medis, genecolog, sexolog dan para psikolog. Dan tak kalah pentingnya juga adalah mendengarkan suara perempuan sendiri,” tegas Kiyai Husein.

Kiyai Husein menambahkan bahwa sumber utama Islam, al-Qur`an, sama sekali tidak menyebutkan isu khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sejumlah ulama menolak pernyataan ini, sambil mengatakan bahwa khitan disebutkan secara implisit dalam al-Qur’an melalui ayat, “Hendaklah kamu (Muhammad) mengikuti millah (agama) Ibrahim,” [Q.S. al-Nahl: 123]. Menurut mereka di antara “millah” Ibrahim adalah “khitan“. Ini merujuk pada hadits shahih al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun.

“Sepanjang yang dapat terbaca dalam banyak buku tafsir, para ahli tafsir tidak membicarakan, mengurai atau bahkan tidak juga menyinggung sama sekali soal khitan yang dipahami dari ayat ini. Ayat ini sebenarnya berbicara mengenai hal fundamental dan pokok dalam doktrin agama, yaitu tentang keyakinan tauhid. Melalui ayat ini Nabi Muhammad untuk membebaskan diri dari penyembahan berhala dan berserah diri kepada Tuhan dengan mengikuti keyakinan Nabi Ibrahim. Jadi, ayat ini tidak ada sangkut pautnya dengan khitan perempuan,” jelas Kiyai Husein.

Dalam kesempatan ini, Jamaluddin Mohammad, Peneliti dan Riset Kajian Teks Klasik Rumah KitaB, menyebut sejumlah fatwa dan pandangan dari para ulama yang menyiratkan makna bahwa khitan perempuan bukan bagian dari Islam.

“Mari kita lihat, Syaikh Sayyid Sabiq, penulis kitab Fiqh al-Sunnah mengatakan bahwa khitan itu tidak wajib bagi perempuan, dan meninggalkannya tidak membuahkan dosa. Tidak ada di dalam kitabullah (al-Qur`an) maupun sunnah Nabi yang menetapkan bahwa khitan itu merupakan suatu yang wajib. Seluruh riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi mengenai khitan perempuan adalah dha’if (lemah), tidak ada yang bisa dijadikan pijakan. Bahkan, Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Nasional Mesir, mengeluarkan fatwa haramnya praktik khitan perempuan setelah mendengar kabar kematian seorang anak perempuan yang dikhitan karena dorongan para pemuka agama setempat,” ungkap Jamal.

Nabi Saw., menurut Jamal, melarang keras mengubah ciptaan Tuhan (taghyîr khalqillah). Khitan perempuan, secara kasat mata, adalah upaya untuk mengubah ciptaan Tuhan pada perempuan yang harus dilarang, dan agama menganggapnya sebagai perbuatan yang tak layak dilakukan. Seluruh organ keperempuanan bukanlah “lebihan-lebihan tak berarti” yang harus dipotong, masing-masing punya tugas dan fungsi sebagaimana organ-organ tubuh yang lain. Fungsi organ-organ keperempuanan adalah untuk membantu perempuan mencapai kepuasan seksual.

Ahmad Hilmi, Manajer Kajian Rumah KitaB, menjelaskan bahwa di dalam Islam acuan dasar dalam memutuskan hukum adalah maqâshid al-syarî’ah atau tujuan-tujuan universal syariat untuk melihat maslahat dan mafsadat suatu perkara. Tujuan-tujuan universal syariat yang dimaksud adalah: hifzh al-dîn (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), hifzh al-‘irdh (menjaga kehormatan), dan hifzh al-mâl (menjaga harta). Mengacu pada ini, menurut Hilmi, khitan perempuan sama sekali tidak memiliki dasar di dalam Islam (lâ ashla lahu) meskipun sebagian ulama membolehkannya.

“Di dalam kaidah fikih disebutkan mengenai bolehnya membatasi hal yang mubâh (boleh) atau bahkan melarangnya bila dipandang menimbulkan bahaya. Dunia medis telah menemukan beberapa fakta bahaya-bahaya yang muncul akibat khitan perempuan, dan itu bisa saja mempengaruhi kejiwaannya sepanjang hidup,” jelas Hilmi.

Setelah diskusi yang begitu panjang dan alot dengan menyajikan beragam pandangan ulama yang terdapat di dalam kitab-kitab klasik dan fakta-fakta medis yang memperlihatkan berbagai dampak buruk khitan perempuan, para peserta menyepakati bahwa Islam sesungguhnya tidak melegitimasi praktik sunat perempuan karena tidak ada manfaatnya dan tidak dapat menjamin kesucian perempuan. Hal ini didasarkan pada tiga argumen penting,

Pertama, khitan sama sekali tidak bisa menjaga kesucian perempuan. Sebab, secara ilmiah, otak merupakan sarana dalam tubuh yang darinya muncul hasrat-hasrat seksual perempuan. Perempuan yang telah menikah banyak terpengaruh oleh panca indera seperti penglihatan, penciuman, sentuhan, dll. Artinya, akallah yang sebenarnya mengendalikan dan mengarahkan hasrat seksual perempuan, bukan alat reproduksinya sebagaimana diyakini masyarakat. Hasrat seksual pada perempuan merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang dapat dikendalikan oleh elemen-elemen integral seperti tingkat budaya dan lingkungan kemasyarakatan yang di dalamnya perempuan lahir.

Kedua, kesucian perempuan adalah masalah moral yang tidak ada hubungannya dengan khitan. Jika akal merupakan alat yang dapat mengarahkan perilaku seksual perempuan, berarti kesuciannya pun bersumber dari akalnya. Maka pendidikan dan pembekalan akal perempuan sejak kecil dengan moral, prinsip-prinsip keagamaan yang benar, pengetahuan dan hakikat-hakikat ilmiah yang benar, akan menjadikannya mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, antara perilaku seksual yang sehat dan yang tidak sehat. Sementara perilaku seksual menyimpang perempuan baik sebelum menikah maupun setelah menikah itu bersumber dari kondisi lingkungan atau ketiadaan pengetahuan yang benar, dan khitan tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Kesucian, sebagaimana diajarkan oleh seluruh agama, adalah ikhtiar yang bebas dan kecintaan terhadap kebaikan, bukan karena khitan.

Ketiga, anggapan sebagian orang bahwa perempuan yang tidak dikhitan akan melakukan banyak penyimpangan karena nafsunya yang tidak terkendali itu jelas sangat keliru. Karena penyimpangan terjadi pada perilaku manusia dan pandangan-pandangannya, bukan pada anggota-anggota tubuhnya. Mata, telinga, lisan, tangan dan anggota-anggota tubuh lainnya bisa melakukan penyimpangan, tetapi tidak berarti kita harus memotong atau merusaknya.

Sebuah hadits dari Nabi Saw. menyebutkan, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya,” [H.R. al-Tirmidzi]. Karena khitan perempuan ternyata tidak membawa manfaat apapun dan sebaliknya justru membahayakan jiwa perempuan, maka berdasarkan hadits ini harus segera ditinggalkan dan dilarang.[]

Upaya Mencegah Kawin Kontrak

SENIN, 23 Mei 2022 bertempat di Balai Praja Lt. 2 Kantor Bupati Cainjur, Rumah KitaB bersama dengan Pemda Kabupaten Cianjur mengadakan talkshowPerbup Pencegahan Kawin Kontrak: Upaya Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan“. Kegiatan yang didukung oleh Program We Lead ini dihadiri oleh 280 orang secara daring dan lebih dari 60 orang yang hadir secara luring. Peserta berasal dari forum koordinasi pimpinan daerah, camat, ormas keagamaan, sekolah, dinas-dinas terkait di Kabupaten Cianjur.

Perbup Pencegahan Kawin Kontrak ini diteken oleh Bupati Cianjur pada tahun 2021 sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meminimalisir praktik kawin kontrak yang marak terjadi di area Cianjur. H. Maman Suherman mengatakan bahwa meski praktik kawin kawin kontrak banyak dilakukan, tetapi datanya sulit didapatkan dan belum ada yang melaporkan, sehingga perlu ada regulasi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.

Dalam sambutannya Bupati mengakui cukup berat untuk mengubah dari Perbub ke Perda karena harus dilakukan oleh legislatif. Tetapi, meskipun hanya Perbub, ia optimis upaya pencegahan kawin kontrak pasti dapat berhasil jika diusahakan dan disuarakan semua pihak, bukan hanya pemerintah.

Sementara itu, Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, dalam sambutannya mengatakan bahwa regulasi tentang kawin kontrak ini akan efektif jika ada perubahan dalam konteks, kultural, dan struktural. Sebab, tanpa ada perubahan dari ketiganya, mustahil regulasi bisa berjalan dengan baik.

Senada dengan itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati dalam pidato kuncinya mengatakan bahwa perlu ada kolaborasi dan sinergi dari banyak pihak untuk memberantas praktik kawin kontrak.

Acara yang dipandu oleh Aminah Agustinah ini menghadirkan 4 narasumber: Hj. Rina Mardiyah (Aktivis Perempuan Cianjur), Arief Purnawan, S.A.P (Asda 1 Pemda Kabupaten Cianjur dan Ketua Satgas Pencegahan Kawin Kontrak), Ratna Batara Munti (Kordinator Advokasi Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia/Direktur Eksekutif LBH APIK Jabar), dan Dr. Nur Rofiah (Dosen PTIQ Jakarta dan Founder Ngaji KGI). Keempat narasumber itu mengulas Kawin Kontrak dalam beberapa sisi dan pendekatan.

Hj. Rina Mardiyah mengatakan bahwa upaya perempuan dan masyarakat Cianjur mengadvonasi regulasi untuk kawin kontrak ini telah berjalan lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Berbagai upaya telah Hj. Rina dan aktivis perempuan lakukan untuk mendorong lahirnya regulasi tentang kawin kontrak ini.

Kawin kontrak, menurut Ratna Batara Munti, lebih banyak memberikan kerugian kepada perempuan dan anak. Karena, pernikahan yang tak dicatatkan secara resmi menghilang hak-hak perempuan sebagi istri. Pun, Ketika ada KDRT dalam kawin kontrak, polisi kesulitan memprosesnya lebih lanjut karena pernikahannya tidak tercatat. Tetapi, menurut Ratna, saat ini Indonesia telah memiliki UU TPKS yang bisa menjadi payung hukum untuk menjerat pelaku eksploitasi seksual atau kerentanan ekonomi, beberapa di antara bentuk kekerasan yang paling sering muncul dalam praktik kawin kontrak.

Nur Rofiah menganalogikan pelaku kawin kontrak serupa dengan orang shalat tetapi sedang mengandung hadas. Meskipun gerakannya shalat, tetapi tidak mengandung nilai ibadah. Bahkan, menurut Nur Rofiah dengan mengutip fatwa MUI dan hasil bahtsul masail NU, kawin kontrak adalah haram karena banyak mudharat di dalamnya dan tidak sesuai dengan tujuan agama (maqashid al-syari’ah) dan tujuan pernikahan.

Sementara itu, Arief mengatakan bahwa Perbup Pencegahan Kawin Kontrak ini perlu terus disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat, dan perlu mendorong lahirnya Perda sebagai payung hukum yang lebih kuat, baik di tingkat kabupaten atau provinsi.[]

Open Recruitment “Direktur Eksekutif”

Salam rekan-rekan semua…

Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) merupakan organisasi Non-profit yang memfokuskan kegiatannya pada riset lapangan, pengkajian keagamaan, advokasi dan pendampingan masyarakat, serta pengorganisasian perempuan dan komunitas, guna memperjuangkan hak-hak perempuan, anak, minoritas ras-suku dan agama, kelompok disabilitas dan mereka yang rentan dimarjinalkan oleh pandangan keagamaan bias gender, dan pemberdayaan pesantren melalui pendidikan keagamaan kritis.

Sejak didirikan tahun 2005, Rumah KitaB telah melakukan berbagai kegiatan dan menghasilkan karya-karya intelektual yang menjadi rujukan penting bagi lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, baik di pusat maupun daerah, yang mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan strategis yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas.

Saat ini Rumah KitaB membuka lowongan kerja untuk posisi “Direktur Eksekutif”. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini. Segera kirimkan Surat Lamaran dan CV ke email: official@rumahkitab.com

Batas waktu pengiriman: Rabu, 15 Juni 2022

Perempuan Jangan Dihambat untuk Bekerja

JAKARTA (12/05/22)  – Sampai saat ini perempuan masih menemukan banyak sekali hambatan untuk berpartisipasi dan berkompetisi di dunia kerja. Hal ini terungkap dalam dalam acara “Forum Diskusi Para Pihak (Multi-Stakeholders) untuk Mendukung Perempuan Bekerja” yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Kamis, 12 Mei 2022, di The Margo Hotel Depok. Para peserta yang terdiri dari para pemangku kepentingan dan perwakilan media sepakat dengan pandangan yang menyatakan bahwa bekerja adalah hak dasar manusia, termasuk bagi perempuan.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes, dalam sambutannya menyampaikan keprihatinannya melihat situasi perempuan bekerja di Indonesia yang tidak mengalami peningkatan signifikan seiring dengan derasnya arus reformasi dan emansipasi. Menurutnya, salah satu hambatan perempuan bekerja di Indonesia adalah pandangan keagamaan yang memandang perempuan sebagai aurat dan fitnah sehingga membatasi ruang gerak perempuan hanya di wilayah domestik dan tidak boleh tampil di ruang publik untuk bekerja.

“Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa perempuan adalah aurat dan fitnah. Pandangan ini menjadi salah satu faktor terbesar yang menghambat perempuan untuk tampil dan bekerja di ruang publik. Dulu ada seorang penceramah perempuan yang berbicara di televisi bahwa suara perempuan adalah aurat, padahal dia sendiri sedang bicara. Sayang sekali, saat lapangan pekerjaan semakin banyak, posisi perempuan ternyata tidak mengalami peningkatan dan sulit berkompetisi di dunia kerja,” papar Lies.

Lies juga menambahkan bahwa saat ini perempuan dimungkinkan untuk bekerja, tetapi bukan di sektor-sektor produktif, melainkan di sektor-sektor informal yang potensi untuk keluar dengan cepat sangat tinggi, lebih-lebih ketika sudah menikah dan mempunyai anak.

“Realitas saat ini bukan tidak memungkinkan bagi perempuan untuk bekerja, tetapi bukan di sektor-sektor produktif, melainkan di sektor-sektor informal yang tingkat kerentanannya atau potensi untuk cepat keluar dari pekerjaannya itu sangat tinggi. Kalau diperiksa lebih jauh, keluar-masuknya perempuan di dunia kerja sangat tinggi sekali. Saat masih gadis bisa kerja, tetapi ketika sudah menikah pindah ke rumah, dan ketika punya anak turun lagi dan seterusnya hingga tidak boleh bekerja,” lanjut Lies.

Lebih dari itu, menurut Lies, kalau dilihat dari sisi umur, yang menolak perempuan untuk bekerja adalah laki-laki berusia antara 18 – 24 tahun. Dan kalau ditelisik lebih dalam, ternyata itu adalah anak dari ibu yang bekerja, yang menunjukkan bahwa di dalam diri anak ini sudah terbangun sebuah persepsi bahwa perempuan yang baik bukan perempuan seperti ibunya. Kalau ibunya perempuan yang baik, harusnya ia selalu berada di rumah. Perempuan yang berada di luar rumah apalagi sampai pulang malam cenderung dianggap sebagai perempuan yang tidak baik. Kehormatan perempuan adalah keberadaannya di dalam rumah.

Fadilla Dwiyanti Putri, Manajer Program Rumah KitaB, memaparkan hasil penelitian dan analisis situasi yang dilakukan Rumah KitaB sepanjang Agustus – September 2020, yang menunjukkan sejumlah hambatan dan batasan bagi perempuan untuk bekerja.

“Norma gender menjadi pembatas perempuan bekerja, di antaranya, pertama, terkait dengan batasan fisik. Dibandingkan dengan pekerja laki-laki ternyata tempat kerja pekerja perempuan itu lebih dekat dengan tempat tinggalnya, tetapi waktu tempuhnya lebih lama daripada laki-laki, sebabnya bisa jadi karena perempuan terganggu dengan moda-moda transportasi atau kendala-kendala lainnya. Kedua, terkait dengan batasan simbolik, misalnya pakaian, di mana perempuan harus memakai dresscode atau berpakaian rapi, menarik, dan lain sebagainya, atau bahkan dipaksa memakai jilbab di tempat kerjanya. Ketiga, terkait peran dan posisi perempuan di dalam keluarga,” ujar Fadilla.

Menurut Fadilla, hambatan lain yang juga sangat berpengaruh adalah pandangan keagamaan yang diperoleh dari kajian-kajian yang iikuti perempuan bahwa sebaik-baiknya tempat bagi perempuan adalah di dalam rumah untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya, melayani suami dan keluarga. Dari sini kemudian timbul keyakinan bahwa perempuan tidak boleh dan tidak berhak untuk tampil di ruang publik sehingga ia memilih untuk berhenti bekerja.

Dalam kesempatan yang sama, Manajer Kajian Rumah KitaB Ahmad Hilmi menyampaikan pendapat serupa mengenai norma gender yang mengecilkan kemungkinan perempuan untuk bekerja di ruang publik.

“Identitas keperempuanan menjadi salah satu yang menonjol dalam menghambat perempuan untuk bekerja. Perempuan yang dianggap sebagai makmum atau yang diimami selalu mendapat stigma di masyarakat bahwa ia sebaiknya berada di rumah. Sangat sulit menemukan di masyarakat yang ditopang oleh norma sosial dan agama yang ketat sebuah ruang yang memberi kebebasan kepada perempuan untuk aktif dalam partisipasi-partisipasi publik,” ungkap Hilmi.

Hilmi menyampaikan bahwa ada dua sektor bagi perempuan untuk bekerja, yaitu sektor formal dan non-formal. Di sektor formal hambatannya jauh lebih besar, karena sektor formal ini dianggap sebagai pekerjaan utama sehingga peran perempuan dipandang sebelah mata dan bahkan dianggap tidak penting. Ketika perempuan ingin meniti karir ke jenjang yang lebih tinggi, karena keperempuanannya, ia akan dianggap tidak layak meskipun ia mempunyai kualitas dan kapasitas. Sementara di sektor non-formal, perempuan jauh lebih bisa diterima karena itu bukan pekerjaan utama, misalnya berjualan di pasar atau berjualan di rumah atau aktivitas-aktivitas lain yang membuat perempuan tidak meninggalkan rumah.

Hadir bersama Ahmad Hilmi yaitu Nurasiah Jamil selaku Manajer Operasional Rumah KitaB yang mengingatkan soal rendah dan tingginya pendidikan yang berpengaruh pada diterima atau tidaknya perempuan di dunia kerja.

“Jangan lupa juga soal pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula kemungkinannya untuk diterima di dunia kerja. Sejauh ini kalau kita lihat, pendidikan perempuan masih rendah, sehingga kemungkinannya untuk diterima bekerja di sektor produktif sangat kecil. Identitas sebagai perempuan, ditambah dengan tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali segera menikah dan berada di rumah untuk melayani suami dan mengasuh anak-anaknya,” ujar Nurasiah.

Nurasiah menambahkan bahwa perempuan yang ingin menempati posisi-posisi kepemimpinan akan mendapatkan tekanan yang jauh lebih besar daripada laki-laki karena ia harus benar-benar bisa menunjukkan kualitasnya supaya ia berhasil saat menjadi pemimpin. Dan ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang sama-sama berkompeten untuk menduduki posisi tersebut, biasanya laki-laki yang akan diprioritaskan untuk dipilih. Hal ini terlihat seperti lingkaran setan yang sejak awal memandang bahwa perempuan tidak berkompeten untuk menduduki posisi yang lebih tinggi daripada laki-laki.

Melanjutkan apa yang disampaikan Nurasiah, Program Officer Rumah KitaB Nur Hayati Aida mengungkapkan tentang beban ganda perempuan bekerja. Menurutnya, perempuan kerap mendapatkan beban ganda. Di tempat kerjanya ia harus melakukan pekerjaannya dengan baik, sementara di rumah, terlebih yang sudah menikah, harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti mengasuh anak, melayani suami, mengantar anak ke sekolah, memasak, mencuci pakaian, dan seterusnya.

“Dan yang lebih parah lagi, perempuan terkadang juga mendapatkan beban ganda di tempat kerjanya. Ada suatu kasus di mana seorang perempuan cuti melahirkan, kemudian beban kerjanya itu dibagi ke dua orang di divisinya, laki-laki dan perempuan. Tetapi pada kenyataannya beban kerjanya itu hanya dilimpahkan kepada pekerja perempuan, sedangkan yang laki-laki tidak mengambil alih sama sekali. Sehingga pekerja perempuan itu mengalami beban ganda, selain mengerjakan pekerjaannya sendiri ia juga mengerjakan pekerjaan temannya yang cuti melahirkan,” ungkapnya.

Rina, salah seorang peserta yang mewakili media, mengungkapkan perbedaan upah yang diperoleh laki-laki dan perempuan di dalam dunia kerja jurnalisme.

“Saya mengalami ini sendiri. Saya mengetahui ini setelah resign dari tempat kerja yang lama setelah empat tahun bekerja sebagai jurnalis. Suatu saat saya chat dengan seorang kawan jurnalis laki-laki, dan dia masuk kerja dengan saya dalam waktu yang sama di tempat kerja yang lama. Kebetulan saat itu dia sudah menikah dan saya belum. Dalam chat itu saya tahu bahwa gaji dia ternyata lebih besar dari gaji saya dengan alasan dia sudah menikah dan harus menafkahi keluarganya. Saya sendiri, waktu itu, meskipun masih single, membiayai ibu saya dan juga adik saya yang sedang kuliah,” ujarnya.

Rina juga menambahkan perempuan sulit untuk menduduki posisi-posisi yang tinggi di bidangnya. Saat ini, seluruh posisi top leader management di media dan dunia jurnalisme diduduki oleh laki-laki, tidak ada perempuan yang menduduki posisi itu.

“Hal yang perlu diingat adalah anggapan bahwa dunia jurnalisme itu adalah dunia laki-laki. Banyak anggapan bahwa perempuan tidak cocok atau kurang fight untuk bekerja sebagai jurnalis karena mobilitas jurnalis yang sangat tinggi. Saya kira ini tidak tepat, justru yang harus diperbaiki dan dibenahi adalah sistem kerja supaya merangkul semua orang untuk bekerja dalam posisi yang sama tanpa diskriminasi, baik laki-laki dan perempuan, sesuai dengan kapasitas dan kualitas yang dimiliki,” pungkasnya.[]

Serial Kajian

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Sebuah Pengantar (4)

Pelepasan Hadits dari Konteksnya

 

RENTANG waktu antara era para sahabat—yang merupakan perawi hadits pertama—dan era munculnya shahih pertama (Shahîh al-Bukhârîy) adalah dua ratus tahun, dan selama periode itu banyak hadits yang ditransmisikan secara lisan dan diriwayatkan. Tidak diragukan lagi, ketergantungan ulama hadits pada “‘an‘anah” (rantai perawi hadits) dan keterampilan “al-jarh wa al-ta’dîl” (studi pribadi dan biografi perawi serta kepastian kelayakan dan integritasnya) telah mengurangi banyak rekayasa hadits (hadits mawdhû’/palsu), tetapi itu tidak serta-merta bisa melindungi tradisi Islam dari hadits-hadits mawdhû’ untuk tujuan atau maksud tertentu.

Diketahui bahwa Umar ibn al-Khaththab sangat berhati-hati dalam bersandar pada apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw., meskipun ia hidup bersama beliau, karena ia takut menggunakan kata-kata beliau dengan makna dan maksud yang tidak sesuai dengan konteksnya, seperti yang sering terjadi setelah itu, dan ia adalah orang yang mengatakan dalam rekomendasinya kepada para pejabat bawahannya di daerah, “Sedikitkan [penggunaan] riwayat dari Muhammad.”[1] Sebaliknya, ia selalu lebih suka berpijak pada akalnya. Dan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa-masa setelahnya, bahkan jika itu menyebabkan perubahan hukum, tetap sejalan dengan esensi akidah Islam.

Tinjauan terhadap hadits-hadits terkait perempuan menunjukkan adanya kontradiksi dalam beberapa hukum sebagai bukti nyata bahwa hadits-hadits tersebut dilepaskan dari konteksnya terkait peristiwa tertentu untuk digeneralisasikan sebagai hukum yang berlaku sepanjang masa untuk setiap waktu dan tempat. Dan kalau menelusuri sîrah nabawîyyah akan tampak bahwa Nabi hidup di rumahnya bersama istri-istrinya dengan kehidupan manusia normal yang dipenuhi dengan kesedihan, kegembiraan, keseriusan, lelucon, kesepakatan, ketidaksepakatan, bahkan kepuasan dan kemarahan, serta segala sesuatu yang dialami manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari yang berbeda-beda dari menit ke menit dan jam ke jam, sesuai dengan perbedaan situasi dan kondisi. Karena itu, mengambil satu kalimat tertentu yang disabdakan oleh Nabi Saw. dengan melepaskannya dari konteks, keadaan, dan sebabnya untuk kemudian menggeneralisasikannya sebagai hukum definitif (qath’îy) sepanjang masa di segala situasi, itu tidak sesuai dengan logika dan akal, serta keinginan Nabi Saw. bahwa seorang Muslim harus bekerja dengan akalnya untuk berpikir dalam bertindak secara benar dan adil terkait segala urusan dunianya.

Dalam sebuah kejadian terkenal di mana Nabi Saw. memberi saran kepada umat Muslim saat itu untuk tidak menyerbukkan pohon kurma, dan ketika pohon itu tidak berbuah, beliau menyadari kesalahan dan menyampaikan sabdanya yang terkenal “أنتم أعلم بأمور دنياكم” (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu).

Sebelum perang Badar berkecamuk, Nabi Saw. bergerak bersama bala tentaranya mendahului kaum musyrik untuk menguasai mata air Badar dan menghalangi mereka dari usaha untuk menguasainya. Beliau segera mengambil posisi di Asya, yang merupakan sumber air paling rendah dari sumber air di Badar. Al-Habbab ibn al-Mundzir, salah seorang ahli militer, berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu, apakah ini adalah posisi yang ditentukan Allah untukmu sehingga kita tidak boleh maju ataupun mundur, ataukah hanya suatu pendapat (bagian dari strategi) perang dan tipudaya?” Beliau menjawab, “Ini hanya sekedar pendapat (bagian dari strategi) perang dan tipudaya.” Al-Habbab berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jika demikian, ini bukanlah posisi yang tepat. Karenanya, bangkitlah bersama orang-orang hingga kita mendatangi sumber air yang paling dekat dari posisi [pasukan] Quraisy, lalu kita menempatinya dan merusak sumur-sumur yang ada di belakangnya. Berikutnya kita membuat telaga dan mengisinya dengan air, setelah itu barulah kita memerangi mereka. Dengan begitu, kita bisa minum sementara mereka tidak bisa melakukannya.” Beliau kemudian bersabda, “Kau telah memberikan pendapat yang tepat.” Kemudian beliau bersama orang-orang mukmin melakukan apa yang dikatakan oleh al-Habbab.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa beliau bersabda, “Nanti setelahku, kalian akan melihat orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan hal-hal yang akan kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Apa perintahmu, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memintalah hakmu kepada Allah.”

Dalam kejadian serupa lainnya, kita melihat Nabi Saw. dengan kebijaksanaannya menerima pendapat umat Muslim, dan beliau menarik kembali pendapatnya jika pendapat lain itu lebih meyakinkan, bahkan meskipun itu bertentangan dengan pendapatnya sendiri tanpa merasa enggan sedikipun. Beliau juga terbiasa berdebat dengan orang-orang dan mengambil pendapat mereka dalam urusan dunia mereka. Tetapi saat ini, setelah lebih dari seribu empat ratus tahun, kita tidak memiliki hak untuk mendiskusikan masalah agama dengan ahli fikih mana pun dan berbeda pendapat dengannya!

Beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Saw., kontradiksi muncul dalam periwayatan hadits yang berkaitan dengan perempuan. Diketahui bahwa sebagian besar hukum yang terkait dengan perempuan, yang menjadi sandaran para ahli fikih, diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang meriwayatkan 5300 hadits—sebagian besarnya berhubungan dengan perempuan dan kehidupan sehari-hari individu Muslim—selama tiga tahun ia menemani Nabi Saw., tahun-tahun di mana Nabi Saw. menghabiskan sebagian besar waktunya dalam peperangan, sehingga tidak ada ruang untuk meriwayatkan banyak hadits terkait perempuan. Di sini perlu dicatat bahwa Nabi Saw. terlibat langsung dalam dua puluh enam perang selama sepuluh tahun setelah hijrah.[2]

Sayyidah Aisyah ra. telah beberapa kali meminta Abu Hurairah untuk berhati-hati dengan apa yang diriwayatkankannya atas nama Nabi Saw., dan ia berdebat dengannya lebih dari sekali, memaksanya untuk menarik kembali riwayat-riwayatnya pada waktu-waktu tertentu.

Umar ibn al-Khaththab ra., sahabat Nabi Saw. yang terkenal sangat keras, pernah mengancam untuk mengusir dan mengasingkan Abu Hurairah karena ia terlalu banyak bicara atas nama Nabi Saw., dan juga memperingatkannya untuk tidak menjadi berdusta atas nama Nabi Saw. Saat itu Umar ibn al-Khatthab ra. berkata, “Hendaknya ia (Abu Hurairah) tidak mempunyai keraguan”.

Pada masa kekhalifahan Marwan ibn al-Hakam, Abu Hurairah mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah. Maka Marwan ibn al-Hakam mengirim utusan kepada Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah—Allah senantiasa meridhai keduanya—dan keduanya mengatakan kebalikan dari apa yang dikatakan Abu Hurairah. Kemudian Abu Hurairah berkata, “Aku dulu mengira dan aku dulu menyangka [bahwa aku mempunyai cukup ilmu].” Marwan ibn al-Hakam berkata kepadanya, “Dengan ‘aku dulu mengira dan aku dulu menyangka’ kau lantas [merasa cukup] memberi fatwa kepada manusia?”

Disebutkan bahwa dua orang laki-laki datang menemui Sayyidah Aisyah ra., keduanya berkata, “Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi Saw. berkata sesungguhnya kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan binatang kendaraan.” [Mendengar ini] Sayyidah Aisyah ra. sangat marah sehingga seolah-olah bagian tubuhnya terbang ke langit dan sebagian terbang ke bumi. Kemudian ia berkata, “Demi Zat yang telah menurunkan al-Qur`an kepada Abu al-Qasim (Nabi Saw.), beliau tidak berkata begitu, tetapi berkata, ‘Orang-orang Jahiliyah biasa mengatakan bahwa kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan binatang kendaraan.”[3]

Perselisihan antara Abu Hurairah dan Sayyidah Aisyah ra. telah mencapai titik di mana mereka bentrok dalam beberapa kesempatan. Sayyidah Aisyah ra. menuduh Abu Hurairah tidak berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari lisan Nabi Saw. dan mengatakan sesuatu yang tidak didengarnya. Sementara Abu Hurairah untuk memberikan sanggahan bahwa dirinya menghafal hadits di saat Sayyidah Aisyah ra. sibuk dengan celak dan cermin.

Perselisihan itu tidak hanya terjadi antara Abu Hurairah dan Sayyidah Aisyah ra., tetapi meluas hingga melibatkan semua istri Nabi Saw. Mereka menentangnya dan menyangkal beberapa hadits yang disampaikannya mengenai kehidupan pribadi Nabi Saw., yang memaksanya menarik kembali ucapannya dan mengakui bahwa ia tidak mendengar hadits tersebut langsung dari Nabi Saw., melainkan dari al-Fadhl ibn al-Abbas yang pada saat itu sudah meninggal.

Abu Hurairah bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadits-hadits anti perempuan, tetapi masih banyak selainnya, yang memaksa Sayyidah Aisyah ra. dan istri-istri Nabi Saw. yang lain menentang dan melawan banyak hadits palsu dan terlibat dalam pergulatan tanpa henti hingga hari-hari terakhir kehidupan mereka. Salah satu contohnya adalah apa yang diriwayatkan di dalam Shahîh al-Bukhârîy bahwa disampaikan kepada Sayyidah Aisyah ra. sebuah hadits, “Hal yang dapat menyela shalat adalah anjing, keledai, dan perempuan,” sehingga ia menjadi marah dan berkata, “Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing!” atau, “Betapa buruknya kalian memperlakukan kami seperti seekor anjing dan keledai! Padahal aku pernah melihat Nabi Saw. shalat sementara aku berbaring di tempat tidur antara beliau dan kiblat. Ketika aku ada suatu keperluan dan aku tidak ingin duduk hingga menyebabkan Nabi Saw. terganggu, maka aku pun pergi diam-diam dari dekat kedua kakinya.”[4]

Ribuan buku telah menggambarkan secara lebih rinci kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga Nabi Saw., yang terkadang sangat mencolok sehingga terkesan melanggar privasi kehidupan sebuah rumah tangga. Seperti penggambaran mengenai pertengkaran antara istri-istri Nabi Saw. dan persekongkolan sebagian mereka untuk melawan sebagian yang lain, yang mempengaruhi dan mengganggu kehidupan pribadi Nabi Saw., sehingga terkadang beliau menunjukkan perilaku tertentu atau mengatakan beberapa kalimat yang kemudian dijadikan kaidah hukum umum tanpa mempertimbangkan keadaan atau kejadian saat itu, meskipun beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya aku membuat perjanjian dengan Tuhanku, lalu aku berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, aku bisa rela sebagaimana manusia rela, dan aku pun bisa marah sebagaimana manusia marah. Oleh karena itu, siapa saja dari kalangan umatku yang aku doakan [dengan kejelekan] padahal ia tidaklah pantas mendapatkannya, hendaklah Allah jadikan hal itu sebagai pembersih, penyuci, dan qurbah yang akan mendekatkan dirinya [kepada Allah] pada hari kiamat,” [H.R. Muslim].

Dengan demikian, kita dapat menafsirkan banyak kalimat yang diucapkan Nabi Saw. dalam kehidupan beliau sehari-hari, ketika beliau kesal atau marah, atau tidak puas dengan suatu kejadian, atau bercanda, atau berdebat dengan salah seorang dari istri-istrinya yang biasa mempertanyakan banyak persoalan kepadanya, bahwa tidak semua tindakan dan ucapan Nabi Saw. bisa dijadikan aturan atau hukum umum yang berlaku sepanjang masa.

Para ahli fikih mengkodifikasi adat-kebiasaan dan tradisi pada zaman mereka dalam kerangka sistem keagamaan yang ketat, dan menyimpulkan hukum-hukum tentang perempuan dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi yang berbahaya adalah, mereka memberinya status kesucian, dengan melepaskan banyak hadits Nabi Saw. dari konteks dan asbâb al-wurûd-nya, dan kemudian menjadikannya sebagai aturan-aturan yang berlaku untuk setiap zaman. “Karena itu, para ahli fikih merasa perlu mengkristalisasi metode deduksi dan ijtihad yang tetap untuk dapat membangun struktur hukum lengkap yang berasal dari teks-teks agama, dengan terlebih dahulu memasukkan di dalam bangunan fikih mereka aturan-aturan, adat-adat dan praktik-praktik sosial lama yang Islam sendiri tidak menentukan larangan atau pengharaman”.[5]

Itu menjelaskan perbedaan pendapat di antara para ahli fikih, dan bahkan mungkin dalam satu kitab yang ditulis salah seorang ahli fikih, “Penggunaan dualisme al-‘umûm (keumuman) dan al-khusûsh (kekhususan) sebagai alat interpretasi (al-ta`wîl) dan interpretasi yang berlawanan (al-ta`wil al-mudhâdd) bukanlah proses yang efektif dalam mengungkap maksud/arti (al-dalâlah). Dualisme ini kedudukannya sama dengan dualisme-dualisme interpretasi lainnya seperti al-nâsikh dan al-mansûkh, al-muhkam dan al-mutasyâbih, yang mungkin menghasilkan makna dan kebalikannya sekaligus.”[6]

Beberapa pemikir Muslim yang tercerahkan juga mengandalkan dualisme ini, untuk memperlihatkan hak-hak yang diberikan Islam kepada perempuan, yang menyebabkan beberapa dari mereka, seperti al-Shadiq al-Naihum menafsirkan ayat “وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ” (Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka)[7] dengan mengatakan bahwa kata “اضْرِبُوهُنَّ” (pukul mereka), sebelum pemberian tanda baca al-Qur`an adalah “اعزبوهن” (tinggalkan mereka), tetapi karena kekeliruan dalam pemberian titik maka menjadi “اضْرِبُوهُنَّ” (pukul mereka). Sebagaimana Muhammad Syahrur menafsirkannya bukan dalam arti memukul secara fisik, tetapi menggunakan kekuatan untuk mencabut qiwâmah (hak mengurus rumah tangga) dari mereka, dan ia menafsirkan nusyuz sebagai kesombongan perempuan atas laki-laki, yang menunjukkan dengan jelas kepada bahwa mengadopsi pendekatan ini akan membawa kepada rangkaian pertempuran terus-menerus yang tidak berdampak apapun selain menambah kebingungan di dalam kesadaran individu Muslim. “Dan jika kita harus melakukan tugas yang sama—tugas membuka topeng ideologi pemalsuan kesadaran—dengan wacana agama juga, maka kita harus, di samping itu, menghindari kontroversi ideologis dengannya dengan menggunakan senjata halus yang sama, yaitu senjata interpretasi teks dan sikap-sikap keagamaan”.[8]

“Masalah-masalah ini tidak akan selesai dengan interpretasi (al-ta`wîl) dan interpretasi yang berlawanan (al-ta`wil al-mudhâdd), melainkan itu akan menemukan solusi sejatinya dengan memahami teks dalam konteks produksi sosial dan historisnya.”[9]

Pada bagian berikutnya akan disebutkan contoh-contoh sikap Islam, yang sekali-kali tampaknya memuliakan perempuan dan sekali-kali tampak merendahkannya menurut riwayat-riwayat yang ada. Dan seperti yang telah disingggung di atas, hal ini terjadi karena hadits-hadits dilepaskan dari konteks dan asbâb al-wurûd-nya, serta generalisasi suatu kejadian khusus dan menjadikannya hukum yang berlaku secara umum.[]

__________________
[1]. Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997, hal. 576
[2]. Ibid., hal. 207
[3]. Kisah ini tercatat dengan redaksi serupa di dalam kitab-kitab hadits. Lihat, misalnya: Musnad Ahmad.
[4]. Shahîh al-Bukhârîy, dalam “Kitâb al-Shalâh”, bab “Abwâb Sutrah al-Mushallîy” tentang “Man Qâla lâ Yaqtha’ al-Shalâh Syay`”.
[5]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 163
[6]. Ibid., hal. 197
[7]. Q.S. al-Nisa`: 34
[8]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 86
[9]. Ibid., hal. 302

Pengarusutamaan Gender: Konsep dan Praktik dalam Berorganisasi *)

Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri,” R.A. Kartini

 

PENGARUSUTAMAAN Gender (PUG) masih sering menjadi pembicaraan hangat dalam berbagai forum. Kebijakan PUG di Indonesia diawali dari instruksi presiden pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Instruksi presiden ini menjadi kebijakan yang berisi strategi dalam mengintegrasikan gender pada program pembangunan nasional (Inpres No. 9 tahun 2000).

PUG secara sederhana dimaknai sebagai suatu proses yang menjamin perempuan dan laki-laki memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap aspek sumber daya, pembangunan, pengambilan keputusan dan program pemerintah. Hal ini merupakan salah satu strategi global dalam mempromosikan kesetaraan gender di berbagai negara di dunia.

International Development Studies Concept Paper-21 menyebutkan “Gender bekerja untuk mengatasi hambatan stereotipe dan prasangka sehingga kedua jenis kelamin mampu secara sama-sama berpartisipasi dan mengambil manfaat dari perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan politik dalam masyarakat”.

Menengok ke belakang, kesetaraan gender (gender equality) merupakan mandat yang telah disepakati oleh setiap negara terhadap Aksi Beijing Platform 1995. Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing, Cina ini memuat seperangkat ketentuan tentang pemberdayaan dan penegakan hak-hak perempuan. Platform Aksi Beijing juga mensyaratkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui penerapan CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination Against Women) sebagai instrumen internasional utama yang mengatur penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Melalui berbagai liputan dan laporan dari lembaga-lembaga terkait, sangat disadari bahwa hingga saat ini masih sering terjadi ketidakadilan gender yang dialami perempuan baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Padahal salah satu tujuan pembangunan manusia (human development) di Indonesia adalah untuk mencapai Kesetaraan Gender dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki maupun perempuan (Bappenas, 2010).

Merujuk pada Tujuan ke 5 Pembangunan Berkelanjutan (SGDs-Sustainable Delvelopment Goals), bahwa Keseteraan gender akan memperkuat kemampuan Negara untuk mengurangi kemiskinan dan memerintah secara efektif. Dengan demikian memromosikan kesetaraan gender adalah bagian dari strategi pembangunan dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup.

Lies Marcoes Natsir, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) dalam sebuah webinar nasional yang diselenggarakan oleh DPP Wanita Katolik RI dalam rangka memperingati Hari Kartini, 30 April 2022 mengemukakan Gender Concept dalam Mempromosikan Partisipasi Perempuan. Lies yang menjadi pelatih dan konsultan di bidang hak-hak perempuan dan Islam menyebutkan stereotype yang berkembang di masyarakat menyangkut pada peran ganda seorang perempuan, kekerasan yang masih terus menimpa dan pemiskinan. Ketiga aspek tersebut merupakan bentuk diskriminasi berbasis gender.

Menurut Lies yang merupakan pakar gender di The Asia Foundation (2002-2013), ada tiga fungsi gender, yakni, pertama, sebagai Alat Periksa yang membedakan laki-laki dan perempuan. Fungsi ini masuk dalam kategori sosial yakni membedakan kaum laki-laki dan perempuan menurut fisik atau biologisnya. “Jika perbedaan hanya melihat dari sisi ini, maka manusia tak bedanya dengan binatang ada jantan ada betina. Untungnya dalam perkembangan ilmu, hadirlah konsep PUG,” jelasnya. Kedua, sebagai Alat Analisis yang dalam ilmu-ilmu Sosial digunakan untuk memeriksa adanya kesenjangan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol antara lelaki dan perempuan. Ketiga, Alat Advokasi sebagai cara untuk dapat mengubah atau mengatasi kesenjangan gender.

Sebagai seorang konsultan senior, Lies telah menerbitkan berbagai karya di bidang pencegahan perkawinan dan fundamentalisme menyangkut Kesaksian Para Pengabdi dan Inspirasi Jihad Kaum Jihadis. Selanjutnya, pada Februari 2021, ia menerbitkan buku terbarunya, Merebut Tafsir yang merupakan kumpulan esai tentang gender, Islam, dan pemberdayaan serta Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal (Afkaruna, 2022).

 

PUG dalam Gereja Katolik

Romo Paulus Christian Siswantoko meninjau PUG dari sudut pandang Gereja yang Berperspektif Gender Equality. Utamanya adalah memahami Bunda Maria yang berperan aktif dalam pewartaan kasih Allah. “Maria sebagai perempuan memiliki peran yang sangat luar biasa dalam karya penyelamatan Allah,” jelasnya. Melalui dogma Maria, gereja Katolik meletakkan penghormatan tertingi bagi Maria sebagai Bunda, jalan penebusan serta mediator segala rahmat. Romo Siswantoko yang menjabat sebagai sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menekankan bahwa perempuan adalah istimewa. Dalam peribadatan pun laki-laki dan perempuan duduk bersama dan memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam liturgi seperti menjadi misdinar, lektor, prodiakon. Demikian pula, dalam organisasi, mereka mempunyai peran yang sama apakah menjadi Ketua Lingkungan, Ketua Wilayah, atau Dewan Paroki.

Lulusan S2 Academia Alfonsiana, Universitas Lateranensis, Roma ini menegaskan bahwa gereja juga mendorong kaum perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial politk dan jabatan-jabatan publik seperti DPR, DPD, komisi-komisi dan Lembaga negara lainnya. “PUG seyoyganya diimplementasikan mulai dari dalam keluarga yaitu bagaimana relasi dibangun antar anggota keluarga dengan menerapkan hubungan yang adil gender,” contohnya. Dikemukakan, dalam dunia pendidikan perlu memberi pemahaman yang tepat tentang gender sehingga mampu membentuk konstruksi sosial yang benar juga terhadap peran laki-laki dan perempuan. Terkait tata organisasi dalam gereja, Romo Siswantoko menyatakan bahwa gereja senantiasa didorong untuk menerapkan relasi adil gender, sehingga umatpun diharapkan mampu menjadi duta-duta mengarusutamaan gender baik dalam internal gereja maupun masyarakat.

 

PUG dan Organisasi

Gender perlu mendapat perhatian karena dalam kebijakan tentang ilmu pengetahuan pun gender belum dimasukkan sebagai sebuah kebutuhan. Di sisi lain, hal ini merupakan strategi untuk menciptakan  masyarakat yang berkeadilan gender. Sebagai sebuah Organisasi Masyarakat bertaraf nasional, Wanita Katolik RI sangat perlu menurunkan konsep-konsep kesetaraan gender dalam praktik berorganisasi maupun bermasyarakat, sehingga bukan sekedar menjadi wacana. Pelaksanaan pengarusutamaan gender ditujukan agar terselenggaranya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan organisasi dan program mulai dari ranting hingga Pengurus Pusat.

Justina Rostiawati, Ketua Presidium DPP Wanita Katolik RI yang juga Komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2014 memaparkan kiat-kiat praktis dalam membumikan PUG pada praktik berorganisasi. Ia menegaskan manfaat PUG adalah memperoleh akses kepada sumber daya pembangunan, berpartisipasi dalam seluruh proses pembangunan dan pengambilan keputusan, memiliki kontrol serta memperoleh hasil dari pembangunan. “Komitmen Wanita Katolik RI terhadap PUG jelas dan tertuang dalam Mukadimah AD-ART tahun 2018,” jelasnya. Justina yang memiliki pengalaman kuat di bidang penelitian terutama isu perempuan dan gender serta hak asasi manusia dan pendidikan ini, menggarisbawahi pernyataannya melalui kebijakan dan program. Pertama terkait analisis situasi dan kondisi dalam wilayah kerja berbasis data. Selanjutnya menyusun program Kongres/Konferda/Konfercab berdasarkan data serta analisis sikon. “Dalam pelaksanaannya melakukan monev pada setiap kegiatan yang telah disusun dengan melibatkan multi stakeholders (kemitraan).”

Kaderisasi merupakan aspek penting yang juga ditekankan oleh Justina yaitu menyiapkan anggota menjadi kader yang dapat ditempatkan dalam jabatan penyelenggara negara. “Wanita Katolik boleh menjadi anggota partai yang visi dan misinya selaras dengan organisasi. Namun, tidak dibenarkan menggunakan atau mengintegrasikan identitas partai politik ke dalam kegiatan organisasi,” jelasnya. Sejalan dengan apa yang disampaikan Romo Siswantoko, pendiri Lembaga Pemberdayaan Komunitas Basis dan anggota Sekretariat Jaringan Mitra Perempuan ini mengingatkan bahwa pendidikan karakter bangsa dimulai sejak dini yaitu dalam keluarga. Program yang dikembangkan organisasi sehubungan dengan sensivitas gender adalah meningkatkan kapasitas, keterampilan perempuan serta meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menghapus kekerasan (KDRT).

“Tak kalah penting adalah Melek Digital guna meningkatkan keterampilan IT dan membuka akses informasi yang lebih luas terhadap perkembangan jaman. Kemudian juga pendidikan politik perempuan yang mampu menyadari dan menyuarakan masalah keseharian. Beberapa Gerakan yang telah dan sedang dikembangkan Wanita Katolik RI mencakup Gerakan lingkungan hidup (daur ulang), ketahanan dan kedaulatan pangan yakni menanam sayur dan mengelola pangan keluarga dan komunitas, membangun Kampung Bineka dengan mengolah laham kosong lingkungan bersama komunitas lintas suku/agama, Lintas Mentari dan Gerakan dari Ibu untuk Indonesia khususnya dalam merespons pandemi Covid 19.[]

 

*) Sumber: https://www.kompasiana.com/mathildaamwbirowo6595/627178543794d1574c648eb3/pengarusutamaan-gender-konsep-dan-praktik-dalam-berorganisasi?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile

Merebut Tafsir: Mudik di Era Normal Baru

Oleh: Lies Marcoes-Natsir, M.A.

 

TAK disangka, mudik untuk berlebaran di kampung sebagai ciri masyarakat Indonesia bisa terhenti serempak gara-gara pandemi Covid-19.

Syukurlah Lebaran tahun ini, virus mulai jinak. Sebagian warga kota, atas izin pemerintah, diperkirakan akan mudik Lebaran.

Penting untuk mengamati fenomena mudik pada masa normal baru (new normal) ini, baik bagi pemudik maupun situasi di udik, di kampung halaman. Apa yang masih tetap sama dan berubah setelah dua kali Lebaran desa tak dibanjiri para pemudik?

Meskipun orang yang tinggal di kota punya udik (kampung), sebetulnya tak setiap waktu mereka bisa pulang kampung. Karena itu, meski Covid-19 sudah berkurang, desa seperti memiliki pintu imajinatif yang tak begitu saja bisa buka tutup setiap waktu.

Pintu itu seperti punya jadwal kapan dibuka dan mempersilakan orang kota memasuki desa dengan sambutan bak tamu agung dan kapan tertutup sehingga orang hanya bisa masuk secara menyelinap. Mereka yang pulang di luar jadwal mungkin akan dianggap pulang tak diundang.

Untuk pulang kampung, orang butuh alasan: menengok orangtua jika dikabarkan sakit, membawa anak liburan, ada hajatan atau kumpul keluarga (belakangan disebut reuni), atau untuk mudik Lebaran.

Pintu rumah orangtua di kampung tentu selalu terbuka bagi anak cucu yang tinggal di kota untuk pulang di luar waktu-waktu yang telah dimaklumi. Namun, orangtua butuh alasan untuk tetangga dan kerabat jika ada anak-cucunya datang tiba-tiba di luar waktu yang biasanya atau tanpa faktor ”pemanggil”, seperti ada kerabat sakit atau meninggal.

 

Tetirah

Pulang tanpa alasan hanya akan membuat tetangga bertanya-tanya. Gerangan kabar baik apa yang dibawa dari kota? Naik pangkat? Mau mantu? Beli tanah? Mau naik haji? Atau adakah kabar penting lain? Untunglah dalam kosakata Indonesia, terutama Jawa/Sunda, ada satu istilah yang semua orang di kampung akan memaklumi, ”tetirah”.

Tetirah adalah istilah psikologis untuk istirahat pikiran. Kata itu tampaknya begitu sakti. Orangtua di kampung dan orang yang pulang tanpa alasan segera mendapatkan alasan mengapa seseorang pulang kampung di luar agenda.

Tanpa istilah itu, tatkala orang dari kota pulang bukan pada jadwalnya akan memunculkan tanda tanya atau bisik- bisik. Mengapa pulang? Ketidakjelasan alasan pulang itu membuat kedua pihak, orangtua dan anak yang pulang, merasa tak nyaman. Orang mungkin menerka-nerka apakah telah menjadi petarung yang kalah berjuang di kota?

Tetirah adalah sebuah istilah medis tradisional untuk menunjuk kepada situasi di mana orang membutuhkan waktu untuk istirahat lahir batin dengan cara mengungsi atau mengasingkan diri dari tempat biasanya seseorang itu tinggal. Dalam bahasa agama itu disebut uzlah atau hijrah. Tetirah biasanya disandangkan kepada orang yang sedang dalam proses penyembuhan, baik akibat sakit pisik, mental, maupun sakit pikiran/batin.

Mudik juga sering dijadikan alasan bagi orang kota untuk tetirah secara periodik. Orang menarasikan Idul Fitri sebagai momentum ”kembali ke titik nol”. Secara sosiologis, mudik juga kerap diartikan sebagai momentum memperlihatkan hasil kerja keras di rantau. Karena itu, ini momentum bagi dua pihak untuk ”pamer” tentang sukses di rantau.

Apa pun keadaan kehidupan di kota, orangtua di kampung harus siap menyambut mereka. Sebuah sikap yang harus menerima anak-anaknya pulang dari pertempuran di kota dengan menyediakan perbekalan lahir batin. Sebagian perantau di kota tentu ada yang tercatat sebagai orang sukses dan karena itu akan berperan sebagai kasir keluarga yang juga menjadi kebanggaan keluarga.

Sebagian anggota keluarga yang lain akan sekadar menikmati kemewahan bernostalgia di kampung, disuguhi makan minum tidur gratis, dan hal-hal yang bisa men-charge kembali baterai mental untuk dibawa kembali ke kota setelah festival Lebaran usai.

 

Kesiapan Desa

Wacana larangan mudik guna memutus penularan virus Covid-19 telah semakin longgar. Masalahnya, sudahkah kita menimbang seberapa sanggup desa menyangga kedatangan orang dari kota, sementara desa sendiri tidak imun dari Covid-19. Bahkan lebih berat lagi karena di desa upaya pencegahan penyebaran virus pada kenyataannya lebih sulit jika warga umumnya menolak ”fakta” adanya Covid-19.

Selama dua tahun masa pandemi, saya pernah satu kali mengadakan kegiatan pelatihan pemberdayaan guru PAUD dengan mengambil tempat di wilayah perdesaan. Kala itu, setahun yang lalu virus Delta justru baru meningkat. Namun, para peserta menolak swab dan hanya mau menggunakan masker. Sementara itu, banyak mata menatap kami yang senantiasa menggunakan masker sebagai perilaku orang kota yang berlebihan.

Hal lain adalah soal pemulihan ekonomi keluarga. Tampaknya kita juga mesti menimbang keadaan ekonomi di kota yang belum sepenuhnya pulih akibat terdampak Covid-19. Sangat masuk akal jika orang kota butuh pulang ke desa untuk tetirah, sebab mereka hanya punya desa sebagai sanatorium sosial tempat mereka pulang dan tetirah setelah dihantam badai Covid-19.

Mungkin pemerintah pusat dan daerah perlu berunding bagaimana agar desa sanggup menyangga dirinya sendiri ketika banyak orang dari kota pulang dengan alasan mudik Lebaran dengan situasi mental dan batin kurang sehat. Mereka mungkin akan tinggal lebih lama sambil menunggu ekonomi di kota kembali pulih.

Mudik di era normal baru semoga mampu membangun kembali daya juang untuk hidup setelah babak belur dihantam makhluk mikroskopis Covid-19. Namun, tetirah atau pemulihan melalui Lebaran bukan hanya bagi mereka yang kelak akan balik lagi ke kota, melainkan juga bagi desa sendiri yang akan ditinggali sampah persoalan yang dibawa dari kota akibat Covid-19.

Selamat menikmati mudik!