Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Kekhususan Rumah Tangga Nabi Saw. (5)
DI dalam Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, dan lainnya disebutkan bahwa Nabi Saw., yang sedang sakit menjelang wafat, bersabda, “Suruhlah Abu Bakr untuk memimpin shalat bersama orang-orang.” Dan ketika beliau didebat oleh Sayyidah Aisyah ra. mengenai hal itu setelah bersepakat dengan Sayyidah Hafshah ra.—keduanya menginginkan Umar ibn al-Khaththab untuk memimpin shalat bersama orang-orang karena Abu Bakr al-Shiddiq karena hatinya terlalu lembut sehingga ia tidak bisa memperdengarkan bacaan kepada makmun karena tangisannya—, beliau marah kepada keduanya seraya berkata, “Sungguh kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Yusuf.”[1]
Jelas bahwa kalimat tersebut diucapkan Nabi Saw. ketika beliau sedang dalam keadaan lemah karena sakit, di mana beliau merasa bahwa istri-istrinya menentangnya dan tidak melakukan apa yang dimintanya sehingga beliau mengeluarkan ucapan tersebut, yang kemudian dijadikan aturan umum bagi seluruh perempuan Muslim hingga hari ini.
Juga selama sakit, istri-istri beliau, sebagian istri orang-orang beriman, dan paman beliau al-Abbas berkumpul di sisi beliau. Mereka sepakat untuk memberikannya obat (mereka memasukkan obat melalui mulutnya), beliau kemudian bangun karena terganggu oleh tindakan mereka, lalu berkata, “Tidakkah aku telah melarang kalian memasukkan obat ke dalam mulutku [dengan paksa]! Kalian jangan memasukkan obat ke dalam mulutku.” Mereka berkata, “Ah biasa, orang sakit memang tidak suka obat.” Lalu beliau berkata, “Tidak ada seorangpun di rumah ini kecuali dirinya harus diobati [dengan paksa] melalui mulutnya kecuali al-Abbas, karena ia tidak bersama kalian [saat kalian melakukan itu kepadaku],” [H.R. al-Bukhari]. Demikianlah, seluruh istri beliau dan semua orang yang ada dalam di rumah beliau saat itu diberi obat melalui mulut mereka sebagai hukuman, termasuk Maimunah yang saat itu sedang berpuasa, karena beliau bersumpah untuk menghukum mereka atas apa yang telah mereka lakukan.[2]
Ada beberapa kejadian yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra. yang menimbulkan keheranan dan ketakjuban atas keberaniannya berbicara untuk menunjukkan kecemburuan, kemarahan, atau ketidaksabarannya. Nabi Saw. berkata kepada Sayyidah Aisyah ra., “Sesungguhnya aku benar-benar tahu saat kamu ridha padaku dan saat kamu marah kepadaku.” Ia berkata, “Dari mana kau mengetahui hal itu?” Beliau pun menjawab, “Jika kau ridha padaku maka kau berkata, ‘Tidak, demi Rabb Muhammad. Namun jika kamu sedang marah padaku, maka kau berkata, ‘Tidak, demi Rabb Ibrahim.’” Ini adalah percakapan pribadi yang terjadi hanya antara seorang suami dan istrinya, dan ini merupakan salah satu kekhasan kehidupan sehari-hari suami-istri.
Pada kisah lain, suatu hari Nabi Saw. pulang ke rumah Sayyidah Aisyah ra. seusai mengiringi jenazah ke pemakaman al-Baqi’. Kala itu Sayyidah Aisyah ra. sedang mengeluhkan rasa pening di kepalanya sehingga ia berkata kepada Nabi Saw. “Aduh, peningnya kepalaku.” Namun ternyata Nabi Saw. juga mengeluhkan hal yang sama dan berkata, “Aku juga merasakan pening di kepalaku.” Selanjutnya beliau berkata, “Apa salahnya bila kau meninggal sebelumku, maka aku sendirilah yang akan memandikanmu, mengkafanimu, menshalatimu, dan aku pula yang akan menguburkanmu.” Sayyidah Aisyah ra. berkata, “Sungguh aku mengira, bila hal itu terjadi, sepulangmu ke rumahku dari menguburkanku niscaya engkau segera bersenang-senang dengan sebagian istrimu yang lainnya di rumahku ini.” Mendengar jawaban ini, Nabi Saw. tersenyum.[3]
Sangat jelas bahwa ini adalah percakapan sederhana antara suami dan istrinya. Bahkan Sayyidah Aisyah ra. pernah berkata, “Dulu aku cemburu kepada perempuan-perempuan yang telah menyerahkan diri kepada Rasulullah Saw., dan aku berkata, ‘Dapatkah seorang perempuan menyerahkan dirinya [kepada seorang pria]?’ Tetapi ketika Allah menurunkan, ‘Kamu (Muhammad) boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan [boleh pula] menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu,’ [QS. al-Ahzab: 51], aku berkata [kepada Nabi Saw.], ‘Aku merasa bahwa Tuhanmu mempercepat pemenuhan keinginanmu.”[4]
Dalam riwayat yang lain Sayyidah Aisyah ra. berkata, “Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah Saw., lalu beliau teringat ketika Khadijah meminta izin, dan beliau pun tercengang seraya berkata, ‘Ya Allah, [ternyata] ini Halah binti Khuwailid.’ Aku cemburu, lalu berkata, ‘Kenapa masih diingat-ingat perempuan tua renta di antara banyak perempuan tua kaum Quraisy yang telah merah kedua rahangnya (sindiran kepada orang yang sudah tua), ia telah lama wafat dan Allah telah menggantikannya dengan perempuan yang lebih baik darinya.”[5]
Banyak sekali buku yang telah mengurai jejak-jejak pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga Nabi Saw., dan membuat cerita-cerita ini beredar meskipun itu bersifat sangat privat, di mana kejadian yang sama terkadang diriwayatkan dari salah satu istri Nabi Saw. dan terkadang dari istri beliau yang lain, yang menunjukkan ketidakakuratan riwayat.
Di dalam Shahîh al-Bukhârîy disebutkan, “Istri-istri Rasulullah Saw. [terbagi menjadi] dua kelompok: satu kelompok di dalamnya ada Aisyah ra., Hafshah, Shafiyah dan Saudah. Sedangkan kelompok yang lain di dalamnya ada Ummu Salamah dan istri-istri Rasulullah Saw. lainnya.”[6]
Mungkin peristiwa Maghafir—yang tidak ada satupun kitab sîrah dan hadits yang tidak menyebutkannya—merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak boleh diceritakan ke publik mengenai kekhususan rumah tangga Nabi Saw. Meskipun demikian, banyak sekali halaman buku yang dikhususkan untuk membahas tentang itu dan selalu dinisbatkan kepada salah satu istri Nabi Saw., termasuk hadits tentang konspirasi istri-istri Nabi Saw. untuk mengganggu beliau karena kecemburuan mereka. Bahkan gambaran tentang pertengkaran yang disertai hinaan dan cacian di dalam rumah tangga beliau dalam uraian dan penjelasan yang rumit juga memenuhi banyak halaman buku.
Kita tidak tahu, jika cerita-cerita itu memang benar-benar terjadi, mengingat bahwa setiap kejadian dinarasikan dalam bentuk dan redaksi yang berbeda-beda, apakah pantas disebarkan ke publik secara luas, sementara al-Qur`an dan hadits Nabi banyak memuat anjuran untuk menjaga (merahasiakan) privasi rumah tangga dan mencegah pelanggaran kehormatannya yang umum terjadi pada masyarakat pra-Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu [selalu] ingat,” [QS. al-Nur: 27].
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak [makanannya], tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu [untuk menyuruh kamu keluar], dan Allah tidak malu [menerangkan] yang benar,” [QS. al-Ahzab: 53].
“Dari Sahl ibn Sa’d, ia berkata, ‘Seorang laki-laki mengintip ke rumah Nabi Saw. melalui lubang pintu. Ketika itu Nabi Saw. sedang menyisir rambut dengan sebuah sisir besi. Maka beliau berkata, ‘Kalau aku tahu engkau mengintip, aku tusuk matamu. Sesunggunyah Allah mensyariatkan izin (memberi salam) demi menjaga pandangan,” [H.R. al-Bukhari dan Muslim].
Itu termasuk kejadian-kejadian lain di setiap rumah tangga, terutama apa yang diketahui dari pribadi Nabi Saw. berupa kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan kelembutannya, di dalam kehidupan pribadinya, yang membuat beberapa kalimat dari beliau di dalam beberapa momen dijadikan sebagai hukum yang disajikan dalam ribuan halaman buku, digeneralisasi dan dijelaskan dalam berbagai tafsir. Padahal kalau kita mengamatinya dengan cermat, itu tidak lebih dari sekedar momen-momen kemanusiaan sehari-hari yang terkadang berisi candaan, atau bahkan kemarahan yang selalu bisa beliau kendalikan karena sosok beliau yang lemah-lembut dan berbudi luhur, yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang tidak menyakiti, seperti kalimat “Sungguh kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Yusuf” yang sebenarnya mengandung celaan lembut, bukan sebagai hukum atas kaum perempuan yang berlaku selama berabad-abad hingga hari ini.
Kejadian lain yang mungkin bisa disebutkan di sini adalah, bahwa suatu ketika Nabi Saw. berada di rumah Sayyidah Aisyah ra., dan saat itu beliau sedang kedatangan para tamu dari kalangan sahabat. Tiba-tiba datanglah seseorang membawa semangkok makanan yang dikirim oleh Ummu Salamah ra. [untuk menjamu tamu yang ada dirumah Sayyidah Aisyah ra.), maka Sayyidah Aisyah ra. pun memukul tangan orang yang membawa semangkok makanan itu hingga jatuhlah mangkok tersebut dan pecah. Nabi Saw. kemudian mengumpulkan pecahan mangkuk itu dan juga makanannya, seraya berkata kepada para sahabat, “Ibu kalian (Sayyidah Aisyah ra.) ini sedang cemburu.” Kemudian beliau menggantikan mangkok yang pecah itu dengan mangkok yang baru dari rumah Sayyidah Aisyah ra.[7]
Disebutkan dalam Shahîh Muslim bahwa Nabi Saw. shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah Saw., putri dari Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abd Syams. Jika mau sujud, beliau meletakkannya [di lantai], dan jika berdiri, beliau menggendongnya kembali.
Cerita-cerita di atas hanyalah sebagian kecil dari ratusan cerita sehari-hari yang dicatat di dalam banyak halaman buku. Disebutkan di sini hanya untuk menunjukkan bahwa tidak setiap kalimat yang diucapkan dan dikatakan di dalam rumah tangga Nabi Saw. dijadikan hukum wajib yang berlaku sepanjang masa; karena sebagiannya—bahkan mungkin banyak—terkait dengan suatu peristiwa tertentu, dengan situasinya yang khusus, yang memicu munculnya reaksi manusiawi, terkadang berupa kemarahan, yang tidak bisa dijadikan sebagai hukum umum.
Mengutip kejadian-kejadian tersebut secara harfiyah akan memunculkan penilaian-penilaian yang kontradiktif, terutama jika kejadian-kejadian itu dilepaskan dari keadaan dan konteksnya. Sebab satu kejadian tertentu terkadang diriwayatkan oleh beberapa orang dengan cara yang berbeda dari apa yang diriwayatkan orang lain.[]
______________
[1]. Cerita ini disebutkan di dalam banyak kitab hadits, lihat, misalnya: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, Sunan al-Darâmîy, dan lain-lain.
[2]. Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997, hal. 360
[3]. Abdul Malik ibn Hisyam, al-Sîrah al-Nabawîyyah (Juz 2), Damaskus-Beirut: Dar Ibn Katsir, 1999, hal. 643. Kisah ini juga di ada di dalam Musnad Ahmad.
[4]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, Sunan al-Nasâ`îy, dan Musnad Ahmad.
[5]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, dan Musnad Ahmad.
[6]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Shahîh Muslim, dan Musnad Ahmad.
[7]. Lihat: Shahîh al-Bukhârîy, Musnad Ahmad, dan Sunan al-Nasâ`iy Syarh al-Suyûthiy wa Hâsyiyah al-Sanadîy.
[8]. Shahîh Muslim