Serial Kajian

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Sebuah Pengantar (4)

Pelepasan Hadits dari Konteksnya

 

RENTANG waktu antara era para sahabat—yang merupakan perawi hadits pertama—dan era munculnya shahih pertama (Shahîh al-Bukhârîy) adalah dua ratus tahun, dan selama periode itu banyak hadits yang ditransmisikan secara lisan dan diriwayatkan. Tidak diragukan lagi, ketergantungan ulama hadits pada “‘an‘anah” (rantai perawi hadits) dan keterampilan “al-jarh wa al-ta’dîl” (studi pribadi dan biografi perawi serta kepastian kelayakan dan integritasnya) telah mengurangi banyak rekayasa hadits (hadits mawdhû’/palsu), tetapi itu tidak serta-merta bisa melindungi tradisi Islam dari hadits-hadits mawdhû’ untuk tujuan atau maksud tertentu.

Diketahui bahwa Umar ibn al-Khaththab sangat berhati-hati dalam bersandar pada apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw., meskipun ia hidup bersama beliau, karena ia takut menggunakan kata-kata beliau dengan makna dan maksud yang tidak sesuai dengan konteksnya, seperti yang sering terjadi setelah itu, dan ia adalah orang yang mengatakan dalam rekomendasinya kepada para pejabat bawahannya di daerah, “Sedikitkan [penggunaan] riwayat dari Muhammad.”[1] Sebaliknya, ia selalu lebih suka berpijak pada akalnya. Dan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa-masa setelahnya, bahkan jika itu menyebabkan perubahan hukum, tetap sejalan dengan esensi akidah Islam.

Tinjauan terhadap hadits-hadits terkait perempuan menunjukkan adanya kontradiksi dalam beberapa hukum sebagai bukti nyata bahwa hadits-hadits tersebut dilepaskan dari konteksnya terkait peristiwa tertentu untuk digeneralisasikan sebagai hukum yang berlaku sepanjang masa untuk setiap waktu dan tempat. Dan kalau menelusuri sîrah nabawîyyah akan tampak bahwa Nabi hidup di rumahnya bersama istri-istrinya dengan kehidupan manusia normal yang dipenuhi dengan kesedihan, kegembiraan, keseriusan, lelucon, kesepakatan, ketidaksepakatan, bahkan kepuasan dan kemarahan, serta segala sesuatu yang dialami manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari yang berbeda-beda dari menit ke menit dan jam ke jam, sesuai dengan perbedaan situasi dan kondisi. Karena itu, mengambil satu kalimat tertentu yang disabdakan oleh Nabi Saw. dengan melepaskannya dari konteks, keadaan, dan sebabnya untuk kemudian menggeneralisasikannya sebagai hukum definitif (qath’îy) sepanjang masa di segala situasi, itu tidak sesuai dengan logika dan akal, serta keinginan Nabi Saw. bahwa seorang Muslim harus bekerja dengan akalnya untuk berpikir dalam bertindak secara benar dan adil terkait segala urusan dunianya.

Dalam sebuah kejadian terkenal di mana Nabi Saw. memberi saran kepada umat Muslim saat itu untuk tidak menyerbukkan pohon kurma, dan ketika pohon itu tidak berbuah, beliau menyadari kesalahan dan menyampaikan sabdanya yang terkenal “أنتم أعلم بأمور دنياكم” (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu).

Sebelum perang Badar berkecamuk, Nabi Saw. bergerak bersama bala tentaranya mendahului kaum musyrik untuk menguasai mata air Badar dan menghalangi mereka dari usaha untuk menguasainya. Beliau segera mengambil posisi di Asya, yang merupakan sumber air paling rendah dari sumber air di Badar. Al-Habbab ibn al-Mundzir, salah seorang ahli militer, berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu, apakah ini adalah posisi yang ditentukan Allah untukmu sehingga kita tidak boleh maju ataupun mundur, ataukah hanya suatu pendapat (bagian dari strategi) perang dan tipudaya?” Beliau menjawab, “Ini hanya sekedar pendapat (bagian dari strategi) perang dan tipudaya.” Al-Habbab berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jika demikian, ini bukanlah posisi yang tepat. Karenanya, bangkitlah bersama orang-orang hingga kita mendatangi sumber air yang paling dekat dari posisi [pasukan] Quraisy, lalu kita menempatinya dan merusak sumur-sumur yang ada di belakangnya. Berikutnya kita membuat telaga dan mengisinya dengan air, setelah itu barulah kita memerangi mereka. Dengan begitu, kita bisa minum sementara mereka tidak bisa melakukannya.” Beliau kemudian bersabda, “Kau telah memberikan pendapat yang tepat.” Kemudian beliau bersama orang-orang mukmin melakukan apa yang dikatakan oleh al-Habbab.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa beliau bersabda, “Nanti setelahku, kalian akan melihat orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan hal-hal yang akan kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Apa perintahmu, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memintalah hakmu kepada Allah.”

Dalam kejadian serupa lainnya, kita melihat Nabi Saw. dengan kebijaksanaannya menerima pendapat umat Muslim, dan beliau menarik kembali pendapatnya jika pendapat lain itu lebih meyakinkan, bahkan meskipun itu bertentangan dengan pendapatnya sendiri tanpa merasa enggan sedikipun. Beliau juga terbiasa berdebat dengan orang-orang dan mengambil pendapat mereka dalam urusan dunia mereka. Tetapi saat ini, setelah lebih dari seribu empat ratus tahun, kita tidak memiliki hak untuk mendiskusikan masalah agama dengan ahli fikih mana pun dan berbeda pendapat dengannya!

Beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Saw., kontradiksi muncul dalam periwayatan hadits yang berkaitan dengan perempuan. Diketahui bahwa sebagian besar hukum yang terkait dengan perempuan, yang menjadi sandaran para ahli fikih, diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang meriwayatkan 5300 hadits—sebagian besarnya berhubungan dengan perempuan dan kehidupan sehari-hari individu Muslim—selama tiga tahun ia menemani Nabi Saw., tahun-tahun di mana Nabi Saw. menghabiskan sebagian besar waktunya dalam peperangan, sehingga tidak ada ruang untuk meriwayatkan banyak hadits terkait perempuan. Di sini perlu dicatat bahwa Nabi Saw. terlibat langsung dalam dua puluh enam perang selama sepuluh tahun setelah hijrah.[2]

Sayyidah Aisyah ra. telah beberapa kali meminta Abu Hurairah untuk berhati-hati dengan apa yang diriwayatkankannya atas nama Nabi Saw., dan ia berdebat dengannya lebih dari sekali, memaksanya untuk menarik kembali riwayat-riwayatnya pada waktu-waktu tertentu.

Umar ibn al-Khaththab ra., sahabat Nabi Saw. yang terkenal sangat keras, pernah mengancam untuk mengusir dan mengasingkan Abu Hurairah karena ia terlalu banyak bicara atas nama Nabi Saw., dan juga memperingatkannya untuk tidak menjadi berdusta atas nama Nabi Saw. Saat itu Umar ibn al-Khatthab ra. berkata, “Hendaknya ia (Abu Hurairah) tidak mempunyai keraguan”.

Pada masa kekhalifahan Marwan ibn al-Hakam, Abu Hurairah mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah. Maka Marwan ibn al-Hakam mengirim utusan kepada Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah—Allah senantiasa meridhai keduanya—dan keduanya mengatakan kebalikan dari apa yang dikatakan Abu Hurairah. Kemudian Abu Hurairah berkata, “Aku dulu mengira dan aku dulu menyangka [bahwa aku mempunyai cukup ilmu].” Marwan ibn al-Hakam berkata kepadanya, “Dengan ‘aku dulu mengira dan aku dulu menyangka’ kau lantas [merasa cukup] memberi fatwa kepada manusia?”

Disebutkan bahwa dua orang laki-laki datang menemui Sayyidah Aisyah ra., keduanya berkata, “Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi Saw. berkata sesungguhnya kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan binatang kendaraan.” [Mendengar ini] Sayyidah Aisyah ra. sangat marah sehingga seolah-olah bagian tubuhnya terbang ke langit dan sebagian terbang ke bumi. Kemudian ia berkata, “Demi Zat yang telah menurunkan al-Qur`an kepada Abu al-Qasim (Nabi Saw.), beliau tidak berkata begitu, tetapi berkata, ‘Orang-orang Jahiliyah biasa mengatakan bahwa kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan binatang kendaraan.”[3]

Perselisihan antara Abu Hurairah dan Sayyidah Aisyah ra. telah mencapai titik di mana mereka bentrok dalam beberapa kesempatan. Sayyidah Aisyah ra. menuduh Abu Hurairah tidak berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari lisan Nabi Saw. dan mengatakan sesuatu yang tidak didengarnya. Sementara Abu Hurairah untuk memberikan sanggahan bahwa dirinya menghafal hadits di saat Sayyidah Aisyah ra. sibuk dengan celak dan cermin.

Perselisihan itu tidak hanya terjadi antara Abu Hurairah dan Sayyidah Aisyah ra., tetapi meluas hingga melibatkan semua istri Nabi Saw. Mereka menentangnya dan menyangkal beberapa hadits yang disampaikannya mengenai kehidupan pribadi Nabi Saw., yang memaksanya menarik kembali ucapannya dan mengakui bahwa ia tidak mendengar hadits tersebut langsung dari Nabi Saw., melainkan dari al-Fadhl ibn al-Abbas yang pada saat itu sudah meninggal.

Abu Hurairah bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadits-hadits anti perempuan, tetapi masih banyak selainnya, yang memaksa Sayyidah Aisyah ra. dan istri-istri Nabi Saw. yang lain menentang dan melawan banyak hadits palsu dan terlibat dalam pergulatan tanpa henti hingga hari-hari terakhir kehidupan mereka. Salah satu contohnya adalah apa yang diriwayatkan di dalam Shahîh al-Bukhârîy bahwa disampaikan kepada Sayyidah Aisyah ra. sebuah hadits, “Hal yang dapat menyela shalat adalah anjing, keledai, dan perempuan,” sehingga ia menjadi marah dan berkata, “Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing!” atau, “Betapa buruknya kalian memperlakukan kami seperti seekor anjing dan keledai! Padahal aku pernah melihat Nabi Saw. shalat sementara aku berbaring di tempat tidur antara beliau dan kiblat. Ketika aku ada suatu keperluan dan aku tidak ingin duduk hingga menyebabkan Nabi Saw. terganggu, maka aku pun pergi diam-diam dari dekat kedua kakinya.”[4]

Ribuan buku telah menggambarkan secara lebih rinci kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga Nabi Saw., yang terkadang sangat mencolok sehingga terkesan melanggar privasi kehidupan sebuah rumah tangga. Seperti penggambaran mengenai pertengkaran antara istri-istri Nabi Saw. dan persekongkolan sebagian mereka untuk melawan sebagian yang lain, yang mempengaruhi dan mengganggu kehidupan pribadi Nabi Saw., sehingga terkadang beliau menunjukkan perilaku tertentu atau mengatakan beberapa kalimat yang kemudian dijadikan kaidah hukum umum tanpa mempertimbangkan keadaan atau kejadian saat itu, meskipun beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya aku membuat perjanjian dengan Tuhanku, lalu aku berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, aku bisa rela sebagaimana manusia rela, dan aku pun bisa marah sebagaimana manusia marah. Oleh karena itu, siapa saja dari kalangan umatku yang aku doakan [dengan kejelekan] padahal ia tidaklah pantas mendapatkannya, hendaklah Allah jadikan hal itu sebagai pembersih, penyuci, dan qurbah yang akan mendekatkan dirinya [kepada Allah] pada hari kiamat,” [H.R. Muslim].

Dengan demikian, kita dapat menafsirkan banyak kalimat yang diucapkan Nabi Saw. dalam kehidupan beliau sehari-hari, ketika beliau kesal atau marah, atau tidak puas dengan suatu kejadian, atau bercanda, atau berdebat dengan salah seorang dari istri-istrinya yang biasa mempertanyakan banyak persoalan kepadanya, bahwa tidak semua tindakan dan ucapan Nabi Saw. bisa dijadikan aturan atau hukum umum yang berlaku sepanjang masa.

Para ahli fikih mengkodifikasi adat-kebiasaan dan tradisi pada zaman mereka dalam kerangka sistem keagamaan yang ketat, dan menyimpulkan hukum-hukum tentang perempuan dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi yang berbahaya adalah, mereka memberinya status kesucian, dengan melepaskan banyak hadits Nabi Saw. dari konteks dan asbâb al-wurûd-nya, dan kemudian menjadikannya sebagai aturan-aturan yang berlaku untuk setiap zaman. “Karena itu, para ahli fikih merasa perlu mengkristalisasi metode deduksi dan ijtihad yang tetap untuk dapat membangun struktur hukum lengkap yang berasal dari teks-teks agama, dengan terlebih dahulu memasukkan di dalam bangunan fikih mereka aturan-aturan, adat-adat dan praktik-praktik sosial lama yang Islam sendiri tidak menentukan larangan atau pengharaman”.[5]

Itu menjelaskan perbedaan pendapat di antara para ahli fikih, dan bahkan mungkin dalam satu kitab yang ditulis salah seorang ahli fikih, “Penggunaan dualisme al-‘umûm (keumuman) dan al-khusûsh (kekhususan) sebagai alat interpretasi (al-ta`wîl) dan interpretasi yang berlawanan (al-ta`wil al-mudhâdd) bukanlah proses yang efektif dalam mengungkap maksud/arti (al-dalâlah). Dualisme ini kedudukannya sama dengan dualisme-dualisme interpretasi lainnya seperti al-nâsikh dan al-mansûkh, al-muhkam dan al-mutasyâbih, yang mungkin menghasilkan makna dan kebalikannya sekaligus.”[6]

Beberapa pemikir Muslim yang tercerahkan juga mengandalkan dualisme ini, untuk memperlihatkan hak-hak yang diberikan Islam kepada perempuan, yang menyebabkan beberapa dari mereka, seperti al-Shadiq al-Naihum menafsirkan ayat “وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ” (Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka)[7] dengan mengatakan bahwa kata “اضْرِبُوهُنَّ” (pukul mereka), sebelum pemberian tanda baca al-Qur`an adalah “اعزبوهن” (tinggalkan mereka), tetapi karena kekeliruan dalam pemberian titik maka menjadi “اضْرِبُوهُنَّ” (pukul mereka). Sebagaimana Muhammad Syahrur menafsirkannya bukan dalam arti memukul secara fisik, tetapi menggunakan kekuatan untuk mencabut qiwâmah (hak mengurus rumah tangga) dari mereka, dan ia menafsirkan nusyuz sebagai kesombongan perempuan atas laki-laki, yang menunjukkan dengan jelas kepada bahwa mengadopsi pendekatan ini akan membawa kepada rangkaian pertempuran terus-menerus yang tidak berdampak apapun selain menambah kebingungan di dalam kesadaran individu Muslim. “Dan jika kita harus melakukan tugas yang sama—tugas membuka topeng ideologi pemalsuan kesadaran—dengan wacana agama juga, maka kita harus, di samping itu, menghindari kontroversi ideologis dengannya dengan menggunakan senjata halus yang sama, yaitu senjata interpretasi teks dan sikap-sikap keagamaan”.[8]

“Masalah-masalah ini tidak akan selesai dengan interpretasi (al-ta`wîl) dan interpretasi yang berlawanan (al-ta`wil al-mudhâdd), melainkan itu akan menemukan solusi sejatinya dengan memahami teks dalam konteks produksi sosial dan historisnya.”[9]

Pada bagian berikutnya akan disebutkan contoh-contoh sikap Islam, yang sekali-kali tampaknya memuliakan perempuan dan sekali-kali tampak merendahkannya menurut riwayat-riwayat yang ada. Dan seperti yang telah disingggung di atas, hal ini terjadi karena hadits-hadits dilepaskan dari konteks dan asbâb al-wurûd-nya, serta generalisasi suatu kejadian khusus dan menjadikannya hukum yang berlaku secara umum.[]

__________________
[1]. Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997, hal. 576
[2]. Ibid., hal. 207
[3]. Kisah ini tercatat dengan redaksi serupa di dalam kitab-kitab hadits. Lihat, misalnya: Musnad Ahmad.
[4]. Shahîh al-Bukhârîy, dalam “Kitâb al-Shalâh”, bab “Abwâb Sutrah al-Mushallîy” tentang “Man Qâla lâ Yaqtha’ al-Shalâh Syay`”.
[5]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 163
[6]. Ibid., hal. 197
[7]. Q.S. al-Nisa`: 34
[8]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 86
[9]. Ibid., hal. 302

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.