Nikah Dini Jadi Satu Sebab 20 Desa Stunting di Babel

BANGKA POS.COM, BANGKA —Sebanyak 20 desa yang yang tersebar di Kabupaten Bangka dan Bangka Barat ditetapkan menjadi desa Stunting dan masuk dalam 160 kabupaten/kota di Indonesia yang harus diintervensi untuk penanganan stunting.

Kepala Badan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah (Bapppeda) Babel, Ferry Insani mengatakan untuk menyelesaikan persoalan stunting harus dikeroyok secara bersama-sama. Pasalnya, stunting tidak hanya berkaitan dengan gizi saja.

“Ada 10 desa di Bangka Barat dan 10 desa di Bangka yang harus diintervensi berdasarkan pendataan pusat. Tapi bukan berarti tidak ada di kabupaten lain. Saat ini dinas kesehatan sedang melakukan pendataan per individu sehingga bisa mudah intervensinya,” jelas Ferry, Rabu (9/1).

 

Ia menjelaskan, tingginya angka stunting di Babel dipengaruhi oleh tingginya angka pernikahan dini di Babel, pemahaman masyarakat yang masih kurang tentang pola asuh mulai dari hamil hingga balita.

Ferry mencontohkan dari sisi kesehatan harus memastikan asupan gizi spesifik ibu hamil dan balita harus terpenuhi. Dari sisi pendidikan juga harus dilibatkan untuk mengurangi angka pernikahan dini.

Dinas Pemberdayaan masyarakat Desa, juga harus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Bahkan ini juga melibatkan instansi vertikal seperti kementerian agama.

“Ini harus diselesaikan secara holistik, Program khusus ada tapi ini holistik tidak hanya kesehatan, tapi pendidikan, pemberdayaan masyarakat, kemenag, PUPR untuk sanitasinya, pangan, dan lainnya,” kata Ferry.
Lebih lanjut Ferry menyebutkan pendekatan gizi spesifik sangat perlu pasalnya ini 70 persen mempengaruhi stunting.

“Dari Dinkes gizi spesifik harus diperhatikan betul untuk bayi 0-24 bulan dan ibu hamil harus dikasih gizi yang baik. Kita masih melakukan pemetaan intervensi dari masing-masing OPD untuk menangani stunting,” katanya. (o2)

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Nikah Dini Jadi Satu Sebab 20 Desa Stunting di Babel, http://bangka.tribunnews.com/2019/01/09/nikah-dini-jadi-satu-sebab-20-desa-stunting-di-babel.

Editor: respisiusleba

Sumber: http://bangka.tribunnews.com/2019/01/09/nikah-dini-jadi-satu-sebab-20-desa-stunting-di-babel

Pengadilan Agama Bima Cegah Kawin Anak

Dalam persidangan Senin (28/1/19) majelis hakim PA Bima berhasil mencegah perkawinan anak. Dalam permohonan dengan nomor perkara 27 dan 28/Pdt.P/2019, calon mempelai laki-laki berumur 18 tahun, dan calon mempelai perempuan berumur 14 tahun. Mereka mengaku sudah berhubungan sebanyak dua kali, namun kondisi calon perempuan belum hamil.

Dalam persidangan, majelis hakim menjelaskan tentang pentingnya pengaturan batas minimal usia menikah, yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan reproduksi calon mempelai perempuan, termasuk menghindari resiko kematian ibu dan bayi saat kelahiran. Karena apabila dinikahkan maka akan semakin sering terjadi hubungan badan, sementara organ seksual dari anak perempuan belum matang, sehingga rawan terkena kanker serviks, begitu juga dengan rahim apabila terjadi kehamilan. Selain itu, majelis hakim juga mendorong agar kedua calon mempelai tetap melanjutkan sekolah sehingga mendapat ijazah, karena tanpa ijazah akan sulit mendapatkan perkerjaan, dan apabila sudah menikah tidak memiliki penghasilan, maka tidak akan bahagia, jika tidak justru berakhir dengan perceraian. Majelis hakim juga menasehati kedua orang tua calon mempelai, bahwa tidak bisa hanya menimpakan kesalahan hanya kepada anak, sementara orang tua lalai terhadap kewajiban untuk memperhatikan anak.

Sedangkan sebagai bentuk pertanggungjawaban calon mempelai laki-laki, majelis hakim menyarankan agar dibuat perjanjian di desa, bahwa calon mempelai laki-laki akan menikahi calon mempelai perempuan apabila telah cukup umur dan siap.

Mendengar penjelasan majelis hakim, kedua orang tua calon mempelai dapat menerima dan bersedia untuk mencabut permohonan. [Nasyauqi Rauf]

Konservatisme Agama di Mata Tokoh Lintas Iman

Kastara.ID, Jakarta – Waktu masih menunjukkan pukul 16.30 WIB. Cahaya mentari sore yang menembus pintu-pintu kaca ruang rapat Hotel Discovery Ancol Jakarta, menambah kehangatan suasana Dialog Lintas Iman yang digagas oleh Kementerian Agama (28/12).

Tampak puluhan tokoh lintas agama dengan berbagai latar belakang yang berbeda larut dalam diskusi yang dipandu oleh Alisa Wahid dan Wahyu Muryadi. Tokoh-tokoh tersebut ada yang berasal dari kalangan agamawan, budayawan, akademisi, kaum milenial, hingga praktisi media.

Selama dua hari, mereka berkumpul untuk membahas isu-isu aktual keagamaan, yang terangkum dalam Dialog Lintas Iman bertajuk Refleksi dan Proyeksi Kehidupan Beragama di Indonesia. Tak ketinggalan turut hadir dalam dialog tersebut, Menag Lukman Hakim Saifuddin beserta pejabat-pejabat eselon I Kemenag.

“Agama di Indonesia masih sangat vital. Bahkan menjelang pemilu itu yang konflik bukan antar parpol, tapi antara ormas keagamaan,” ujar tokoh intelektual UIN Syarif Hidayatullah Komarudin Hidayat membuka diskusi.

Komarudin, bertugas sebagai pemantik diskusi dalam sesi Konservatisme Agama di Indonesia. Ia menuturkan, saat ini masyarakat Indonesia kurang mendengarkan bila yang muncul adalah simbol-simbol parpol.

“Tapi kalau agama, mereka malah mendengarkan. Simbol-simbol parpol gak laku, simbol agama sensitive. Ini menunjukkan bahwa agama masih vital di Indonesia,” urai Komarudin.

Ia pun menuturkan terkait dengan konservatisme, agama itu harus konservatif. “Ini kaitannya dengan memelihara, menjaga. Kalau tidak konservatif lalu apa yang mau dijaga? Yang menjadi persoalan itu adalah yang berkembang menjadi ekstrimisme maupun radikalisme,” tutur Komarudin.

Pandangan selanjutnya tentang konservatisme muncul dari Yudi Latif. Menurutnya, konservatisme bukanlah produk agama tetapi produk budaya.

Ia mengutip pemikiran Miracle Mindfullness dari Thich Nhat Hanh, seorang cendikiawan Buddha. Ia cerita ada seorang raja yang datang kepada seorang Bikhu. Sang raja bertanya apa yang harus dilakukan untuk menyenangkan rakyatnya.

“Bikhu menjawab, itu mudah. Wahai Raja, tidurlah lebih lama. Kalau anda bisa tidur lama, tidak menyusahkan banyak orang,” ujar Yudi Latif.

Dengan metafor tersebut, Yudi menyampaikan saran tentang apa yang bisa dilakukan agama agar kehidupan republik ini lebih baik. “Cara terbaik agama agar dapat menyumbang kebaikan kepada bangsa ini adalah dengan kita mengurangi bicara tentang agama,” tegas Yudi.

Saat ini menurutnya, agama telah amat menghegemoni. Semua hal banyak ditafsirkan dengan agama. “Termasuk bicara tentang konservatisme, kita pikir problemnya ada di agama. Padahal, agama tidak bisa dioperasikan kecuali melalui software kebudayaan,” lanjutnya.

Lain lagi tanggapan dari Zawawi Imron saat membahas tentang konservatisme agama. Menurutnya, kita perlu melakukan sinergi antara agama dengan kebudayaan. Agama membutuhkan akal sehat kolektif.

Dengan akal sehat kolektif ini diharapkan akan muncul orang-orang beragama yang rendah hati. “Dalam akal sehat kolektif ini, bukan hanya budayawan. Tapi saya kira semuanya tidak akan merasa benar,” ujar Zawawi.

Refleksi lain terkait konservatisme agama muncul dari ahli kajian Islam dan jender Lies Marcoes. Menurutnya, konservatisme tidak hanya muncul di ruang publik. Oleh karenanya Lies berharap Kemenag tidak hanya memberikan perhatian konservatisme terkait dengan keamaanan negara (state security) saja. Namun juga terkait pada keamanan manusia (human security) itu sendiri.

“Pembicaraan konservatisme bukan hanya terjadi pada ruang publik, tapi banyak menghiasi ruang privat. Di mana banyak yang melakukan adalah perempuan,” tuturnya.

Pendapatnya ini didasarkan dari sebuah penelitian yang baru-baru ini ia lakukan. Ia menemukan bahwa pendidikan tentang konservatisme yang mengarah pada ekstrimisme telah dilakukan pada lembaga pendidikan. “Bahkan tempat yang kami teliti itu adalah taman kanak-kanak, kindergarten,” jelasnya.

Munculnya konservatisme juga disebabkan rendahnya literasi yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini disampaikan jurnalis Detik.com Kalis Mardiasih. “Saat ini ada banyak anak muda yang tidak mau membaca,” tutur Kalis yang juga mewakili suara kaum milenial.

Diskusi tentang konservatisme agama berlangsung lebih dari dua jam. Setiap refleksi, proyeksi dan harapan yang muncul dari seluruh peserta diskusi akan dirangkum oleh panitia, dan diramu menjadi sebuah rumusan.

“Rumusan akhir akan disampaikan Menag saat konferensi pers esok hari, Sabtu 29 Desember 2018,” tutur Kepala Biro Humas Data dan Informasi Mastuki. (put)

Sumber: https://kastara.id/29/12/2018/konservatisme-agama-di-mata-tokoh-lintas-iman/

Gerak Bersama Jejaring Muslim Moderat

Oleh Kalis Mardiasih

Jakarta – Pada dialog lintas iman dan budayawan akhir tahun yang menghasilkan dokumen Risalah Jakarta, Ibu Lies Marcoes bercerita temuannya dalam sebuah penelitian. Guru di sebuah sekolah anak usia dini mengajari anak-anak lagu “balonku” yang telah diganti lirik. Lirik Balonku ada lima diganti dengan Tuhanku ada satu. Lalu, pada lirik Meletus balon hijau, diganti dengan Siapa yang bilang 3, Dorr!

Orangtua, utamanya ibu di rumah tak berani kritis kepada ajaran keagamaan yang bersifat eksklusif semacam itu karena ibu dianggap satu-satunya benteng penjaga moral keluarga. Jika anak menyimpang, niscaya ibu yang dianggap paling bertanggung jawab atas hal tersebut. Inilah latar belakang mengapa pola beragama yang eksklusif bahkan ekstrem kini efektif menyasar kaum ibu.

Di banyak Taman Pendidikan Al Qur’an, pada sore hari, anak-anak diajarkan untuk meneriakkan yel-yel, “Islam-Islam Yes! Kafir-Kafir No!” Dulu, yel tersebut hanya berbunyi “Islam-Islam Yes!” saja. Entah sejak kapan mendapat tambahan jargon penyambung yang menegasikan kelompok lain itu.

Tetapi, awal tahun sepertinya waktu yang tidak tepat untuk berbagi cerita-cerita prihatin. Jadi, kolom ini bertugas untuk menghadirkan hawa sejuk dan rasa optimis saja. Jangan sampai kita makin jenuh dalam ruang hidup yang sesak karena cuitan-cuitan politik kebodohan di televisi maupun media sosial.

Tahun 2018 adalah tahun yang cukup menggembirakan. Dalam forum lokalatih atau dialog yang menghadirkan cendekiawan dan aktivis muslim moderat, saya seringkali tiba-tiba mengontak Savic Ali, Dedik Priyanto, dan Elik Ragil. Ketiganya adalah generasi muda muslim penyedia konten media Islam kreatif. Savic, Dedik, dan Elik lalu menyusul ke lokasi dialog di Jakarta, di Cirebon, dan di Yogya lengkap dengan alat-alat produksi konten yang diperlukan, mulai dari kamera, latar, sampai lighting.

Ketiga pemuda itu seringkali hanya menunggu di luar ruangan sambil mengobrol dan minum kopi. Di dalam ruangan, saya mulai meminta izin kepada para tokoh agar mereka berkenan berbagi ilmu dan pengalaman masing-masing dalam bentuk video pendek yang akan diproduksi sambil menjadwalkan nomor antrean. Di sela-sela waktu istirahat, para tokoh kemudian bergantian untuk proses pengambilan gambar dan video konten Islam damai.

Salah satu gerakan yang paling bergeliat adalah Gerakan Perempuan untuk Islam dan Keadilan Gender. Saya menyebut Kota Cirebon sebagai Kota “Feminis Muslim”. Di Institut Studi Islam Fahmina, ada tiga tokoh feminis muslim yang justru semuanya adalah laki-laki, yakni KH Husein Muhammad, Dr Faqihuddin Abdul Kodir, dan KH Marzuki Wahid. Dr Faqihuddin Abdul Kodir baru saja menerbitkan buku berjudul Qiraah Mubaadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam. Pemikiran ketiga tokoh ini kini telah menyebar ke hampir seluruh titik di Indonesia lewat sel-sel jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia.

Sama seperti Savic, Dedik, dan Elik, di Cirebon ada Teh Nurul Bahrul Ulum. Ia adalah seorang ibu dan aktivis gerakan perempuan yang aktif memproduksi konten kreatif meski berbekal kamera seadanya. Konten diedit dengan aplikasi sederhana lewat ponsel. Tetapi, gagasan-gagasannya dapat menyebar lewat video pendek yang menantang tabu, seperti tafsir baru sunah monogami, isu kekerasan pada perempuan, dan darurat pernikahan anak. Teh Nurul juga rutin mengajak santri-santri binaan Kang Marzuki Wahid, suaminya, untuk mengaji dan berdiskusi dalam format yang konon pas untuk generasi kekinian. Saya beberapa kali bertugas memfasilitasi lokalatih bertemakan framing perempuan dalam media Islam.

Bersama jejaring feminis muslim dari Cirebon, saya belajar untuk melihat perempuan berdasarkan wujud dan realitas yang ia hadapi sebagai muslim di Indonesia. Syariat dan teks legal Islam hadir untuk memberikan tafsir keadilan dan solusi untuk kemanusiaan, bukan semata sebagai alat penghakiman dan penghukuman.

Beberapa hari lalu, kabar menyenangkan juga datang dari UIN Jakarta yang baru saja melantik Prof Amany Lubis sebagai rektor perempuan pertama. Sebagai institusi pendidikan yang membawa nama “Islam”, kabar baik ini adalah simbol bahwa Islam memang bukan institusi yang membatasi kiprah perempuan secara intelektual, spiritual, maupun relasi antar kemanusiaan.

Di ruang publik Twitter, akun ‘NU Garis Lucu’ dan ‘Muhammadiyah Garis Lucu’ bersahut-sahutan dalam dialektika yang segar. Konon, banyak orang mempertanyakan mengapa NU itu lucu, sedangkan Muhammadiyah tidak. Sering ada olok-olok, Muhammadiyah itu tak punya kiai, tapi hanya punya profesor. Rupanya, orang-orang Muhammadiyah merasa punya genetis kelucuan juga, salah satunya dari Pak AR Fachruddin. Sehingga terbitlah akun ‘Muhammadiyah Garis Lucu’ yang tetap saja mengaku bahwa kelucuan Muhammadiyah itu syar’i, sedangkan lucunya NU sudah hakiki.

Renungan dari Tretan Muslim, komedian yang pernah bikin heboh karena konten saus babi campur kurma itu sekali-sekali memang perlu dipikirkan, “Jika agamawan boleh lucu, mengapa komedian tak boleh relijius?”

Di kanal Youtube, Husen Ja’far yang sering dicandai karena status jomblonya semakin rajin membuat konten ceramah pribadi lewat channel ‘Jeda Nulis’. Ia telah mengunggah lebih dari 20 video dengan materi yang memadukan Islam dengan topik sejarah dan problematika umat saat ini. Fenomena Bib Husen ini bagi saya menarik. Ia mewakili wajah anak muda muslim yang merasa gerah dengan situasi keislaman yang semakin “kemrungsung” sehingga tak betah lagi untuk tidak ambil bagian. Sebagai pelajar studi keislaman, ia merasa harus ikut mengambil tanggung jawab untuk mendistribusikan pengetahuannya lewat medium yang mudah diakses banyak orang, yakni teknologi.

Tahun 2019 adalah tahun yang dianggap cukup menegangkan untuk Indonesia karena akan ada sebuah hajatan politik tertinggi pada April nanti. Tapi, kita semua telah berkomitmen untuk tidak tegang dan menyambutnya dengan bergandeng tangan dan tawa bersama. Semoga!

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4380633/gerak-bersama-jejaring-muslim-moderat

Kiai Sahal dalam Kacamata “Seorang Antropolog”

Pada akhir November 1989 berlangsung Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Soeharto, presiden Indonesia saat itu, akan membuka muktamar. Maka, seperti tabiat rezim zaman itu, pada malam harinya lokasi muktamar sudah disteril oleh pasukan militer. Penjagaan berlangsung sejak sore hingga besok hari. Tak ada yang bisa masuk tanpa undangan. Dan tak ada ampun bagi yang telat.

Pada pukul 09.00 pagi acara pembukaan sudah mulai. Jalan Krapyak yang tak begitu besar menjadi sesak dan padat. Tentu saja sebagai penggembira kami hanya bisa ikut berdesak-desakan. Tiba-tiba seorang teman bilang: “Itu Kiai Sahal!” Saya mengalihkan pandangan kepada sosok lelaki setengah baya, bertubuh kurus, berwajah sederhana, dengan peci hitam, baju koko putih, dan sarung yang berdiri di seberang jalan, di antara kerumunan banyak orang.

Saya tidak tahu persis mengapa Kiai Sahal tidak masuk ke dalam arena muktamar dan mengikuti secara langsung acara pembukaan. Sebagai salah seorang dari tujuh anggota Rois Syuriah PBNU, beliau jelas layak duduk di kursi barisan depan.

Besok harinya, melalui pemberitaan media dan sebuah kolom dari Emha Ainun Nadjib di harian Jogja Post, saya tahu Mbah Sahal tidak masuk karena telat. Beberapa orang sudah mengusahakan dan memberitahu penjaga dan penerima tamu, kalau itu adalah “K.H. MA. Sahal Mahfudz, salah seorang Rais Syuriah PBNU”.

Tapi para penjaga, yang kebanyakan serdadu AD itu sama sekali bergeming. Kiai Sahal tetap tidak bisa masuk, tapi beliau tidak kecewa karena rupanya memang juga lebih suka di luar saja.

Nama Kiai Sahal tentu saja sudah sering saya dengar. Tapi baru kali pertama itulah saya berjumpa dengan beliau. Kami pun menyeberang jalan. Lalu menyalami dan mencium tangan beliau. Beberapa orang yang tahu itu Kiai Sahal sudah lebih dulu menyalaminya dan disusul yang lain.
***

Kiai Sahal kala itu adalah salah seorang kiai muda yang cemerlang dan telah diramalkan akan menjadi pemimpin NU di masa mendatang. Kala itu, jajaran Rais Syuriah masih diisi oleh nama-nama besar seperti K.H. Ahmad Siddiq, K.H. Ali Ma’shum, dan beberapa nama lain. Tentu masuknya nama Mbah Sahal dalam jajaran Rais Syuriah adalah bagian dari proses renegerasi. Ketika bergabung ke dalam Rais Syuriah PBNU dalam Muktamar NU tahun 1984, usia Kiai Sahal 47 tahun. Terbilang belia di tengah-tengah kiai senior kala itu.

Sejak akhir 1970an nama Kiai Sahal telah kondang sebagai kiai muda dengan pemikiran yang sangat terbuka. Saya membaca tulisan-tulisan beliau tentang berbagai masalah sosial di Warta NU, Aula, Jurnal Pesantren, dan Suara Merdeka. Beliau menulis tentang KB, lingkungan hidup, bahaya AIDS, pajak, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.

Bagi saya hal itu sangat menarik sekali. Di tempat saya, di Kalimantan Selatan, yang juga banyak sekali ulama, jarang sekali ada ulama yang membahas soal-soal aktual dan kekinian. Apalagi menulis di media umum. Biasanya ini menjadi bahasan mereka yang disebut intelektual, yang berbasis di kampus-kampus umum dan secara kategoris biasanya dibedakan dengan ulama. Padahal, seorang ulama adalah juga intelektual par excellence.

Umumnya para ulama di daerah saya, memberikan pengajian kitab dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan ibadah saja. Kiai Sahal lain sekali. Tentu saja sebagai ulama fikih, Kiai Sahal mendekati masalah dengan perspektif fikih. Hal inilah yang menarik perhatian. Saya pun mengumpulkan tulisan-tulisan beliau yang tersebar. Termasuk beberapa makalah seminar.

Lalu, saya mengusulkan untuk dikompilasi dan diterbitkan menjadi buku. Untuk melengkapi dan mempertajam tulisan-tulisan itu, kami (bersama sdr. Nuruddin Amin, kini memimpin Pesantren Hasyim As’yari, Bangsri, Jepara) melakukan serangkaian wawancara. Setidaknya tiap minggu kami diterima beliau untuk berbincang-bincang dan bertanya-jawab. Dari sanalah kemudian lahir buku “Nuansa Fiqih Sosial” yang terbit tahun 1994. Bisa jadi ini adalah buku pertama yang memuat pikiran-pikiran beliau.

Inilah persentuhan saya dengan Kiai Sahal. Persentuhan yang sangat akrab dan dekat. Dari sana saya tahu kitab-kitab apa yang menjadi maraji’ Kiai Sahal dalam menulis permasalahan yang diangkat. Beberapa kitab itu bahkan dipinjamkan Kiai Sahal kepada kami untuk ditelaah. Adapun permasalahan muncul, menurut Kiai Sahal, dari pertanyaan masyarakat kepada beliau langsung maupun dari forum-forum bahtsul masa’il NU.
***

 

Persentuhan saya yang kedua, berlangsung secara tak sengaja. Lima tahun setelah buku “Nuansa Fiqih Sosial” terbit, kami merencanakan untuk menerbitkan sebuah buku etnografi mengenai dunia pesantren. Buku itu adalah hasil disertasi Pradjarta Dirdjosanjojo, seorang pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Pradjarta melakukan riset etnografi selama 1988-90 di wilayah Tayu dan mempertahankan disertasinya di Vrije Universiteit, Amsterdam tahun 1994. Saya bertugas untuk menyunting buku yang kemudian terbit dengan judul Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa (1999).

Karena saya tak begitu mengenal daerah Tayu, Pati, secara khusus dan lantaran penulis menggunakan nama samaran untuk menyebut pesantren dan informannya, maka saya tak tahu bahwa salah seorang informan utama dalam karya etnografi itu adalah Kiai Sahal. Saya baru menyadari belakangan ketika diundang untuk mendiskusikan buku tersebut bersama Dr. Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang saat itu, di Pesantren Maslakul Huda bertepatan dengan acara haul Mbak Mutamakkin tahun 1999.

Karya etnografi ini pada dasarnya mengulas dan memperkenalkan dua tipe kiai, yakni yang disebut sebagai “kiai pesantren” dan “kiai langgar”. Kiai pesantren mengasuh sebuah pesantren, dengan ratusan hingga ribuan santri, memiliki hubungan dengan banyak kalangan luar pesantren, entah itu pejabat, pengusaha, aktivis NGO, jaringan alumni, dll. Biasanya kiai pesantren merupakan keturunan kiai-kiai besar dan pelanjut dari pesantren besar juga.

Berbeda dengan itu, kiai langgar “hanya” mengelola langgar kecil di sebuah kampung dan memberikan pengajian rutin di langgar tersebut. Di luar itu, kiai langgar bekerja entah sebagai petani atau pun pedagang kecil. Kedua kiai ini memiliki peran, kedudukan, dan relasi yang berbeda, dan juga respon yang berlainan terhadap masalah-masalah yang muncul di sekitar. Karena itu, meski kiai langgar merupakan patron kiai pesantren, sesekali antara “keduanya” terjadi perbedaan bahkan pertentangan terutama menyangkut politik lokal. Tapi pada dasarnya keduanya saling membutuhkan dalam mengawal dan memelihara umat.

Nah salah seorang tipe “Kiai Pesantren” dalam karya itu adalah “Kiai Muhzakir” yang tak lain adalah nama samaran dari Kiai Sahal dari Pesantren “Nurhida” yang merupakan nama lain dari Pesantren Maslakul Huda. Beberapa deskripsi dan kategorisasi Pradjarta “bisa jadi” tidak menyenangkan Kiai Sahal atau umumnya kalangan pesantren Maslakul Huda. Saya bisa mamaklumi. Bagaimanapun itulah hasil suatu penilaian dari suatu pengamatan orang luar, yang meski mengklaim memiliki kaidah-kaidah ilmiah-obyektif, tetap akan memiliki biasnya tersendiri.

Meski demikian, suatu tilikan kembali pada kajian tersebut mungkin perlu dan akan membukakan wawasan bagi kita. Terutama dalam hal ini, bagaimana sosok Kiai Sahal sebagai representasi dari “Kiai Pesantren” itu ditampilkan. Bagian sisa dari tulisan ini adalah usaha untuk melihat kembali sosok Kiai Sahal, dari kacamata seorang antropolog tersebut.
***

Kehidupan pesantren dan kiai di Jawa adalah subjek yang menarik perhatian bukan hanya dari kalangan luar Islam atau luar negeri saja.

Saya yang notabene tumbuh di lingkungan Islam tradisional di Kalimantan Selatan sejujurnya juga menyaksikan banyak hal yang unik dan menarik dari kehidupan pesantren dan peran kiai di dalamnya, yang dengan tepat disebut Gus Dur sebagai sebuah “subkultur.”

Pesantren, dengan kiai sebagai unsurnya, memiliki kekhasan yang tak ditemukan di daerah lain. Sering orang terpeleset memahami misalnya perilaku politik masyarakat pesantren atau pendapat seorang kiai karena tak memahami dengan baik kultur pesantren ini.

Karena itu, buku-buku etnografi bisa memberikan banyak bahan informasi untuk memahami dunia pesantren. Tentu dengan tetap bersikap kritis terhadap pandangan-pandangan di dalamnya. Tak terkecuali karya yang ditulis Pradjarta ini. Sebagai seorang non-Jawa, saya pribadi misalnya jadi bisa memahami apa yang disebut sebagai kiai pesantren dan kiai langgar dan perbedaan antara keduanya di antaranya dari buku ini.
Kesan umum saya, Pradjarta bukan hanya tertarik tapi bahkan terpikat dengan kehidupan pesantren, khususnya pada sosok Kiai Sahal. Karena itu tidaklah meleset, dalam pengantar buku ini, Prof Faruk menangkap kesan si penulis “terkesan hanyut, dibuat mabuk oleh keanekaragaman dunia empiris” pesantren tersebut.

Deskripsi “Kiai Sahal” sebagai tipe kiai pesantren dalam buku ini memperlihatkan dengan baik bagaimana sosok kiai pesantren tersebut pada periode 1970an hingga awal 1990an. Sebagaimana umumnya kiai, kiai Sahal adalah anak dan pelanjut dari sebuah pesantren besar. Ia karena itu juga memiliki jaringan kekerabatan kiai. Namun faktor genetis itu saja tidak cukup. Kiai Sahal harus melewati masa penggodokan di beberapa pesantren di Kediri, Jombang, dan Sarang. Ia menjalani lakon sebagai “santri kelana” bertahun-tahun sebagaimana umumnya dan biasanya kiai-kiai sebelumnya. Pada saatnya, dengan penguasaan ilmu-ilmu agama dan kematangan, ia telah siap menjadi penerus dan pelanjut pesantren. Ini modal awal dan dasar.

 

Pada tahun 1966, Kiai Sahal mulai memimpin Pesantren Maslakul Huda. Tapi hampir selama satu periode 1966-1977, Kiai Sahal hanya melanjutkan apa yang telah ada di pesantren. Tapi zaman berubah, tantangan juga berubah.

Pada tahun 1970an, ramai sekali gagasan pembangunan. Dalam wacana itu, dipertanyakan bagaimana posisi ‘tradisi’ –termasuk pesantren—terhadap pembangunan. Apakah menjadi penghalang atau pendukung?

Melalui peran yang dimainkan oleh Kiai Sahal, institusi pesantren menunjukkan bagaimana mereka bisa menjadi pendukung dan mitra kritis dalam pembangunan. Ia membuka diri dan pesantrennya untuk berbagai kerjasama dalam pengembangan masyarakat. Pada tahun 1978, ia mengirimkan santri-santri seniornya ke Pabelan untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan motivator selama enam bulan yang diadakan LP3ES, sebuah NGO ternama periode tersebut.

Setahun kemudian sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut, pada tahun 1979, Kiai Sahal mendirikan Biro Pusat Pengembangan Masyarakat-Pesantren Maslakuk Huda (BPPM-PMH), sebuah lembaga yang notabene berperan seperti NGO. Namun Kiai Sahal menjaga agar kegiatan ini tidak mengganggu aktivitas belajar pesantren. Karena itu ia membuat kelembagaan BPPM ini –meski terkoneksi dengan pesantren– tapi manajemennya berada di luar pesantren.

Melalui BPPM ini digelar berbagai paket program seperti pendidikan keterampilan, latihan kepemimpinan dan administrasi, penyuluhan kesehatan dan perbaikan lingkungan, dan pengenalan Tekonologi Tepat Guna (TTG) di pesantren dan lingkungan masyarakat sekitar. Perkenalan dengan dunia NGO ini membawa Kiai Sahal pada pergaulan yang lebih luas kepada kalangan di luar pesantren seperti birokrat pemerintah, aktivis NGO, konsultan pembangunan, akademisi, pengusaha, lembaga dana, dan lain-lain.
Pada dasarnya waktu itu pemerintah juga mempunyai program PIP (Pusat Informasi Pesantren). Namun Kiai Sahal tidak terlalu sreg dengan program ini karena lebih banyak menjadikan pesantren sebagai objek, bukan sebagai subjek. Informasi berjalan satu arah, dari pemerintah ke pesantren, tapi sebaliknya dari pesantren –yang berupa aspirasi– ke pemerintah tidak diperhatikan.

Kegiatan BPPM sangat kondang dan menjadi trend-setter dalam pengembangan masyarakat melalui pesantren saat itu. Tak heran kalau BPPM ini tampil sebagai pemenang “What’s Working in the World” tahun 1986 sebagai salah satu dari 5 NGO terbaik di Indonesia. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pada periode itu kaki Kiai Sahal berpijak pada dua ranah: di pesantren dan di NGO.

Pergaulan ini juga membawanya ke level nasional. Ia misalnya masuk menjadi pengurus P3M (Pusat Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat) dan menjadi Pemimpin Umum jurnal Pesantren, sebuah jurnal mengenai keilmuan dan pengembangan pesantren yang sangat menarik dan penting saat itu. Karena keterlibatan ini, ia sering bepergian ke Jakarta dan aktivitas ini kian meningkat ketika menjadi salah seorang rais syuriah PBNU tahun 1984. Saya menduga di antaranya melalui pergaulan yang luas ini pulalah tumbuh perhatian Kiai Sahal pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang lebih luas dan bervariasi.

Menurut Pradjarta, relasi yang luas hingga ke tingkat nasional inilah salah satu unsur kewibawaan kiai pesantren, yang tak banyak dimiliki oleh kiai langgar. Membuka, mengambil dan memanfaatkan peluang ini juga merupakan respon kiai pesantren untuk menjawab tantangan dan permasalahan di masyarakat.

Sebaliknya, kiai langgar lebih menutup diri dan bertahan di lingkup dunianya yang kecil. Memang selain kualifikasi pengetahuan agama dan memiliki langgar, kewibawaan kiai langgar juga terletak pada kualitas moral individunya sebagai bagian dari kiai yang melakoni tarekat dan ikut dalam jaringan tarekat. Karena itu kebanyakan kiai langgar adalah adalah kiai tarekat. Namun dalam hal ini Kiai Sahal juga tidak kalah karena beliau juga merupakan bagian dari kiai yang ikut dalam jaringan tarekat. Sayang aspek ini kurang ditelusuri dalam karya ini dan memang penjelasannya lebih banyak pada soal relasi kiai pesantren dengan dunia politik, bisnis, organisasi, dan NGO di luar. Inilah kewibawaan tambahan yang tak dimiliki kiai langgar, bahkan juga seorang kiai pesantren. Kiai Sahal adalah salah sedikit dari yang memilikinya.

 

Dalam suatu deskripsinya, Pradjarta menceritakan bagaimana seorang kiai langgar yang berniat maju dalam pemilihan kepala desa, jadi mengurungkan niatnya, karena Kiai Sahal tidak mendukung dan tidak merestuinya. Di bagian lain digambarkan bagaimana para tamu yang datang sering menanyakan masalah-masalah politik dan problem sosial yang aktual dan bagaimana semestinya respon NU, pesantren atau masyarakat secara umum. Sebagai seorang kiai dengan pengetahuan agama yang mumpuni, Kiai Sahal pantas untuk menjadi tempat bertanya dan memiliki kewenangan untuk menjawab pertanyaan. Sebagai contoh diceritakan bagaimana serombongan tamu dari Jepara datang khusus untuk bertanya mengenai kebijakan pemerintah mengenai haji dan hasil rapat PBNU. Tentu ini bukan semata karena pengetahuan agama, tetapi juga pergaulan yang luas hingga ke tingkat nasional.

Dengan demikian sumber kewibawaan kiai pesantren, selain pesantren dan penguasaan ilmu agama, serta kualitas moral adalah juga relasinya yang luas. Di dalam konteks politik lokal, ini menjadi sumber kewibawan yang dengannya para kiai langgar bertambah hormat dan taat. Bukan hanya kiai langgar, yang notabene memang merupakan patron kiai pesantren, pejabat daerah dan aparatus desa pun –yang kebanyakan merupakan kalangan abangan—turut menaruh hormat.

Sudah barang tentu Kiai Sahal tidaklah bermaksud membangun dan meraih kewibawaan tersebut. Ini hanyalah efek kuasa dari relasi yang telah dibangun yang pada awalnya dimaksudkan sebagai respon positif dan terbuka pesantren pada tantangan perubahan.

Kendati relatif dekat dengan pemerintah dan sibuk bolak-balik ke Jakarta, Pradjarta mencatat dua hal yang tetap dijaga Kiai Sahal. Pertama, tetap menjaga jarak dan bersikap independen. Diceritakan misalnya ia tetap melarang santri madrasahnya untuk ikut ujian negara. Pada lain kesempatan, meski ia bersedia bekerjasama menggelar seminar soal KB dengan BKKBN, ia tetap menolak bantuan mesin stensil dari lembaga pemerintah tersebut. Dalam sebuah tulisan, Kiai Sahal menggambarkan peran pesantren terlibat dalam kegiatan dari luar ini sebagai “ikut tapi tidak hanyut.”

Kedua, Kiai Sahal akan memilih berada di pesantren dalam acara yang dianggap penting dan tidak bisa ditinggalkan seperti haul Mbah Mutamakkin.
***

Kini menarik merenungkan bagaimana kewibawaan kiai pesantren sekarang, lebih seperempat abad setelah riset ini dilakukan. Adakah lagi sosok seperti Kiai Sahal, yang memiliki kewibawaan tradisional sekaligus modern?

Mungkin sekarang masih banyak kiai yang menjalani tradisi santri kelana dan mereguk pengetahuan agama yang mendalam, dan karena itu layak memimpin pesantren. Tetapi beranikah mereka membuka diri dengan gagasan-gagasan baru? Atau jika berani, mampukah mereka tidak terbawa hanyut dan kehilangan independensi dan identitasnya, sebagai pesantren?

Hal yang penting dicatat, Kiai Sahal hidup di era informasi belum menjadi air bah besar seperti sekarang ini. Karena itu relasi dan jaringan pargaulannya di tingkat nasional menjadi penting dan strategis sebagai tempat orang lokal bertanya tentang peristiwa atau isu nasional.

Karena itu jika sekarang pun ada kiai, yang melalui entah itu partai atau organisasi, bisa duduk menjadi tokoh nasional, bukan berarti hal itu otomatis meningkatkan kewibawaannya tersebab adanya pergeseran dan perubahan dari watak ‘relasi’ itu sendiri. Karena itu masih akan adakah umat yang bertanya tentang suatu masalah atau isu nasional sementara mereka sudah menyimaknya secara luas di sosial media?

Mungkin ada, tapi saya khawatir itu cuma basa-basi atau sekadar untuk mendapatkan afirmasi saja.

Keluhan yang meluas tentang ‘kiai google’ belakangan ini tak lain merupakan kerisauan atau merosotnya kewibawaan dan kewenangan ini. Kiai Google memang sumber masalah. Tapi mendakwanya saja tentu bukan jalan keluar yang apik. Yang diperlukan adalah respon dan terobosan untuk bukan hanya mempertahankan dan membendung peran Kiai Google tersebut, tapi juga membuatnya tak banyak berarti. Ini tak mudah. Jelas dengan kenyataan ini, pesantren dan kiai tidak bisa menutup diri. Mereka harus berani keluar dan bersentuhan dengan ide-ide baru dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai lembaga ‘tafaqquh fi addien”.

Barangkali dari riwayat dan perjalanan kehidupan Kiai Sahal ‘kita’ bisa belajar banyak hal.

 

Sumber: https://alif.id/read/hairus-salim-hs/kiai-sahal-dalam-kacamata-seorang-antropolog-b212888p/?fbclid=IwAR0YA8snvGHtFBNPek4ANZoseP_87ROIW9JqlIPbRvXTqF8keOss5HR-Ps4

KPAI Dukung Pencegahan Perkawinan Anak Dibahas Munas NU

Jakarta, NU Online
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendukung Tim Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) yang mendorong persoalan pencegahan perkawinan anak supaya menjadi bahasan di Munas NU pada akhir Februari 2019.
“Dalam pandangan saya, ini sangat tepat mengingat NU sebagai ormas keagamaan memiliki pengaruh besar bagi jam’iyah NU yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini,” Kata Komisioner KPAI Susiana Affandy kepada NU Online, Kamis (24/1) melalui sambungan telepon.
Apalagi di mata Susi, sejak lama NU memiliki kepedulian tentang keluarga dengan menyiapkan generasi yang sehat dalam membentuk rumah tangga.
“Kita lihat sejarah, akhir tahun 1969, Pemerintah RI melibatkan NU dalam membendung laju kependudukan melalui program Keluarga Berencana (KB),” ucapnya.
Keseriusan NU dalam penyiapan generasi yang masuk ke jenjang pernikahan ini dibuktikannya dengan kegiatan-kegiatan bahtsul masail di banyak daerah yang di kemudian hari, tepatnya pada 1971 melahirkan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU).
NU melalui LKKNU maupun Muslimat NU, sambungnya, aktif mengedukasi warganya agar mempersiapkan perkawinan dengan matang.
“Nah, edukasi tersebut dalam konteks pencegahan perkawinan anak ini sangat tepat. Karena apa? Perkawinan itu harus di siapkan,” ucap perempuan yang juga pengurus LKKNU ini.
Oleh karena itu, sudah seharusnya melakukan pencegahan perkawinan terhadap anak-anak yang secara nyata belum matang, baik secara fisik maupun mental.
“Perkawinan anak yang berimplikasi pada banyak hal, mulai dari kesehatan reproduksi, kematangan sosial, ekonomi haruslah dicegah. Dan NU sangat strategis menjadi garis depan dalam pencegahan perkawinan anak tersebut,” jelasnya.
Sebagai informasi, Tim Rumah KitaB mengadakan audiensi dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (22/1).
Pada kunjungan tersebut, Tim Rumah KitaB meminta Kiai Said untuk menghubungkan Rumah KitaB dengan Lembaga Bahtsul Masail PBNU agar mengangkat tema pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu agenda bahtsul masail di Munas dan Konbes NU Februari 2019.
Dalam kesempatan itu, Rumah KitaB sempat memaparkan berbagai hasil penelitian yang dilakukannya terkait faktor, aktor, dan dampak buruk pernikahan anak. Di samping itu, tim Rumah KitaB juga menyampaikan pentingnya kehadiran NU untuk secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan perkawinan anak. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/101816/kpai-dukung-pencegahan-perkawinan-anak-dibahas-munas-nu

Banjir di Wilayah Program BERDAYA Makassar

Dalam tiga hari ini, hujan disertai angin kencang melanda wilayah Makassar, Gowa, Maros dan sekitarnya. Sungai-sungai dan bendungan meluap, sehingga air menggenangi kota dan wilayah pemukiman. Makassar hampir lumpuh akibat banjir ini. Dua kelurahan, Tamamaung dan Sinrijala yang berada di bibir sungai Tallo  juga mengalami banjir. Dua kelurahan tersebut terletak di kecamatan Panakukkang, kota Makassar, dan merupakan pemukiman padat  dengan jumlah penduduk mencapai puluhan ribu orang. Dua kelurahan tersebut menjadi tempat pelaksanaan program Berdaya, Rumah KitaB sejak dua tahun lalu. Banjir melanda rumah rumah yang ketinggiannya hingga lutut orang desa. Sebagian penduduk mengungsi ke rumah keluarga, sebagian lagi bertahan di loteng loteng rumah. Hingga berita ini diturunkan, banjir di dua kelurahan tersebut belum surut.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengimbau warga Makassar dan sekitarnya waspada hingga tiga hari yang akan datang, karena curah hujan masih tinggi dan angin masih kencang. Sejak tadi malam, sejumlah titik di Malassar, Gowa dan Maros tergenang air hingga atap rumah. Warga mengungsi ke masjid-masjid, dan kantor pemerintah. Di kota Maros para pengguna kendaraan terjebak di jalan sejak malam hingga siang hari tadi karena arus lalu lintas berhenti total.

Beberapa kegiatan yang termasuk Program BERDAYA kemungkinan akan tertunda hingga kondisi pulih dan warga sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. [Yani]

Rumah KitaB Dorong Problem Perkawinan Anak Dibahas di Munas NU

Jakarta,

Tim Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) berkunjung ke kantor Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya Jakarta, Senin lalu. Tujuan dari kedatangan ini adalah untuk melakukan audiensi dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Audiensi ini merupakan upaya Rumah KitaB untuk bersinergi dengan PBNU sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Muslim di Indonesia untuk bergerak bersama secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

Kegiatan audiensi ini merupakan tindak lanjut program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Rumah KitaB sejak tahun 2017 hingga 2019 di tiga provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2).

Kegiatan audiensi ini bertujuan menjagakeberlanjutanprogram agar usaha pencegahan perkawinan anak dapat terus dilakukan secara aktif melalui peran tokoh nasional.

Tim Rumah KitaB yang hadir di PBNU antara lain Jamal (Staf Kajian), Hilmi (Manager Kajian), Nura (Manajer Operasional), Dilla (Manajer Program), Roland (Manajer Publikasi), dan Seto (Manajer Media dan Desain). Kiai Said menerima kedatangan Tim Rumah KitaB pada pukul 19.00 WIB, di ruang kerjanya di lantai 3, Gedung PBNU.

Dalam Rumah KitaB memaparkan berbagai hasil penelitian Rumah KitaB terkait faktor, aktor, dan dampak buruk perkawinan anak. Di samping itu, timRumahKitaBjugamenyampaikan pentingnya kehadiran NU untuk secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Tim Rumah KitaB meminta Kiai Said untuk menghubungkan Rumah KitaB dengan Lembaga Bahtsul Masail PBNU agar mengangkat tema pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu agenda bahtsul masail di Munas dan Konbes NU Februari 2019 mendatang.

Kiai said memahami dan sepakat bahwa perkawinan anak merupakan praktik yang membahayakan dan menimbulkan madharat (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak.

Kiai Said menyadari bahwa negara tidak bisa bergerak sendiri untuk mengatasi persoalan ini. Karena itu, diperlukan peran aktif masyarakat dan berbagai pihak termasuk organisasi masyarakat berbasis keagamaan dan non-keagamaan.

Kiai Said menawarkan Rumah Kita Bersama untuk mengadakan FGD dengan Lembaga Bahtsul Masail, Ma’arif, dan Lembaga Perguruan Tinggi NU, untuk membangun kesepahaman bersama pentingnya pencegahan perkawinan anak, dan mengikutsertakan peran aktif ketiga lembaga NU tersebut dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Di akhir pertemuan, Kiai Said menyerukan kepada segenap ulama, tokoh agama, dan komunitas Muslim di Indonesia, untuk secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

“Pencegahan perkawinan anak merupakan hal yang sangat penting dilakukan, tujuannya menghindari kemadharatan (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak. Perkawinan anak tidak dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah,” ujar Kiai Said.

Pencegahan perkawinan anak, imbuhnya, sangat mendesak agar mengurangi perceraian, menghadirkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, keluarga yang produktif, keluarga yang dinamis, dan bermartabat, karena keluarga adalah madrasah pertama.

Kiai Said mengutip syair Ahmad Syauqi; seorang penyair asal Mesir yang sangat terkenal di masa modern, “al-ummu madrasatun idzậ a’dadtahậ, a’dadta sya’ban thayyiba al-a’rậqi“.

Kiai Said menjelaskan kalimat ini, ia mengatakan, “Ibu itu madrasah pertama, kalau ibu atau rumah tangga itu ideal maka akan melahirkan bangsa yang baik. Karena bangsa yang baik lahir dari ibu yang baik pula”.

Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak sangat penting dilakukan oleh warga NU dan umat Muslim di seluruh Indonesia untuk membantu anak-anak perempuan mencapai masa depannya yang gemilang dan terbebas dari perkawinan anak.

Perihal Perkawinan Anak

Perkawinan anak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua belah pihak di bawah usia 18 tahun. Praktik perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Perkawinan anak merampas hak-hak anak, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hak-hak lainnya.

Indonesia menempati urutan kedua praktik perkawinan anak tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dan menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia. Berdasarkan data UNICEF, 1 dan 9 anak di Indonesia korban perkawinan anak.

 

Berdasarkan hasil penelitian Rumah KitaB tahun 2014-2016, salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya praktik perkawinan anak yaitu, kelembagaan formal dan nonformal. Kelembagaan formal terdiri dari aparatur pemerintahan dan para pihak yang memiliki otoritas resmi dari negara.

Sementara para pihak di kelembagaan nonformal terdiri dari para tokoh agama, tokoh adat, dan lainnya yang memegang peranan penting di masyarakat.

 

Keberadaan lembaga nonformal memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi pemahamaan masyarakat untuk melakukan perkawinan anak. Oleh karena itu, perlu adanya jalinan kerjasama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghentikan praktik perkawinan anak.

Salah satu upaya yang dapatdilakukanadalahdengan mengundang peran serta ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, untuk bekerjasama dalam menyosialisasikan pencegahan praktik perkawinan anak. (Red: Fathoni)

Sumber: https://www.arrahmah.co.id/2019/01/26724/rumah-kitab-dorong-problem-perkawinan-anak-dibahas-di-munas-nu.html

http://www.nu.or.id/post/read/101759/rumah-kitab-dorong-problem-perkawinan-anak-dibahas-di-munas-nu

 

KIYAI SAID SERUKAN AKHIRI PERKAWINAN ANAK

Perkawinan anak merupakan perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua belah pihak di bawah usia 18 tahun. Praktik perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perkawinan anak merampas hak-hak anak, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hak-hak lainnya.

Indonesia menempati urutan kedua praktik perkawinan anak tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dan menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia. Berdasarkan data UNICEF, 1 dan 9 anak di Indonesia korban perkawinan anak.

Berdasarkan hasil penelitian Rumah KitaB tahun 2014-2016, salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya praktik perkawinan anak yaitu, kelembagaan formal dan non-formal. Kelembagaan formal terdiri dari aparatur pemerintahan dan para pihak yang memiliki otoritas resmi dari negara. Sementara para pihak di kelembagaan non formal terdiri dari para tokoh agama, tokoh adat, dan lainnya yang memegang peranan penting di masyarakat. Keberadaan lembaga non-formal memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi pemahamaan masyarakat untuk melakukan perkawinan anak. Oleh karena itu, perlu adanya jalinan kerja sama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghentikan praktik perkawinan anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengundang peran serta ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyyah, untuk bekerja sama dalam menyosialisasikan pencegahan praktik perkawinan anak.

Senin, 21 Januari 2019, Tim Rumah KitaB berkunjung ke kantor Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), di Kramat Raya, Jakarta. Tujuan dari kedatangan ini adalah untuk melakukan audiensi dengan Buya Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. Audiensi ini merupakan upaya Rumah KitaB untuk merangkul PBNU sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat muslim di Indonesia untuk bergerak bersama secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

Kegiatan audiensi ini merupakan tindak lanjut program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan Rumah KitaB sejak tahun 2017 hingga 2019 di tiga provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2). Kegiatan audiensi ini bertujuan menjaga keberlanjutan program agar usaha pencegahan perkawinan anak dapat terus dilakukan secara aktif melalui peran tokoh nasional.

Tim Rumah Kita Bersama yang hadir di PBNU antara lain; Jamal (Staf Kajian), Hilmi (Manager Kajian), Nura (Manajer Operasional), Dilla (Manajer Program), Roland (Manajer Publikasi), dan Seto (Manajer Media dan Desain). Di tengah kesibukan Kiyai Said yang sangat padat, Kiyai Said menerima kedatangan Tim Rumah KitaB pada pukul 19.00 WIB, di ruang kerjanya di lantai 3, Gedung PBNU.

Dalam pertemuan itu, Nura, Dilla, dan Hilmi, memaparkan berbagai hasil penelitian Rumah KitaB terkait faktor, aktor, dan dampak buruk perkawinan anak. Di samping itu, tim Rumah KitaB juga menyampaikan pentingnya kehadiran NU untuk secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan perkawinan anak.  Tim Rumah KitaB meminta Kiyai Said untuk menghubungkan Rumah KitaB dengan Lembaga Bahtsul Masail PBNU agar mengangkat tema pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu agenda bahtsul masail di MUNAS NU 24 Februari 2019 mendatang.

Kiyai said memahami dan sepakat bahwa perkawinan anak merupakan praktik yang membahayakan dan menimbulkan madharat (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak. Kiyai Said menyadari bahwa negara tidak bisa bergerak sendiri untuk mengatasi persoalan ini. Karena itu, diperlukan peran aktif masyarakat dan berbagai pihak termasuk organisasi masyarakat berbasis keagamaan dan non keagamaan.

Kiyai Said menawarkan Rumah Kita Bersama untuk mengadakan FGD dengan Lembaga Bahtsul Masail, Ma’arif,  dan Lembaga Perguruan Tinggi NU, untuk membangun kesepahaman bersama pentingnya pencegahan perkawinan anak, dan mengikutsertakan peran aktif ketiga lembaga NU tersebut dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Di akhir pertemuan, kiyai Said menyerukan kepada segenap ulama, tokoh agama, dan komunitas Muslim di Indonesia, untuk secara aktif melakukan pencegahan perkawinan anak.

“Pencegahan perkawinan anak merupakan hal yang sangat penting dilakukan, tujuannya menghindari kemadharatan (dampak negatif) terhadap perempuan dan anak-anak. Perkawinan anak tidak dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Pencegahan perkawinan anak sangat mendesak agar mengurangi perceraian, menghadirkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, keluarga yang produktif, keluarga yang dinamis, dan bermartabat, karena keluarga adalah madrasah pertama.”

Kiyai Said mengutip syair Ahmad Syauqi; seorang penyair asal Mesir yang sangat terkenal di masa modern; “al-ummu madrasatun idz a’dadtah, a’dadta sya’ban thayyiba al-a’rqi“. Kiyai Said menjelaskan kalimat ini, ia mengatakan “Ibu itu madrasah pertama, kalau ibu atau rumah tangga itu ideal maka akan melahirkan bangsa yang baik. Karena bangsa yang baik lahir dari ibu yang baik pula”.

Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak sangat penting dilakukan oleh warga Nahdhiyyin dan umat Muslim di seluruh Indonesia untuk membantu anak-anak perempuan mencapai masa depannya yang gemilang dan terbebas dari perkawinan anak. [Ahmad Hilmi]

Merebut Tafsir :Iddah

Oleh Lies Marcoes

Sahabat saya dari Sisters in Islam, Askiah Adam mengirim sebuah ungkapan yang diambil dari One Fit Widow. Ungkapannya mengandung gumam gugatan. Dalam terjemahan bebas saya, ungkapan itu berbunyi “ Hanya orang yang tak pernah kehilangan yang mengganggap perkabungan itu berbatas waktu”. Ungkapan itu begitu mengena bagi saya saat ini. Perkabungan “sangatlah individual laksana sidik jari”, bagaimana mungkin terkabungan sanggup diseragamkan seperti hukum Iddah. Tapi adat hukum memang menyeragamkan.
Saya teringat diskusi kecil dengan kyai Husein Muhammad, Ulil Abshar, Nur Rofiah dan Faqihuddin Abdul Kodir di senja setelah penguburan suami saya, Ismed Natsir, Senin 9 Januari 2017. Sekuntum kemboja merah kesukaan Ismed, jatuh ke rumput di senja temaram itu. Faqih menemani saya di sudut taman melanjutkan diskusi berdasarkan pengalaman ibunya. Ibunya beriddah bukan hanya mengikuti aturan agama, tetapi juga demi menghormati tradisi di lingkungannya. Hal yang sama dilakukan Ibu Sinta Nuriyah setelah wafatnya Gus Dur.

Sebagai feminis Muslim tentu saja saya pernah mengkajinya, sangat serius. Di tahun 90-an kami membahasnya dalam konteks fiqh An-Nisa. Basisnya adalah soal kewajiban iddah bagi perempuan yang ditinggal mati, selama 4 bulan 10 hari sebagaimana tercantum dalam Al Baqarah: 234 atau “ tiga kali masa suci / tiga bulan bagi yang dicerai” ( Al Baqarah: 228), tiga bulan bagi yang telah menopause atau yang tidak haid (Ath-Thalaq : 4), atau sampai anaknya lahir bagi yang dicerai atau ditinggal mati dalam keadaan hamil ( Ath Thalaq: 4). Pengeculian berlaku bagi perempuan yang diceraikan sebelum dicampuri ( Al Ahzab: 49) kepadanya tak berlaku iddah.

Tahun 2005 ketika menyusun manual Gender dan Islam dengan Fahmina Institute, soal Iddah menjadi salah satu referensi bacaan yang disajikan dalam buku itu. Kalangan aktivis yang bekerja untuk menyusun CLD KHI juga mengusulkan agar iddah berlaku bagi lelaki terutamadalam kasus cerai. Dan ini menjadi salah satu pangkal kontrversi, “lelaki kok dibatasi kan nggak punya rahim”.

Sebagai feminis, saya dan teman-teman mencoba mencari pemaknaan yang berbeda dari sekedar alasan biologis untuk menentukan status rahim atas berlakuknya iddah pada perempuan Sebab jika alasannya hanya itu, zaman sekarang teknologi kedokteran dalam bidang ginekologi niscaya sudah mengatasinya. Artinya jika alasannya sekedar menentukan status rahim, gugur sudah illat (alasan) soal keberlakuan ayat itu.

Secara metodologis, tafsir feminis biasanya melihat konteks sosio historisnya. Dilihat dari konteks sejarahnya, tradisi perkabungan sudah ada dalam tradisi Arab pra Islam. Ketika itu perempuan yang ditinggal mati akan segera dikeluarkan dari rumahnya ditempatkan di rumah duka dan melakukah ihdat (tidak membersihkan diri apalagi berdandan). Dikisahkan dalam Al Qur’an perempuan Jahiliyah yang selesai berihdat dan beriddah akan disambar burung-burung pemakan bangkai saking baunya. Dan perempuan yang selesai berkabung tak punya hak apapun atas tempat tinggalnya. Jika masih ada keluarga mereka akan pulang ke keluarga besarnya di bawah proteksi kaum lelaki dalam klannya. (Itu pula yang menjadi dasar logikan mengapa lelaki mendapat warisan 2 x dibandingkan warisan bagi perempuan).

Bacaan feminis Muslim, melihat bahwa 4 bulan 10 hari yang ditetapkan dalam Al Quran, harusnya dimaknai sebagai upaya koreksi Islam/ Al Qur’an terhadap tradisi perkabungan Jahiliyah. Namun dalam waktu yang bersamaan itu hendaknya dibaca sebagai perlindungan minimal secara sosio kultural dan ekonomi kepada perempuan yang ditinggal suaminya untuk tidak diusir dari rumahnya begitu suaminya wafat. Dengan cara itu mereka bisa melakukan penyiapan diri untuk melangsungkan kehidupannya di masa mendatang.
Faqih mengisahkan dari hadits tentang perempuan yang sedang menjalani masa iddah dan pergi ke ladangnya. Namun sejumlah warga mengusirnya. Lalu dia mengadu kepada Nabi, Nabi mengatakan perempuan yang sedang iddah tidak dilarang untuk mencari nafkah.

Dalam tradisi Indonesia, tak sedikit perempuan yang tidak tahu menahu soal iddah, kecuali soal larangan menikah lagi dalam jangka waktu tertentu. Saya sendiri merasa, alangkah anehnya membatasi minimal perempuan untuk berkabung dengan kerangka melarang untuk ganti ke lain hati. Kecurigaan semacam itu niscaya menggunakan tolok ukur orang lain, untuk tak mengatakan ukuran lelaki. Sebab perkabungan pada perempuan, juga pada beberapa lelaki, bahkan terlalu pendek diukur dengan waktu tertentu.

Saya tak merasa punya kewajiban untuk menghormati tradisi sebab di tempat saya tinggal hampir tak ada yang mempersoalkan batas waktu perkabungan kematian. Juga tak dalam rangka untuk meminta perlindungan minimal karena saya tinggal di rumah sendiri bukan rumah warisan atau milik klan.

Namun saya memilih, sebuah pilihan aktif, untuk tetap melakukan “iddah” sosial dengan batas waktu selama 40 hari; sebuah batas kesanggupan dan tanggung jawab seorang ibu yang masih memiliki tanggungan anak yang sedang belajar dan membutuhkan dukungan. Sebuah batas untuk melakukan perenungan atas perjalanan perkawinan; bukan sebuah glorifikasi atas keagungan perkawinan karena setiap perkawinan niscaya ada suka dan duka, setiap hubungan pasangan dewasa niscaya ada pahit manis, menyebalkan dan menyenangkan. Namun hal yang ingin dikenang adalah bagaimana mempertahankan sebuah ikatan tanggung jawab; kepada diri sendiri, kepada anak-anak yang dilahirkan, dan kepada Tuhan yang mempertemukan dua manusia berbeda dalam ikatan perkawinan. Iddah bagi saya adalah penghormatan kepada sebuah kesetiaan untuk mempertahankan sebuah ikatan yang layak untuk disimpan dalam ingatan. Jadi saya pamit beberapa waktu tak hadir di ruang publik secara fisik untuk melakukan- iddah atau dalam bahasa Ulil Abshar Abdalla “a spirituality sabbatical”[]