Seminar “Membaca Islam Indonesia Paska Aksi Damai 212”

RABU, 22 Februari 2017 Rumah KitaB menyelenggarakan diskusi bertajuk “Membaca Islam Indonesia Paska Aksi Damai 212”, di Hotel JS Luwansa, dengan mengundang para pakar untuk berbincang tentang fenomena ini dengan menghadirkan analisis yang memperkirakan atau meramailkan ke arah mana Islam Indonesia akan bergerak di masa mendatang.

Suatu fenomena “unik” terjadi di Jakarta pada 4 November dan 2 Desember 2016 atau dikenal dengan peristiwa 411 dan 212. Peristiwa unjuk rasa yang tak biasa digelar dengan damai dihadiri ratusan ribu bahkan jutaan orang. Kedua aksi itu melampaui anggapan yang seolah hanya sebagai bentuk aksi tuntutan kepada pihak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memenjarakan oknum pejabat yang dianggap telah menistakan agama Islam.

Berbagai elemen masyarakat berkumpul di dua momen itu. Mereka berasal dari berbagai daerah, berbagai golongan, lintas ormas, lintas partai, lintas suku dan budaya tanpa menonjolkan elemen-elemen itu. Aksi ini diangap unik karena ormasIslam terbesar yang diakui memiliki pengaruh yang sangat besar di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya, secara kelembagaan sama-sama tak menyatakan sebagai pihak yang mengorganisir kegiatan ini. Sebaliknya mereka seolah menghalangi dengan mengeluarkan pernyataan yang mendukung pemerintah untuk menolak penyelenggaraan kegiatan Aksi Damai dan Aksi Super Damai itu dan mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dalam aksi-aksi tersebut. Himbauan, fatwa, nasihat, dan argumen teologis yang dikeluarkan Ormas Keagamaan seolah angin lalu. Massa terus bergerak untuk ikut dalam aksi tersebut. Dugaan akan terjadi kekacauan seperti yang terjadi di Bundaran Tahrir Kairo sama sekali tak terbukti. Umat Muslim tanpa bendera tanpa afiliasi yang tegas tumpah ruah di Monas.

Jika selama ini demo kaum jubah sering diasumsikan sebagai demonstrasi berwajah keras dan kasar, di sini yang tergambar tunduknya Rizieq Syihab pada kehendak umat yang menolak cara-cara kekerasan, menginginkan citra Islam yang damai, bersih, teratur, tertib tanpa kekerasan. Lebih dari itu, suara yang keluar bukan soal penegakan negara Islam atau syariat Islam, melainkan penegakan keadilan dalam kerangka kebangsaan.

Keunikan berikutnya adalah menyingkirnya jago-jago demonstrasi dengan penggunaan atribut keagamaan seperti HTI, PKS. Demikian halnya partai-partai berbendera Islam seperti PKS, PPP, PAN sama sekali tak terlihat kelebatnya.

Hal yang patut dicatat adalah kehadiran perempuan yang bukan hanya dari sisi jumlah begitu besar tetapi dalam menjalankan peran “feminin”nya yang sekaligus memberi citra kuat sebagai aksi damai tanpa kekerasan. Mereka mengajak untuk tertib mengatur shaf, menyediakan makanan, mengumpulkan sampah, menegur dengan ramah dan memberi tempat kepada ibu-ibu yang membutuhkan bantuan seperti manula dan yang membawa balita. Sebuah pemandangan yang dengan tegas membedakan aksi berbendera agama yang biasanya berwajah sangat menakutkan.

Suatu hal yang mengusik pikiran kemudian muncul. Apakah dengan tidak didengarnya seruan para tokoh dari berbagai ormas terbesar di Indonesia menandakan bahwa telah terjadi pergeseran yang signifikan terhadap warna organisasi dan komunitas Islam saat ini? Apakah fenomena ini merupakan penanda bahwa organisasi Islam Indonesia sedang berubah dan bergeser melampaui polarisasi NU Muhammadiyah, modernis-tradisionalis? Apakah masyarakat Islam Indonesia telah menunjukkan wajahnya baru atau organisasi Islam Indonesia yang juga telah berubah. Jika begitu? Ke arah mana pendulumnya bergerak? Ke arah yang lebih konsevatif sebagaimana diwakili oleh kepemimpinan Rizieq Syihab, atau kearah yang sebaliknya Islam Nusantara yang damai yang mengakui keragaman.

Harus diakui, sejak reformasi, muncul penilaian bahwa wajah Islamtelah mengalami perubahan secara signifikan. Identitas ke-Islaman makin kuat dan selalu tampak dalam ruang publik, dalam berbagai sektor, sosial, politik, ekonomi, di media, di sekolah, di pasar maupun di jalan-jalan umum. Majelis-majelis zikir tumbuh, istighosah menjadi hal yang biasa terjadi di mana-mana sebagai sarana untuk mendesakkan kehendak, pengajian pengajian akbar yang mengerahkan massa bisa ditemui di mana-mana.

Sejumlah analis memetakan perubahan itu sebagai penanda perubahan arus yang mengarah pada gerakan konservatifisme atau revivalisme. Dalam suasana liberalisasi politik yang menyertai demokratisasi, banyak aliran keagamaan garis keras yang dulu di masa Orde Baru ditekan tiba-tiba kini memiliki ruang gerak lebih besar seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan jargon khilafahnya yang menolak konsep demokrasi, Pancasila; Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI) yang resmi masuk ke dalam kelompok organisasi gerakan radikal, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaah Ansharu Syariah, dan lain sebagainya. Selain itu masih ada NU, Muhammadiyah yang merasa sebagai pemilik panggung.

Sementara latar global memberi warna yang lain di mana Islam semakin identik dengan kekerasan. Arab spring yang didahului dengan pawai dan demonstrasi warga menghasilkan represi dari penguasa sehingga demokrasi di dunia Arab seperti mati suri. Sebaliknya kekerasan peperangan di sejumlah wilayah di Arab memunculkan rasa tak berdaya bagi sejumlah anak muda lelaki dan perempuan dan mendorongnya untuk melakukan jihad dengan bergabung bersama organisasi radikal semacam ISIS.

Munculnya organisasi-organisasi ke-Islaman berhaluan keras menunjukan bahwa situasi politik Indonesia pasca reformasi tak selalu menguntungkan wacana Islam toleran-liberal-progressif. Kondisi ini menunjukkan bahwa berbagai gerakan Islamis tidak hanya tertutup di era otoritarianisme, meski jelas bahwa rezim otoritarian dan developmentalis Orde Baru memberi ruang lebih besar pada kelompok moderat.

Situasi perekonomian di masa reformasi tidak menunjukkan keadaan yang stabilitas. Krisis ekonomi global berengaruh pada penurunan daya tahan masyarakat. Bertambahnya warga miskin baru di daerah-daerah urban memberi amunisi pada meningkatnya gerakan radikal, atau organisasi keIslaman salafisme beraliran keras. Kondisi masyarakat yang rentan, karena kondisi ekonomi yang tidak menggembirakan turut mengkondisikan munculnya kelompok-kelompok jihadi yang tidak segan mempertaruhkan nyawanya untuk mewujudkan dirinya sebagai pengebom bunuh diri.Di tengah kemiskinan yang melanda Indonesia, godaan untuk mengikuti ide-ide militansi agamis makin menguat. Kini bukan barang baru mendengar anak muda lelaki dan perempuan Muslim yang bergabung dengan kelompok radikal dan rela mati “syahid” demi kebahagiaan di alam lain.

Perkembangan Islam modern setelah Reformasi juga ditandai dengan munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang Islami, serta munculnya partai-partai yang memakai platform Islam.

Era reformasi agaknya melahirkan aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militan, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif.

Setelah 18 tahun usia reformasi, tepatnya di penghujung tahun 2016, muncul sebuah corak baru perkembangan budaya organisasi Islam berwajah tak biasa. Perubahan tersebut bisa dilihat dari gerakan aksi damai 411 (November 2016) dan 212 (Desember 2016) yang menghadirkan wajah masyarakat musim yang berbeda dari sebelumnya. Siapa pun bisa saja membaca gerakan puritanisme atau revivalisme yang berkembang pasca reformasi, namun banyak pakar sosial yang belum bisa membaca model baru masyarakat muslim di era ini. Ini menandakan bahwa masyarakat muslim di era reformasi sangat dinamis, namun juga terdapat kemungkinan sebagai tanda bahwa umat Muslim tengah bergerak ke arah yang berbeda dari organisasi masyarakat tradisional semisal NU dan Muhammadiyah. Dalam fenomena baru itu, bukan saja tidak ada figur tunggal namun juga identitasnya sangat cair.

Pertanyaan lebih subtantif adalah apakah pendulum gerakan Islam sedang berayun menuju Indonesia yang makin konservatif, beragama secara lebih monolitik, intoleran dan menguatnya sentimen anti-Cina? Atau apakah ada bacaan lain yang memperlihatkan sikap umat yang lebih peduli pada isu-isu yang dianggap masalah dalam hubungan-hubungan sosial kebangsaan sekaligus mempertanyakan sikap dan ketegasan negara?

Aksi damai 212 sebenarnya merupakan puncak dari aksi yang memperlihatkan bertemunya berbagai elemen sipil Islam yang tidak membawa bendera formal apapun. Solidaritas elemen-elemen ini muncul sebagai bentuk akumulasi kekecewaan pada penegakan hukum yang terkait dengan ketersinggungan umat Muslim baik kepada Ahok atau pada periswa-peristiwa hubungan antara umat beragama yang mereka rasakan tidak ada penegakan hukum yang adil.

Ragam alasan orang hadir ke Monas, namun yang mempersatukannya adalah rasa ketersinggungan kepada Ahok terkait QS. al-Maidah: 51. Kecintaan mereka terhadap kitab suci dan kemarahan mereka terhadap Ahok, sosok yang dianggap sebagai penista agama, mempersatukan mereka dalam satu aksi. Mereka tidak lagi mendengar seruan ulama-ulama sepuh dari NU dan Muhammadiyah yang melarang terjadinya Aksi 212.

Kitab suci bagi umat beragama di Indonesia sebagai benda yang harus dijaga sakralitasnya, menyinggungnya berarti membangkitkan amarah penganutnya. Bukan soal tentang radikalisme atau fundamentalisme bahkan ekstrimisme, tetapi lebih soal perasaan ingin membela wilayah atau benda yang dianggap sangat sakral itu, terbukti banyak peserta yang terlibat bukan merupakan aktivis Islam garis keras.

Pamor Rizieq Syihab yang semula dibenci, seketika itu diminati, karena dianggap berani memfasilitasi aksi tersebut. Terjadilah perubahan model gerakan organisasi keislaman. GNPF-MUI tampil menjadi sebuah organisasi berisikan massa besar yang keberadaannya menggantikan peran NU dan Muhammadiyah yang dalam beberapa dekade terakhir sebagai organisasi besar yang dihormati umat Muslim.

Dalam Aksi 411 masih ada indikasi didomplengi oleh politisi, namun peserta Aksi 212 lebih bebas dari indikasi-indikasi keterlibatan elit politik, tidak ada satu pun bendera politik, dan politisi yang hadir pun hanya Fahri Hamzah tetapi tidak terlihat peran sama sekali.

Rasa keimanan dan keyakinan mereka merasa diganggu. Kitab suci sebagai elemen dasar kecintaan mereka terhadap agama merasa dinodai, penegakan hukum yang tidak adil terhadap mereka membuat mereka merasa terpanggil dan harus hadir dalam aksi. Rizieq Syihab dan Bachtiar Natsir dianggap sebagai sosok yang berhasil memfasilitasi kegeraman mereka terhadap sosok Ahok yang dianggap telah menodai agama, meski sebagian besar peserta yang hadir itu tidak setuju dengan sikap-sikap keras FPI pimpinan Rizieq Syihab sebelumnya.

Di dalam aksi itu terindikasi kalangan kelompok garis keras baik yang terkait denga al-Qaidah maupun ISIS dengan gagasan pembentukan negara syariat baik bersifat lokal maupun dalam kerangka global hadir dan berpartisipasi, namun mereka tidak menggunakan bendera dan atribut lainnya.

Ormas Muhammadiyah dan NU menunjukkan adanya perpecahan terkait bagaimana menyikap kegiatan itu. Terdapat dua sikap yang berbeda, antara sebelum dan setelah terlaksananya aksi tersebut. Muhammadiyah, di lapangan pada umumnya lebih tegas untuk mendukung terutama dari kelembagaan dan unsur-unsur kelembagaan di daerah. Sementara NU ada perpecahan antara sikap pimpinannya, Kiyai Makruf Amin lebih mendukung dibandingkan Kiyai Said Aqil Siradj yang lebih tegas soal NKRI. Perbedaan sikap di jajaran pimpinan PBNU itu melahirkan sikap berbeda di kalangan warga Nahdhiyyin.

Terjadi kebingungan di kalangan warga NU untuk mensikapi aksi tersebut, sebagian warga NU yang moderat, progresif dan liberal lebih mendukung Kiyai Said Aqil Siradj dan Kiyai Mustofa Bisri (Gus Mus) karena lebih memilih sikap tegas soal NKRI, sebagian lain mengikuti langkah Kiyai Makruf Amin. Kebingungan warga Nahdhiyyin juga soal sikap yang harus diambil terhadap MUI, karena ketua MUI juga menjabat sebagai Rais Aam PBNU.

Di kalangan artis juga ada yang hadir. Begitu juga para guru di sekolah-sekolah swasta dengan keberanian mereka menghadapi resiko besar bila mereka ikut serta mengikuti Aksi 212. Begitu juga para akademis dari beberapa perguruan tinggi juga ikut serta. Jaringan pesantren modern, termasuk jaringan alumni Gontor juga ikut serta mengorganisir peserta Aksi 212 dengan memanfaatkan rasa solidaritas sesama alumninya di Jakarta dan berbagai daerah. Ada juga yang hanya sekedar jalan-jalan, dan ikut-ikutan, untuk mendapatkan hasil jepretan religious picture yang menarik. Ratusan orang dengan jumlah yang belum terverifikasi dengan biaya tinggi mereka yang memadati lalu lintas penerbangan dari berbagai daerah menuju Jakarta sekedar ikut Aksi 212.

Aksi 212 harus bisa dipisahkan dari aksi kelompok garis keras yang hendak membawa misi penegakan syariat Islam yang sifatnya sektarian. Ini harus dilihat sebagai aksi gerakan masyarakat sipil menuntut keadilan hukum dan tidak ada seruan penegakan syariat Islam dalam aksi tersebut. Perempuan dan anak-anak juga terlibat dalam aksi tersebut. Mereka banyak memerankan sikap feminimnya, membantu membersihkan sampah dan menyediakan makanan bagi para peserta Aksi 212.

Sejumlah kesimpulan dihasilkan dari kegiatan ini, di antaranya:

 * Persoalan Pilkada DKI telah menstimulasi sejumlah aksi bela Islam (411 dan 212), yang kemudian memunculkan pro dan kontra Ahok di kalangan masyarakat Indonesia soal penistaan agama. Tetapi diskusi ini tidak hanya melihat suatu kemungkinan soal penistaan agama tesebut, melainkan juga melihat perpecahan para aktivis sosial menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, kelompok aktivis yang menekankan isu toleransi, yang mencurigai aksi 411 dan 212 sebagai proses untuk menyuburkan intoleransi dan konservatisisme. Kedua, kelompok aktivis pembela HAM yang melihat aksi 411 dan 212 sebagai perlawanan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Ahok, misalnya soal reklamasi dan peminggiran orang miskin. Untuk itu diperlukan upaya untuk memperkuat dialog antara kedua kelompok ini guna menyatukan misi mengurangi intoleransi dan pelanggaran HAM.

 * 212 di antaranya dipicu oleh dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok terkait surat al-Maidah 51. Untuk itu, agar kasus seperti ini tidak terjadi berulang-ulang, maka Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan Pasal 156a dalam KUHP, perlu dicabut, karena dianggap sebagai pasal karet dan melanggar konsep HAM yang melindungi kebebasan individu termasuk dalam menafsirkan keyakinannya. Berdasarkan penelitian Q Institute, sekitar 67% negara di dunia tidak lagi menggunakan pasal penodaan agama.

 * Peserta Aksi 212 adalah para aktivis HAM yang kecewa terhadap kerja pemerintah dalam menyelesaikan persoalan HAM, misalnya tentang reklamasi, penggusuran, tanah, privatisasi air, dan lain sebagainya. Khusus untuk privatisasi air, pemerintah pusat seyogyanya menghentikan berbagai langkah hukum dalam mempertahankan privatisasi perusahaan air bersih di Jakarta.

 * Aksi 212 salah satunya dipicu oleh ketimpangan sosial dan rasa ketidakadilan tetapi tidak bisa diwujudkan atau tidak ada wadah untuk penyaluran aspirasi masyarakat. DPR, yang merupakan kumpulan para wakil rakyat, tidak lagi berfungsi sebagai penampung aspirasi masyarakat, lebih terkesan sebagai penampung aspirasi partai politik. Di samping itu, juga tidak ada figur yang disegani dan menjadi rujukan dan penentu bagi masyarakat, terutama di ormas-ormas mainstream seperti NU dan Muhammadiyah, yang kemudian mengakibatkan seorang Rizieq Syihab merasa mendapatkan panggung.

 * Aksi 212 ditengarai terjadi karena konflik-konflik politik dan budaya di masyarakat. Konflik politik erat hubungannya perebutan kekuasaan, sementara konflik budaya sangat terkait dengan pemahaman keagamaan. Munculnya Perda-Perda Syariat di sejumlah daerah adalah kehendak publik, tetapi partai-partai politik tertentu memanfaatkan kecenderungan tersebut untuk menarik massa. Reproduksi sumber-sumber pemikiran konservatif dari abad pertengahan secara besar-besaran dan disebarkan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dinilai telah mengubah cara pandangan keagamaan masyarakat. Untuk itu, perlu memperbanyak pandangan-pandangan keagamaan progresif yang humanis dan berkeadilan.

 * Umumnya kaum muda di Indonesia ‘malas membaca dan meneliti’, mereka kebanyakan ‘membeo’ apa yang dikatakan oleh teman, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya baik secara offline mau online (media sosial), tidak benar-benar meneliti atau membaca. Sebagian besar peserta Aksi 212 yang memprotes soal QS. al-Maidah: 51, mungkin sebelumnya tidak benar-benar meneliti dan mengkaji terjemahan dan tafsir dari ayat tersebut. Sejumlah data dari media menyebutkan bahwa banyak dari mereka tidak terafiliasi dengan organisasi manapun. Artinya, keikutsertaan mereka dalam Aksi 212 terkesan ‘ikut-ikutan’ saja. Karena anak muda sekarang adalah pembaca aktif media sosial, maka yang diperlukan adalah mengemas pesan-pesan humanis: bahasa yang digunakan adalah bahasa mereka (remaja/pemuda) tetapi isinya pesan-pesan yang humanis.

 * MUI lebih banyak didekati oleh kelompok-kelompok ‘kanan’, jarang sekali kelompok-kelompok pembela HAM, feminis, dan kelompok-kelompok progresif lain yang datang untuk sekedar bersilaturrahim dengan MUI. Bisa jadi, fatwa-fatwa MUI yang belakangan lebih banyak memihak kepada kelompok-kelompok ‘kanan’ itu karena tidak adanya pendakatan dari kelompok-kelompok progresif.

 * Counter terhadap penafsiran kitab suci tidak selalu efektif. Sebab banyak orang yang menjadi radikal/intoleran bukan karena terideologisasi oleh kitab suci, tetapi karena perasaan sosial ketertindasan: Islam tertindas dan terzhalimi. Makanya counter naratif harus dilakukan bukan hanya pada tafsir-tafsir atas kitab suci, tetapi juga atas realitas, sosial, ekonomi, politik. Selain itu, pandangan keagamaan moderat masih sangat minim, terlihat misalnya dengan maraknya website-website kelompok-kelompok Islamis di internet.

 * Aspek penguatan nilai. Dalam hal ini pemerintah harus membuat kebijakan dan menjalankannya secara lebih serius mengenai kebhinnekaan dan toleransi. Hal ini bisa diterjemahkan ke dalam kebijakan yang memastikan bahwa kurikulum-kurikulum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional betul-betul mendukung kebhinnekaan, toleransi, dan anti-diskriminasi. Pemerintah juga harus memastikan setiap lembaga birokrasi dan aparatur negara menjalankan sistem non-diskriminasi.

 * Paska Aksi 212, tantangan yang kemungkinan besar dihadapi adalah kriminalisasi dan penyesatan. Dalam laporan WI yang dilaunching pada pertengahan Maret 2017 mendatang, kasus terbesar pelanggaran yang terjadi pada 2016 adalah kriminalisasi dengan Pasal 156a atau Undang-Undang ITE dan penyesatan, baik di tingkat pusat maupun di dearah. Karena itu salah satu solusinya adalah dengan merevisi atau mencabut Pasal 156a/PNPS. Kalau tidak, maka Polisi jangan menggunakan Pasal 156a melainkan menggunakan Pasal Ujaran Kebencian sebagaimana dalam Surat Edaran Kapolri. Jadi, yang dibuktikan adalah apakah suatu tindakan itu mengandung ujaran kebencian, bukan apakah itu penodaan agama.[]

Fikih Kawin Anak

Fikih Kawin Anak mengupas berbagai teks keagamaan yang disalahtafsirkan untuk melegalkan praktik perkawinan anak.

Penelitian Dampak Ekonomi Perceraian terhadap Perempuan

Penelitian ini meneliti dampak ekonomi perceraian terhadap perempuan, terutama dalam kasus cerai gugat.

Islam dan Pelayanan Publik

Ada jargon sekaligus doktrin mendasar digulirkan oleh para ulama Islam klasik yang cukup dikenal berbunyi, “Sayyid al-qawm khâdimuhum,” (pemimpin suatu masyarakat adalah pelayan bagi mereka). Kepemimpinan termanifestasikan dalam tindakan pelayanan bagi rakyat yang dipimpinnya. Tanpa ada pelayanan maka tak ada kepemimpinan.

Para ulama memberi rambu-rambu dalam memberikan pelayanan sang pemimpin/pemerintah harus memberikan kebijakan yang berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyatnya. Dikatakan dalam kaidah fikih, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah” (kebijakan pemimpin harus selaras dengan kemaslahatan). Dengan kata lain kebijakan yang pro rakyat.

Demi tercapainya kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyat itu juga harus melalui sistem, peraturan dan mekanisme yang tertata dengan rapih. Sahabat Ali ibn Abi Tahlib berkata, “Al-haqqu bila nizhâm, yaghlibuhu al-bâthil bi al-nizhâm,” (kebenaran yang tidak sistematis akan dikalahkan oleh kebathilan yang sistematis). Tujuan dan perantara yang menghantarkan tercapainya tujuan itu memang harus seirama.

Menurut Imam al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i dalam kitabnya, “Adab al-Dunya wa al-Dîn”, terdapat ada dua hal, yaitu agama dan dunia, yang keduanya memiliki etika (adab) dan prinsip dasarnya sendir-sendiri dalam mengelolanya. Pelayanan publik termasuk dalam pengaturan duniawi. Ada enam prinsip dasar dalam pengelolaan dunia, yaitu adanya agama/ideologi yang dianut, pemerintah yang kuat, keadilan dan keamanan yang merata/universal, kemakmuran ekonomi, dan cita-cita bersama yang luas (tidak sempit dan mempersempit).

Pemimpin sebagai pelayan tentu bertanggung jawab menciptakan pemerintahan yang kuat (bukan dalam arti otoriter), mewujudkan keadilan dan keamanan yang merata serta kemakmuran ekonomi. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang hidupnya sederhana dan selalu mementingkan dan memprioritaskan kepentingan rakyat/umat daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Contoh yang kongkrit dari kedua Umar: pertama, Umar ibn al-Khattab yang menghapus khumus (seperlima) harta rampasan perang untuk para pejabat dan para tentara lalu dikumpulkan ke dalam Bayt al-Mal, sebuah lembaga keuangan negara, untuk merealisasikan kebijakan yang maslahat bagi rakyat. Kebijakan Umar ini sesuai dengan tujuan universal syariat yaitu kemaslahatan karenanya ia berani meski harus menabrak makna literalis al-Qur`an tapi substansinya senafas dengan semangat al-Qur`an. Kedua, Umar ibn Abdul Aziz yang mampu memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Saking makmurnya sehingga tidak ada rakyatnya yang terlantar, dan kesulitan menyalurkan harta zakat lantaran sudah sedikit sekali yang berhak (mustahiq) menerima zakat.

Pelayanan publik dalam kitab “Adab al-Dunyâ wa al-Dîn”, juga termasuk mengenai pengelolaan alam, fasilitas umum bagi rakyat, seperti pengairah dan irigasi yang baik agar pertanian milik rakyat bisa terairi, subur, dan menghasilkan panen yang baik. Tidak boleh ada privatisasi sumber daya alam.

Para sufi pun memperlakukan alam semesta ini sama seperti memperlakukan tubuh manusia. Sebab, alam semesta ini memiliki konstruksi yang sama dengan tubuh manusia.

Tuhan…
alam ini seperti diriku,
kau beri alam rumput-ruput
kau beri aku bulu dan rambut

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam langit, galaksi dan rembulan
kau beri aku kepala, otak, mata, hidung, lidah

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam bumi dan tanah
kau beri aku tubuh

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam lautan dan air
kau beri aku perut, airmata dan sperma

Tuhan…
alam ini seperti diriku
kau beri alam gunung
kau beri aku kelamin

Tuhan…
alam ini seperti diriku
aku melihat alam ini seperti sedang melihat diriku dalam cermin…

Tuhan…
alam ini menurunkan air hujan
aku meneteskan airmata

Tuhan…
mungkinkah ada benarnya kalau aku ini adalah alam kecil
mungkinkah ada benarnya kalau alam ini adalah manusia besar
aku dari adam dan hawa
adam dari alam yang kau tiupkan ruh sucimu
terimakasih, Tuhan..

Yang menjadi kerpihatinan saat ini, alam semesta dieksploitasi oleh pengembang bisnis yang diberi jalan oleh pemerintah tanpa menghiraukan dampak negatif bagi alam semesta, kehidupan dan kemanusiaan. Padahal, alam sama seperti manusia; menghancurkan alam sama dengan mengancurkan manusia.[]

Merebut Tafsir 6: Istirahat

DALAM mengungkapkan kematian, orang kerap memperhalusnya dengan istilah istirahat. “Telah beristirahat dengan tenang”. Ungkapan itu mengusik pikiran saya. Mengapa istirahat?

Kata istirahat hadir dalam kehidupan saya ketika sekolah di SMP. Pelajaran diselingi “jam istirahat”, dua kali di hari biasa, satu kali di hari Jum’at. Istirahat di jam pelajaran artinya kita akan menemukan kegembiraan sesaat. Berhamburan keluar dari kelas, saling dorong berjubel di pintu, berebut adu cepat menyerbu kantin atau sekedar olahraga. Di hari pasar–Selasa dan Sabtu–, jam istirahat bisa lebih menggembirakan lagi. Kami memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan lari ke pasar desa; mendengarkan pidato tukang obat yang sangat memikat diiringi atraksi kecil-kecilan seperti ular pyton yang merayap lemas atau topeng monyet “Sarimin pergi ke pasar” dengan tambur bertalu-talu. Asyik sekali.

Sebagai anak petani, pada musim mencangkul saya dan adik serta seorang pembantu akan buru-buru mengantar makanan ke sawah di jam istirahat para pekerja dari aktivitas menyangkul. Dalam bahasa Sunda disebut “wayah reureuh”–saatnya istirahat. Istirahat niscaya menjadi hal yang membahagikan, senantuasa ditunggu, sebelum kembali lagi ke tugas utama yang sedang dijalaninya.

Saya juga mendengar kata dengan makna istirahat dari ibu saya ketika ia sedang menjalani menstruasi. Ibu saya menggunakan istilah “agi liren”–dari bahasa Jawa, “sedang berhenti”. Pemahaman masa kecil saya istilah itu merujuk pada istirahatnya beliau dari ibadah shalat atau puasa di bulan Puasa. Saya tak tak ingat apakan ketika itu saya membayangkan makna ini juga mengandung arti berhenti dari aktivitas seksual. Seingat saya tidak. Ketika ibu saya telah menopause ia menggunakan kata “ wis liren”–atau “sudah berhenti”. Jelas bahwa yang diaksudkannya adalah berhenti bereproduksi dan saya merasa ibu saya begitu senang dan tentram ketika bercerita kepada adik-adik perempuannya bahwa ia telah berhenti bereproduksi. Mungkin, baginya masa reproduksi aktif itu sungguh melelahkan. Maklum belum ada KB.

Istilah istirahat juga digunakan untuk berhenti dari aktivitas berpikir yang membuat seseorang berhenti dari beban pikiran dan ketegangan yang terus menerus. Istilah yang digunakan adalah “reureuh pikir” (beristirahat dari berpikir) atau “niis” (mendinginkan pikiran). “Ibu Sersan”, tetangga saya yang dipoligami dan hampir mengalami kegilaan dibawa oleh keluarganya untuk tetirah agar melakukan “reureuh pikir” dan “niis” .

Kembali ke soal ungkapan istirahat untuk menggambarkan kematian, saya mendapat nasihat dari Kiyai Abu Bakar suaminya Mbak Badriyah Fayumi ketika kami menyelenggarakan tahlil atas kematian suami saya. Menurut beliau dan kemudian saya pelajari dari haditsnya, ternyata istilah “istirahat” memang juga digunakan untuk menunjuk pada peristiwa kematian. Namun dalam hadits itu disebutkan ada dua jenis istirahat yang keduanya menunjukkan kualitas hidup yang berbeda: mustarih dan mustarah (minhu).

Mustarih, atau “yang istirahat” adalah menunjuk pada mereka yang diistrahatkan oleh Tuhan dari beban kehidupan, tanggung jawab, kewajibannya sebagai hamba Tuhan di dunia karena “the mission accomplished”. Dan karena diistirahatkan, maka Tuhan niscaya memberi tempat baginya untuk beristirahat dengan indah di sisi-Nya.

Sebaliknya istilah mustarah, atau mustarahun menunjuk pada hal yang sebaliknya. Orang-orang bahkan binatang dan pepohonan yang hidup di sekitar orang yang meninggal itu; atau dalam cakupan yang lebih luas, alam semesta, dunia, kehidupan manusia akan diistirahatkan dari kekejaman dan kezhaliman orang bersangkutan. Itulah cara Tuhan menunjukkan kasih sayangnya kepada mahluk hidup di dunia dengan cara membebaskannya dari kekejaman orang itu.

Insya Allah Si Ayah dan kelak kita menjadi orang yang mustarih dan bukan yang di-mustarah-kan di mana dunia kecil dan besar kita dibebaskan dari penderitaan akibat ungkapan, fitnah, kekejaman, aniaya dan kezhaliman kita. Tentu saja semuanya terpulang kepada pilihan aktif kita sendiri: mustarih atau mustarah?[]

Merebut Tafsir 5: Waktu

Kemanakah sang waktu pergi?

Satu sesal tiap kali seseorang pergi, niscaya karena hilangnya waktu. Kebersamaan dengan pasangan (suami atau istri), orang tua, anak, saudara/kerabat, sahabat, teman kerja atau orang-orang yang sehari-hari ada di sekitar kita, tiba-tiba kini tak ada lagi. “Waktu jua yang memisahkan” demikian orang menggambarkannya. Sang waktu telah menjadi batas dari perjumpaan. Dan jika ada waktu di lain kali kita bisa bertemu lagi, namun ketika batas waktu itu berupa kematian, kita benar benar telah dirampas waktu.

Bagi yang meyakini, waktu tentu berdimensi ruhaniyah. Karenanya meski waktu berbatas pada perjumpaan fisik, ia tak berbatas pada perjumpaan lainnya. Karenanya konsep perpisahan yang dibatasi waktu diartikan sebagai peristiwa duniawi belaka. Sementara secara ukhrawi, yang batinah waktu bersama niscaya tak pernah hilang. Saya ingin memiliki rasa itu, rasa di mana waktu tak pernah memisahkan kami dengan si Ayah. Namun semakin hari, pemahaman waktu duniawi saya tak gampang mencernanya.

Dalam minggu ketiga habisnya waktu duniawi bersama Si Ayah, ingatan soal betapa terbatasnya “waktu” bersama terus berputar-putar di kepala. Memang betapa nisbinya waktu. Ia menjadi relatif pada keterbatasannya sekaligus pada efektivitasnya. Jumlah detiknya tak kurang; berputar tanpa henti 24 jam per hari. Kadang kita merasa waktu terlalu pendek, namun bisa begitu panjang seolah tak berkesudahan.

Kesadaran soal waktu niscaya menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bahkan konsep waktu telah membentuk bahasa dan peradaban. Bahasa Inggris yang membentuk tensis, niscaya berangkat dari kesadaran soal waktu. Kesadaran sejarah adalah bicara soal masa lampau untuk masa depan, ini pun soal waktu. Dalam perputaran waktu yang sirkuler waktu tak selalu diukur oleh detik, menit dan jam, dalam tradisi pesantren misalnya waktu hanya 5 sesuai jadwal shalat. Dulu ketika di kampung, waktu berpatokan pada datangnya kereta api ketika singgah di stasiun Kereta Api di kampung kami. Karena kereta tak pernah ingkar waktu.

Dalam training-training gender yang saya fasilitasi, saya kerap menggambarkan betapa biasnya kita dalam menggunakan konsep waktu dan jarak. Secara dominan ukuran waktu dan jarak ditentukan oleh waktu yang linier dengan tolok ukur kebudayaan waktu dan jarak yang berasal dari situasi di Pulau Jawa. Diukur pakai jam, menggunakan anggapan bawa siang dan malam dapat digunakan untuk bergerak karena di Pulau Jawa jalan sudah tersambung, ada listrik, ada kendaraan bermotor bahkan hingga ke puncak gunung. Pembangunan kerap khilaf karena menggunakan ukuran waktu tempuh di Jawa untuk Papua yang bergunung-gunung, atau di Maluku yang berpulau-pulau di mana waktu ditentukan oleh angin dan cuaca.

Pada perempuan, waktu niscaya jauh lebih rumit tetapi seringakali tak terlihat dan karenanya tak dijadikan patokan. Bagi perempuan waktu adalah soal akses, kesempatan dan perputarannya yang tidak selalu linier. Jadi meskipun sama-sama di Jawa, banyak perempuan tak memperoleh “akses” waktu jika di rumah ada yang sakit, ada orang yang harus diurus. Demikian juga waktu perkabungan pada perempuan niscaya tak berbatas tak dapat dipatok.

Dalam tahun-tahun terakhir, waktu saya bergerak begitu cepat dan semakin cepat. Seringkali tersesali mengapa hanya 24 jam dan mengapa membutuhkan 7 jam untuk tidur. Kadang sampai terengah-engah mengejar waktu dengan menyiasatinya. Namun waktu kebersamaan dengan Ismed, sering seperti waktu yang tersedia untuk diri sendiri. Begitu terbatas. O…kemanakah waktu pergi?

Sambil melalui hari-hari dalam menjalani masa ‘iddah saya membaca beberapa tafsir soal waktu. Rupanya, al-Qur`an menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna tentang waktu itu, seperti: ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia. Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia [QS. Yunus: 49]; dahr menunjuk pada dimensi waktu yang fana yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini sejak diciptakanNya hingga kelak punahnya alam sementara ini [QS. al-Insan: 1], [QS. al-Jatsiyah: 24]; waqt yang biasanya digunakan sebagai batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karenanya, al-Qur`an menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa. Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya [QS. al-Nisa’: 103]; ‘ashr, kata ini biasa diartikan “waktu menjelang terbenammya matahari”, namun juga dapat diartikan sebagai periode/masa yang menjadi batas dalam memanfaatkannya.

Kata keempat inilah yang paling akrab bagi telinga dan kesadaran waktu saya. Mungkin ini merujuk pada salah satu surat dalam surat-surat pendek dalam al-Qur`an, al-‘Ashr yang kalimat awalnya berbunyi “Wa al-‘ashr“, “Dewi Waktu. Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka yang saling mengingatkan dalam soal hak-kebenaran dan dalam sabar.”

Ayah, semoga dengan waktu terbatas yang kita miliki menempatkan Ayah pada orang yang tak merugi, melainkan menerima pahala kebajikan, sebab Ayah telah mengamalkan arti “sabar” itu, dan kini Ayah ajarkan sabar dengan “waktu” yang ternyata telah berbatas.[]