Taliban dan Larangan Buku Karya Perempuan

Bekerja, berkarir, berpendidikan, merupakan hak setiap manusia tanpa memandang  jenis kelamin. Kita berhak untuk memilih hidup seperti apa. Menjadi perempuan merdeka, adalah sebuah privilege yang cukup memuaskan. Namun, hal ini sama sekali tidak dirasakan oleh perempuan Afghanistan. Para perempuan tidak diperkenankan untuk hidup. Bahkan seperti dibunuh pelan-pelan atas nama tegaknya Islam. Benarkah Islam memenjarakan perempuan?

Dilansir dalam laporan BBC Indonesia, Pemerintahan Taliban telah menghapus buku-buku karya perempuan dari kurikulum semua universitas di Afghanistan sebagai bagian dari kebijakan baru yang juga melarang pengajaran Hak Asasi Manusia dan pelecehan seksual.

Dalam informasinya, Sekitar 140 buku karya perempuan—termasuk buku dengan judul seperti “Keselamatan di Laboratorium Kimia”—tercakup dalam 680 buku yang dianggap “memprihatinkan” karena dituding memuat “kebijakan anti-Syariah dan Taliban”. Universitas-universitas di Afghanistan juga tidak lagi diizinkan untuk mengajarkan 18 mata kuliah karena dianggap tidak islami atau bertentang dengan syariat Islam.

Sejak awal kemunculannya pada tahun 2021, pemerintah Taliban sangat problematik dan bias gender. Membawa embel-embel Islam, misalnya. Dia sama sekali tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk hidup. Mereka mengaku menerapkan aturan hukum Islam dengan sangat ketat. Kebijakan tersebut membawa dampak buruk terhadap perempuan Afghanistan karena mengalami peminggiran, bahkan penindasan dari berbagai sisi.

Dalam konteks politik, contohnya. Ketika pihak Taliban di Afghanistan akan bertemu dengan utusan-utusan internasional, pada Minggu (30/6) di Qatar untuk melakukan pembicaraan yang digagas PBB, mereka mengesampingkan perempuan Afghanistan. Fenomena tersebut mendapat banyak kecaman dunia internasional karena tidak melibatkan perempuan.

Dalam konteks publik, seperti radio, Taliban juga menangguhkan siaran radio Begun yang dioperasikan oleh para perempuan. Kebijakan bias gender terbaru, datang dari dunia pendidikan seperti yang disampaikan di atas. Kursus-kursus seperti kebidanan (midwifery) ditutup. Itu adalah jalur pendidikan dan pekerjaan yang penting untuk perempuan dan layanan kesehatan perempuan.

Kebijakan-kebijakan Taliban, semakin memperkuat bukti bahwa kekerasan sistemik yang diciptakan oleh negara kepada perempuan, membawa perempuan pada jurang kehancuran. Sebab dalam bidang apapun, kelompok perempuan tidak memiliki ruang apapun untuk hidup.

Kekerasan Sistemik Adalah Racun

Berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan, selalu dialami oleh perempuan Afghanistan, pasca berdaulatnya Taliban. Kebijakan tersebut berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan kehidupan perempuan di wilayah tersebut dan masuk dalam kategori kekerasan. Perlu diketahui bahwa, dalam perspektif CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dan Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berupa fisik, akan tetapi juga: kekerasan struktural, kekerasan psikologis dan simbolik, kekerasan ekonomi dan sosial, dan kekerasan ekonomi.

Dalam konteks Taliban, pemerintah adalah pelaku atas kekerasan yang dialami oleh perempuan karena melakukan beberapa hal, di antaranya: pertama, penghilangan secara paksa terhadap buku-buku yang ditulis oleh perempuan, berarti tidak mengakui bahwa perempuan tidak punya peran terhadap bidang akademik ataupun tidak bisa berkontribusi secara intelektual.

Fenomena ini bisa dikatakan sebagai bentuk gender apartheid, yakni segregasi sistematis yang melarang perempuan mengakses ruang pengetahuan, sehingga menghapus generasi perempuan intelektual di Afghanistan. Pengalaman perempuan ataupun personal perempuan, dianggap tidak berguna dalam ruang intelektual.

Kedua, dengan menghapus jurusan kebidanan dan pembatasan terhadap mata kuliah gender karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, membuktikan bahwa perempuan tidak lagi memperoleh akses kesehatan yang memadai terhadap masalah-masalah biologis perempuan.

Ketiga, pembatasan terhadap ruang pekerjaan, ruang karier terhadap perempuan, menunjukkan bahwa pemerintah tidak melibatkan perempuan dalam pembangunan nasional. Ini adalah bentuk kontrol tubuh dan penghapusan ruang sosial perempuan, membuat perempuan seolah hanya boleh eksis di ranah domestik. Hal ini jelas-jelas akan mematikan peran perempuan sebagai manusia utuh yang merdeka.

Islam Sebagai Alasan

Penerapan syariat Islam secara ketat oleh Taliban, menunjukkan ketidakberpihakan mereka terhadap perempuan. Berbagai kebijakan yang meminggirkan perempuan, semakin meneguhkan kekerasan yang berlapis. Dan pertanyaan, sampai kapan Islam dijadikan dalil peminggiran perempuan?

Sementara pada berbagai bidang, butuh kehadiran perempuan untuk hadir dalam ruang kemaslahatan. Butuh berbagai perspektif perempuan sebagai basis pengetahuan agar kebijakan yang ditetapkan, bisa inklusif dan tidak memihak satu kelompok saja.

Isu perempuan di Afghanistan, adalah masalah global, terutama negara-negara mayoritas Muslim. Suara-suara dari berbagai negara, perlu untuk disampaikan, agar Islam yang ditegakkan tidak misoginis dan menjadikan korban sebagai korban terus menerus.

Advokasi global perlu dilakukan oleh negara, terutama negara-negara mayoritas Musllim karena kebijakan Taliban, menjadikan Islam sebagai pijakan kebijakan. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan. Kebijakan Taliban justru sama sekali tidak merepresentasikan ajaran Islam itu sendiri. Karena menyiksa dan membunuh kehidupan perempuan. Wallahu A’lam.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses