Pos

Jadi, kenapa Anda memilih Iqbal?

Oleh Nurhayati Aida

Saya memberikan penekanan dan penjelasan yang kurang bisa diterima oleh penanya. Banyak sekali catatan yang saya terima dari jawaban mengapa Iqbal menjadi pilihan saya, bahkan salah satu dari penanya tak mau tahu akan hal itu, dengan beberapa catatan saya diharuskan merombak semua yang saya ajukan. Itu bukan akhir, itu adalah awal. Saya kemudian secara informal bertemu dengan dua penanya pertanyaan mengapa saya memilih Iqbal, berdiskusi dan menjelaskan apa yang saya inginkan dalam memilih Iqbal.

Saya diizinkan untuk memilih Iqbal.

Enam atau tujuh tahun sebelum pertanyaan itu mampir ke saya.

Entah dalam rangka apa kaki saya melangkah ke Pasar Senen. Sewaktu berjalan menyusuri jalanan sempit di barisan toko buku bekas itu, kaki saya berhenti melangkah. Dan diri ini berdiri mematung –karena kaki berhenti melangkah– sambil mata memperhatikan dengan seksama judul-judul buku yang digelar apa adanya di selasar pasar.

“Ayo-ayo, sepuluh ribuan. Dipilih-dipilih” teriak lelaki setengah abad yang duduk agak jauh dari lapak

Sepuluh ribu? Saya membatin. Sepertinya itu adalah sinyal yang ditangkap bagus oleh otak saya, yang kemudian diinstruksikan secara spontan pada kaki untuk berhenti.

Hanya dua buku yang mampu saya bawa pulang, yang artinya juga adalah dua puluh ribu uang jajan minggu itu terpangkas. Dua buku itu adalah buku yang diterbitkan bahkan sebelum saya lahir. Saya membeli buku lawas. Buku pertama berjudul Membangun Alam pikiran Islam milik Muhammad Iqbal yang diterjemahkan Osman Ralibi, dan yang kedua adalah Snouck Hurgronje dan Islam yang ditulis oleh P. SJ. Van Koningsveld.

Salah satu dari dua buku itu selanjutnya membawa saya pada serangkaian peristiwa hidup. Satu tahapan di mana Tuhan mengalirkan episode hidup, di mana saya berdiri sekarang.

Jadi, apa istimewa Iqbal?

Iqbal melalui gagasannya telah membawa Pakistan untuk membentuk negaranya sendiri. Tapi lebih dari itu, pengaruh Iqbal-lah yang membuat dia istimewa. Iqbal mampu menggerakkan masyarakat Muslim waktu itu untuk berbuat sesuatu, dan itu didasari atas keyakinan atas Tuhan. Tuhan, menurut Iqbal, dalam pandangan saya, telah dijadikan sebagai hasrat purba, bahwa Tuhanlah yang menjadi gerak langkah manusia. Tapi ini bukan panteisme. Bukan. Lebih jauh lagi.

Dua tahun sebelum pertanyaan mengapa memilih Iqbal.

Setumpuk buku ada di meja kerja saya, dikirim oleh seorang teman yang bahkan saya tak pernah bertemu atau berdiskusi serius dengannya. Tapi, dengan kemurahannya ia mengirim semua buku koleksinya tentang Iqbal ke saya. Tanpa meminta ganti uang foto kopi atau biaya kirim. Semua gratis.

Teman ini dikenalkan oleh sahabat saya yang bernama Inab. Melalui Inab-lah, saya dan teman baik hati itu bisa berkomunikasi.

Satu di antara buku yang dikirim adalah buku Iqbal yang berjudul Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam yang diterjemahkan oleh tiga orang yaitu Ali Audah, Gunawan Mohammad, Taufik Ismail yang diterbitkan oleh Jalasutra.

Jadi, apakah (pemikiran) Iqbal itu penting?

Penting sekali. Selama hampir lima ratus tahun pemikiran Islam telah mandek, tidak bergerak. Itu dikemukakan Iqbal saat mengatakan bahwa saat ini kita butuh merekonstruksi pemikiran Islam. Pemikiran (agama) Islam seharusnya mampu mendorong pemeluknya untuk terus melakukan sesuatu dan bergerak lebih maju, tapi kenyataannya adalah adanya kejumudan saat itu. Pasti ada yang salah dengan pemahaman kita mengenai (pemikiran) agama. Kita butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang mampu membawa kita berjalan ke depan namun tetap bersama Tuhan. Tauhid dan ijtihad menjadi jawabannya. Dengan tauhid, dengan Tuhan bersama langkah kaki, usaha tangan, upaya akal, kasih, dan intuisi, manusia (seharusnya) mampu bergerak lebih lebih banyak. Karena Tuhan yang membersamai manusia tak pernah berhenti untuk terus-menerus melakukan sesuatu yang baru setiap saat. Dan respons terhadap perbuatan Tuhan itu adalah ijtihad, yaitu usaha.

Tuhan adalah hasrat purba manusia.

Satu bulan dua puluh tujuh hari sebelum pertanyaan mengapa memilih Iqbal dilemparkan ke saya.

Hampir seminggu lamanya saya menunggu kiriman buku yang saya beli via online. Buku itu berjudul Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam karya Iqbal yang diterbitkan Mizan dan diterjemahkan oleh Hawasi dan Musa Kazhim.

Lengkap sudah. Saya memiliki tiga versi bahasa Inndonesia buku Iqbal yang berjudul asli The Reconstruction of Religious Thought in Islam, sebuah buku yang berisi tujuh kumpulan makalah yang ditulis Iqbal.

Satu judul buku dengan tiga versi terjemahan berbeda boleh jadi adalah buku yang banyak banyak saya baca. Maksudnya adalah buku yang saya baca berkali-kali. Setiap kali saya tak bisa memahami isinya, saya lalu mengulangnya dengan membaca basmalah atau istighfar. Saking susahnya memahami buku tersebut saya sampai membatin. Jangan-jangan hati dan pikiran saya adalah jendela yang tertutup, ilmu yang serupa cahaya itu tak bisa masuk karena hati saya kotor.

Jadi, kenapa Anda memilih Iqbal?

Iqbal itu percaya atas keunikan masing-masing diri, tak ada satupun di antara diri-diri yang lain yang sama. Untuk tawa atau tangisnya, untuk bahagia atau sedihnya, untuk jenuh atau semangatnya. Meski ada satu kejadian yang membuat dua orang bahagia, niscaya kebahagiaan satu dengan yang lainnya tak pernah sama. Ekstrimnya bahkan Tuhan pun takkan mampu merasakannya. Ini saking uniknya setiap diri, saking spesialnya diri. Oleh karenanya, Tuhan menghisab setiap diri per individu karena setiap kita adalah unik, orisinil, dan spesial. Tak ada dosa kelompok atau sosial, ia murni tanggungjawab pribadi, tak ada yang bisa dipikul bersama.

Saya suka mengutip puisi Rumi ini, dan saya kira Iqbal terpengaruh juga oleh Rumi saat membahas keunikan diri.

Ini jalanmu | dan jalanmu saja | orang lain bisa berjalan bersamamu | tapi tidak ada yang bisa menjalaninya untukmu

Buku yang saya beli sepuluh ribu rupiah itu mengantarkan saya untuk menuntaskan tugas akhir yang hampir dua tahun lamanya mangkrak.


Catatan ditulis pada bulan Oktober 2016

Dilema Hukum Dalam Kawin Anak

Kompas, 6 Februari 2018 – Dalam pencegahan perkawinan anak di Indonesia, aspek hukum tampaknya menjadi titik paling lemah. Pada praktiknya isbat nikah (menikah kembali di depan pejabat negara) atau dispensasi nikah merupakan peluang perkawinan anak yang semula ilegal menjadi legal. Lebih dari itu, keduanya merupakan bentuk pengakuan diam-diam atas praktik hukum non-negara yang seharusnya secara tegas dinyatakan ilegal dan bersanksi hukum bagi pelanggarnya.

Secara historis, eksistensi hukum non-negara, seperti hukum adat dan agama, tak lepas dari fakta kekayaan hukum yang hidup di Indonesia sejak sebelum kolonialis membawa konsep hukum sebagai konsekuensi dari negara modern.

Para penasihat negara jajahan seperti Snouck Hurgronje, terlebih ahli hukum Islam, Van den Berg, memberi jaminan bahwa penerapan hukum adat dan agama oleh warga jajahan tak akan memicu pemberontakan.

Sebaliknya pemerintah penjajah dapat memperoleh empati dan memanfaatkannya sebagai bentuk tindakan etis kepada warga jajahan. Oleh karena itu, kemudian muncul istilah pluralisme hukum, sebuah bentuk pengakuan kepada praktik hukum adat dan hukum agama, terutama untuk isu keluarga, termasuk perkawinan, warisan, dan wakaf.

Dominasi dan tirani hukum

Di era Orde Baru, upaya untuk tetap memberlakukan hukum adat dan agama sebagai sumber hukum yang setara dengan hukum negara terus diadvokasikan. Terutama dalam kaitannya untuk perlindungan kepada kelompok adat yang mempertahankan hukum adat mereka untuk melindungi hak ulayat/komunal atas tanah adat. Para aktivis memperjuangkan keberlakuan pluralisme hukum untuk menghindari kesewenang-wenangan dan dominasi hukum yang dimanfaatkan untuk pencaplokan tanah adat atas nama konsesi.

Nuansa politik yang mendasarinya jelas berbeda. Jika pada masa kolonial pluralisme hukum diberlakukan dalam rangka penjinakan kepada warga bumiputra, dalam era Orde Baru keragaman hukum merupakan bentuk perlindungan kepada suku dan kelompok adat yang sangat rentan terhadap okupasi negara atas nama pembangunan ekonomi.

Namun, dalam kaitannya dengan hukum keluarga, negara berusaha melakukan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974 dan penerapan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991. Melalui kedua peraturan itu, warga negara, tak terkecuali umat Islam, diwajibkan tunduk kepada hukum nasional sekaligus menegaskan otoritas hukum negara atas hukum agama.

Berbeda dari isu agraria, di mana pluralisme hukum diupayakan dan dibela oleh para aktivis keadilan dalam rangka melindungi suku asli dan kelompok adat yang benar-benar tergantung kepada alam, dalam isu keluarga, pluralisme hukum  yang memberi ruang kepada hukum adat dan agama (fikih) sebenarnya tak menjadi agenda perjuangan. Sebaliknya para aktivis hukum lebih bersetuju pada adanya pengaturan yang diterapkan negara.

Dalam konteks ini Prof Barry Hooker, ahli mengenai hukum Islam dari Australia, kemudian memperkenalkan konsep hukum besar dan hukum kecil untuk membedakan tingkatan sumber hukum antara hukum negara dan hukum agama (fikih) dalam menyelesaikan perkara keluarga. Bagi Hooker, yang terpenting hukum yang kecil harus tunduk kepada hukum yang besar.

Pandangan seperti ini sebenarnya telah pula diberlakukan melalui undang-undang yang mewajibkan keberlakuan hierarki hukum di mana Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan hukum nasional harus menjadi pokok landasan hukum dan UU atau peraturan yang ada di bawahnya. Dengan hierarki itu, hukum adat/agama tidak dibenarkan bertentangan dengan keputusan atau hukum negara yang berposisi di atasnya.

Namun, tampaknya, dalam debat-debat teori pluralisme hukum sama sekali tak terbayangkan bahwa hukum komunal/hukum adat/hukum agama bisa digdaya menghadapi hukum negara yang dibangun oleh konsep negara modern pascakolonial.

Pengakuan akan keberlakuan pluralisme hukum yang semula bertujuan untuk memberi pengakuan dan proteksi kepada hukum komunal/hukum adat/hukum agama agar tak terintimidasi atau tertindas oleh hukum negara bisa berbalik menjadi dominasi hukum atau minimal kontestasi hukum. Hal yang tak diperhitungkan adalah lanskap di mana tatanan hukum itu membutuhkan prasyarat.

Pluralisme hukum meniscayakan hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang demokratis, egaliter, mengandalkan filsafat hukum bukan semata keyakinan,  dan diterapkan dalam relasi-relasi sosial yang setara atau bercita-cita setara.  Sebaliknya, dalam masyarakat yang tidak egaliter, tidak demokratis, tidak percaya kepada kesetaraan, konsep pularisme hukum bisa menjadi tirani. Hukum yang kecil ternyata dapat memenjarakan hukum yang besar.

Hal ini disebabkan oleh adanya kontestasi hukum di mana hukum agama diposisikan lebih utama ketimbang hukum negara, dengan alasan sumber hukumnya lebih sakral. Hal ini terbukti dari pembenaran praktik kawin anak yang selalu kembali ke sumber hukum teks fikih dan ini diterima sebagai hukum.

Untuk mengatasi persoalan ini, sebagaimana diusulkan Prof Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia, pluralisme hukum seharusnya terbuka pada hukum-hukum baru dan global seperti konvensi-konvensi internasional yang berbasis hak asasi manusia (HAM) sekaligus sebagai alat koreksi terhadap hukum adat bilamana terbukti mencederai rasa keadilan.

Tidak tegas soal batas usia

Dalam kaitannya dengan upaya menolak praktik kawin anak; konvensi hak anak, konvensi antidiskriminasi terhadap perempuan harus menjadi landasan hukum yang lebih kuat.

Stjin van Huis, peneliti tentang hukum keluarga Islam  dari Belanda, melalui penelitiannya di Peradilan Agama di Cianjur dan Bulukumba, mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan perkawinan anak, hukum yang hidup di masyarakat termasuk norma-norma tetap bisa menjadi rujukan hakim dalam memberikan dispensasi asal ada ketegasan soal batasan umur minimal.

Masalahnya, di Indonesia tidak ada batas usia minimum untuk pengajuan dispensasi sehingga diskresi pemberian dispensasi sangat besar. Dengan demikian, pada kasus perkawinan anak, negara tampaknya tidak memiliki ketegasan dalam mengimplementasikan batas usia seperti yang diatur dalam UU Perkawinan. Ini menunjukkan peran hukum agama yang berlaku dalam masyarakat di luar hukum negara masih sangat besar atau bahkan semakin besar mengiringi lanskap politik keagaan di ruang publik yang makin konservatif.

Padahal, sebagaimana ditegaskan Michael Pelatz dalam bukunya, Islamic Modern: Religious Courts and Cultural Politics in Malaysia, hukum keluarga serta implementasinya oleh pengadilan agama sebagai institusi negara yang berwenang sangat penting keberadaannya untuk menciptakan warga negara modern (national citizens) yang merujuk pada hukum nasional dan hak-hak individual; dan pada waktu yang sama dapat membebaskan individu—khususnya perempuan— dari ikatan primordial suku, adat istiadat, etnisitas, dan jender yang dipandangnya tidak adil.

Lies Marcoes  Koordinator Program Berdaya, Rumah KitaB