Pos

Diskusi Publik tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2024 dan Launching Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan

Jawa Barat – Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengadakan diskusi publik tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) sekaligus meluncurkan buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan di STAI Duta Bangsa, Desa Kali Baru, Kota Bekasi, pada Jumat, 13 September 2024.

Rumah Kita Bersama, yang lebih dikenal sebagai Rumah KitaB, merupakan lembaga yang berkantor di Perumahan Kintamani Village, Jalan SMP 211, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Rumah KitaB bergerak dalam isu-isu perempuan dan kelompok marjinal. Lembaga ini menjadi tempat perlindungan bagi kaum termarjinalkan sekaligus laboratorium riset literatur tentang problematika perempuan, anak, lingkungan, dan kelompok marjinal.

Lembaga ini mengadakan diskusi publik dengan berkolaborasi bersama Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi, dengan STAI Duta Bangsa sebagai tuan rumah. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan hak pilih dengan bijak serta menyoroti pentingnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik. Pada acara ini, turut diluncurkan buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan.

Kegiatan ini diadakan sebagai upaya untuk menegaskan pentingnya peran perempuan dalam kontestasi politik, yang disampaikan oleh perwakilan Pemerintah Kota Bekasi, Ibu Marisa. Dalam sambutannya, beliau mengapresiasi terselenggaranya acara ini.

“Acara ini sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan masyarakat umum. Dalam sejarah Indonesia, bahkan sejak zaman Nabi, sudah ada perempuan yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemajuan bangsa,” ujar Ibu Marisa.

Beliau juga menekankan bahwa kesuksesan laki-laki sering kali tidak lepas dari peran perempuan, begitu pula sebaliknya. Kerjasama antara keduanya harus terus diperkuat, terutama dalam upaya memajukan bangsa.

Perwakilan penulis buku, Achmat Hilmi, Lc., M.A., menjelaskan bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam sejarah Islam sudah dimulai sejak era Nabi, dengan tokoh-tokoh seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan para sahabiyah. Kepemimpinan perempuan ini terus berkembang hingga era Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Mughal, Safawi, dan Turki Utsmani, dan menyebar ke berbagai penjuru Asia Tenggara serta Indonesia. Buku ini bertujuan untuk meluruskan sejarah yang sering kali disalahartikan serta mengaitkannya dengan relevansi gerakan perempuan dalam Islam dan Indonesia.

Ketua Bawaslu Kota Bekasi, Vidya, menambahkan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam kepemimpinan politik perempuan. Pertama, regulasi. Kedua, partisipasi perempuan. Ketiga, pendidikan politik dan pelatihan bagi perempuan. Keempat, perempuan yang terlibat dalam politik praktis harus memiliki kemampuan untuk menyuarakan keadilan bagi masyarakat. Kelima, kerjasama antar-pemangku kepentingan (stakeholder).

Vidya juga mengingatkan bahwa dalam regulasi, partisipasi perempuan dalam legislatif dan birokrasi diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017, yang menetapkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Namun, ia mempertanyakan apakah regulasi tersebut sudah dijalankan dengan baik dan benar-benar berpihak pada keterwakilan perempuan. Hal ini penting agar perempuan dapat memperoleh hak-haknya baik di birokrasi maupun legislatif.

Ia juga menyoroti keterwakilan perempuan di Bawaslu, yang masih sangat terbatas. Di satu kabupaten atau kota di Jawa Barat, hanya ada 3 sampai 5 perempuan yang bergabung, dan hanya 3 perempuan yang menjabat sebagai Ketua Bawaslu di seluruh Jawa Barat.

“Di satu kabupaten atau kota, hanya ada 3 sampai 5 perempuan yang bergabung di Bawaslu, dan hanya 3 perempuan yang menjadi Ketua Bawaslu di Jawa Barat,” lanjutnya.

Di era yang semakin dinamis ini, kepemimpinan politik perempuan bukan hanya aspirasi, melainkan kebutuhan mendesak. Kehadiran perempuan dalam pengambilan kebijakan, dengan perspektif khas mereka, dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan adil. Ini juga dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik yang lebih berpihak pada perempuan.

Keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam politik mencerminkan kemajuan masyarakat yang berkeadilan gender. Ketika perempuan duduk di meja pengambilan keputusan publik, suara-suara yang terpinggirkan akan lebih terangkat, dan solusi yang lebih komprehensif serta responsif dapat ditemukan. Namun, perjalanan menuju kepemimpinan politik perempuan masih penuh tantangan. Meski perkembangan signifikan telah dicapai, perempuan masih menghadapi hambatan struktural, stereotip, dan kekerasan berbasis gender.

Kepemimpinan politik perempuan bukan sekadar memenuhi kuota atau menciptakan simbolisme. Ini adalah tantangan untuk membangun bangsa yang lebih adil. Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan yang baru diluncurkan adalah salah satu alternatif untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepemimpinan politik perempuan saat ini.

Suara yang Tak Terdengar di Keriuhan

Perempuan yang merupakan separuh populasi memiliki peran besar dalam kemajuan masyarakat apabila memiliki kuasa atas dirinya.

 

Dalam lima kali webinar terbatas secara berkala, lembaga riset Yayasan  Rumah Kita Bersama memaparkan hasil penelitian lapangan mengenai kekerasan berbasis jender akibat fundamentalisme agama.

Perempuan mengalami kekerasan simbolik, psikologis, ekonomi, bahkan fisik karena paham fundamentalisme berbasis agama menempatkan perempuan sebagai penggoda, penyebab kekacauan, dan sumber fitnah. Karena fitrah tersebut, hidup perempuan harus diatur dan dikendalikan laki-laki.

Terjadi pembagian kerja secara ketat, perempuan berada di ranah domestik, menutup rapat tubuh, patuh penuh kepada suami atau laki-laki di dalam keluarga. Untuk menertibkan perempuan, ada yang membolehkan kekerasan fisik kecuali wajah. Pengorbanan perempuan itu akan terbayar kelak di alam keabadian atau ketika negara sudah menerapkan paham fundamentalisme.

Penelitian kualitatif Yayasan Rumah Kita Bersama (Kitab) di Jakarta, Depok, Bekasi, Bandung, dan Solo terhadap 165 informan pada September 2019 hingga Juli 2020 memperlihatkan praktik dan ideologi fundamentalisme berbasis agama terus berjalan. Penelitian lapangan dilakukan hingga Maret 2020 karena dibatasi pendemi Covid-19.

Fundamentalisme dipersoalkan karena sifatnya yang antikeragaman dan mengklaim sebagai paling benar dalam keyakinan, kesukuan/ras, ideologi, bahkan kebudayaan.

Peneliti Rumah Kitab, Lies Marcoes Natsir, menyebut, fundamentalisme dalam penelitian ini dimaknai sebagai  paham yang, apa pun jenis kelompoknya, memperlakukan teks keagamaan secara tekstual sebagai kebenaran mutlak. Karena itu, penganut paham ini menganggap pandangan keagamaan mereka paling benar, otentik, dan otoritatif. Fundamentalisme dipersoalkan karena sifatnya yang antikeragaman dan mengklaim sebagai paling benar dalam keyakinan, kesukuan/ras, ideologi, bahkan kebudayaan.

Jumlah persis penganut paham fundamentalis tidak terdata, tetapi temuan riset di lima kota ini memberi cukup alasan untuk mengetahui lebih dalam apa dampaknya terhadap perempuan dan masyarakat.

Ajakan mengikuti paham ini melalui berbagai cara, menyesuaikan kondisi sosial dan ekonomi wilayah. Mulai dari ajakan melalui media sosial, pertemuan dakwah secara fisik, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan populer, hingga yang tegas menutup diri dari yang dianggap tidak sesuai ajaran.

Buruh pabrik tertarik mengikuti kelompok fundamentalis karena merasa rentan dan teralienasi

Di Bekasi, informan yang bekerja sebagai buruh pabrik tertarik mengikuti kelompok fundamentalis karena merasa rentan dan teralienasi ketika keluar dari komunitas kampung halamannya untuk bekerja di kawasan industri. Di Solo, perempuan yang berdaya secara ekonomi sebagai pengusaha dan pedagang batik di Laweyan yang biasa disebut Mbok Mase, ditarik ke ranah domestik melalui suami dan orangtuanya. Di Bandung, perempuan yang baik diukur dari pakaiannya dan diajak meninggalkan tradisi, seperti mendoakan dalam acara peringatan khusus orang yang sudah meninggal.

Perempuan yang bergabung di dalam kelompok-kelompok tersebut umumnya merasa membutuhkan pegangan di tengah perubahan cepat masyarakat sekitarnya. Agama menjadi pilihan karena dianggap dapat memberi tuntunan hidup yang membawa keselamatan dunia dan akhirat.

Menolak yang berbeda

Di dalam wacana politik mengenai Indonesia, banyak ahli dan aktivis demokrasi sepakat Indonesia tengah mengalami tanda-tanda kemunduran demokrasi. Kemunduran itu belum menuju hancurnya demokrasi, tetapi memengaruhi kehidupan masyarakat.

Indonesia dianggap berhasil melakukan transisi menjadi negara demokrasi setelah melalui peralihan rezim pada tahun 1998. Demokrasi penting untuk membawa masyarakat menjadi lebih sejahtera, bahagia, dan berkelanjutan. Masyarakat dapat ikut berpartisipasi dan mengawasi pembangunan tanpa rasa takut. Berbagai komunitas dan kelompok masyarakat yang beragam, terutama kelompok minoritas, dapat hidup damai meski berbeda-beda.

Buku Democracy in Indonesia, from Stagnation to Regression? yang diluncurkan dan didiskusikan pada Rabu (23/9/2020) dan Jumat (25/9) mengajukan sejumlah hasil penelitian serta pengamatan terhadap perkembangan demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Demokrasi Indonesia belum terancam runtuh, tetapi terdapat beberapa tanda menunjukkan mulai ada kemunduran.

Buku ini masih menggunakan tanda tanya pada subjudul, From Stagnation to Regression?  Isi buku ini berargumentasi, demokrasi Indonesia belum terancam runtuh, tetapi terdapat beberapa tanda menunjukkan mulai ada kemunduran.

Untuk mendukung argumen yang tertera pada judul, buku yang ditulis sejumlah peneliti dari Indonesia dan pengamat Indonesia ini  mengajukan contoh-contoh langkah yang diambil pemerintah, tindakan elite politik, dan masyarakat. Editor buku adalah Thomas Power, pengajar Department of Indonesian Studies, School of Languages and Cultures, University of Sydney, dan Eve Warburton, postdoctoral fellow, Asia Research Institute, National University of Singapore, dan diterbitkan ISEAS.

Salah satu topik bahasan buku adalah munculnya politik populis secara nyata yang digunakan individu, pimpinan partai politik, dan kelompok-kelompok di masyarakat, termasuk kelompok keagamaan, untuk memobilisasi massa secara langsung.

Membangun hubungan langsung dengan massa, warga, atau umat adalah salah satu ciri politik populis. Menurut Liam Gammon, salah seorang penulis dalam buku ini, cara hubungan langsung tersebut, antara lain, dengan memunculkan politik identitas atau kebijakan redistribusi, misalnya melalui berbagai bentuk program bantuan bagi masyarakat.

Politik identitas banyak menjadi sorotan karena ikut menyebabkan masyarakat terbelah.

Politik identitas banyak menjadi sorotan karena ikut menyebabkan masyarakat terbelah. Dalam Pemilu 2019, politik identitas sangat kuat dimainkan para peserta pemilu. Menjelang peringatan peristiwa 30 September 2020, politik identitas kembali dimainkan.

Di tengah keriuhan politik praktis pada aras makro, ada yang luput dari pengamatan: subordinasi perempuan melalui politik identitas di tingkat komunitas seperti ditunjukkan hasil penelitian Rumah Kitab. Pendekatan populis dilakukan tanpa riuh-rendah, melalui  pendekatan ajaran agama dan daya tarik personal, langsung pada sasaran untuk menarik pengikut.

Wacana inklusif

Seberapa luas paham ini memengaruhi masyarakat, belum terdata.  Akan tetapi, temuan Rumah Kitab memperlihatkan kelompok fundamentalis menyebar di kawasan cukup luas, sebagian memiliki latar belakang yang menunjang munculnya paham fundamentalisme.

Penundukan perempuan melalui domestikasi bernilai strategis. Melalui penugasan perempuan sebagai pengasuh anak-anak, transmisi pemahaman fundamentalisme dapat terjadi langsung.

Dengan bekerja di luar rumah, perempuan memiliki kesempatan bertemu dan membahas berbagai hal yang meningkatkan pengetahuan dan kapasitasnya.

Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi, dalam bukunya Development as Freedom menegaskan pentingnya agensi perempuan dalam pembangunan. Perempuan yang bekerja dan mendapat penghasilan bernilai ekonomi  akan meningkat agensinya. Memiliki penghasilan menaikkan daya tawar perempuan di dalam keluarga untuk terhindar dari kekerasan. Dengan bekerja di luar rumah, perempuan memiliki kesempatan bertemu dan membahas berbagai hal yang meningkatkan pengetahuan dan kapasitasnya. Jika hal buruk terjadi di dalam rumah, perempuan memiliki peluang lebih besar untuk sintas.

Catatan Rumah Kitab dari hasil penelitian ini adalah belum tersentuhnya potensi kekerasan berbasis agama oleh berbagai program kesetaraan jender pemerintah ataupun lembaga nonpemerintah. Wacana keagamaan yang inklusif, toleran, dan interpretasi teks keagamaan yang lebih terbuka perlu dipopulerkan yang mengisi kebutuhan individu dan komunitas terhadap persoalan sehari-hari.

 

Sumber: https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/10/10/suara-yang-tak-terdengar-di-keriuhan/?fbclid=IwAR0tmLuiDI-_H1s1x4MPCGP8V09Wiee-tBIhRNLh25tPOuus7reiudJp_Oo

Rumah KitaB di Mata Gus Ulil

MESKIPUN saya baru satu tahun terakhir berinteraksi secara intensif dengan teman-teman Rumah KitaB, tetapi saya menemukan suatu lingkungan gerakan pemikiran dan aktivisme yang menurut saya cukup stimulatif, lega, dan fresh karena memberikan ruang yang tidak disediakan oleh lembaga-lembaga yang lain.

Tentu saja Rumah KitaB mencakup banyak hal yang cukup impresif dilakukan. Tetapi kalau boleh, saya ingin memberikan usulan ke depan. Pertama, menurut saya, karena karakter yang paling menonjol dari Rumah KitaB adalah produksi pengetahuan, maka sumber daya yang menopang produksi pengetahuan itu harus ditingkatkan dan dipertajam, terutama dalam kerangka metodologis.

Sebenarnya, apa yang dilakukan Rumah KitaB selama ini sudah bagus. Rumah KitaB sudah sukses mengembangkan sejumlah isu, di antaranya tentang perkawinan anak dan CVE. Selain itu yang sangat menarik adalah tentang fikih orientasi seksual. Bagi saya, membuka diskusi mengenai masalah orientasi seksual merupakan suatu terobosan yang belum pernah dilakukan oleh lembaga-lembaga yang lain.

Tetapi menurut saya cakupan isu yang ada itu harus diperluas. Saya melihat percakapan tentang hubungan negara dan agama, bagaimana agama menghadapi kaum minoritas dalam segala bentuknya, juga relasi kekuasaan dalam kehidupan sosial masih sangat penting dan akan selalu diperbincangkan. Dan yang tidak kalah penting adalah mempertajam pendekatannya. Karena itu saya usul agar Rumah KitaB menambah teman yang cakap dalam bidang teori-teori dan analisa-analisa sosial supaya bisa melihat hal-hal yang selama ini terabaikan.

Jadi, cakupan isunya diperluas, tetapi jangan sampai Rumah KitaB sama dengan lembaga yang lain. Karena bagaimana pun Rumah KitaB harus punya karakteristik sendiri. Karakter Rumah KitaB sebenarnya sudah terbentuk, yaitu kajian tekstual Islam klasik. Dan kalau itu diperkaya dengan analisa sosial, tentu akan lebih bagus. Bukan saja berguna untuk advokasi tetapi juga berguna secara akademis sehingga untuk ke depannya Rumah KitaB juga diperhitungkan oleh lembaga-lembaga pemikiran.

Kedua, menyangkut publishing ke luar. Menurut saya, tidak terhindarkan bahwa di Rumah KitaB harus ada satu atau dua orang yang harus sering bicara ke luar dan dikutip di media-media massa. Bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk mencari kemungkinan edukasi publik. Dikutip di media bagi diri sendiri mungkin tidak terlalu penting, tetapi menjadi penting dalam rangka edukasi publik.

Untuk itu diperlukan rencana terstruktur, misalnya, pada momen-momen tertentu dengan sengaja Rumah KitaB mendorong seorang wartawan untuk mewawancarai seorang tokoh di Rumah KitaB yang sudah ditentukan. Tokoh yang disudah ditentukan itu akan berbicara kepada media massa, terutama media massa yang masih dilihat sebagai media massa yang kredibel.

Saya kira perkawinan anak yang beberapa tahun ini menjadi isu garapan Rumah KitaB masih akan menjadi isu yang diminati banyak pihak. Selain itu juga isu mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta isu perkawinan secara umum. Diharapkan, ketika isu-isu ini muncul, mestinya para konsumen yang punya perhatian besar terhadapnya langsung menghubungi Rumah KitaB.

Dalam bayangan saya, kekuatan Rumah KitaB adalah karena menfokuskan diri pada isu-isu yang selama ini dianggap sebagai masalah-masalah private atau keluarga. Dan bagi Rumah KitaB, di dalam masalah-masalah private ini terdapat relasi-relasi kuasa tak adil/timpang yang harus diungkap. Mungkin banyak orang yang sudah membahas masalah-masalah tersebut, tetapi Rumah KitaB punya cara baca dan pendekatan tersendiri yang berbeda dengan yang lain.

Jadi, Rumah KitaB harus lebih banyak lagi bersuara keluar. Rumah KitaB harus menjadi suara yang kredibel di saat masyarakat mendiskusikan masalah-masalah private. Menurut saya ini sangat serius, karena sekarang adalah era pertempuran opini di ruang publik. Di tengah-tengah gejolak konservatisme, radikalisme dan fundamentalisme, suara-suara dari Rumah KitaB perlu muncul lebih keras lagi.

Ketiga, sudah saatnya Rumah KitaB memikirkan soal kaderisasi pemikir. Karena terus terang, salah satu krisis yang meresahkan saya adalah krisis pemikiran di kalangan mahasiswa. Sekarang sudah tidak ada lagi forum-forum studi pemikiran. Kalau kita lihat mahasiswa-mahasiswa di era sekarang, mereka hanya kuliah, menjadi doktor hingga profesor, lalu mendapatkan gaji yang lumayan, tetapi tidak ada dari mereka yang terlibat di dalam dinamika pemikiran yang pernah kita alami di era tahun 1980 – 1990-an.

Menurut saya keberadaan semacam pesantren yang di dalamnya Rumah KitaB bisa melakukan workshop atau training intensif bagi anak-anak mahasiswa semester 1 atau 2 untuk membangun kader-kader baru. Saya khawatir, kalau Rumah KitaB tidak segera membangun kader-kader baru, isu-isu yang sudah mulai menggema beberapa tahun belakangan ini akan surut, dan kita menjadi semakin tidak bisa bicara, karena kita ini sebenarnya adalah sisa-sisa masa keemasaan ketika dinamika intelektual masih berjalan cukup baik.

Sekarang kita mengalami kemiskinan institusi yang bisa melahirkan kelompok-kelompok pemikir. Perguruan-perguruan tinggi yang ada saat ini memang semakin bagus dari segi lembaga dan birokrasinya, tetapi tidak bisa melahirkan sarjana-sarjana yang pemikir. Kalau kita tidak segera berbuat sesuatu, keadaan ini akan sangat berbahaya.

Diakui atau tidak saat ini kita berhadapan dengan semakin konservatifnya ruang sosial. Dan problem yang kita hadapi sampai sekarang yang masih belum berubah dari sejak 10 – 20 tahun yang lalu adalah bahwa kita selalu mengeluh melihat keberadaan kelompok-kelompok radikal. Karena mereka sangat kreatif menciptakan gerakan-gerakan kecil di lapangan atas inisiatif mereka sendiri tanpa adanya funding manapun. Inilah yang tidak kita punyai, yaitu kemampuan menciptakan gerakan yang bertumpu pada inisiatif masyarakat sendiri.

Tetapi daripada selalu mengeluh, Rumah KitaB perlu segera membangun lapisan sosial—walaupun tidak besar—yang menjadi komunitas Rumah KitaB di luar komunitas elit yang biasa berdiskusi di kantor Rumah KitaB. Jadi, pelan-pelan Rumah KitaB merekrut generasi baru dari kalangan anak-anak muda untuk dilatih menjadi komunitas epistemik. Konten pelatihannya adalah hasil-hasil penelitian Rumah KitaB untuk disosialisasikan kepada mereka semberi diajari mengenai analisa sosial.[Roland]

KETUA PP MUHAMMADIYAH, PROF. DR. H. SYAFIQ ABDUL MUGHNI DUKUNG TEMUAN RISET RUMAH KITAB UNTUK CEGAH KAWIN ANAK

Guna menyampaikan hasil riset dan mendapatkan akses ke forum  kajian  keagamaan di lingkungan Muhammadiyah,  Kamis, 31 Januari 2019, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) beraudiensi dengan pengurus PP Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah. Audiensi diterima oleh Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Syafiq Mughni, MA. Ph. D yang didampingi Bidang Dakwah dan Pelayanan Sosial PP Muhammadiyah. Dalam pertemuan itu hadir Lia Marpaung dari AIPJ selaku mitra kerja Rumah KitaB dalam upaya pencegahan perkawinan anak.  Lies Marcoes, selaku pimpinan audinesi dan koordinator riset Rumah KitaB  menyampikan empat butir  tujuan audiensi; sosialisasi hasil riset soal kawin anak yang diharapkan dapat menjadi basis kajian di lingkungan PP Muhammadiyah/Aisyiyah, permohonan dukungan untuk pencegahan kawin anak melalui pemberdayaan mubaligh/mubalighat dan pimpinan organisasi Muhammadiyah/Aisyiyah di wilayah Rumah KitaB bekerja,  permohonan mengakses lembaga  kajian yang menghasilkan keputusan tarjih untuk mensosialisasikan hasil kajian kawin anak utamanya tentang perlunya perlindungan kepada anak dan perempuan, serta kesediaan  lembaga kajian di lingkungan Muhammadiyah/Aisyiyah  untuk mengkaji secara metodologis hadits-hadits yang telah digunakan oleh para pendukung perkawinan anak  sebagai legitimasi tindakan mereka.

Terkait penelitian perkawinan anak, Rumah KitaB menggarisbawahi perlunya dukungan Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk penguatan tokoh formal dan non-fornal dalam jaringan organisasi ini mengingat mereka merupakan bagian dari garda terdepan dalam pencegahan perkawinan anak. Dalam konteks ini, Rumah KitaB meminta secara khusus dukungan di wilayah kerja Rumah KitaB antara lain di Jakarta Utara, Cirebon Kota, Makassar serta Jawa Barat, NTB dan Madura.

Dalam pandangan Rumah KitaB, sebagaimana dihasilkan riset, tokoh agama dan tokoh masyarakat memiliki posisi strategis dalam usaha penghentian praktik perkawinan anak di Indonesia. Penghentian perkawinan anak, secara signifikan dapat mengatasi masalah yang ditimbulkannya yaitu putus sekolah, kemiskinan akut perempuan, kesehatan, seperti kematian ibu dan bayi, stunting (gagal tumbuh), keterputusan akses administrasi kewarganegaraan yang berdampak pada permasalahan hukum.

Dalam pertemuan ini Profesor Syafiq, selaku Ketua PP Muhammadiyah, bersetuju untuk melakukan kajian teks-teks hadits yang telah digunakan sebagai legitimasi perkawinan anak seperti hadits yang meriwayatkan usia Aisyah  RA dengan Nabi saw. Menurutnya sangat penting melakukan kajian berdasarkan konteksnya, dan hadits tersebut harus dibaca secara keseluruhan dengan hadits-hadits Nabi Saw dalam cara dan tindakan Nabi Saw. memperlakukan perempuan dan anak. Profesor Syafiq menambahkan bahwa perkawinan anak berdasarkan riset yang dilakukan Rumah KitaB dan lembaga-lembaga riset lainnya  terbukti telah memunculkan dampak negatif terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan hukum. “Kawin anak lebih banyak memunculkan mudharat dari pada manfaat”. Karenanya riset serupa itu menurut beliau  dapat dipakai untuk upaya pencegahan perkawinan anak. Ketua PP Muhammadiyah ini bersetuju program-program untuk keluarga seperti program Keluarga Sakinah di lingkungan Muhammadiyah perlu memerhatikan isu-isu terbaru yang terkait dengan keluarga, perempuan, dan anak. Dalam akhir kunjungan ini PP Muhammadiyah mengundang dengan tangan terbuka bagi Rumah KitaB untuk mengakses lembaga tarjih guna mensosialisasikan hasil penelitian dan kajian seperti Fikih Kawin Anak. [Hilmi/Lies Marcoes]

Lies Marcoes: Aktivis Perempuan Islam yang Peduli Kesetaraan Gender

Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempuan. Makanya, Lies menilai kaum hawa dan Islam adalah dua elemen yang tak terpisahkan untuk diperjuangkan.

tirto.id – Nama Lies Marcoes Natsir tak pernah absen dari perbincangan soal wacana dan gerakan perempuan Islam. Ia disebut sebagai salah satu ahli Indonesia di bidang gender dan Islam. Lies berperan merintis gerakan kesetaraan gender dengan menjembatani perbedaan antara feminis muslim dan sekuler. Selain itu, ia juga mendorong kaum feminis untuk bekerja mewujudkan kesetaraan gender di bawah Islam.

Lies aktif berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon. Organisasi tersebut memiliki sejumlah agenda kegiatan yang berbasiskan pada visinya memproduksi pemikiran kritis tentang keislaman Indonesia dan perubahan sosial yang berpihak pada kaum marjinal. Saat ini, Lies didapuk menjadi direktur eksekutif Rumah KitaB.

Menurut Neng Dara Affiah dalam Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017), Lies Marcoes Natsir termasuk aktor penggerak organisasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Hal ini dikarenakan Lies menjadi pencetus lahirnya program fiqh-an-Nisa di LSM yang aktif mempromosikan kesehatan reproduksi perempuan dan wacana Hak Asasi Manusia pada komunitas muslim tersebut.

Fiqh-an-Nisa fokus membahas teologi perempuan dengan mengembangkan isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. Neng Dara Affiah menjelaskan advokasi hak-hak perempuan dikembangkan melalui fiqh-an-Nisa dengan target kelompok yang disasar meliputi juru dakwah (muballigoh), guru agama (ustadzah), pengasuh pondok pesantren, dan organisasi perempuan Islam. Tapi kalangan pesantren menjadi sasaran utama kegiatan program itu.

Perhatian Lies pada Islam dan gender tak lepas dari latar belakang keluarga dan minatnya pada ilmu sosial. Lies tumbuh di kota Banjar, Jawa Barat bersama orang tua dan sembilan saudaranya. Ibu Lies adalah anggota Aisyiyah, kelompok sayap perempuan Muhammadiyah. Sementara itu, sang ayah datang dari keluarga Islam tradisional tapi kemudian turut berkecimpung di kegiatan Muhammadiyah.

Pada tahun 1978, Lies memutuskan merantau ke Jakarta untuk kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Ia kemudian melanjutkan studi magisternya di bidang Antropologi Kesehatan di University of Amsterdam. Selama itu, Lies berkenalan dengan peneliti dan aktivis yang turut mendorongnya belajar lebih jauh tentang gender dan feminisme. Sosok-sosok tersebut adalah Martin van Bruinessen (peneliti Indonesia dari Belanda) dan aktivis perempuan seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.

Islam, Perempuan, dan Kesetaraan Gender

Menurut Lies, perempuan dan Islam adalah dua hal yang tidak dipisahkan. Ia mengatakan bahwa Islam yang tumbuh di dalam tradisi budaya Indonesia berbeda dengan Islam di wilayah lain seperti Afrika atau Afghanistan. “Islam di Indonesia tumbuh dalam dua keping lahan saya kira. Satu, perlawanan terhadap kolonialisme yang Islamnya menjadi Islam kiri karena perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Nah yang kedua, culture Indonesia walaupun dari masyarakat agraris, masyarakat pedagang, masyarakat kelas yang dipengaruhi oleh kolonialisme jadi elite sekuler, itu memberi ruang, tempat, posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain,” kata Lies kepada Tirto.

Islam di Indonesia, lanjut Lies, adalah Islam jalan tengah atau moderat yang cukup memberi ruang pada pemahaman yang inklusif. Makanya, kesempatan perempuan untuk eksplorasi dan berkiprah di ruang publik cukup besar. Hal ini didukung pula oleh kultur masyarakat Indonesia yang memberi tempat terutama di sektor informal bagi perempuan.

Di era demokrasi, gabungan antara pengalaman masa lalu, Islam moderat, dan kultur orang Indonesia mampu menjadikan perempuan sebagai penentu arah Islam di masa depan. “Kalau perempuannya terdidik, kalau perempuannya memperoleh ruang-ruang yang baik untuk menginterpretasikan bagaimana mereka memaknai teks suci misalnya itu sebetulnya luar biasa,” ujar Lies.

Tapi, Lies tak memungkiri bahwa agama kerap menjadi pembenaran tindakan kekerasan pada perempuan. Selain itu, posisi mereka terkadang terpinggirkan ketika berhadapan dengan agama. “Kenapa bisa begitu, [karena] perempuan kemudian menjadi elemen yang dikontestasikan sebagai bagian dari demokrasi dan dukungan politik,” katanya.

Lies mencontohkan soal gagasan perempuan tidak boleh memimpin di mana ide itu muncul ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Pada waktu itu, semua orang kembali ingat pada pandangan konvensional yang bersumber dari hadis yang mengatakan sebuah negara akan hancur jika dipimpin perempuan. “Faktanya perempuan bisa di ruang publik, memimpin, jadi hakim bisa. Tapi begitu perempuan ada peluang untuk bisa menjadi pemimpin tiba-tiba orang ingat teks dan itu dikuatkan terus,” jelasnya.

Kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada saat itu tapi juga masa kini. Lies berkata Indonesia sekarang tengah berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. “Padahal sebelumnya kan enggak begitu, masyarakat konteks. Nah, masyarakat teks dengan kepentingan politik yang kawin dengan masyarakat teks internasional, transnasional, dan fundamentalisme kemudian melahirkan ide merumahkan perempuan, menganggap perempuan harus dikerudungi, dan ruang publik bukan ruang perempuan,” terangnya.

Menurut Lies, isu paling besar saat ini yang membutuhkan kerja sama di antara para aktivis perempuan Islam adalah penerimaan perempuan secara riil di ruang publik. Selain itu, problem yang dihadapi perempuan akibat kondisi sosiokultural dan perubahan ekonomi juga patut menjadi perhatian. Salah satu persoalan yang harus menjadi agenda bersama adalah naiknya angka perkawinan anak.

Lies berkata masalah perkawinan anak selama ini kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal, ia menilai aspek hukum hanya puncak persoalan sedangkan problem lain yang justru menjadi penyebab utama tak ditangani.

“Jadi itu kan ada persoalan kultural, perpecahan keluarga ekonomi sejak tanah itu hilang di desa orang migrasi itu perempuan yang paling kena, ada persoalan adat, ada persoalan korupsi, ada persoalan interpretasi agama, ada persoalan hubungan kota dan kampung, itu gede banget isunya. Tapi kemudian direduksi, itu problem. Artinya problemnya adalah problem intelektual dalam membaca realitas,” kata Lies. Permasalahan intelektual tersebut, menurut Lies, dipengaruhi oleh munculnya masyarakat teks tadi.

Upaya memperbaiki kualitas kehidupan perempuan pun wajib diusahakan sebab cita-cita Islam adalah kesetaraan. “Kelas, warna kulit, gender, situasi status sosial, itu kan yang terus diperjuangkan oleh nabi jadi harapannya ke arah sana, menuju ke arah nilai-nilai universal,” ujar Lies.

Lies berkata masyarakat pra-Islam hanya mengenal laki-laki dan tidak merekognisi perempuan. Ketika Islam berkembang, baik Al-Quran maupun hadis meletakkan perempuan secara setara tapi tetap berkiblat pada laki-laki.

“Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya. Jadi selalu ruang itu, terutama ruang publik, perempuan kalau dari ruang domestik ke ruang publik itu kayak penumpang gelap, kadang-kadang diterima, kadang-kadang enggak. Tapi apa sebenarnya cita-cita Islam itu menuju ke kesetaraan,” jelas Lies.

Sumber: https://tirto.id/lies-marcoes-aktivis-perempuan-islam-yang-peduli-kesetaraan-gender-cL45

Persoalan di Balik Tingginya Angka Perkawinan Anak Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia — Pernikahan pasangan remaja siswa SMP Bantaeng, Syamsudin (15) dan Fitra Ayu (14) membuat heboh beberapa waktu terakhir. Pernikahan ini menambah deretan pernikahan anak yang jadi sorotan nasional.

Dari sejumlah data, angka perkawinan anak di Indonesia tercatat masih tinggi. Berdasarkan data dari Unicef, State of The World’s Children tahun 2016, perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia. Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2015 menunjukkan perkawinan anak usia 10-15 tahun sebesar 11 persen. Sedangkan perkawinan anak usia 16-18 tahun sebesar 32 persen.

Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia ini menurut Arskal Salim, Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, dipengaruhi oleh sejumlah faktor, dari mulai latar belakang pendidikan, ekonomi, sosiokultural, dan agama. Arskal menyampaikan hal itu dalam Seminar Nasional Program Berdaya yang digelar Rumah Kita Bersama, di Jakarta pada Selasa (24/4). 

Faktor pendidikan

Menurut Arskal Salim, orangtua anak yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk menikahkan anak sebelum usia 18 tahun. Kurangnya pendidikan terhadap kesehatan organ reporoduksi atau kurangnya pendidikan seksual juga menyebabkan perkawinan anak. Lebih jauh, pendidikan yang kurang membuat remaja rentan terhadap kehamilan sebelum menikah.

Faktor ekonomi

Pendapatan atau ekonomi yang rendah membuat angka perkawinan anak meningkat. Orang tua dengan pendapatan yang rendah cenderung akan menikahkan anaknya karena dianggap akan meringankan beban ekonomi.

“Banyak orang tua yang merasa, dengan menikahkan anaknya mereka menjadi terbantu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan sudah ada yang memberi nafkahi anaknya, jadi bukan tanggung jawab mereka lagi sebagai orang tua,” ungkap Ir. Dina Nurdiawati M Sc peneliti dari IPB yang memaparkan survei Indeks Penerimaan Kawin Anak.

Faktor sosiokultural

Indonesia yang memiliki beragam budaya juga melatarbelakangi terjadinya perkawinan anak. Pandangan mengenai perawan tua masih sering menjadi ketakutan bagi banyak orang, sehingga menikahan anak dengan usia yang sebelumnya dianggap menjadi solusi.

Budaya perjodohan juga masih kerap kali dilakukan oleh para orang tua. Perjodohan tersebut membuat anak tidak bisa menolak sehingga terjadi perkawinan anak. Beberapa budaya di Indonesia juga melakukan perkawinan anak karena nilai mahar. Nilai mahar yang tinggi membuat banyak orang merasa tergiur dan akhirnya menikahkan anaknya. Lingkungan sosial yang terpengaruh dengan budaya dari luar juga membuat anak mengalami seks bebas dan akhirnya menyebabkan kehamilan.

Faktor agama

Pernikahan anak yang marak juga dipengaruhi oleh faktor agama. Beberapa kelompok agama tertentu beranggapan menikah diusia muda menjadi hal yang wajar. Pernikahan tersebut juga dilakukan untuk menghindari zina.

Anak yang telah beranjak remaja kerab menjalin hubungan dengan lawan jenis. Agar tidak dianggap zina maka sebaiknya segera menikah. Selain itu, hal tersebut juga dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran kehamilan di luar nikah.

Sementara, di luar itu, Indonesia memiliki peraturan hukum yang mengatur mengenai perkawinan. Menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974 usia seseorang untuk menikah minimal 21 tahun. Namun juga ada dispensasi, jika menikah dengan seijin orang tua anak perempuan boleh menikah ketika berumur diatas 16 tahun dan anak laki-laki di atas 19 tahun. Perkawinan di Indonesia ini juga masih bisa dilakukan tanpa batas usia minumum jika dengan permohonan dispensasi atau pengecualian.

Lies Marcoes-Natsir, Direktur Rumah Kita Bersama (KitaB) menuturkan temuan di lapangan memetakan kelompok yang mendukung dan menolak kawin anak, serta menunjukkan pentingnya konsistensi kebijakan dalam melarang praktik kawin anak.

“Kebijakan yang tidak konsisten, ditambah nilai sosial budaya yang permisif, menimbulkan tantangan bagi pihak-pihak di masyarakat yang berupaya mencegah kawin anak,” ujarnya menambahkan, seperti disampaikan rilis resmi Rumah KitaB.

Melalui program Berdaya, Rumah KitaB meluncurkan tiga buku hasil temuan mereka, yang diberi judul: “Kawan & Lawan Kawin Anak: Catatan Asesmen Program Berdaya di Empat Daerah”, “Mendobrak Kawin Anak – Membangun Kesadaran Kritis Pencegahan Kawin Anak”, dan “Maqashid al Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam.”

Dampak perkawinan anak

Selain mengulik persoalan di baliknya, perkawinan anak juga memberi dampak yang patut jadi perhatian bersama. Data dari United Nation Children Fund, mengatakan perkawinan anak akan menyebabkan komplikasi saat kehamilan dan melahirkan. Hal tersebut merupakan penyebab terbesar kedua kematian pada anak perempuan berusia 15-19 tahun.

Selain itu, bayi yang terlahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun memiliki peluang meninggal sebelum usia 28 hari. Perempuan yang menikah pada usia anak juga lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Di Indonesia sendiri perkawinan pada usia anak akan menyebabkan anak perempuan memiliki peluang empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan pendidikan menengah. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga menurun. Perkawinan anak di Indonesia diestimasikan menyebabkan kerugian ekonomi 1,7 persen dari PDB.

Maraknya perkawinan anak ini bisa dicegah dengan melakukan berbagai upaya. Dina juga menjelaskan, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menolah perkawinan usia anak. Hal tersebut juga dapat terwujud dengan kerjasama bersama lembaga informal seperti keluarga, komunitas, dan lembaga keagamaan juga lembaga formal seperti sekolah, lembaga kesehatan, pemerintah dan sebagainya. (rah)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180425133623-282-293415/persoalan-di-balik-tingginya-angka-perkawinan-anak-indonesia

Mencegah Perkawinan Anak

Pagi ini menghadiri seminar tentang pencegahan perkawinan anak yang diselenggarakan oleh Rumah Kitab, lembaga yang diasuh oleh Mbak . Praktek perkawinan anak masih cukup luas di masyarakat, antara lain karena faktor kemiskinan dan pendidikan yang rendah.

Pada Tahun 2017, persentase perkawinan anak di Indonesia mencapai sekitar 25%. Artinya, seperempat perkawinan yang berlangsung di negeri ini adalah perkawinan antara pasangan yang belun mencapai usia minimal yang diatur oleh UU. Biasanya, sebagian besar korban perkawinan anak ini adalah kaum perempuan.

Yang disebut “perkawinan anak”, kalau memakai UU Perkawinan adalah perkawinan di mana salah satu pasangan atau keduanya berumur di bawah 16 tahun untuk perempuan, dan 19 tahun untuk laki-laki. Meskipun, jika kita memakai UU Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun.

Perkawinan anak harus dicegah karena perkawinan dini semacam ini akan merampas anak-anak, terutama anak perempuan, dari kemungkinan meraih masa depan yang lebih baik. Selain, perkawinan anak mempunyai dampak kesehatan bagi anak dan perempuan.

Dengan memakai bahasa fikih, perkawinan anak mengandung “mafsadah” atau dampak negatif yang besar, karena itu harus dicegah. Meskipun perkawinan anak ini tidak mudah untuk dicegah karena sejumlah faktor yang kompleks. Ada faktor ekonomi yang jelas punya pengaruh besar. Ada faktor kultural juga: persepsi masyarakat yang memandang kawin anak sebagai hal normal.

Tantangan pencegahan perkawinan anak menjadi lebih besar lagi karena saat ini ada gerakan anti-pacaran. Gerakan semacam ini bisa berdampak pada naiknya angka perkawinan anak, terutama jika prinsip yang dianut adalah: mending kawin cepat daripada pacaran. [Ulil Abshar Abdalla]

Perkawinan Anak Terus Muncul, Pemerintah Diminta Dialog dengan Ulama

Jakarta – Perkawinan anak terus muncul dari tahun ke tahun. Peneliti hukum keluarga, Arskal Salim, menganggap perkawinan anak merupakan persoalan yang tak mudah diselesaikan.

“Ini kan masalah dari tahun ke tahun muncul. Kita hampir tidak tahu mengatasinya karena terus terjadi dengan berbagai alasan-alasan. Tapi yang pasti itu akibatnya jelas sekali ada ekonomi, pendidikan, sosial itu jelas sekali menurun. Karena itu, ini bagian upaya lembaga masyarakat dan pemerintah untuk mencoba mengatasi masalah ini,” kata Arskal di Hotel Crowne, Jl Gatot Subroto, Semanggi, Jakarta Selatam, Selasa (24/4/2018).

“Ini tidak bisa dibiarkan tapi kita tahu ini tidak mudah diselesaikan,” sambung Arskal yang juga Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama ini.

Arskal mengatakan, dalam hukum Islam, lebih tepatnya fikih, tidak ada batasan umur untuk menikah. Dan hal itu masih diyakini oleh sebagian ulama di Indonesia.

Hal ini yang masih menjadi pertentangan terkait usia pernikahan bagi perempuan. Kendati begitu, kata Arskal, perempuan yang nikah di bawah 18 tahun (kawin anak) dapat berdampak buruk pada masyarakat itu sendiri.

“Fikih klasik yang kita bisa lihat di berbagai buku itu menyebutkan tidak ada batas hukum menikah atau sudah balig lah. Nabi Muhammad saat menikahi Aisyah saat itu masih sangat muda dan banyak pemuka agama sangat concern dengan hal ini,” kata Arskal.

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, Arskal Salim

“Ada ulama di Aceh saat itu kita teliti (ulama itu) mengatakan kita ingin menjaga suatu sejarah yang sebetulnya itu sudah terjadi berabad-abad lalu. Inilah pandangan dari para sebagian ulama menjaga marwah ini. Inilah yang upayanya mentok di sini,” ungkapnya.

Arskal mengatakan harus ada diskusi antara pemerintah dan ulama untuk mencari solusi. Dia mengambil contoh soal cara Gubernur NTB TGB Zainul Majdi yang membagikan edaran soal usia nikah baik laki-laki maupun perempuan minimal 21 tahun.

“Yang pasti bahwa pendekatan hukum memang penting tapi tidak selamanya pendekatan hukum jadi penting. Yang paling penting di luar pendekatan hukum itu pendekatan budaya untuk meyakinkan bahwa masyarakat menjadi lebih baik, masyarakat harus menghadapi permasalahan ini termasuk perkawinan anak,” ujar Arskal.

Di lokasi yang sama, Direktur Rumah Kitab, Lies Marcoes Natsir mengatakan dari data Unicef tahun 2016 di Indonesia, ada 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun. Perempuan yang menikah pada usia anak juga lebih rentan terhadap KDRT.

Kendati begitu, terkait agama Islam atau fikih islam, Lies mengatakan seharusnya masyarakat Indonesia mengedepankan UU Perkawinan di Indonesia karena UU itu dibuat juga berdasarkan ajaran agama Islam. Lies mengatakan UU Perkawinan di Indonesia sudah baik dengan menerapkan pasal 6 jika pernikahan laki-laki maupun perempuan harus berusia minimal 21 tahun.

“Patuhi UU perkawinan karena itu sumbernya dari ajaran agama, jangan menyimpang dari itu karena kita negara hukum. Jangan karena ada di hukum fikih lalu kemudian menggunakan hukum fikih. Kalau sudah diatur negara ya yang fikih harus dianulir terkait perkawinan ini,” kata Lies.

“Memang benar dalam islam dikatakan akhir balik itu tubuh tapi dalam islam juga disebut akil balig itu kedewasaan berpikir,” sambungnya.

Selain seminar dengan keynote speech, Arskal Salim, Rumah Kitab juga luncurkan tiga buku terkait pencegahan kawin anak. Tiga buku itu berjudul Mendobrak Kawin Anak, Kawan & Lawan Kawin Anak, dan Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam.

Source: https://news.detik.com/berita/3987763/perkawinan-anak-terus-muncul-pemerintah-diminta-dialog-dengan-ulama

Sabda Hikmah (4): The Power of Husnu Zhan

Oleh. Mukti Ali Qusyairi

The Power of Husnu Zhan. Prasangka, curiga, sakwasangka, ilusi, delusi, dan imajinasi bersarang dalam lubuk hati. Sering kali prasangka mengombang-ambing arah hidup kita. Prasangka sering kali juga menentukan realitas kita. Keberadaannya sangat halus tapi menggerakkan segala hal yang besar.

Takut dan berani juga bersumber dari prasangka. Takut terkadang berasal dari prasangka yang berlebihan atas apa yang dipersepsikan akan mengancam: bisa mengancam eksistensi, posisi, jabatan, penghasilan/rizki, atau nyawa. Takut dibangun dan ditumbuhkan oleh prasangka. Menjadikan psikologi manusia serba curiga, tidak mudah percaya pada orang lain, suuzhan, dan pesimis.

Takut miskin menjadikan orang rakus. Padahal sekor anak burung bertanya kepada induknya; “lbu kenapa sisa makanannya tidak dibawah pulang buat besok?” Induknya menjawab: “tidak usah nak, biarkan saja buat teman-teman kita yang belum makan. Percayalah kepada ibu, bahwa rezeki kita untuk besok sudah dijamin oleh Tuhan. Kita tidak perlu mencontoh manusia yang rakus yang selalu memikirkan hari esok padahal hidupnya belum tentu sampi hari esok”.

Orang bisa rakus dan memakan hak orang lain, terkadang karena takut tidak dapat memenuhi keinginan dan ambisi serta gengsi anaknya. Induk seekor burung dapat meyakinkan kepada anaknya tentang pwntingnya menahan diri agar tidak tamak pada rizki dan melawan perasaan takut miskin. Sedangkan manusia seringkali kalah oleh keinginan dan ambisi anaknya sendiri.

Begitu juga berani terkadang dari prasangka yang membangun optimisme dan mencoba terus ada harapan dengan tanpa merugikan orang lain.

Dalam hadits qudsi dikatakan, “ana ka-‘inda dzhanni ‘abdiy biy” (Aku sebagaimana prasaka dan persepsi hambaKu kepadaKu). Karena itu, baik sangka (husnuzhan) kepada (ketetapan) Tuhan adalah kekuatan bagi kita untuk membangun peradaban yang baik. Teruslah baik sangka kepada Tuhan sembari baik pikiran dan baik perbuatan, maka kita akan dapat menciptakan kehidupan berbagai aspeknya yang baik.

Jakarta, 31 Maret 2018.