Pos

Tantangan Perempuan Disabilitas Berhadapan dengan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan masalah yang amat kompleks di seluruh dunia. Namun, perempuan disabilitas sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar, terutama saat ingin melaporkan dan mencari keadilan.
Keheningan mereka, yang sering kali diartikan sebagai ketidakmampuan untuk berbicara atau melaporkan kekerasan yang dialami, justru menjadi pemicu penderitaan yang lebih mendalam.
Dalam banyak kasus, perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual, terutama ketika berada di sebuah institusi seperti panti sosial, sering terabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya.

Rentannya Perempuan Disabilitas terhadap Kekerasan Seksual

Perempuan dengan disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan perempuan non-disabilitas. Penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017) menunjukkan bahwa perempuan disabilitas dua hingga tiga kali lebih rentan terhadap kekerasan seksual. Salah satu alasan utama adalah karena kesulitan mereka untuk melawan atau melaporkan peristiwa kekerasan yang terjadi, baik karena keterbatasan fisik, kesulitan berkomunikasi, atau ketidakpahaman mereka tentang hak-hak mereka.
Namun, selain faktor tersebut, stigma sosial dan diskriminasi juga menjadi alasan perempuan disabilitas lebih sulit untuk berbicara mengenai pengalaman mereka. Keheningan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkan diri, tetapi juga oleh ketakutan akan reaksi negatif dari masyarakat atau ketidakmampuan sistem hukum untuk memberikan perlindungan yang memadai. Hal ini menjadi semakin jelas ketika perempuan disabilitas berada di dalam panti sosial, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, tetapi justru sering kali menjadi lokasi di mana kekerasan seksual sangat rentan terjadi.

Dua Kasus Kekerasan Seksual di Panti

Dua insiden kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial di Indonesia menggambarkan dengan jelas tantangan yang dihadapi perempuan disabilitas dalam mencari keadilan. Berikut adalah dua contoh nyata yang memperlihatkan betapa seriusnya masalah ini.

Kasus 1: Kekerasan Seksual di Panti Sosial Jakarta (2021)
Pada tahun 2021, sebuah kasus kekerasan seksual melibatkan seorang perempuan dengan disabilitas intelektual di sebuah panti sosial di Jakarta. Perempuan tersebut, yang tidak dapat berbicara dan memiliki keterbatasan kognitif, menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang staf panti. Korban tidak mampu mengungkapkan apa yang terjadi, dan keheningannya membuat kasus ini sulit terungkap pada awalnya.
Kasus tersebut baru terbongkar setelah beberapa saksi melaporkan kejadian tersebut. Meskipun pelaku akhirnya ditangkap, korban masih menghadapi berbagai hambatan dalam proses hukum karena keterbatasan komunikasi dan bukti yang tidak cukup.

Kasus 2: Kekerasan Seksual di Panti Sosial Bengkulu (2022)
Pada tahun 2022, seorang perempuan dengan disabilitas pendengaran dan komunikasi menjadi korban kekerasan seksual di salah satu panti sosial di Bengkulu.
Kasus ini cukup menggemparkan karena korban, yang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara verbal, sulit untuk mengungkapkan apa yang terjadi padanya. Keheningan dan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan lancar membuat kejadian ini baru terungkap ketika seorang petugas panti yang baru mulai bekerja melihat adanya tanda-tanda kekerasan pada korban dan melaporkannya kepada pihak berwenang. Namun, meskipun sudah dilaporkan, proses hukum berjalan lambat karena keterbatasan alat bukti dan hambatan dalam berkomunikasi dengan korban.
Kasus ini menyoroti kurangnya dukungan dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, serta menunjukkan pentingnya peningkatan kapasitas petugas hukum dalam menangani situasi serupa.

Kesulitan dalam Mendapatkan Keadilan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan disabilitas dalam kasus kekerasan seksual adalah kesulitan mereka dalam mengakses sistem hukum.
Sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, sering kali tidak dirancang dengan memperhatikan kebutuhan khusus bagi perempuan disabilitas. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-hak mereka atau merasa takut melapor karena khawatir tidak akan dipercayai atau malah disalahkan.
Proses hukum yang panjang dan penuh hambatan ini seringkali tidak memberikan ruang bagi perempuan disabilitas untuk mendapatkan keadilan. Terlebih lagi, banyak kasus yang melibatkan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk memberikan kesaksian yang kuat, hambatan fisik dalam mengakses lembaga hukum, serta ketidakpahaman aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan mereka.

Upaya Perlindungan Hukum untuk Perempuan Disabilitas

Reformasi sistem hukum dan penguatan lembaga sosial sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada perempuan disabilitas. Penyuluhan tentang hak-hak mereka harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun di institusi pendidikan.
Di sisi lain, petugas hukum dan lembaga panti sosial juga harus diberikan pelatihan khusus untuk dapat menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan disabilitas dengan sensitif.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa sistem pelaporan kekerasan seksual bagi perempuan disabilitas lebih mudah diakses dan inklusif. Dengan adanya layanan hukum yang lebih peka terhadap kebutuhan perempuan disabilitas, mereka dapat lebih mudah melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas harus dioptimalkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik, serta memastikan bahwa perempuan disabilitas mendapat keadilan yang mereka butuhkan.

Kesimpulan

Keheningan yang menjadi penderitaan bagi perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual adalah bukti nyata bahwa ketidakadilan masih ada dalam masyarakat kita. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial menggambarkan bagaimana perempuan disabilitas sering terabaikan, baik dalam sistem hukum maupun dalam perlindungan sosial. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengubah sistem yang ada, agar perempuan disabilitas dapat mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh keadilan tanpa harus menghadapi hambatan yang tidak perlu. Kita harus terus berjuang untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil bagi semua perempuan, termasuk mereka yang disabilitas.

Referensi:
World Health Organization. (2017). “Violence Against Women Prevalence Estimates, 2018.” Geneva: WHO.
Pemerintah Republik Indonesia. (2016). “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.”
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2020). “Laporan Tahunan: Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia.”

Menakar Suara Perempuan Cianjur Pasca Pilkada

Tahun 2024 merupakan pengalaman pertama Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum secara serentak, mencakup pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah.

Pada 27 November 2024, rangkaian pemilu serentak telah berakhir, dan pada 15 Desember lalu telah diumumkan hasil final perolehan suara. Mulai bermunculan wajah-wajah baru para pemenang pilkada, seperti Pramono Anung dan Rano Karno di Pilgub Jakarta, Dedi Mulyadi dan Erwan di Pilgub Jawa Barat, serta Andra Soni dan Dimyati Natakusumah di Pilgub Banten.

Para kontestan di Pilpres, Pileg, maupun Pilkada memperebutkan suara yang tersedia di DPT Nasional sejumlah 204,8 juta, di mana setengahnya adalah suara perempuan. Di Jawa Barat, DPT tahun 2024 mencapai 35 juta lebih, sementara DPT Kabupaten Cianjur berjumlah 1,8 juta lebih. Suara perempuan menempati 50 persen dari total DPT Nasional, termasuk di Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur.

Selama kepemimpinan Bupati Herman Suherman, Cianjur telah berupaya membangun infrastruktur hukum yang berpihak pada perempuan dan telah berkomitmen mengimplementasikan Revisi UU Perkawinan 16/2019 melalui pengesahan Peraturan Bupati Cianjur Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pencegahan Kawin Anak pada 12 Maret 2020. Regulasi tersebut didorong oleh PHC dan Rumah KitaB atas dukungan Program Berdaya 2 Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) 2.

Pemerintah Kabupaten Cianjur juga telah memperluas kehadiran Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), bahkan hingga ke wilayah pedesaan di Cianjur Selatan. Berbagai pelatihan telah dilakukan sejak 2017 hingga 2023 bersama Rumah KitaB untuk perlindungan anak, pencegahan kawin anak, dan penguatan kelembagaan PATBM di Cianjur. Tidak hanya PATBM, Rumah KitaB juga memfasilitasi diskusi pemberdayaan perempuan dalam wacana keagamaan yang melibatkan para tokoh agama dan pemangku kepentingan pesantren di Cianjur. Selain itu, mereka melatih para santri dalam peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi dengan menghadirkan perwakilan Forum Anak Cianjur.

Selain Rumah KitaB, lembaga lain yang bekerja dalam isu perlindungan perempuan dan anak adalah Jaringan Pekka, yang secara konsisten melakukan pemberdayaan terhadap perempuan kepala keluarga, serta IJRS dan LBH yang memberikan pendampingan hukum terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum, khususnya mereka yang tengah memperjuangkan hak-hak pascacerai (hak asuh, nafkah pengasuhan anak, dan hak pendidikan anak), yang sering diabaikan.

Artinya, program perlindungan anak dilakukan secara paralel dengan program pemberdayaan perempuan dan penguatan pendamping perempuan berhadapan dengan hukum untuk mengoptimalkan perjuangan keadilan gender di Cianjur.

Namun, masih terdapat tantangan dalam implementasi regulasi perlindungan anak di Cianjur. Diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan dan anak, seperti KDRT, TPPO melalui kawin kontrak, masih sering terjadi. Salah satu kasus pada April 2024 melibatkan pelaku perempuan berinisial RN dan LR, dengan puluhan korban perempuan dan anak serta tarif antara Rp30 juta hingga Rp100 juta, selain perkawinan siri yang melibatkan argumentasi keagamaan.

Menurut data Kemen-PPPA, partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih sangat rendah. Namun, partisipasi perempuan dalam pekerjaan nonformal sangat tinggi, sekitar 55–66 persen. Pada saat yang sama, sektor perdagangan nonformal di Cianjur tengah mengalami tekanan serius akibat industri pariwisata yang mengedepankan pemilik modal, menggusur peran para pelaku bisnis nonformal seperti perempuan. Akibatnya, puluhan perempuan yang menggantungkan nasib ekonominya pada sektor nonformal bermigrasi ke sektor yang lebih berbahaya. Ratusan dari mereka menjadi korban TPPO melalui praktik perkawinan kontrak atas nama agama.

Suara Serak Perempuan di Tengah Pilkada Cianjur

Pada Pilkada Cianjur, terdapat tiga pasangan calon (paslon) yang saling berkontestasi. Paslon pertama, Herman Suherman dan Mohammad Solih Ibang, mengusung program unggulan keberlanjutan Cianjur Emas, yang meliputi pembangunan sumber daya, penguatan pelayanan kesehatan, penguatan industri pariwisata dan agribisnis, serta pembangunan infrastruktur. Pasangan ini juga menjanjikan penguatan pesantren untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, terintegrasi dengan program DPPKBP3A Kabupaten Cianjur.

Visi dan misi paslon kedua, Wahyu dan Ramzi, berfokus pada pemberian ekonomi mikro, layanan sekolah gratis, bantuan pesantren, dan penguatan industri pariwisata.

Paslon ketiga, Deden Nasihin dan Neneng Efa Fatimah, memfokuskan programnya pada penguatan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan, termasuk peningkatan anggaran DPPKBP3A yang selama ini sering kekurangan anggaran untuk mengimplementasikan program-programnya.

Pada 31 Oktober 2024, Perempuan Hebat Cianjur (PHC) bersama Rumah KitaB, atas dukungan JASS, menyelenggarakan dialog perempuan dengan tema “Perempuan Cianjur Bersuara”. Kegiatan ini dihadiri oleh 79 tokoh perempuan Cianjur, termasuk Ketua Umum PPRK MUI Cianjur, Ketua PW Aisyiyah Muhammadiyah, Ketua Muslimat NU, Al-Irsyad, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, ketua-ketua majelis taklim, dan organisasi kepemudaan di Cianjur.

Kegiatan ini dimeriahkan oleh kehadiran Paslon ketiga, Neneng Efa Fatimah, dan Ketua Tim Pemenangan Paslon pertama. Keduanya menjawab pertanyaan yang diajukan dan disuarakan oleh perempuan Cianjur yang hadir dalam dialog tersebut.

Terdapat tujuh agenda politik perempuan yang disampaikan dalam kegiatan ini:

  1. Perlindungan perempuan dan anak,
  2. Penyediaan layanan dasar yang mudah dijangkau,
  3. Infrastruktur yang ramah dan aman bagi perempuan,
  4. Hak pekerja yang layak,
  5. Keadilan ekonomi,
  6. Partisipasi politik,
  7. Perlindungan pembela HAM.

Hj. Rina Mardiyah, Ketua Umum PHC, dalam sambutannya menekankan bahwa kegiatan tersebut murni merupakan upaya perempuan Cianjur untuk menyampaikan suaranya, mengingat kelompok perempuan ini menempati 50 persen dari populasi DPT di Cianjur. Berdasarkan nilai strategis suara perempuan, Rina merujuk pada hasil kegiatan Rembuk Perempuan Cianjur 2023. Dari 10 agenda politik perempuan yang dihasilkan, tujuh di antaranya dianggap penting untuk disuarakan kepada para kontestan Pilkada agar dijadikan pertimbangan dalam program unggulan mereka.

Desti Murdijana dari JASS menyampaikan bahwa 100 perempuan dari berbagai latar belakang, seperti aktivis perempuan, komunitas perempuan disabilitas, aktivis buruh perempuan, dan ulama perempuan, ikut serta dalam Rembuk Perempuan yang diselenggarakan pada 12 Mei 2023. Dengan latar belakang peserta yang beragam, mereka berhasil merumuskan agenda perempuan dan menyampaikannya kepada para kontestan Pilkada melalui dialog-dialog yang difasilitasi oleh PHC Cianjur.

Pemenang Pilkada Cianjur dan Masa Depan Suara Perempuan

Dalam perkembangannya, kontestan pemenang Pilkada adalah pasangan Wahyu dan Ramzi yang dikenal dengan program bantuan pesantrennya. Namun, mereka tidak hadir dalam kegiatan “Perempuan Cianjur Bersuara” dan tidak mengirimkan perwakilan.

Apakah suara perempuan akan kembali redup atau kurang menyala?
PHC Cianjur memiliki pekerjaan rumah yang besar, yakni kembali mengetuk pintu birokrasi untuk menguatkan advokasi pentingnya pemenuhan suara perempuan di Cianjur. Selain itu, mereka harus melanjutkan dan memperkuat infrastruktur hukum yang telah dibangun dalam lima tahun terakhir serta meyakinkan bupati dan wakil bupati terpilih untuk memasukkan tujuh agenda politik perempuan ke dalam program kerja mereka.

BEDAH BUKU FIKIH PERWALIAN: MEMBACA ULANG HAK-HAK PERWALIAN UNTUK PERLINDUNGAN PEREMPUAN

Kolom Qiwamah dan Wilayah:

[Untuk beberapa waktu ke depan, Kolom Qiwamah dan Wilayah ini akan hadir dalam website Rumah Kita Bersama. Selain melaporkan kegiatan Roadshow sosialisasi buku di beberapa kota, kolom ini diupayakan untuk menjangkau pembaca yang lebih luas. Karenanya  kolom ini menggunakan  bahasa Indonesia dan Inggris. Kolom ini diterbitkan sebanyak empat kali, atas kerjasama dengan Oslo Coalition]

 

Jakarta, 25 Juni 2019

Membebaskan Fikih dari Belenggu Hubungan Asismetris dalam Konstruksi Gender

 

JAKARTA. Selasa, 25 Juni 2019 Rumah Kita Bersama meluncurkan buku Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian Untuk Perlindungan  Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin.  Buku tersebut merupakan hasil kajian atas teks-teks klasik dan modern tentang konsep wilayah dan qiwamah bersama para tokoh agama,  sosiolog, antropolog,  hukum, dan aktivis yang berlangsung selama sepuluh bulan.

Acara ini bertempat di aula Griya Gus Dur the Wahid Foundation, Menteng, Jakarta Pusat. Acara dihadiri lebih dari enam puluh peserta dari berbagai lembaga: aktivis LSM, perwakilan pemerintah seperti dari Kementerian Agama, Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, dosen dan mahasiswa,  serta media. Selain itu, hadir pula tiga orang perwakilan Oslo Coalition: Norwegian Centre for Human Rights, yaitu: Dr. Lena Larsen (Direktur Oslo Coalition, satu dari enam area tematik di Norwegian Center Department), Prof. Dr. Nelly Van Doorn, dan Kathrine Raadim (Direktur Departemen Internasional di Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo).

Untuk membedah buku tersebut, Rumah Kita Bersama mengundang empat narasumber yaitu, Dr (CH) KH. Husein Muhammad (pengasuh Pesantren Dar at-Tauhid, Cirebon –mantan komisioner Komnas Perempuan), Nursyahbani Katjasungkana SH (aktivis perempuan dari LBH Apik Jakarta), Drs. Mohammad Noor SH, MH, (Hakim Yustisial Biro Hukum sekaligus Humas Mahkamah Agung RI), Ulil Abshar Abdalla MA (intelektual muda Nahdlatul Ulama). Acara ini dipandu oleh Lies Marcoes-Natsir MA dari Rumah Kita Bersama.

Dalam pengantarnya, Lies Marcoes menyatakan bahwa secara normatif Islam meletakkan nilai- nilai kesetaraan antara lelaki dan perempuan sebagai nilai yang prinsip, namun  dari sisi hukum fikih –di mana hukum yang terkait hubungan-hubungan sosial di internal keluarga dibangun,  relasi laki-laki dan perempuan diletakkan secara asimetris. Dalam konsep fikih relasi keduanya terhubung secara tak seimbang atau genjang. Namun begitu, bangunan asimetris itu (sering) dianggap sebagai sesuatu yang niscaya, tetap, dan tak bisa berubah atau qath’i. Pada kenyataannya, relasi asimetris tersebut tak selalu diterima bahkan oleh fuqaha sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tafsir-tafsir mereka yang tampak sekali berusaha melakukan penyeimbangan agar relasi itu lebih adil. Dalam buku ini sejumlah tokoh telah dihadirkan, baik dari dunia Timur Tengah seperti Rif’at Thohtowi, Qasim Amin dan Muhammad Abduh.  Dari dalam negeri, buku ini menghadirkan pemikiran Kiai Salah Mahfud dengan fikih sosialnya, atau terobosan–terobosan para hakim agama di Mahkamah Agung sebagaimana dicontohkan oleh beberapa figur, seperti Prof. Hasybi Asydidiqie, Prof. Hazairin, dan Andi Syamsu Alam  SH. Mereka menyuguhkan tawaran-tawaran, baik dari sisi metodologis atas penafsiran tentang hukum keluarga maupun bagaimana metode itu diterapkan dalam meja persidangan.

Banyak orang yang beranggapan bahwa hukum Islam adalah apa yang tercantum dalam fikih. Padahal, menurut UlilAbshar Abdalla, hukum Islam bukan hanya apa yang tercantum dalam (kitab-kitab) fikih, tetapi fikih adalah part of the big pictures.

Sementara itu, Nurshabani  Katjasungkana menyatakan bahwa konsep perwalian dalam hukum Islam berbeda dengan konsep perwalian dalam UU Hukum Perdata dan UU Perkawinan.  Dalam kedua hukum itu, perempuan diperbolehkan menjadi wali, sesuatu yang benar-benar beda dengan konsep qiwamah dan wilayah dalam buku ini.  Nursyahbani juga menyatakan bahwa asimestrisme bukan hanya terjadi dalam fikih, tetapi juga dalam UU hukum keluarga Islam, seperti dalam UU Perkawinan yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, perempuan ibu rumah tangga. Ini juga menandakan UU Perkawinan tidak mengacu pada hukum atau konvensi internasional seperri CEDAW .

Problem lainnya sebagaimana dikemukakan Kiai Husein Muhammad, laki-laki memang selama ini menjadi pusat pembuat hukum,  dan mereka menikmati kemewahan dalam berbagai hal, di antaranya dalam persoalan wilayah dan qiwamah. Proses pemberian kemewahan pada laki-laki ini, menurut Kiai Husein Muhammad, bukan hanya semata-mata sebagai bentuk pelimpahan hak berdasarkan jenis kelamin karena nasab atau relasi yang timbul atas terjadinya perkara hukum, misalnya pernikahan, melainkan lebih pada tanggungjawab dan kewajiban untuk melindungi hak anak atau istri. Dalam kata lain,  itu merupakan kontsruksi gender terkait kewajiban dan tanggung jawab lelaki, dan bukan melulu sebagai hak.

Sayangnya, pembacaan yang menekankan aspek kewajiban –dan bukan hak– semacam ini kurang popular dalam masyarakat. Fikih yang kita gunakan saat ini, tutur Kiai Husein Muhammad, merupakan produk kebudayaan abad pertengahan Arabia yang memang memberi tempat lebih leluasa kepada laki-laki berdasarkan situasi dan kondisinya. Secara metodologi seharusnya ada prinisp yang dipegang sepanjang masa, yaitu cita-cita kemanusiaan Islam, cita-cita yang menempatkan laki-laki dan perempuan secara setara, sebagai manusia. Sepeninggal Nabi Muhammad, nyaris semua ajaran agama merupakan penafsiran. Sedangkan penafsiran erat kaitannya dengan ruang dan waktu, sehingga tafisran atas teks-teks agama, pun dengan (tafsiran) hadis Nabi, adalah produk dari budaya yang (seharusnya) senantiasa mengacu kepada cita-cita Islam.

Untuk mencapai pembacaan teks agama yang adil untuk perempuan dan laki-laki diperlukan sebuah metodologi baru. Sebuah metode yang sanggup membaca kenyataan-kenyataan masyarakat yang berubah, perempuan saat ini lebih perpendidikan dan mandiri. Karenanya dibutuhkan metode pembacaan teks yang lebih ramah dan sensitif pada perempuan. Dengan cara itu teks mampu membaca kebutuhan yang khas perempuan yang selama ini tertutupi oleh keperkasaan teks yang misoginis.

Upaya-upaya itu tak jarang dituduh sebagai agenda Barat dan mempromosikan immoralitas. Lena Larsen menyatakan  bahwa pendekatan egalitarian yang dilakukan dengan membaca ulang konsep qiwamah dan wilayah seperti ini bukanlah mempromosikan immoralitas.  Upaya itu tidak lain untuk melindungi keluarga, terutama untuk anak dan istri yang rentan terhadap perlakuan ketidakadilan.

Upaya untuk melakukan rekonstruksi atau dekonstruksi penafsiran pada teks-teks tidaklah mudah. Selama berabad-abad lamanya penafsiran dan pemikiran teologis telah mengalami sakralisasi. Butuh investasi waktu dan pemikiran yang tak sedikit dalamhal ini. Namun, tentu ini bukan berarti mustahil.

Satu di antara ikhtiar telah dilakukan oleh Rumah Kita Bersama dengan diterbitkan buku FikihPerwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian Untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak. Buku yang diproduksi oleh Rumah Kita Bersama ini dinilai penting oleh Muhammad Noor. Menurutnya,  buku ini bisa digunakan sebagai rujukan oleh para hakim dan pendamping komunitas yang selama ini menangani kasus hukum keluarga, utamanya kawin anak dan kawin paksa. ( Aida, Lies)

Rumah KitaB Luncurkan Buku Fikih Perwalian, Bahas Qiwamah

Jakarta, Gatra.com – Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) meluncurkan buku bertajuk “Fikih Perwalian” yang didukung oleh Oslo Coalition. Buku ini merupakan hasil dari kajian teks selama 10 bulan dengan 8 kali putaran diskusi mengenai wilayah (Perwalian) dan qiwamah (Perlindungan perempuan dan anak).

“Saya sangat senang berada disini, dan saya juga ingin menyampaikan bahwa isu ini sangat menarik untuk dikaji. Kajian yang dilakukan berdasarkan realita sosial, dan berkesinambungan dengan kondisi di Indonesia,” jelas Dr. Lena Larsen sebagai perwakilan dari Oslo Coalition saat Launching dan Diskusi Buku “Fikih Perwalian” di Aula The Wahid Institute, Jakarta, Selasa (25/6).

Buku ini berusaha mendudukkan pemahaman umat muslim terhadap tujuan kemaslahatan syariat terkait masalah hak ijbar orangtua (ayah) atau wali mujbir dalam perkawinan, serta meluruskan pemahaman-pemahaman subyektif bias gender yang tidak mempertimbangkan kepentingan masa depan anak-anak perempuan.

Nursyahbani Katjasungkana dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik serta Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Muhammad Noor juga hadir dalam peluncuran buku. Menurut Nursyahban, buku Fikih Perwalian membahas juga Undang-Undang Perkawinan serta implementasinya di Indonesia.

“Perwalian dalam hukum Islam, sangat berbeda dengan konsep perwalian yang ada di dalam kitab UU Hukum Perdata dan juga UU Perkawinan. UU perkawinan itu sendiri tidak mengacu pada hukum internasional,” jelasnya dalam

Menurut Muhammad Noor, buku ini mampu memberikan gambaran metodologis mengenai penafsiran yang dilakukan. Kajian dalam buku bisa digunakan untuk argumentasi dalam membuat pertimbangan putusan.

“Saya harap kedepannya kajian atau penafsiran yang dilakukan dapat lebih mencakup pada tataran sistematis, meskipun penafsiran yang dilakukan saat ini masih di tingkat gramatikal, namun isi dari buku ini sangat membantu dalam membuat pertimbangan putusan,” ujar dia.


Reporter: Anjasmara Rianto
Editor: Wem Fernandez
Sumber: https://www.gatra.com/detail/news/424145/millennials/rumah-kitab-luncurkan-buku-fikih-perwalian-bahas-qiwamah

Merebut Tafsir: Perlindungan bagi Perempuan yang Sedang dalam Proses Cerai

Dokter Letty, seorang istri, 46 tahun, dokter, tewas di ruang praktek, ditembak suaminya yang juga dokter. Sang istri sedang ajukan gugat cerai karena tak tahan dengan KDRT yang dilakukan suaminya. Sang suami tak hanya pelaku KDRT tetapi juga pelaku kekerasan kepada karyawati/staf di klinik sang istri. 

Sebagai konselor paralegal yang kerap dimintai tolong untuk proses gugat cerai, saya tahu bahwa selama proses pengajuan gugatan, banyak hal bisa terjadi, apalagi jika sang istri lari dari rumah.

Pihak tergugat akan melakukan segala cara untuk menentang upaya sang istri; dari ancaman tidak akan mengizinkan membawa anak, akan memperpanjang/menggantung proses di persidangan, sampai mengancam secara fisik. Penentangan suami itu bukan karena dia begitu cintanya tetapi ini terkait dengan egonya sebagai lelaki yang merasa dilawan.


Atas ancaman-ancaman serupa itu saya selalu menanggapi secara serius. Karenanya saya selalu menganjurkan agar penggugat benar-benar waspada, minta pindah-pindah tempat tinggal, tinggal di shelter, menggunakan kendaraan dengan jalur yang tidak biasa, tidak turun dari mobil di tempat yang tak ada orang, langsung memasukkan mobil ke garasi sebelum turun, membawa alat pengaman paling dasar seperti air lada/air cabai atau <em>hairspray</em> untuk disemprotkan ke mata atau alat kejut listrik.

Sependek pengalaman saya, saat penantian proses perceraian sebetulnya itu merupakan waktu yang sangat rentan bagi si istri. Kekerasan yang dilakukan tergutat akan bertambah berkali lipat. Ini karena maskulinitas patriakhnya benar-benar tertohok. Karenanya sangat kuat kehendak untuk menaklukan. Ia merasa dilecehkan dan ditantang oleh pihak yang selama ini berhasil ia ancam, ia kuasai.

Kekerasan dalam proses perceraian yang mengancam nyawa bukan kasus langka. Satu kasus bahkan terjadi di ruang tunggu sidang di sebuah Pengadilan Agama yang menewaskan yang mengajukan gugat cerai. Sangatlah keliru jika kemudian yang dipersoalkan semata “keadaan psikis” pelaku apalagi menyalahkan korban yang melakukan gugatan.

Menurut saya analisisnya harus mampu melihat bahwa akar persoalannya terletak pada konstruksi relasi kuasa dalam perkawinan. Perkawinan adalah membangun relasi dua pihak. Namun perkawinan yang tidak sehat akan berkembang ke arah relasi kuasa berbasis status gendernya yang sangat berpotensi menindas. Anggapan dan pembenaran bahwa suami merupakan kepala keluarga sering meleset dimaknai sebagai penguasa keluarga.

Saat terjadi gugatan, sebetulnya perkawinan itu nyaris tanpa status. Kedua pihak telah sampai ke tahap paling sulit untuk berdamai. Ini karena kekerasan yag terjadi, atau apapun pemicunya dari proses perceraian itu telah berlangsung lama. Jika ada kekerasan di mana sang istri lebam-lebam itu sesungguhnya kekerasan lainnya telah terjadi dan berlangsung tahunan. Proses mediasi formalitas di Pengadilan jarang yang bisa berhasil mendamaikan manakala kercekcokan dan atau kekerasan pelaku telah berlangsung lama dan akut.

Menyadari begitu kritisnya situasi “tanpa status” selam amasa proses gugat cerai itu, seharusnya ada upaya perlindungan yang sangat serius yang dilakukan secara sistemik oleh negara di dalam situasi limbo ini. Dalam pengalaman saya, ancaman psikis dan fisik yang membuat penggugat (istri dalam konteks gugat cerai/tergugat dalam cerai talak) menyerah sebelum ke pengadilan tak kurang-kurang. Ini karena korban merasa sendirian dan ketakutan. Padahal begitu si istri membatalkan gugatannya. intensitas kekerasan tak pernah atau jarang yang berkurang. Sebaliknya malah makin hebat.[]