Pemberdayaan Perempuan Desa untuk Atasi Ketimpangan Ekonomi Desa dengan Kota
Musim akhir tahun seperti ini terdapat fenomena rutin yang sering saya lihat di Jakarta. Salah satu maskapai penerbangan nasional menggelar bazar dengan banjir diskon. Billboard di beberapa jalan mulai ramai dipasang oleh pelaku industri pariwisata. Intinya, promo jalan-jalan akhir tahun sudah gencar dilakukan.
Akhir tahun, tahun baru, dan Idul Fitri menyaksikan pergerakan ekonomi yang luar biasa dari kota ke desa. Geliat perdagangan begitu hidup di desa, mulai dari daerah objek wisata hingga yang bukan. Setelah dua musim tersebut berakhir, aliran uang yang begitu deras pun berhenti. Pekerja dan perantau kembali ke kota besar, lalu penduduk desa umumnya menikmati pendapatan yang standar.
Gerakan urbanisasi sudah berlangsung lama hingga mengakar di benak banyak orang pedesaan untuk ke kota usai selesai bersekolah. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi 66,6% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada 2025. Bank Dunia senada dengan perkiraan tersebut, dimana menurut badan ini, sekitar 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada 2045.
Mengapa Fenomena Berbondong-Bondong ke Kota Harus Dihentikan?
Dari segi populasi, ketimpangan jumlah penduduk desa dan kota menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Data dari BPS yang diperbaharui pada 24 Februari 2024 menyebutkan bahwa kepadatan penduduk mencapai 16.146 jiwa per kilometer persegi. Membludaknya jumlah tersebut menimbulkan macet yang tiada berujung, ancaman tenggelamnya Jakarta, hingga banjir.
Kota yang terlalu padat menyebabkan polusi tinggi sebagai imbas kegiatan ekonomi setiap harinya. Iming-iming penghidupan yang lebih layak memunculkan efek negatif ke kesehatan yang cukup serius jika tidak ditangani sejak dini oleh setiap warganya.
Akibat kedua yang lebih mencemaskan adalah aspek ekonomi. Meski kecanggihan teknologi menawarkan peluang ekonomi inklusif, masih banyak yang tetap ke kota besar untuk mengadu peruntungan. Hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai seberapa signifikan kecanggihan teknologi, khususnya internet, dalam mendongkrak jiwa kewirausahaan. Apabila masih kecil, maka ini menjadi alarm nyaring bagi seluruh pihak untuk bekerja keras menggalakkan semangat kewirausahaan, khususnya bagi generasi muda. Segala kemudahan yang ditawarkan teknologi seharusnya berhasil mengurangi angka orang pergi ke kota.
Perempuan Desa sebagai Akar Solusinya
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) telah mengumpulkan data lapangan “Studi Penguatan Pemberdayaan Perempuan dan Pembangunan Desa” antara 17 dan 24 November 2024. Tim dari Kemenko PMK memilih metode pendekatan kualitatif untuk menelaah 11 desa di delapan kabupaten. Ke-8 kabupaten tersebut adalah Bangka Tengah, Tanggamus, Indramayu, Bantul, Banyuwangi, Banjar, Maros, dan Minahasa Utara.
Inisiatif dari Kemenko PMK bertujuan untuk mendapatkan data awal guna membangun kemandirian bangsa melalui pemberdayaan perempuan. Nantinya, penerima bantuan pemerintah adalah perempuan kepala keluarga, perempuan pelaku UMKM, perempuan penyintas kekerasan, perempuan purna migran, serta keluarga atau individu selain perempuan.
Hasil temuan awal dari studi tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan perempuan sejauh ini lebih berfokus pada sektor ekonomi, pelatihan keterampilan, atau cara mendirikan dan mengelola usaha. Pemberdayaan perempuan di pedesaan kini semakin penting dalam kaitannya mencegah penambahan orang yang pergi ke kota. Karena itu, metode pemberdayaannya haruslah lebih komprehensif dan mutakhir demi terciptanya gagasan ekonomi kreatif.
Sebagai contoh, perempuan di desa saya, di Kabupaten Karanganyar, banyak yang bekerja membantu suami dengan berdagang makanan dan minuman. Pemerintah setempat dapat membantu dalam hal inovasi seperti branding, pengemasan yang menarik, dan tentunya distribusi penjualannya. Pengenalan digital marketing juga harus digalakkan hingga ke desa. Penyediaan internet gratis serta pelatihan digital marketing sebaiknya dilakukan secara berkala agar ekonomi inklusif benar-benar menyentuh hingga ke pedesaan.
Saran tersebut seharusnya bisa disesuaikan dengan potensi setiap daerah. Perempuan desa yang umumnya bekerja sebagai buruh tani tentunya memerlukan akses ke alat pertanian untuk meringankan tugas berat di sawah atau ladang. Bila diperlukan, perempuan desa yang masih muda dapat mentransfer pengetahuan teknologi ke tetangga atau rekan yang belum terlalu melek teknologi.
Pada awalnya, dampak positif akan berupa pemenuhan ekonomi keluarga. Perempuan desa akan sangat membantu peran suami sebagai pencari nafkah utama. Efek dominonya akan mengalir jauh. Perempuan tidak bisa dipungkiri menurunkan gen kecerdasan besar ke anak-anak mereka. Anak yang setiap hari menyaksikan sang ibu kreatif bekerja membantu keluarga akan terlatih karakternya. Ia akan tumbuh menjadi generasi mandiri, bukan hanya agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri kelak, melainkan juga berpikir agar lingkungan sekitarnya di desa makmur.