Pos

KESIMPULAN DAN CATATAN PENUTUP SEMINAR INTERNASIONAL: Hasil Penelitian Rumah KitaB Kekerasan Berbasis Gender Akibat Fundamentalisme dan Pemetaan Resiliensi Perempuan

Dari seminar ini ada beberapa catatan, kesimpulan, dan rekomendasi  terkait penelitian yang dilakukan Rumah KitaB. Berikut beberapa hasil catatan dari seminar ini:

  1. Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang konsep kekerasan ekstrem. Konsep itu selama ini didominasi oleh cara pandang maskulin dan patriarki yang menguncinya dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, menurut penelitian ini, telah mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa dan kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
  2. Penelitian ini mencatat kekerasan yang mengancam keamanan insani perempuan juga mengancam pada pilar-pilar yang selama ini menjadi kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, yang peduli pada keragaman sebagai warisan dari Islam Indonesia.
  3. Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama, soal definisi perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik, menjadi alasan instabilitas moral yang merusak tatanan sosial, bahkan ekonomi. Oleh karena itu, perempuan harus tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai, dan dibatasi di ruang publik, baik secara langsung maupun simbolik.
  4. Ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional melalui ceramah dan cara lain seperti menggunakan sosial media serta ragam kampanye kreatif lainnya.
  5. Ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus dapat melemahkan mental perempuan dan membentuk kekerasan non-fisik. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka sebagai sumber fitnah. Namun, pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa peran modal dan pasar yang menawarkan barang dan jasa serba syar’i. Penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan atas ajaran itu, meskipun tak membentuk agensi.
  6. Rekomendasi yang disampaikan dalam seminar ini mencakup: pertama, Perlunya mengisi ruang wacana: mendukung dan menyediakan lebih banyak ruang ulama-ulama progresif, termasuk ulama perempuan, dalam menyebarkan upaya moderasi dengan konten dampak fundamentalisme terhadap perempuan. Ini bisa dilakukan lewat banyak media online, baik yang berbasis kelompok keagamaan  maupun kelompok lain. Kontennya diusahakan sesederhana mungkin agar memudahkan ditangkap oleh masyarakat awam. 

Kedua, Produksi pengetahuan: (1) Melanjutkan penelitian dari apa yang sudah diketahui lewat penelitian ini dengan mengambil sejumlah pertanyaan yang diajukan Prof. Musdah sebagai titik berangkat untuk eksplorasi lebih jauh, misalnya, kenapa sebagian orang tergabung sebagian tidak, faktor apa saja yang paling berpengaruh? (2) Melakukan Participatory Action Research (PAR); mengorganisir warga biasa dalam siklus kegiatan kolektif sambil mempelajari isu-isu yang mereka hadapi. Ini akan menghasilkan sejumlah data pembuka mata, lalu membicarakan tindakan kolektif apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi isu-isu tersebut, lalu menjalankannya sembari mempelajarinya, sehingga menjadi bahan pembelajaran (pengetahuan) baru untuk tindakan kolektif selanjutnya yang lebih baik. Produksi pengetahuan ini juga bisa menyediakan konten untuk kampanya merebut kembali ruang wacana.

Catatan kesimpulan dan rekomendasi di atas menjadi sesi terakhir dan penutup dari seri ringkasan tiap sesi yang telah disebarluaskan oleh Rumah KitaB dari bulan November 2020 lalu.

Penelitian: Kelaparan Tersembunyi Menghantui Desa-desa di Indonesia

BENGKULU, KOMPAS.com – Peneliti Inkrispena, Ken Budha Kusumandaru bekerja sama dengan Akar Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar menemukan adanya kelaparan tersembunyi (hidden hungry) pada sejumlah desa sekitar kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Riset dilakukan pada keluarga petani Hutan Kemasyarakatan (HKM) Desa Air Lanang, dan desa sekitarnya, Kecamatan Curup Selatan, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Riset menggunakan studi deskriptif sistem foodways (asal usul makanan) “Hasil riset menunjukkan terdapat kelaparan tersembunyi di desa yang berada di sekitar kawasan hutan,” jelas Pramasti Ayu Kusdinar di Bengkulu, Rabu (19/12/20180, Lebih tegas, peneliti Inkrispena, Ken Budha Kusumandaru menyatakan, kelaparan tersembunyi menghantui semua desa-desa di Indonesia bukan hanya di kawasan hutan.

Sistem foodways mempunyai makna sangat kuat dalam memberi petunjuk tentang kelaparan tersembunyi dalam keluarga terpinggirkan baik di kota maupun desa. Sistem foodways pada analisa luas menunjuk cara produksi masyarakat, dan pada level kecil tentang pelbagai cara penyelenggaraan makan sehari-hari keluarga, mulai dari memperoleh sumber makanan, cara belanja, apa yang dimakan, rasa hingga menghidangkan. “Di petani yang dijadikan sasaran penelitian ditemukan, kelaparan tersembunyi itu diakibatkan oleh terputusnya akses terhadap hutan. Makanan utama petani itu adalah beras, namun mereka meninggalkan tanaman padi, lebih memilih kopi dengan pertimbangan tidak rumit perawatannya seperti bertanam padi,” jelas Pramasti.

Sementara petani kopi mengalami masa paceklik pada periode waktu tertentu. Pada saat paceklik inilah kelaparan tersembunyi tersebut menjadi ancaman. Petani harus berutang pada tauke sebagai siasat bertahan hidup hingga menunggu musim panen berikutnya. “Dahulu petani dapat memanfaatkan hutan, sungai, sebagai tempat mencari makan. Tanaman selain padi, umbi-umbian juga ikut ditanam. Sehingga ancaman kelaparan tersembunyi tidak muncul,” tambahnya. Ditegaskan pula bahwa kelaparan tersembunyi berarti bahwa rakyat tidak lagi terjamin esok hari dapat makanan bergizi yang mampu membuat tubuh jadi tenang, sehat dan lainnya.
Muncul sejak tanam paksa
Peneliti Inkrispena, Ken Budha Kusumandaru menjelaskan, istilah paceklik pada petani monokultur seperti kopi muncul sejak sistem tanam paksa yang dilakukan penjajah. “Para petani dipaksa menanam tanaman komoditi bisnis seperti kopi, gula, namun sedikit saja dibolehkan menanam kebutuhan pokok. Sistem tersebut sistematis terbawa-bawa hingga sekarang,” jelasnya.

Hipotesis penelitian menjelaskan, kelaparan tersembunyi yang terjadi di kalangan petani HKM tidak terbaca dalam perspektif medis, melainkan dari perspektif produksi. Perubahan sistem foodways sepenuhnya pada pasar untuk pengadaan makanan tertumpu pada uang. Hal ini memperlihatkan munculnya ancaman kerentanan terhadap penyediaan makanan yang berkolerasi dengan kelaparan. Jalan keluar untuk kasus kelaparan tersembunyi ini, menurut Kusumandaru, salah satunya adalah memberikan akses pada masyarakat secara maksimal, akses terhadap tanah, akses pengetahuan, jejaring kerja sama dan permodalan yang tentunya tidak menjerat leher petani.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Penelitian: Kelaparan Tersembunyi Menghantui Desa-desa di Indonesia”, https://regional.kompas.com/read/2018/12/19/19263791/penelitian-kelaparan-tersembunyi-menghantui-desa-desa-di-indonesia?utm_source=Facebook&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sticky_Mobile&fbclid=IwAR3btPPp4gqUDvF7hGFdFW_9b0e6Wbl24HZU5qgLhhitM6ZR9mYfT0eqqvw.
Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah
Editor : Farid Assifa

Menggali Data, Menghitung Usia

Untuk menemukan data kawin anak di kantor pemerintahan seperti Pengadilan Agama sangat sulit. Mereka biasanya mengatakan dalam dokumen yang dipunya, angka kawin anak sangat rendah. Angka resminya biasanya sama dengan angka permohonan dispensasi nikah. Sementara di PA, angka itu bisa dilihat dari permohonan isbath nikah. Namun, ada berbagai cara untuk melakukan penggalian data dalam rangka mencari tahu angka kawin anak. Misalnya, menelusuri angka yang mencatat umur perempuan ketika melahirkan pertama kali. Itu bisa ditelusuri di Puskesmas. Atau lakukan penelusuran terbalik, misalnya tahun berapa lulus SD, tahun berapa kawin, dan berapa umur anak yang sulung. Dari sana dapat ditelusuri apakah terjadi perkawinan anak.

Peneliti juga bisa datang ke PA, seperti yang kami lakukan di PA Makassar. Kami bertemu dengan Subaedah yang hendak gugat cerai. Di surat nikahnya tercatat kelahiran 11-08-1995. Data yang tertera menunjukkan bahwa saat ini umurnya 20 tahun. Menurutnya ia telah punya 2 anak, yang sulung 2 tahun lebih. Jika ditambah masa hamil 9 bulan maka perkawinannya telah berlangsung lebih dari 3,5 tahun. Itu berarti perkawinanya pastilah ketika ia berumur 16 tahunan. Ketika dicek dengan pendidikannya, ia menikah setelah lulus SMP. Menurut Ibu Harijah, Wakil ketua PA Makassar, tiap bulan tercatat 200 kasus perceraian, 70% cerai gugat dan 25- 30% disebabkan perkawinan di usia muda yang sebagiannya menggunakan permohonan dispensasi nikah karena perkawinanya ditolak KUA.

Catatan lapangan Lies Marcoes dan Fadilla, Makassar, Sulawesi Selatan

Manipulasi Data Perkawinan Anak

Salah satu problem dalam penelitian kawin anak adalah buruknya data. Dari Kemenag di Kabupaten XX, berdasarkan catatan peneliti Rumah KitaB, Anis Fuaddah dari Jawa Timur, data kawin anak berdasarkan dispensasi nikah yang diputus Pengadilan Agama tahun 2014 hanya terjadi di 3 kecamatan dengan total 13 kasus. Sementara data di PA, perkara dispensasi nikah tahun 2014 berjumlah 101 kasus, sebagian besar terkait perkawinan di bawah umur. Perkara yang diputus 94 kasus, selebihnya ditolak. Dispensasi terpaksa diberikan karena umumnya calon pengantin perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) atau orangtua tidak bisa menolak lamaran pihak lelaki.

 

Catatan lapangan Anis Fuaddah, diolah oleh Lies Marcoes