Pos

Temu Perempuan Pemimpin Komunitas Lombok Utara

Oleh Erni Agustini

Pada 9-10 November 2024, di penghujung momen pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia, Rumah KitaB bekerja sama dengan JASS dan Klub Baca Perempuan (KBP), telah melaksanakan kegiatan Temu Perempuan Pemimpin Komunitas di Kabupaten Lombok Utara. Dalam kegiatan tersebut, yang terlibat adalah 25 orang perempuan dengan beragam latar belakang, pendidikan, dan aktivitas maupun profesi (guru, dosen, relawan KBP, kader pemberdayaan desa, analis kesehatan, fasilitator lapangan, maupun pelajar dan mahasiswa). Bahkan diantara pelajar dan mahasiswa tersebut ada yang aktif sebagai penari dan penyair berprestasi.


Urgensi Kegiatan 
Kegiatan ini menjadi penting, karena momentum Pilkada menjadi tumpuan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat. Namun harus diakui harapan tersebut tidak mudah dipenuhi mengingat hingga saat ini masih sangat sedikit Kepala Daerah yang bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dibuatnya. Juga belum banyak Kepala Daerah yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, suara masyarakat termasuk suara perempuan masih sering diabaikan dan dianggap tidak penting.

Pada tahun 2023, Rumah KitaB yang tergabung dalam Konsorsium We Lead, bersama dengan 100 perempuan pemimpin dari akar rumput telah berhasil merumuskan 10 Agenda Politik Perempuan untuk dibawa kepada para pengambil kebijakan untuk menjadi perhatian. 10 Agenda Politik Perempuan ini menggambarkan bagaimana masih banyak yang harus diperhatikan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya adalah kehidupan perempuan.


Tujuan Kegiatan Temu Perempuan Pemimpin
Tujuan kegiatan temu pemimpin perempuan adalah mengajak para perempuan untuk duduk bersama, membangun ruang aman untuk berbagi pengalaman masing-masing, dan membangun strategi bersama untuk memperkuat kepemimpinan perempuan di akar rumput yang nantinya bisa diteruskan kepada para pengambil kebijakan.


Transformasi Perempuan; Dari Ketidakberdayaan Menjadi Berdaya dan Berkarya
Kegiatan temu perempuan yang berlangsung selama dua hari ini dikemas dalam sesi-sesi yang menarik, interaktif dan mampu memberi inspirasi dan penguatan kepada para peserta. Dimulai dengan sesi perkenalan, berbagi pengalaman dan perasaan melalui ruang aman. Melalui ruang aman ini, para peserta mendapatkan kesempatan untuk menceritakan pengalaman dan perasaannya kepada fasilitator. Pada sesi ini, seluruh aktivitas tidak direkam dan didokumentasikan (foto dan video) untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada para peserta saat bercerita kondisi paling tidak berdaya dalam kehidupannya.

Dari sesi ini, terungkap betapa pelik situasi yang dialami perempuan dalam siklus kehidupannya. Peserta dari kelompok remaja, pelajar dan mahasiswa rata-rata memiliki kesamaan cerita pahit di masa kecilnya. Mereka kehilangan hak mendapatkan pengasuhan dari orang tua, kehilangan rasa aman saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua, maupun pengalaman merasakan kekerasan secara verbal, fisik maupun psikologis. Dari cerita para peserta, ada kecenderungan bahwa para orang tua mudah menghukum anaknya secara fisik ketika berinteraksi. Situasi tersebut didorong karena situasi ekonomi yang sulit maupun imbas dari ketidakharmonisan hubungan di antara kedua orangtuanya. Selain kekerasan fisik, kekerasan juga terjadi terhadap ibu dan anak, karena dipicu oleh kehadiran pihak ketiga dan perselingkuhan sang bapak.

Dari berbagai situasi ini memaksa remaja mengambil alih peran dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh adik-adiknya karena orangtuanya harus bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran. Adapun peserta yang sejak kecil diasuh oleh nenek atau kerabat, dan baru merasakan pelukan dari sang ibu saat sudah remaja karena sang ibu yang bekerja di luar negeri.

Diantara peserta remaja ada juga yang mengalami pembatasan terhadap akses pendidikan. Orang tua melarang mereka untuk melanjutkan sekolah di luar kota. Hal itu membuat teman-teman merasa cemas dan trauma. Namun demikian, situasi tersebut tidak membuat para remaja terpuruk, mereka mampu bertahan dalam situasi yang sulit, bahkan beberapa dari mereka berhasil mengukir prestasi dengan memenangi lomba, mendapatkan hadiah, dan lainnya.


Keterbatasan Perempuan Dewasa
Sementara itu, situasi ketidakberdayaan yang dialami peserta dewasa; pertama, isu kesehatan dan kehilangan anak. Bagi ibu, anak adalah sumber kehidupan dan pusat dunia. Kedua, masalah ekonomi. Ketiga, keterbatasan waktu untuk anak. Keempat, penilaian masyarakat karena meninggalkan anak.

Faktor yang Membuat Perempuan Dewasa Berdaya
Sementara yang membuat para perempuan dewasa berdaya adalah; adanya support system—dari suami, keluarga, Kanca KBP yang memberi ruang dan kesempatan untuk saling menguatkan, memberi ruang aman untuk berekspresi sehingga bisa menghasilkan karya; punya prestasi; perbaikan ekonomi; tubuh dan jiwa yang sehat; serta mendorong perempuan bersatu; memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan.


Menciptakan Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak
Terdapat kearifan lokal budaya Lombok yang perlu ditelisik kembali untuk mengatasi persoalan perempuan dan anak. Nursida Syam (Koordinator KBP) menuturkan bahwa terjadi perubahan dalam memaknai tradisi memulang, memaling, dan merarik (perempuan diculik oleh calon suami untuk dinikahi). Menurutnya, tradisi tesebut merupakan simbol bahwa perempuan mempunyai kuasa sendiri untuk memutuskan menikah atau tidak. Dalam tradisi merarik, ketika perempuan memutuskan dan tidak rela keluar rumah untuk bertemu dengan calon mempelai laki-laki, maka proses pernikahan itu tidak akan terjadi.

Namun praktiknya, dalam tradisi memaling/merarik, perempuan dijebak dan kemudian diculik oleh calon suaminya. Menurut Nursida Syam, menjebak perempuan melalui tradisi itu sesungguhnya telah mencederai adat. Tradisi ini sebetulnya mempunyai keberpihakan besar kepada perempuan, namun banyak tokoh adat memilih untuk tidak mengampanyekan keberpihakan dari tradisi ini.

Tradisi lain yang menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan dan anak adalah tradisi menenun. Raden Muhammad Rais (Budayawan Sasak) getol menyuarakan bahwa dulu perempuan boleh menikah ketika mampu membuat 144 helai tenun—dengan beragam warna dan motif. Jika dikonversi usia, maka perempuan baru boleh menikah ketika memasuki usia 22 tahun. Mispersepsi yang terjadi terhadap tradisi ini yang menyebabkan kawin anak.


Masalah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Selain itu, beragam persoalan yang dialami perempuan dan anak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, stunting, bullying, perkawinan anak, judi online, yatim piatu sosial, diskriminasi terhadap perempuan, peredaran narkoba, prostitusi online, tingginya angka bunuh diri, serta depresi.

Akar Masalah
Akar masalah dari beragam persoalan di atas adalah;

  1. Kuatnya budaya patriarki:
    Budaya patriarki mendorong perempuan untuk tidak mendukung atau menjatuhkan perempuan lain. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki berada di atas perempuan. Dalam situasi seperti ini, kita jangan menyalahkan perempuan yang tidak mendukung perempuan karena mereka masih terpapar dengan budaya patriarki. Namun para perempuan yang sudah terpapar oleh isu keadilan gender, perempuan akan mendukung perempuan lain.

    Budaya patriarki juga mempertegas perbedaan karakteristik kepemimpinan laki-laki dan kepemimpinan perempuan. Salah satu karakteristik pemimpin laki-laki adalah one man show. Sementara pemimpin perempuan lebih banyak mengajak perempuan lain untuk membangun kekuatan. Namun, masih banyak juga pemimpin perempuan yang patriarki. Karenanya, kita perlu bernegosiasi dan mengajak para pemimpin laki-laki maupun pemimpin perempuan agar mereka mewakili suara perempuan bukan mewakili dinasti politik.

  2. Kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan anak:
    Kebijakan yang berpihak pada perempuan dan anak masih sangat sedikit sehingga persoalan-persoalan yang ada tidak bisa diatasi.
  3. Kemiskinan:
    Menjadi akar masalah yang tidak terselesaikan hingga hari ini.

Harapan untuk Masa Depan Perempuan dan Anak
Lantas bagaimana seharusnya kondisi perempuan dan anak yang kita harapkan? Beragam respons muncul dari para peserta. Kondisi perempuan dan anak akan baik-baik saja jika;

  • Perempuan ikut mengubah dunia.
  • Perempuan menjadi pemimpin.
  • Tidak ada diskriminasi.
  • Ruang untuk anak muda berkreasi (youth center).
  • Perempuan dan anak bebas dari kekerasan.
  • Anak tumbuh didampingi orang tua.
  • Perempuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
  • Perempuan menghargai keberagaman.
  • Hak dasar anak dan perempuan terpenuhi.
  • Berdaya dan mandiri.
  • Perempuan dan anak terlindungi.

Untuk melahirkan itu semua, kita semua harus mengakhiri akar persoalan yang ada, terus berstrategi dan bergerak bersama.

Kemandirian Perempuan: Akar Pernikahan yang Sehat


Tren Pernikahan dan Perceraian di Indonesia

Bulan ini ramai di media sosial data pernikahan 2024 yang sebenarnya pernah dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Maret tahun ini. Statistik tersebut mengungkap tren pernikahan yang turun 28,63% dalam 10 tahun terakhir. Ambil contoh pada 2024, angka pernikahan di Jakarta berkurang empat ribu, sedangkan Jawa Barat turun 29 ribu.

Berkurangnya angka pernikahan sejalan dengan bertambahnya angka perceraian. Meski baru hingga tahun lalu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) membeberkan tren tersebut pada Juli 2024.

Angka perceraian 2023 tercatat 463.654, sedikit turun dari 516.334 kasus selama 2022. Data perceraian 2021 menyentuh 447.743, lebih tinggi dari 291.667 kasus pada 2020. Terhambatnya pelayanan publik turut mempengaruhi pencatatan data perceraian pada 2020.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti, mengatakan pertengkaran dan ekonomi menjadi dua penyebab utama perceraian pada 2023. Kasus terkait perselisihan dan pertengkaran yang dilaporkan mencapai 251.828, sementara terkait ekonomi 104.488 kasus selama tahun lalu.

Kompleksitas di Balik Motivasi Menikah di Indonesia

Mengapa menikah? Ditinjau dari kacamata Islam, menikah merupakan sunnah yang mendatangkan banyak manfaat. Setiap kali menerima undangan pernikahan, doa yang acapkali disampaikan kepada setiap mempelai yang tengah berbahagia adalah semoga mencapai sakinah, mawadah, warahmah (SAMAWA).

Secara konsep, pernikahan adalah sarana mulia untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan. Tujuan lainnya memenuhi fitrah diri yang ingin berpasangan, memperoleh keturunan, hingga menjalankan sunnah Rasulullah SAW.

Melihat dua data di atas, motivasi pernikahan di Indonesia ternyata tidak sesederhana anjuran dari agama. Aspek budaya, sosial, dan ekonomi ternyata turut mempengaruhi seseorang berumah tangga. Sebagai negara dengan budaya Timur yang kental, pernikahan masih menjadi suatu kewajiban bagi seseorang jika usia menginjak angka tertentu. Jika, katakanlah, seorang pria atau wanita telah berumur 30 tahun namun belum menikah, ia harus siap memperoleh cap aneh atau negatif.

Di lain pihak, menikah lebih karena ekonomi masih jamak terjadi. Masih ada anggapan anak perempuan sebagai beban ekonomi sehingga menikahkannya menjadi jalan keluar instan. Pernikahan seperti ini tetap dilakukan meski sang anak masih belum siap secara mental atau kesehatan.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka pernikahan anak masih mencapai 6,92 persen selama 2023. Walau turun dari 8,08 pada 2022, statistik tersebut menunjukkan masih banyak yang belum sadar bahaya pernikahan anak di bawah umur. Salah satu dampak buruknya adalah risiko melahirkan bayi stunting.

Undang-Undang untuk Mendukung Kesetaraan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menaikkan ambang batas usia menikah. Baik calon pengantin pria dan wanita harus sama-sama berusia minimal 19 tahun menurut aturan baru tersebut. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, batas umur minimal pria untuk menikah adalah 19 tahun, sedangkan perempuan minimal 16 tahun.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 mempertimbangkan perbedaan batas usia minimal menikah sebelumnya telah menimbulkan diskriminasi dalam hal pelaksanaan hak membentuk keluarga dan perlindungan serta pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Karenanya, penyamarataan umur minimal menikah yang sama tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin akan membuat kesejajaran persepsi mengenai hak dan kewajiban dalam berumah tangga baik pria dan wanita.

Kesetaraan Pemenuhan Ekonomi: Gerbang Terciptanya Pernikahan Ideal

Revisi umur minimal di atas bukan sekadar angka. Pemerintah sejak keluarnya UU tersebut menegaskan masyarakat harus mulai menyadari pentingnya melihat pria dan wanita setara dalam hal hak dan kewajiban berumah tangga.

Di budaya yang kental patriarki seperti di Indonesia, aturan tersebut begitu penting. Hingga sekarang masih dijumpai anggapan dalam rumah tangga pria lah yang lebih berkuasa sebab ia menafkahi keluarga. Perempuan masih diposisikan sekadar pendamping, bahkan kurang berdaya, sebab “hanya” mengerjakan tugas rumah tangga. Tidak mengherankan, ketergantungan yang terlampau besar pada suami membuat istri rentan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Hadirnya gerakan feminisme mengikis salah kaprah yang telah mendarah daging tersebut. Semakin gencar narasi kesetaraan gender membuat publik makin melek bahwa pendidikan tinggi penting bagi laki-laki dan perempuan. Bertambah banyaknya tokoh perempuan di posisi vital menandakan perempuan bisa secerdas dan sekuat kontribusinya dengan laki-laki di masyarakat.

Perempuan yang pintar dan mandiri akan melahirkan akar pernikahan yang sehat. Tidak hanya sehat secara ekonomi, melainkan juga dari segi mental. Perempuan yang mandiri akan lebih baik dalam memberdayakan logika dan emosi dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Untuk menciptakan perempuan mandiri, seluruh pihak harus terlebih dahulu membuang jauh pemikiran “untuk apa perempuan bersekolah tinggi jika ujungnya harus di rumah.” Entah memilih berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, peran perempuan cerdas sangatlah krusial sebagai madrasah pertama anak. Sebab dari sini akan terlahir anak-anak yang sehat dan setara memandang lawan jenisnya sebagai kunci berkesinambungan untuk keluarga Indonesia matang dari segala aspek.