Pos

Tokoh Agama

Tokoh Agama dan Tantangan Perlindungan Anak di Kalibaru Jakarta Utara

Oleh: T.G.M. Ahmad Hilmi, Lc., MA.

 

RUMAH KitaB atas dukungan AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) 2 telah menjalankan program perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak di wilayah Jakarta Utara sejak tahun 2017 hingga 2022. Program ini dibagi dalam dua periode, periode Berdaya I tahun 2017 – 2019, dan periode Berdaya II tahun 2020 – 2022.

Kelurahan Kalibaru termasuk pilot project dari Program Berdaya I dan II. Dipilihnya Kelurahan Kalibaru karena beberapa hal. Pertama, dalam 25 tahun terakhir, Kalibaru dikenal sebagai kelurahan terpadat untuk tingkat kelurahan/desa) di provinsi Jakarta, bahkan Indonesia. Dengan luas hanya 2.467 km2 dan dihuni sebanyak 84.491 jiwa—berdasarkan data tertulis di BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018—Kalibaru dianggap sebagai “Kelurahan Sempit”. Sekitar 70 persen wilayahnya merupakan wilayah industri bukan pemukiman. Artinya, kurang dari 30 persen wilayahnya digunakan untuk pemukinan dan dipaksa menampung populasi sebanyak itu.

Kedua, praktik perkawinan anak yang tinggi. Data statistik BPS menyebutkan bahwa permohonan dispensasi kawin mengalami kenaikan dalam 5 tahun terakhir di Kalibaru. Sementara berdasarkan hasil asesmen Rumah KitaB tahun 2017, praktik perkawinan siri atau perkawinan yang melibatkan anak-anak menjadi fenomena yang dipandang biasa oleh masyarakat setempat.

Tahun 2020 Rumah KitaB kembali melakukan asesmen di Kalibaru, dan ditemukan bahwa praktik perkawinan anak masih kerap terjadi. Bedanya, terjadinya perkawinan anak di Kalibaru tahun 2017 lebih banyak dilatarbelakangi dorongan orangtua, tradisi bawaan dari kampung halaman sebelumnya, dan mulai banyaknya kasus kehamilan yang tak dikehendaki (KTD).

Sementara tahun 2020 – 2021 praktik perkawinan anak di Kalibaru dilatari kekerasan seksual yang dialami anak perempuan oleh para pelaku yang merupakan keluarga sedarah, tetangga, dan pacar korban. Hal ini kerap terjadi selama pandemi saat diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ), di mana anak tidak lagi memiliki aktivitas pendidikan dan tidak memiliki lingkungan pendidikan yang diperlukan.

Di pihak lain, orangtua tidak memiliki pengetahuan yang adil gender, tidak memiliki kapasitas parenting yang memadai, bahkan kebanyakan mereka tertekan secara psikologis akibat penurunan penghasilan dan melemahnya daya beli terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok yang disebabkan pemutusan hubungan kerja dan hilangnya sebagian kesempatan usaha kecil dan menengah akibat daya beli masyarakat yang juga menurun drastis hingga 60 persen lebih. Sedangkan pihak sekolah menuntut dan memaksa para orang tua untuk menggantikan sebagian besar fungsi dan tugas guru di dalam rumah, sesuatu yang tidak benar-benar mereka kuasai.

Kondisi itu telah menghasilkan ragam kekerasan yang menimpa anak-anak perempuan yang dilakukan oleh sebagian orang tua dan keluarga dekat, yang sebagiannya adalah praktik kekerasan seksual yang mengakibatkan terjadinya pemaksaan perkawinan terhadap anak-anak perempuan demi menyelamatkan aib keluarga.

Dan fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah keterlibatan tokoh-tokoh agama dalam angka praktik perkawinan siri yang melibatkan anak-anak. Tahun 2018, para tokoh agama yang terlibat dalam praktik perkawinan siri adalah mereka yang berdomisili di Kelurahan Kalibaru dan sekitarnya. Adapun tahun 2020, praktik perkawinan siri lebih banyak dilakukan oleh para tokoh agama dari luar Kelurahan Kalibaru. Beberapa kasus perkawinan anak ditemukan di luar Kelurahan Kalibaru, meskipun anak-anak yang dikawinkan merupakan warga Kelurahan Kalibaru.

Program pencegahan perkawinan anak tanpa melibatkan pandangan keagamaan alternatif yang mendukung, hampir mustahil dapat dilakukan dan tidak membawa pengaruh apapun bagi perubahan. Karena itu, Rumah KitaB selalu mensosialisasikan pandangan keagamaan alternatif dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah li al-nisâ` (tujuan universal syariat untuk perempuan), yaitu pandangan keagamaan yang berpihak kepada perempuan dan anak perempuan dengan landasan keadilan gender. Sosialisasi ini dilakukan di berbagai kesempatan, seperti pelatihan para tokoh formal dan tokoh non formal, orangtua, hingga remaja.

Di ketiga komunitas ini, agama dan budaya selalu menjadi latar utama yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Dalam hal ini, pendekatan dan komunikasi personal perlu dilakukan terhadap para tokoh agama yang berpengaruh di Kelurahan Kalibaru, misalnya para sesepuh NU Jakarta Utara, sesepuh MUI Kecamatan Cilincing, dan lain sebagainya untuk mendiskusikan pandangan keagamaan alternatif terkait pencegahan perkawinan anak.

Pendekatan serupa itu meniscayakan dukungan dari para tokoh agama. Sebut, misalnya, dari K.H. Fatoni, sesepuh NU Jakarta Utara, yang mulanya tidak mengetahui bahwa perkawinan anak mengandung madharat, namun kini ia sangat aktif mendakwahkan pentingnya pendewasaan usia perkawinan dalam perspektif Islam kepada para jamaahnya di Kalibaru. Selain Kiyai Fatoni, ada juga beberapa tokoh NU di Jakarta Utara yang memberikan dukungan. Demikian juga para sesepuh Muhammadiyah dan MUI Kecamatan Cilincing, seperti Ustadz H. Muhammad Nur, K.H. Nursaya, Ust. M. Sito Anang, M.Kom., yang sebelumnya tidak mengerti kemadharatan perkawinan anak, kini berbalik mendukung pencegahan perkawinan anak.

Para tokoh agama yang aktif dalam struktur DKM di beberapa masjid seperti Ustadz Baginda Hambali Siregar, M.Pd. (DKM masjid Baitul Mukminin, RW. 006 Kelurahan Kalibaru), Ustadz Mohammad Ishaq Al-Hafidz (DKM Masjid Al-Mu’tamar Al-Islamiyyah, RW. 003 Kelurahan Kalibaru), Ustadz Syafi’i (Pesantren al-Qur`an Kebantenan), dan yang lainnya juga mendukung pencegahan perkawinan anak. Bahkan perwakilan dari mereka, Ustadz Baginda Hambali Siregar, menjadi salah satu pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru. Ustadz Hambali sangat aktif memberikan penyuluhan dan sosialisasi bersama pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru terkait perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak.

Masih terjadinya praktik perkawinan siri hingga kini di Kalibaru tentu menjadi tantangan dalam upaya perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak. Karena itu, sosialisasi dengan melibatkan para tokoh agama lokal, baik itu pengurus ormas keagamaan, pengurus majelis taklim dan DKM masjid/mushall, hingga pengurus lembaga-lembaga pendidikan agama di wilayah Kalibaru dan sekitarnya, juga para penyuluh agama Kementerian Agama Jakarta Utara, perlu terus digalakkan agar program perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak dapat dilakukan secara efektif.[AH]

 

Wahhabisme dan Muhammadiyah: Mengurai Titik Beda

Muhammadiyah dan Wahhabisme selalu hangat menjadi perdebatan baik di kalangan warga Muhammadiyah maupun umat Islam pada umumnya. Ada yang menolak keras, dan tidak nyaman ketika Muhammadiyah diidentikkan dengan Wahhabi. Sebaliknya, ada yang membela bahwa Wahhabi karena memiliki spirit yang sama dengan Muhammadiyah.

Kali ini redaksi IBTimes.ID kembali melakukan wawancara kepada Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu Prof. Dr. M. Amin Abdullah, MA. Berikut ini adalah ulasannya:

Bagaimana pendapat Anda mengenai Wahhabisme yang selalu dikaitkan dengan Radikalisme?

Sebenarnya, persoalan Wahhabi sangat kompleks. Kita tidak bisa menuduh begitu saja gerakan Wahhabi sebagai gerakan teroris ataupun pendorongnya. Satu faktor tidak bisa dijadikan sebagai sumber untuk memberikan penilaian. Persoalan ini melibatkan banyak faktor, seperti faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Jadi, persoalannya multifaktor.

Bukankah paham keagamaan menjadi spirit orang bertindak?

Memang paham keagamaan dapat menjadi salah satu dari inspirasi gerakan teroris. Tetapi, di atas segalanya itu bermuara pada problem keadilan. Jika persoalan belum menemukan solusi, atau keadilan belum dapat ditegakkan, orang akan dengan mudah menjadikan agama sebagai legitimasi untuk meruntuhkan rezim. Dalam persoalan ini, satu hal yang paling mudah dibidik adalah argumen ketidakadilan.

Lalu apa dan bagaimana sebenarnya Wahhabi itu?

Untuk bisa mengetahui karakteristik gerakan ini, kita perlu melihat sejarah pada abad 18, tepatnya sebelum dan sesudah tahun 1750. Perihal konteks kelahiran Wahhabi tahun 1750, konteks saat itu kan Kerajaan Ottoman Turki. Kita juga perlu memahami kondisi sosial dan politik di tanah Arab pada era tersebut. Dalam sejarah Islam, awal kebangkitan kaum puritan dimulai dari kaum Wahhabi. Kaum Wahhabi telah memengaruhi setiap gerakan puritan di dunia Islam pada era kontemporer. Taliban dan al-Qaeda merupakan contoh kelompok Islam yang sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran Wahhabi. Dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh seorang Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Dengan semangat puritan, ‘Abd al-Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti Islam, seperti tashawwuf, tawassul, rasionalisme, ajaran Syi’ah dan berbagai praktek inovasi bid’ah.

Apa sebenarnya yang ingin diperjuangkan kaum Wahhabi?

Wahhabisme memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme. ‘Abd al-Wahhab sendiri gemar membuat daftar panjang keyakinan dan perbuatan yang dinilainya munafik, yang bila diyakini atau diamalkan akan segera mengantarkan seorang Muslim berstatus “kafir”. Kaum Wahhabi juga melarang penggunaan gelar penghormatan, seperti “tuan,” doktor”, “mister”, atau “sir”. Imbuhan seperti itu adalah sebentuk penyekutuan terhadap Tuhan. Menggunakannya bisa menjadikan seorang Muslim berstatus ”kafir”.

Kaum Wahhabi menyikapi teks-teks agama —al-Qur’an dan Sunnah— sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model ideal Negara Madinah yang telah dibangun Nabi SAW. Menurut mereka, umat Islam akan terbebas dari keterbelakangan dan keterhinaan kolektif jika mau kembali berpegang pada ajaran Tuhan karena akan mendapatkan bantuan dan dukungan-Nya.

Kesederhanaan, ketegasan, dan absolutisme pemikiran keagamaan ‘Abd al-Wahhab menjadikannya menarik bagi sebagian umat Islam. Tetapi, dalam penyebarannya, Wahhabisme tidak menggunakan benderanya sendiri. Mengingat asal-usul keyakinan Wahhabi yang marjinal, penyebaran yang bersifat masif sulit dilaksanakan.

Lalu bagaimana bentuk Wahhabisme di era kontemporer?

Pada era modern, Wahhabisme menyebar ke dunia Muslim di bawah bendera Salafisme yang berdiri pada abad ke-19. Istilah salaf  berarti “pendahulu”, dan dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, para sahabat (salafus shalih), dan tabi’in.

Selain itu, istilah tersebut punya makna fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural, karena melambangkan otentisitas dan keabsahan. Istilah salafi dimanfaatkan oleh setiap gerakan yang  menginginkan klaim otentisitas Islam. Meskipun awalnya istilah itu dipakai kaum reformis liberal pada awal abad ke-20, kaum Wahhabi menyebut dirinya kaum Salafi. Tetapi, hingga tahun 1970-an, istilah ini tidak terkait dengan keyakinan Wahhabi.

Apa bedanya Salafi dan Wahhabi?

Berbeda dengan Wahhabi, Salafi tidak membenci tashawwuf. Para ilmuwan Salafi cenderung terlibat dalam praktek talfiq, yaitu memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan pendekatan baru terhadap berbagai problematika yang muncul.

Salafisme dimotori oleh para reformis Muslim, seperti Muhammad ’Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Al-Syaukani, dan Jalalus Shan’ani, yang dalam periode pra-modern dikumandangkan oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.

Wahhabi mempunyai gerakan yang selalu bermetamorfosa. Gerakan ini semula berhubungan dengan istana (kekuasaan). Kasus perang Irak dan Kuwait membuat rezim Saudi Arabia ketakutan, kemudian mengundang Amerika Serikat. Begitu juga latar belakang kemunculan gerakan ini berkaitan dengan politik kekuasaan setempat. Dengan demikian, pola gerakan Wahhabi sejak awal hingga sekarang sudah berbeda.

Salafi ada macam-macam. Ada faksi dahwah, ada faksi haraki dan ada faksi jihadi. Nah, yang belakang ini yang kermdian muncul salafi-jihadi. Takfiri muncul antara lain karena dokrin al-walla’wa al-barra’ (loyalty and disavowal). Loyal dan setia  hanya kepada kelompok dan golongan sendiri dan tidak setia, tidak loyal kepada  orang atau golongan yang tidak segolongan atau golongan yang berbeda.

Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah seringkali dikaitkan dengan Wahhabi?

Latar belakang gerakan Wahhabi tentu saja berbeda dengan Muhammadiyah. Tantangan-tantangan yang dihadapi juga berbeda. Jika Wahhabi memiliki relasi dengan kekuasaan rezim setempat, maka Muhammadiyah tidak seperti itu. Tantangan-tantangan yang dihadapi Muhammadiyah di Indonesia (dulu Hindia-Belanda) juga berbeda dengan Wahhabi di Arab Saudi.

Sebagai gerakan keagamaan, memang benar Wahhabi adalah gerakan purifikasi. Tetapi, satu hal yang harus dicatat, bahwa semua agama juga memiliki potensi radikalisme.

Dalam agama Kristen juga ada gerakan purifikasi yang radikal. Demikian juga dalam Islam, ada gerakan purifikasi seperti Wahhabi yang sangat radikal. Hanya saja, pada era modern seperti sekarang ini, persoalannya sudah sangat kompleks, tidak cukup hanya purifikasi.

Bagi saya inspirasi gerakan Muhammadiyah yang mengusung semangat pemurnian Islam tidak bisa lepas dari sejarah. Dalam konteks kesejarahan, kemungkinan adanya keterkaitan antara berdirinya Muhammadiyah di Hindia-Belanda dengan Wahhabi di Saudi Arabia masih membutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut. Sebab, dari segi lokalitas sejarah sudah berbeda. Namun, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi.

Apa bedanya Muhammadiyah dengan Wahhabi?

Muhammadiyah mendirikan Perguruan Tinggi dengan membuka ilmu-ilmu baru. Gerakan Wahhabi tidak seperti itu. Muhammadiyah melakukan aktivitas, seperti mendirikan Rumah Sakit. Gerakan Wahhabi tidak pernah melakukan seperti itu. Muhammadiyah juga mewadahi aktivitas kaum perempuan, sebut saja ‘Aisyiyah. Gerakan Wahhabi malah tidak sampai ke situ. Artinya, Muhammadiyah tidak bisa dipersamakan begitu saja dengan Wahhabi.

Adanya ruang bagi pengembangan kreativitas seni, penyelenggaraan Perguruan Tinggi, pendirian rumah sakit, dan akomodasi gerakan perempuan, menjadi indikasi bahwa secara organisasi, gerakan Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi. Walaupun pada perjalannnya, Wahab setelah booking minyak juga mendirikan Perguruan Tinggi di Madinah al-Munawwarah sekitar tahun 1960an dengan pemberian beasiswa kepada mahasiswa di seluruh dunia.

Oleh sebab itu, seharusnya semua orang melihat gerakan Muhammadiyah dari aspek dinamisasinya, bukan aspek purifikasinya saja. Jika dinilai dari gerakan purifikasinya saja, Muhammadiyah tentu agak sejalan dengan Wahhabisme. Akan tetapi, aspek ini ketika masuk wilayah budaya, maka akan menjadi masalah. Kajian budaya membutuhkan ilmu-ilmu lain, seperti Filsafat, Sosiologi, Antropologi, dan lain-lain. Jika budaya hanya dibenturkan dengan semangat purifikasi, maka itu akan menjadi masalah baru. Oleh karena itu, perlu digunakan ilmu-ilmu lain untuk mengkaji budaya.

Lalu bagaimana seharusnya sikap Muhammadiyah?

Muhammadiyah perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai  perkembangan  ini. Dalam Muhammadiyah, secara tegas disebutkan adanya aspek “pemurnian” selain “pembaruan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ‘amar ma’ruf.’

Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya, akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keumatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’–dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’–juga berpotensi terbawa arus jihad yang menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive), dan bukannya persuasif (persuasive).

Sejauhmana relevansi gerakan pemurnian Islam yang dimainkan oleh Muhammadiyah?

Dalam konteks Indonesia, ajaran tauhid sebagai bagian dari keadilan, semua orang pasti masih membutuhkannya. Ini salah satu misi yang sebenarnya juga milik gerakan Wahhabi. Isu keadilan masih akan tetap relevan. Gerakan purifikasi harus dapat menjawab persoalan sosial kekinian yang makin kompleks. Kasus korupsi yang marak di Indonesia, misalnya, adalah bagian dari krisis moral. Jika kasus korupsi dipahami sebagai bagian dari persoalan agama, maka gerakan purifikasi harus dapat memberikan jawaban atas ketidakadilan sosial ini.

Bagaimana supaya gerakan pemurnian Islam tetap relevan dengan perubahan zaman?

Agar gerakan purifikasi tetap relevan, perlu perjumpaan dengan ilmu-ilmu sosial yang lain.   Jika tidak, maka puritanisme berpotensi tetap bertahan di tengah kehidupan masyarakat modern yang makin kompleks. Harus disadari, ini merupakan dialektika kehidupan yang melibatkan banyak faktor. Harus ada dialektika antara agama, budaya lokal, dan keilmuan. Kita tidak bisa memahami persoalan hanya sepotong, tetapi harus secara keseluruhan. Menurut hemat saya semangat puritanisme masih tetap relevan jika bersinergi dengan ilmu-ilmu sosial lain. Misalnya, dalam kasus moral, semangat pemurnian dari korupsi masih dibutuhkan. Ke depan, semangat pemurnian jelas masih dibutuhkan. Tentu saja dengan catatan, asalkan mau berdialog dengan ilmu-ilmu kontemporer yang terus berkembang.

Reporter: Azaki Khoirudin.

Sumber: https://ibtimes.id/wahhabisme-dan-muhammadiyah-mengurai-titik-beda/?fbclid=IwAR2f8E3wvHkREwb2EL1ymZDWekRDM9wA1Uzg4JntEQPx-Ma0fBs9M1HnE4I

Islam, Demokrasi, dan Perdebatan yang Belum Usai

Lies Marcoes Natsir, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Kitab menceritakan satu kenangan bersama almarhum Presiden Indonesia keempat, Abdurrahmah Wahid alias Gus Dur. Dia ingat, suatu saat berada dalam forum seminar bersama Gus Dur di Erasmus Huis.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan, di banyak negara Islam, belum tentu perempuan diberi tempat sebaik di Indonesia. Di mana kondisi itu adalah konsekuensi logis, sejak adanya pesantren putri dan perempuan bisa masuk ke perguruan tinggi Islam. Langkah itu, membawa mereka ke banyak pilihan, seperti Fakultas Syariah, yang akhirnya memungkinkan perempuan menjadi hakim.

“Sesuatu yang di negara Islam lain tidak mungkin, pada waktu itu tahun 1957, perempuan bisa menjadi hakim. Jadi, penerimaan perempuan ada di ruang publik dan menduduki peran-peran yang strategis hampir tanpa diskriminasi, itu adalah satu ciri penerimaan atau kesesuaian Islam dan demokrasi,” ujar Lies.

Kenangan itu dipaparkan Lies dalam forum yang juga digelar Erasmus Huis dalam bingkai AE Priyono Democracy Forum, Jumat (16/10) sore. Kali ini, forum berbincang mengenai Islam dan Demokrasi: Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia.

Moderat Sejak Lama

Lies ingin meyakinkan publik, bahwa Islam di Indonesia sejak lama sebenarnya bersifat moderat atau yang disebut sebagai washatiyah. Sikap moderat itu menjadi pilar yang menjamin perkembangan dan bersemainya demokrasi.

Faktornya, kata Lies, antara lain karena Indonesia memiliki dua organisasi sipil Islam yang kuat, yaitu NU dan Muhammadiyah. Indonesia juga memiliki pesantren, sebagai subculture dari Islam, dimana perempuan yang diwakili figur Bu Nyai, berperan sangat penting. Faktor ketiga, menurut Lies, Indonesia memiliki perguruan tinggi Islam, dimana moderasi beragama dikembangkan. Paling penting dari itu, salah satu ciri khas Islam di Indonesia, dimana demokrasi bisa berkembang, karena perempuan mendapatkan tempat di ruang publik.

Sayangnya, dalam periode Orde Baru, kondisi justru berubah. Dalam ideologi yang memadukan pengaruh Jawa dan militer, kata Lies, perempuan dipindah perannya ke belakang, yang dikenal dengan istilah “konco wingking”.

AE Priyono Democracy Forum, Islam dan Demokrasi Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia, Jumat, 16 Oktober 2020. (Foto: screenshot)

“Yang paling menyedihkan, saya kira, sehingga kita punya masalah sekarang, di era Orde Baru kita tidak diberi kesempatan melakukan kontestasi, dengan pandangan-pandangan yang datang dari Islam,” tambah Lies.

Setelah reformasi kondisinya kembali berubah, ada kelompok yang di era ini justru kembali mengangkat ide-ide berdasar teks keagamaan. Demokrasi, kemudian,seolah muncul kembali pertentangannya dengan Islam.

Tantangan Bagi Muslim

Budhy Munawar Rachman, pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas menyebut beberapa kemungkinan, mengapa Indonesia masih memiliki masalah ketika persoalan Islam dan demokrasi sebenarnya sudah selesai.

“Pertama kali, mungkin kita harus ingat bahwa demokrasi ini sebenarnya sesuatu yang memang baru. Betul-betul baru untuk dunia Islam. Baru dalam arti, bahwa ini adalah norma internasional yang di dunia Islam belum dikenal. Walaupun ,kita bisa mencari akar demokrasi di dalam tradisi-tradisi Islam,” kata Budhy.

Karena baru itu, dibutuhkan refleksi yang mendalam dari komunitas muslim, terutama cendekiawan, tentang ide-ide yang berkembang di dunia Islam. Hal itu perlu agar persoalan ini menjadi bagian dari Islam, dari pemikiran Islam, kata Budhy.

Para pemikir muslim Indonesia, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, dan banyak lainnya, menurut Budhy sebenarnya sudah menunjukkan kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Budhy memberi contoh, negara-negara mayoritas muslim yang akhirnya memilih menerapkan demokrasi ketika merdeka, adalah bukti Islam selaras dengan demokrasi.

Dia juga meyakinkan, jelas tidak ada masalah demokrasi sebagai sebuah nilai. Persoalannya tinggal teknis penerapan demokrasi dalam kenyataannya.

“Tugas kita sebagai muslim sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan mutu dari demokrasi tersebut. Masalah kita bukan, apakah Indonesia itu negara demokrasi atau bukan karena kita adalah negara demokrasi. Nilai apa yang disumbangkan kalangan muslim terhadap proses demokratisasi itu dan meningkatkan mutu demokrasi adalah tanggung jawab kita,” papar Budhy.

Polarisasi Kian Terasa

Peneliti yang sedang menempuh program doktor di Australian National University, Nava Nuraniyah, menyebut, kelompok-kelompok dalam Islam memberi dukungan politik yang berbeda di Indonesia.

Dalam dua Pemilu terakhir, posisi keduanya semakin terlihat karena dukungan yang terpusat pada dua kubu berseberangan. Karena hanya dua kubu itulah, polarisasi semakin terasa. Perbedaan dalam demokrasi sebenarnya sesuatu yang wajar, namun dalam kasus dua Pemilu terakhir, kondisi itu justru membahayakan demokrasi.

“Polarisasi yang berimbas kepada demokrasi, adalah ketika berbagai macam permasalahan yang ada di masyarakat, dari mulai perbedaan etnis, agama, sampai ketimpangan ekonomi, itu dikerucutkan, diesensialisasikan menjadi seakan-akan itu cuma satu jenis pembelahan identitas,” kata Nava.

Dia memberi contoh, yang terjadi di Amerika Serikat antara kelompok kulit putih dan imigran serta kulit hitam. Atau di India, yang terjadi antara Hindu dengan minoritas muslim. Di Indonesia, periode ini dikenal dengan perseteruan Kadrun dan Cebong. Karena polarisasi, Pemilu yang semestinya menjadi adu program kebijakan, berubah serupa perang suci antara dua ideologi, ujar Nava.

Di Indonesia, lanjut Nava, kubu yang dianggap pluralis menang dalam Pemilu, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus pembubaran HTI misalnya, muncul banyak kritik karena prosedur itu tidak dilakukan melalui pengadilan.

Nava memaparkan, ada tiga mazhab dalam menyikapi kondisi yang saat ini terjadi, yang dibahas kalangan peneliti demokrasi. Aliran pertama adalah mereka yang percaya, bahwa demokrasi harus dibela dengan cara militan. Mereka percaya, kebebasan berbicara dan berkumpul bisa dibatasi untuk kelompok tertentu yang memang mengancam demokrasi. Namun, tindakan itu harus melalui jalur hukum, bukan keputusan sepihak seorang presiden.

Mazhab kedua adalah demokrasi liberal prosedural. Kelompok ini menegaskan, bahwa dalam demokrasi, negara harus mengakomodasi seluas-luasnya semua pendapat, bahkan bagi kelompok intoleran. Tujuan memberi akomodasi ini, karena pertimbangan lebih baik kelompok ini berada dalam sistem daripada bertambah radikal di luar. Jika mereka mengikut kompetisi politik yang fair, kelompok ini akan belajar menjadi lebih pragmatis. Di Indonesia, kelompok yang awalnya pro syariah, kemudian melunak karena dalam sistem demokrasi kelompok ini dipaksa melakukan proses take and give.

“Yang terakhir, sosial demokrasi. Ini lebih menekankan pada keadilan sosial, bahwa untuk memperkuat demokrasi, tidak cuma institusinya yang dikuatkan, tetapi juga rakyatnya dikuatkan. Pertama, ketimpangan ekonomi harus diselesaikan dahulu. Ketika rakyat menikmati akses setara dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kebebasan berpendapat dalam demokrasi, maka dengan sendirinya rakyat akan merasa memiliki dan membela demokrasi,” papar Nava. [ns/ab]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/islam-demokrasi-dan-perdebatan-yang-belum-usai/5624093.html

Masih Relevankah Doktrin Politik Sunni pada Masa Ini?

MOJOK.CO – Seperti saya jelaskan di tulisan sebelumya, kita tidak bisa menyalahkan ulama Sunni yang merumuskan doktrin yang “mau main aman”.

 

Seperti saya jelaskan dalam bagian sebelumnya, ciri pokok doktrin politik Sunni adalah “realisme-pragmatis” yang ditandai oleh penerimaan yang “legawa” terhadap status quo kekuasaan, walau ia zalim dan otoriter.

Sebab oposisi terhadap kekuasaan yang zalim, meski secara moral-politik sangat absah, bisa menimbulkan akibat yang lebih buruk: fitnah, kekacauan politik.

Seperti saya jelaskan kemarin, kita tidak bisa menyalahkan ulama Sunni yang merumuskan doktrin yang “mau main aman” seperti ini. Kelahiran doktrin ini terkait dengan corak kekuasaan tradisional yang cenderung brutal, tidak menerima oposisi dalam bentuk apapun, dan “ketegaan” raja-raja tradisional dulu untuk menghukum musuh-musuh politik secara kejam (silahkan baca Tarikh al-Tabari mengenai sejarah politik yang brutal di zaman kerajaan-kerajaan Islam awal dulu).

Penguasa tradisional juga tak punya banyak pilihan kecuali menjalankan politik yang kejam seperti ini, karena hanya dengan cara demikianlah mereka bisa memastikan ketaatan rakyat. Praktek “rule by fear” (berkuasa dengan cara menanamkan ketakutan) semacam ini adalah hal yang lazim pada zaman lampau.

Biasanya model kekuasaan semacam ini akan terpaksa ditempuh oleh raja-raja tradisional ketika mereka sudah kehilangan kegitimasi di mata rakyat. Inilah yang terjadi pada era dinasti Umawiyyah pada masa awal Islam. Pada masa inilah doktrin Sunni yang “quietist,” tunduk pada kekuasaan itu mula-mula dirumuskan.

Pertanyaannya: Apakah doktrin ini masih relevan sekarang, ketika konteks politik sudah berubah secara total? Apa yang saya maksud dengan “perubahan konteks” di sini adalah munculnya negara modern yang umumnya menganut sistem politik yang demokratis.

Dalam sistem seperti ini, oposisi dan kritik terhadap penguasa bukan hal yang “tabu”. Tidak ada “political reprisal” atau balas dendam politik yang kejam dari penguasa dalam negara modern yang demokratis terhadap para pengkritiknya seperti di zaman dulu.

 

Saya cenderung menjawab: bahwa doktrin politik Sunni ini secara umum masih relevan hingga sekarang. Dalam pandangan saya, ada beberapa dampak positif dari doktrin Sunni yang quietist itu dalam kehidupan kenegaraan modern. Salah satunya adalah hal berikut ini.

Pada umumnya, ulama Sunni cenderung lebih fleksibel secara politik dan mudah menerima negara modern dalam bentuk negara bangsa, nation state (model negara yang tak pernah dikenal di masa lampau!). Fleksibiltas ini, saya duga, ada kaitannya dengan doktrin politik Sunni yang “realis-pragmatis” itu.

Para ulama NU di Indonesia, sebagai penerus sah ideologi politik Sunni di negeri ini, sebagai contoh kasus yang kongkrit, tidak pernah berjuang untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka tidak setuju dengan Kartosuwirjo yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dulu.

Ini juga yang menjelaskan kenapa ulama dan kiai NU dengan tegas menolak ide negara khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir (HT), karena di mata para mereka, perjuangan semacam ini tak ada bedanya dengan pemberontakan Kartosuwirjo dulu. Bagi mereka, memberontak pemerintah yang sah (al-sulthan al-mutaghallib) adalah tindakan bughat yang tidak bisa disahkan dalam agama—meskipun pemberontakan itu atas nama “memperjuangkan Islam”.

Mereka paham betul betapa banyak pemberontakan dalam sejarah awal Islam dulu juga dilakukan atas nama Islam, seperti dalam kasus kaum Khawarij (kelompok pemberontak yang muncul pada masa khalifah keempat setelah wafatnya Kanjeng Nabi, Ali bin Abi Talib). Memberontak ya tetap memberontak. Titik.

Kelompok Sunni sangat mudah beradaptasi dengam sistem politik manapun, walaupun sistem itu dipandang “sekular” di mata sebagian kalangan Islam lain (biasanya kelompok yang mengikuti doktrin politik “radikal-idealis”).

 

Bagi umat Sunni, lebih baik hidup dalam sistem politik yang tidak atau kurang ideal daripada memberontak yang malah berujung pada “fitnah,” kekacauan politik yang amat berbahaya. Adaptabilitas politik kaum Sunni semacam ini, bagi saya, juga sangat membantu konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Jalan politik “radikal-idealis” seperti yang ditempuh oleh sebagian kelompok-kelompok politik dalam Islam, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, sangat tidak bisa diterima oleh mayoritas ulama Sunni. Bagi mereka, jalan radikal-idealis ini “ndak Sunni banget.” Politik semacam ini selalu menimbulkan reaksi penolakan dari ulama Sunni pada umumnya.

Ini bukan berarti bahwa ulama Sunni menerima dengan penuh “tawakkal” terhadap kekuasaan yang otoriter. Para ulama dan tokoh-tokoh Sunni tidak segan-segan melakukan kritik atas penguasa.

Hanya saja, mereka mengkritik dalam koridor doktrinal seperti yang digariskan oleh al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbuk: yaitu memberikan nasehat, kritik (bisa dalam bentuk kritik keras!) kepada penguasa. Inilah jalan yang oleh al-Ghazali disebut sebagai siyasat al-‘ulama’ (politik para ulama/kiai) yang melanjutkan siyasat al-anbiya’ (politik para nabi).

Jalan inilah yang dulu ditempuh oleh Gus Dur di masa Orde Baru, saat dia melakukan kritik dan oposisi politik terhadap rezim Suharto saat itu. Gus Dur menjalankan “siyasat al-ulama’” ala al-Ghazali: yakni, memberi “nasehat/kritik” kepada penguasa. Tetapi ya hanya sebatas itu. Gus Dur tidak akan mau melangkah lebih jauh: melakukan “macht vorming,” menyusun kekuatan untuk melawan pemerintah. Itu jelas ndak Sunni banget!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

 

Sumber: https://mojok.co/uaa/kolom/masih-relevankah-doktrin-politik-sunni-pada-masa-ini/

5 Salah Paham Keagamaan Merespons Wabah Covid-19.

Oleh Muhammad Ali

1. Penyakit ini azab Allah kepada mereka semua yang dosa dan durhaka (Wabah penyakit ini bermula dari Wuhan, tapi justru korban terbanyak juga Wuhan dan banyak orang Tionghoa juga. Dokter dan para penolongya juga orang Tionghoa, bahkan mereka membagikan alat-alat tes ke banyak negara, termasuk Indonesia. Banyak yang terkena, termasuk Muslim, Katolik, Konfusian, Hindu, dan banyak lagi, dari berbagai profesi, dokter, perawat, imam, ulama, pendeta, orang tua, anak, pekerja, begitu banyak orang-orang baik dan berjasa bagi kemanusiaan.) Dalam teologi Islam, Tuhan memiliki banyak kualitas dan sifat, antara lain Maha Pemurah, Maha Penyayang, dan Tuhan Semua Alam (rab al-alamin).


2. Takut pada Allah, jangan takut sama Corona. (Allah dan virus tidak bisa dibandingkan, jika meyakini Allah sebagai Pencipta, maka virus juga ciptaan Allah, sama seperti Ular, Harimau, dan lain-lain).


3. Melarang Sholat Jamaah dan Pengajian, berarti melarang agama Islam (Bukan solat yang dilarang, tapi bersentuhan dan berkumpulnya, karena penyebaran lewat sentuhan, bersin, kedekatan) Ini berlaku juga untuk semua agama dimana ritualnya adalah komunal. Dalam kondisi darurat ini, ibadah berkumpul bisa diganti dengan ibadah di rumah masing-masing.


4. Kita harus tawakkal kepada Allah. Kalaupun harus sakit dan mati, sakit dan usia adalah taqdir Allah. (Tawakkal betul, tapi setelah usaha. Orang yang sakit meskipun berdoa tapi tidak menjaga fisik dan makanan, dan tidak berobat tetap akan sakit dan bahkan makin parah. Taqdir adalah hukum Allah, yang juga disebut sebagai hukum alam, termasuk mengenai penyakit dan pencegahannya. Agama dan akal tidak perlu bertentangan)


5. Dalam kondisi serba sulit seperti ini, Dimana Tuhan? Mengapa Tuhan tidak turun tangan mencegah makhluk manusia dari bencana? Tuhan tidak berguna, dan karena itu, jangan lagi percaya Tuhan itu ada. (Bukti Tuhan itu ada dan tidak ada, sama posisinya: adanya Tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris, tapi ketiadaan Tuhan pun tidak bisa dibuktikan empiris jika Tuhan diyakini melampaui dunia empiris. Ada unsur kepercayaan dan trust dalam kedua pembuktian ini. Ada faktor misteri mengapa ada bencana seperti wabah penyakit, gempa bumi dan tsunami, dan bencana-bencana alam lainnya. Paling tidak ada hikmahnya: manusia saling tergantung dan saling membutuhkan antar sesama. Manusia dan alam semesta pun demikian. Dan manusia harus terus mengembangkan akal dan ilmu pengetahuan. )

 

Image source: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51813486

Merebut Tafsir: Menanti Dawuh Mbah Bisri

Oleh Lies Marcoes

Akhir bulan Juli 2019, Rumah KitaB menyelenggarakan “Diskusi dengan Ormas Kegamaan,” yang dihadiri wakil ormas dan tokoh formal dan non-formal untuk meminta pendapat mereka tentang pencegahan perkawinan anak. Semula acara “hanya” mengundang 40 wakil Ormas. Namun meskipun yang diundang hanya lima elemen: NU Muhammadiyah, Lembaga dan Kementerian terkait ( MA, Kemenag, Badilag), MUI sebagai lembaga fatwa, LSM, akademisi dan media, pada kenyatannya yang hadir lebih dari itu. Dari NU, tak sekedar PBNU yang dihadiri langsung oleh ketua komisi Fatwa PBNU, kyai Ishom, tetapi juga dihadiri ketua-ketua pegurus tingkat wilayah beserta badan otonomnya seperi LKK NU dan Muslimat. Demikian juga dengan Muhammadiyah. Walhasil peserta yang hadir berjumlah 59 orang mewakili organisasinya masing-masing.

Dalam diskusi ini Rumah KitaB memaparkan hasil penelitian menyangkut dua domain yaitu sosial ekonomi, dan hukum/agama. Dalam mengantarkan acara itu, saya melakukan semacam refleksi. Dalam pelaksanaan program pembangunan, ormas keagamaan Islam merupakan mitra pemerintah di masyarakat. Berdasarkan diskusi dengan kyai Wahid Maryanto, pengasuh Pesantren Kinaniyah Pulo Mas serta dewan pengurus WCC Puan Amal Hayati yang pagi itu juga hadir, program pembangunan yang sangat berhasil menggandeng ulama dan ormas Islam adalah program KB. Keberhasilannya bukan dalam meminta mereka sebagai kaki tangan pembangunan atau corong pemerintah melainkan dalam memberi makna/tafsir yang dapat diterima umat.

Harap diingat, program KB adalah program yang bagaimanapun menyentuh jantung persoalan agama yaitu reproduksi manusia.

Adalah mbah kyai Bisri Mustofa Rembang (lahir 1915), ayahanda Gus Mustofa Bisri- kakek mertua Gus Ulil Abshar Abdalla, yang pertama kali menjelaskan dalam tulisan Arab Jawi (pegon) tentang dibolehkannya penggunaan kontrasespi untuk perencanaan keluarga (kyai Maryant tidak ingat lagi judul kitabnya tapi beliau masih ingat cover kitab itu berwarna putih).

Dalam catatan KH Syaifuddin Zuhri (1988) Mbah kyai Bisri adalah ulama besar yang memiliki pengetahuan komplit; ahli tafsir (beliau sendiri menulis Tafsir) ahli hadits, ahli bahasa Arab, orator, penulis buku bahkan naskah drama. Beliau nyantri di banyak pesantren dan pernah bermukim di Mekkah.

Penjelasan tentang peran Mbah Bisri ini penting untuk menegaskan bahwa ketika beliau menulis tafsir yang terkait perlunya perencanaan keluarga dan karenanya mendukung program KB, beliau sama sekali tidak dalam rangka “menyenangkan” pemerintah (rezim Orde Baru di awal Pembangunan tahun 70-an). Beliau melakukan penafsiran dan menggunakan metode ushul fiqh canggih dan ketat terkait Al Qur’an (17) S Al Isra ayat 31 yang saat itu menjadi pangkal debat dan beda pendapat di kalangan ulama dan kyai dalam menerima dan menolak KB. Ayat itu kemudian dikenal sebagai ayat “khosy-yata imlaq “ yang dikaitkan dengan kampanye KB. Ayat itu kurang lebih artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rejeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar. (QS 17 Al Isro’ ayat 31).

Selain soal ayat itu, penyebab lain penolakan KB saat itu juga karena dipicu oleh cara pembahasaan pemerintah yang secara ideologis mengglorifikasi ideologi Pembangunan. Bahasa yang digunakan selalu demi menyukseskan pembangunan dan bukan berorientasi kepada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Di bawah rezim Developmentalis, bahasa yang digunakan oleh pemerintah dalam membahasakan pentingnya KB selalu berangkat dari ancaman yang seolah meragukan rahmat dan rizki dari Allah. Kesombongan negara itulah yang kemudian dilunakkan oleh Mbah Bisri bahwa Umat Islam tidak boleh meninggalkan generasi yang lemah bukan karena takut tidak kebagian rejeki dari Allah.

Sejak itu tampaknya negara- BKKBN kemudian membungkuk kepada NU dan Muhammadiyah, kepada para kyai dan ulama, ormas, para pendakwah, majelis taklim dan meminta untuk menyampaikan pesan pembangunan KB bukan dalam rangka membatasi jumlah anak dengan alasan takut dan tak percaya rizki Allah yang mengatur, dan bukan pula dalam rangka membunuh, melainkan dengan mengatur jarak kelahiran agar tidak meninggalkan umat yang lemah. Guna tak menyalahi aturan fiqh dalam konsep aurat, atau kekhawatiran penyalahgunaan KB oleh remaja, NU dan Muammadiyah mengusulkan pedoman-pedoman etis yang kemudian digunakan oleh BKKBN.

Hal kedua yang menjadi halangan dalam sosialisasi KB ketika itu adalah karena pemerintah Orde Baru membiarkan terlalu lama terjadinya bisik-bisik politik soal pemberian keistimewaan kepada pengusaha dan warga keturunan Tionghoa. Cerita itu kemudian dengan mudah merembes ke mana-mana termasuk ke program KB. Orang menafsirkan bahwa program KB itu hanya untuk mengurangi jumlah penduduk muslim di negara-negara Islam termasuk Indonesia. Karenanya gosip murahan bahwa KB adalah proyek Yahudi menjadi subur.
Pendekatan demografi ngawur seperti ini kemudian dipatahkan oleh pandangan -pandangan dari kalangan Islam Moderat yang cikal bakalnya berangkat dari dawuh dari Mbah Bisri Mustafa.

Kini Indonesia berhadapan dengan persoalan yang cukup alot terkait dengan tingginya perkawinan anak. Penelitian Rumah KitaB menunjukkan, di luar persoalan ketidakadilan ekonomi, kawin anak dipraktikkan dengan menggunakan argumentasi agama: konsep baligh, hak ayah untuk memaksa (ijbar) dan hamil di luar nikah. Ini semua membutuhkan fatwa keagamaan plus keberanian ormas keagamaan untuk membela ummat (terutama) perempuan yang jelas terdampak sangat parah dari praktik perkawiann anak ini.

Sangatlah menggembirakan dalam “Diskusi dengan Ormas” ini Ketua Komisi Fatwa MUI dan Komisi Fatwa NU memberi pandangan yang tegas dan argumentatif bahwa mengingat begitu banyaknya mudharat yang ditimbulkan maka upaya pencegahan perkawinan anak harus diposisikan sebagai ikhtiar untuk menghilangkan mudharat yang lebih besar.

Sebagaimana dalam program pembangunan Keluarga Berencana, kami para pegiat dalam upaya pencegahan perkawinan anak sungguh menanti dawuh dari para kyai ulama sebagaimana kami dulu mendapatkan dawuh dari “Mbah Bisri Mustafa”. Terlebih karena situasinya kini telah berubah. Jika dulu umat berhadapan dengan arogansi negara, saat ini yang dihadapi adalah juga umat yang menggunakan argumentasi agama dalam membenarkan kawin anak. Mereka menggunakan slogan-slogan yang gampang dicerna umat meskipun sarat sesat pikir ”Kawin muda dari pada zina”! (LM, 1 Agustus 2019)

NU Ajak Orang Tua Didik Akhlak Anak untuk Hindari Nikah Dini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rais Syuriyah Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin mengajak seluruh orang tua untuk menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Caranya dengan mendidik akhlaknya supaya terhindar dari segala perbuatan yang diharamkan oleh agama, termasuk zina.

“Tiap orang tua wajib menjadi pelindung bagi anak-anaknya, mendidik akhlaknya,” kata Gus Ishomuddin menanggapi masih tingginya tingkat perkawinan anak di Indonesia, pada acara diskusi perkawinan anak yang digelar oleh Rumah Kita Bersama (Kitab) di Jakarta, Rabu (31/7).

“Kontrol dari orang tua terhadap anak-anaknya, laki-laki atau perempuan, harus terus dilakukan sehingga perbuatan yang dilarang oleh agama bisa dihindari. Itu cara yang paling bagus untuk menghindarkan anak melakukan pernikahan dini,” paparnya.

Dalam pernikahan itu, jelas Ishomuddin, ada tiga syarat istitha’ah (kemampuan) yang harus dipenuhi. Pertama, kemampuan jasmani atau fisik. Jika seorang perempuan belum siap hamil maka bisa saja anak dalam kandungannya menjadi tidak sehat.

Kedua, istitha’ah nafsiyah, kesiapan secara mental karena untuk menjadi orang tua bagi anak-anak sebaiknya mampu untuk mendidik. “Itu memerlukan mental yang bagus yang cukup akhlaknya untuk diteladani anak-anaknya,” tuturnya.

Ketiga, lanjut Ishomuddin, kemampuan maaliyah atau finansial. Menurut dia, rumah tangga itu baik jika ekonominya kuat.

Sebab, bila suatu pernikahan dilakukan oleh pasangan yang berusia dini dan belum mandiri maka bisa berujung pada kekerasan atau bahkan perceraian. “Konflik itu tak bisa dihindari apabila kalau pernikahann ini terus menerus dipertahankan,” ucapnya.

Karena itu, Ishomuddin berharap para orang tua memberikan perhatian yang lebih kepada anak-anaknya dan tidak menikahkan mereka jika syarat-syarat tersebut belum bisa terpenuhi. “Orang tua yakni bapak dan kakek memiliki hak paksa dalam arti positif kepada anak, memberikan pertimbangan yang komprehensif untuk menyelamatkan anaknya dari masa depan yang tidak baik disebabkan pernikahan usia dini,” kata dia.

 

Sumber: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/19/07/31/pvid2k428-nu-ajak-orang-tua-didik-akhlak-anak-untuk-hindari-nikah-dini#

Era Baru Kebangkitan Ulama Perempuan

Salah satu perkembangan Islam dipengaruhi oleh perempuan. Ketika masa jahiliyah dulu, suara mereka tidak didengar, namun saat Islam datang, perempuan begitu dimuliakan. Apalagi saat ini banyak perempuan yang menjadi ulama.

Perempuan merupakan sosok yang penting dalam ruang lingkup kehidupan, baik dalam ranah keluarga, sosial masyarakat hingga tataran politik kebangsaan. Hadirnya sosok perempuan dinilai mampu membawa energi baru dalam menelurkan berbagai gagasan, baik soal egalitarianisme, feminisime dan hal-hal lain yang berkaitan dengan isu penting perempuan. Stereotipe perempuan selama ini masih dianggap tabu bahwa kaum perempuan belum sepenuhnya mampu terlibat praksis dalam ruang strategis, baik pemerintahan, ekonomi, sosio-politik dan panggung keagamaan.

Pada kenyataannya sejarah mencatat bahwa perempuan memiliki gairah keterikatan kuat dalam melakukan perubahan besar, tidak hanya mampu menginspirasi namun juga menjadi bagian lokomotif perubahan. Tak sedikit darinya yang justru menjadi referensi banyak kalangan untuk melakukan gerakan anti mainstream guna menciptakan struktur masyarakat yang berkeadaban.

Perjuangan perempuan telah lama dilakukan para tokoh terdahulu, diantaranya seperti R.A. Kartini (Santri Mbah Sholeh Darat), H.R. Rasuna Said (Santri Mbah Abdul Karim Amrullah),  dan sebagainya yang konsen pada perjuangan persamaan hak (gender). Tokoh perempuan di atas tidak hanya lahir dalam pertentangan kemelut sosial namun juga pada berbagai macam bentuk ketertindasan. Diskriminasi pendidikan dan peran nyaris meruntuhkan kepercayaan bahwa perempuan juga memiliki ruang yang sama untuk mengakses hak intelektual sebagaimana hak dasar kemanusiaan.

Keterbelakangan ini menjadi potret buruk mengingat perempuan bagian dari pilar bangsa. Pepatah arab mengatakan, Al mar`ah `Imad al-Bilad. Idza shaluhat shaluha al-Bilad, wa idza fasadat fasada al-Bilad (perempuan adalah pilar negara, bila baik, maka negara akan menjadi baik, bila ia rusak, maka hancurlah negara), (Rohmatun lukluk Isnaini : 2016). Sehingga, posisi perempuan amat penting karena awal permulaan dari segala bentuk baik atau buruknya tata sikap dan laku.

Naluri memunculkan gairah semangat perubahan ini didasari refleksi atas keprihatinan yang timbul. Perempuan masih saja menjadi korban keterbelakangan, sasaran kekerasan, pemerkosaan bahkan praktek doktrin ideologi yang menyimpang. Atas dasar inilah pentingnya keberpihakan yang mengharuskan munculnya Ulama perempuan sebagai ijtihad sosial dan keagamaan. Isu perempuan ini tidak hanya cukup di konsumsi para pegiat sosial dan aktivis perempuan saja melainkan dari kalangan Ulama perempuan yang bermental aktivis. Sehingga, begitu terjadi berbagai indikasi penyimpangan bisa dengan cepat dicegah, baik melalui pendekatan kultural keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

Peran perempuan selama ini terkoyak pada sistem kebudayaan patriarki, asumsinya bahwa perempuan dianggap sebagai kaum yang turut mereduksi peran dan struktur sosial yang sudah ada. Pembatasan peran ini menjadi moratorium bahwa pemahaman dan pencerdasan terhadap perempuan sebagai sesuatu yang belum lazim dan cenderung tidak menjadi agenda prioritas. Persepsi yang lebih ekstrim lagi bahwa pendidikan perempuan akan menjadi counterattack yang berbahaya. Sehingga, melatarbelakangi munculnya anggapan bahwa pendidikan perempuan akan menjauhkan peran fungsionalnya sebagai perempuan kawula.

Zaman semakin berkembang, kesadaran akan diskriminasi ini menjadi narasi penting dalam transformasi era. Kontestasi intelektual perlahan bermetamorfosis yang mengindikasikan adanya kebebasan berekspresi sebagai bentuk langkah apresiatif. Panggung akademisi membuka kesempatan luas, seminar, workshop dan kajian gender diseminasi yang berdampak pada  distribusi pengetahuan atas hak dan peran perempuan.

Tak hanya itu, kemajuan peran dan narasi konseptual ini semakin menggugah pemikiran bahwa perempuan layak mendapat akses dalam upaya membangun tatanan masyarakat yang berbangsa. Persoalan pelik kebangsaan tidak cukup mampu dilakukan segelintir orang atau kelompok tertentu saja melainkan turut keikutsertaan semua elemen masyarakat, terkhusus kaum perempuan yang sebetulnya merupakan jantungnya peradaban.

Bahkan, organisasi kemasyarakatan baik keagamaan, sosial dan politik masing-masing memiliki space khusus organisasi banom yang menaungi keperempuanan. Kalau di NU ada IPPNU, Fatayat, Muslimat, dll. di Muhammadiyah ada IPM, Nasyiatul Aisyiyah, Aisyiyah, dan sebagainya yang kesemuanya itu merupakan produk kesetaraan dan ekspresi feminisme. Sehingga tidak perlu lagi ada istilah perempuan sebagai kelas kedua (second class) yang kental dianggap semacam termarjinalkan karena kebakuan sistemik dan paradigma konservatif.

Islam sendiri melarang adanya diskriminasi terhadap hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah perbedaan hakiki tetapi fungsional (Fazlur Rahman : 1996). Sehingga, mencintai tuhan sama halnya mencintai kesetaraan karena pada prinsipnya Islam itu rahmatal lil alamin yang tidak membeda-bedakan satu dengan lainnya.

Sejarah Islam mencatat Siti Khadijah sebagai perempuan yang memiliki kapabilitas dan integritas yang mumpuni. Beliau merupakan direktur dan pebisnis kain terbesar pada zamannya, begitu pula Aisyah yang pernah memimpin dan menjadi panglima perang (Mamang Muhamad Haerudin : 2014). Ini artinya bahwa perempuan mampu untuk melakukan hal-hal besar yang memiliki nilai maslahat luas. Seperti halnya Hj. Badriyah Fayumi, putri KH. Ahmad Fayumi Munji (Ketua Tim Pengarah Kongres Ulama Perempuan) yang mampu menembus dinding batas keterasingan. Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur dan Ketua PP Muslimat NU) yang mampu menghidupkan citra perempuan sebagai pilar keumatan dan kebangsaan serta masih banyak Ulama perempuan lain yang belum muncul ke permukaan.

Kongres Ulama Perempuan merupakan ikhtiar dalam membangun marwah kebangkitan peran perempuan. Kesadaran kolektif atas berkembangnya isu perempuan menjadi lahan garap (problem solving) dalam meretas belenggu kebodohan. Salah satu indikator majunya sebuah bangsa yang beradab dilihat dari konsistensi perjuangan yang dibangun kaum perempuan dalam membangun kualitas bangsanya, berangkat dari lingkup keluarga dan masyarakat.

Mustaq Zabidi, Penulis adalah Pegiat di Islami Institute Jogja.

Sumber: https://islami.co/era-baru-kebangkitan-ulama-perempuan/

Isi Dokumen yang Ditandatangani Grand Syekh Al-Azhar-Paus: Tuhan Tidak Butuh Dibela

Abu Dhabi, NU Online
Grand Syekh Al-Azhar, Mesir, Ahmad Muhammad Ahmad Al-Thayyeb dan Paus Fransiskus telah menandatangani sebuah dokumen bersejarah, yaitu ‘Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama’. Dokumen itu dideklarasikan dalam sebuah Pertemuan Persaudaraan Manusia Manusia di Uni Emirat Arab (UEA), Senin (4/2).
Dokumen itu mendorong seluruh pemimpin dunia untuk bekerjasama dalam menyebarkan budaya toleransi, mencegah pertumpahan darah, dan menghentikan peperangan. Dalam dokumen itu juga tercantum kecaman terhadap pihak-pihak yang menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan aksi-aksi kekerasan, radikalisme, atau terorisme yang dilakukannya.
“Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak butuh dibela siapapun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang,” sebut dokumen itu, seperti dilihat NU Online dari laman humanfraternitymeeting.com, Selasa (5/2).
Secara garis besar, dokumen yang ditandatangani dua tokoh besar lintas agama itu berupaya mendorong agar manusia lintas iman di seluruh dunia memiliki hubungan yang lebih kuat, berdampingan, dan saling menghargai.
Dalam pidatonya sebelum menandatangani deklarasi itu, Syekh Al-Thayyeb juga meminta kepada umat Islam agar merangkul umat Kristen di Timur Tengah. Menurut dia, umat Kristen adalah ‘rekan’ umat Islam di dalam konteks kehidupan bernegara.
“Saya ingin Anda tidak menggunakan istilah ‘minoritas’. Anda bukan minoritas. Anda adalah warga negara dalam semua konteks. Mari kesampingkan istilah itu. Anda adalah warga negara dengan hak penuh,” kata Syekh Al-Thayyeb.
Di samping itu, Syekh Al-Thayyeb menyerukan kepada umat Islam di negara-negara Barat untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dan menghargai hukum setempat. Namun demikian, di saat bersamaan Syekh Al-Thayyeb berpesan agar umat Islam di Barat juga mempertahankan identitas diri sebagai seorang Muslim.
Sementara Paus Fransiskus menegaskan bahwa kekerasan atas nama Tuhan tidak bisa dibenarkan. Paus juga menekankan pentingnya nilai pendidikan untuk mengurangi kekerasan dan konflik di dunia ini. (Red: Muchlishon)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/102208/isi-dokumen-yang-ditandatangani-grand-syekh-al-azhar-paus-tuhan-tidak-perlu-dibela

Kiai Sahal dalam Kacamata “Seorang Antropolog”

Pada akhir November 1989 berlangsung Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Soeharto, presiden Indonesia saat itu, akan membuka muktamar. Maka, seperti tabiat rezim zaman itu, pada malam harinya lokasi muktamar sudah disteril oleh pasukan militer. Penjagaan berlangsung sejak sore hingga besok hari. Tak ada yang bisa masuk tanpa undangan. Dan tak ada ampun bagi yang telat.

Pada pukul 09.00 pagi acara pembukaan sudah mulai. Jalan Krapyak yang tak begitu besar menjadi sesak dan padat. Tentu saja sebagai penggembira kami hanya bisa ikut berdesak-desakan. Tiba-tiba seorang teman bilang: “Itu Kiai Sahal!” Saya mengalihkan pandangan kepada sosok lelaki setengah baya, bertubuh kurus, berwajah sederhana, dengan peci hitam, baju koko putih, dan sarung yang berdiri di seberang jalan, di antara kerumunan banyak orang.

Saya tidak tahu persis mengapa Kiai Sahal tidak masuk ke dalam arena muktamar dan mengikuti secara langsung acara pembukaan. Sebagai salah seorang dari tujuh anggota Rois Syuriah PBNU, beliau jelas layak duduk di kursi barisan depan.

Besok harinya, melalui pemberitaan media dan sebuah kolom dari Emha Ainun Nadjib di harian Jogja Post, saya tahu Mbah Sahal tidak masuk karena telat. Beberapa orang sudah mengusahakan dan memberitahu penjaga dan penerima tamu, kalau itu adalah “K.H. MA. Sahal Mahfudz, salah seorang Rais Syuriah PBNU”.

Tapi para penjaga, yang kebanyakan serdadu AD itu sama sekali bergeming. Kiai Sahal tetap tidak bisa masuk, tapi beliau tidak kecewa karena rupanya memang juga lebih suka di luar saja.

Nama Kiai Sahal tentu saja sudah sering saya dengar. Tapi baru kali pertama itulah saya berjumpa dengan beliau. Kami pun menyeberang jalan. Lalu menyalami dan mencium tangan beliau. Beberapa orang yang tahu itu Kiai Sahal sudah lebih dulu menyalaminya dan disusul yang lain.
***

Kiai Sahal kala itu adalah salah seorang kiai muda yang cemerlang dan telah diramalkan akan menjadi pemimpin NU di masa mendatang. Kala itu, jajaran Rais Syuriah masih diisi oleh nama-nama besar seperti K.H. Ahmad Siddiq, K.H. Ali Ma’shum, dan beberapa nama lain. Tentu masuknya nama Mbah Sahal dalam jajaran Rais Syuriah adalah bagian dari proses renegerasi. Ketika bergabung ke dalam Rais Syuriah PBNU dalam Muktamar NU tahun 1984, usia Kiai Sahal 47 tahun. Terbilang belia di tengah-tengah kiai senior kala itu.

Sejak akhir 1970an nama Kiai Sahal telah kondang sebagai kiai muda dengan pemikiran yang sangat terbuka. Saya membaca tulisan-tulisan beliau tentang berbagai masalah sosial di Warta NU, Aula, Jurnal Pesantren, dan Suara Merdeka. Beliau menulis tentang KB, lingkungan hidup, bahaya AIDS, pajak, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.

Bagi saya hal itu sangat menarik sekali. Di tempat saya, di Kalimantan Selatan, yang juga banyak sekali ulama, jarang sekali ada ulama yang membahas soal-soal aktual dan kekinian. Apalagi menulis di media umum. Biasanya ini menjadi bahasan mereka yang disebut intelektual, yang berbasis di kampus-kampus umum dan secara kategoris biasanya dibedakan dengan ulama. Padahal, seorang ulama adalah juga intelektual par excellence.

Umumnya para ulama di daerah saya, memberikan pengajian kitab dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan ibadah saja. Kiai Sahal lain sekali. Tentu saja sebagai ulama fikih, Kiai Sahal mendekati masalah dengan perspektif fikih. Hal inilah yang menarik perhatian. Saya pun mengumpulkan tulisan-tulisan beliau yang tersebar. Termasuk beberapa makalah seminar.

Lalu, saya mengusulkan untuk dikompilasi dan diterbitkan menjadi buku. Untuk melengkapi dan mempertajam tulisan-tulisan itu, kami (bersama sdr. Nuruddin Amin, kini memimpin Pesantren Hasyim As’yari, Bangsri, Jepara) melakukan serangkaian wawancara. Setidaknya tiap minggu kami diterima beliau untuk berbincang-bincang dan bertanya-jawab. Dari sanalah kemudian lahir buku “Nuansa Fiqih Sosial” yang terbit tahun 1994. Bisa jadi ini adalah buku pertama yang memuat pikiran-pikiran beliau.

Inilah persentuhan saya dengan Kiai Sahal. Persentuhan yang sangat akrab dan dekat. Dari sana saya tahu kitab-kitab apa yang menjadi maraji’ Kiai Sahal dalam menulis permasalahan yang diangkat. Beberapa kitab itu bahkan dipinjamkan Kiai Sahal kepada kami untuk ditelaah. Adapun permasalahan muncul, menurut Kiai Sahal, dari pertanyaan masyarakat kepada beliau langsung maupun dari forum-forum bahtsul masa’il NU.
***

 

Persentuhan saya yang kedua, berlangsung secara tak sengaja. Lima tahun setelah buku “Nuansa Fiqih Sosial” terbit, kami merencanakan untuk menerbitkan sebuah buku etnografi mengenai dunia pesantren. Buku itu adalah hasil disertasi Pradjarta Dirdjosanjojo, seorang pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Pradjarta melakukan riset etnografi selama 1988-90 di wilayah Tayu dan mempertahankan disertasinya di Vrije Universiteit, Amsterdam tahun 1994. Saya bertugas untuk menyunting buku yang kemudian terbit dengan judul Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa (1999).

Karena saya tak begitu mengenal daerah Tayu, Pati, secara khusus dan lantaran penulis menggunakan nama samaran untuk menyebut pesantren dan informannya, maka saya tak tahu bahwa salah seorang informan utama dalam karya etnografi itu adalah Kiai Sahal. Saya baru menyadari belakangan ketika diundang untuk mendiskusikan buku tersebut bersama Dr. Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang saat itu, di Pesantren Maslakul Huda bertepatan dengan acara haul Mbak Mutamakkin tahun 1999.

Karya etnografi ini pada dasarnya mengulas dan memperkenalkan dua tipe kiai, yakni yang disebut sebagai “kiai pesantren” dan “kiai langgar”. Kiai pesantren mengasuh sebuah pesantren, dengan ratusan hingga ribuan santri, memiliki hubungan dengan banyak kalangan luar pesantren, entah itu pejabat, pengusaha, aktivis NGO, jaringan alumni, dll. Biasanya kiai pesantren merupakan keturunan kiai-kiai besar dan pelanjut dari pesantren besar juga.

Berbeda dengan itu, kiai langgar “hanya” mengelola langgar kecil di sebuah kampung dan memberikan pengajian rutin di langgar tersebut. Di luar itu, kiai langgar bekerja entah sebagai petani atau pun pedagang kecil. Kedua kiai ini memiliki peran, kedudukan, dan relasi yang berbeda, dan juga respon yang berlainan terhadap masalah-masalah yang muncul di sekitar. Karena itu, meski kiai langgar merupakan patron kiai pesantren, sesekali antara “keduanya” terjadi perbedaan bahkan pertentangan terutama menyangkut politik lokal. Tapi pada dasarnya keduanya saling membutuhkan dalam mengawal dan memelihara umat.

Nah salah seorang tipe “Kiai Pesantren” dalam karya itu adalah “Kiai Muhzakir” yang tak lain adalah nama samaran dari Kiai Sahal dari Pesantren “Nurhida” yang merupakan nama lain dari Pesantren Maslakul Huda. Beberapa deskripsi dan kategorisasi Pradjarta “bisa jadi” tidak menyenangkan Kiai Sahal atau umumnya kalangan pesantren Maslakul Huda. Saya bisa mamaklumi. Bagaimanapun itulah hasil suatu penilaian dari suatu pengamatan orang luar, yang meski mengklaim memiliki kaidah-kaidah ilmiah-obyektif, tetap akan memiliki biasnya tersendiri.

Meski demikian, suatu tilikan kembali pada kajian tersebut mungkin perlu dan akan membukakan wawasan bagi kita. Terutama dalam hal ini, bagaimana sosok Kiai Sahal sebagai representasi dari “Kiai Pesantren” itu ditampilkan. Bagian sisa dari tulisan ini adalah usaha untuk melihat kembali sosok Kiai Sahal, dari kacamata seorang antropolog tersebut.
***

Kehidupan pesantren dan kiai di Jawa adalah subjek yang menarik perhatian bukan hanya dari kalangan luar Islam atau luar negeri saja.

Saya yang notabene tumbuh di lingkungan Islam tradisional di Kalimantan Selatan sejujurnya juga menyaksikan banyak hal yang unik dan menarik dari kehidupan pesantren dan peran kiai di dalamnya, yang dengan tepat disebut Gus Dur sebagai sebuah “subkultur.”

Pesantren, dengan kiai sebagai unsurnya, memiliki kekhasan yang tak ditemukan di daerah lain. Sering orang terpeleset memahami misalnya perilaku politik masyarakat pesantren atau pendapat seorang kiai karena tak memahami dengan baik kultur pesantren ini.

Karena itu, buku-buku etnografi bisa memberikan banyak bahan informasi untuk memahami dunia pesantren. Tentu dengan tetap bersikap kritis terhadap pandangan-pandangan di dalamnya. Tak terkecuali karya yang ditulis Pradjarta ini. Sebagai seorang non-Jawa, saya pribadi misalnya jadi bisa memahami apa yang disebut sebagai kiai pesantren dan kiai langgar dan perbedaan antara keduanya di antaranya dari buku ini.
Kesan umum saya, Pradjarta bukan hanya tertarik tapi bahkan terpikat dengan kehidupan pesantren, khususnya pada sosok Kiai Sahal. Karena itu tidaklah meleset, dalam pengantar buku ini, Prof Faruk menangkap kesan si penulis “terkesan hanyut, dibuat mabuk oleh keanekaragaman dunia empiris” pesantren tersebut.

Deskripsi “Kiai Sahal” sebagai tipe kiai pesantren dalam buku ini memperlihatkan dengan baik bagaimana sosok kiai pesantren tersebut pada periode 1970an hingga awal 1990an. Sebagaimana umumnya kiai, kiai Sahal adalah anak dan pelanjut dari sebuah pesantren besar. Ia karena itu juga memiliki jaringan kekerabatan kiai. Namun faktor genetis itu saja tidak cukup. Kiai Sahal harus melewati masa penggodokan di beberapa pesantren di Kediri, Jombang, dan Sarang. Ia menjalani lakon sebagai “santri kelana” bertahun-tahun sebagaimana umumnya dan biasanya kiai-kiai sebelumnya. Pada saatnya, dengan penguasaan ilmu-ilmu agama dan kematangan, ia telah siap menjadi penerus dan pelanjut pesantren. Ini modal awal dan dasar.

 

Pada tahun 1966, Kiai Sahal mulai memimpin Pesantren Maslakul Huda. Tapi hampir selama satu periode 1966-1977, Kiai Sahal hanya melanjutkan apa yang telah ada di pesantren. Tapi zaman berubah, tantangan juga berubah.

Pada tahun 1970an, ramai sekali gagasan pembangunan. Dalam wacana itu, dipertanyakan bagaimana posisi ‘tradisi’ –termasuk pesantren—terhadap pembangunan. Apakah menjadi penghalang atau pendukung?

Melalui peran yang dimainkan oleh Kiai Sahal, institusi pesantren menunjukkan bagaimana mereka bisa menjadi pendukung dan mitra kritis dalam pembangunan. Ia membuka diri dan pesantrennya untuk berbagai kerjasama dalam pengembangan masyarakat. Pada tahun 1978, ia mengirimkan santri-santri seniornya ke Pabelan untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan motivator selama enam bulan yang diadakan LP3ES, sebuah NGO ternama periode tersebut.

Setahun kemudian sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut, pada tahun 1979, Kiai Sahal mendirikan Biro Pusat Pengembangan Masyarakat-Pesantren Maslakuk Huda (BPPM-PMH), sebuah lembaga yang notabene berperan seperti NGO. Namun Kiai Sahal menjaga agar kegiatan ini tidak mengganggu aktivitas belajar pesantren. Karena itu ia membuat kelembagaan BPPM ini –meski terkoneksi dengan pesantren– tapi manajemennya berada di luar pesantren.

Melalui BPPM ini digelar berbagai paket program seperti pendidikan keterampilan, latihan kepemimpinan dan administrasi, penyuluhan kesehatan dan perbaikan lingkungan, dan pengenalan Tekonologi Tepat Guna (TTG) di pesantren dan lingkungan masyarakat sekitar. Perkenalan dengan dunia NGO ini membawa Kiai Sahal pada pergaulan yang lebih luas kepada kalangan di luar pesantren seperti birokrat pemerintah, aktivis NGO, konsultan pembangunan, akademisi, pengusaha, lembaga dana, dan lain-lain.
Pada dasarnya waktu itu pemerintah juga mempunyai program PIP (Pusat Informasi Pesantren). Namun Kiai Sahal tidak terlalu sreg dengan program ini karena lebih banyak menjadikan pesantren sebagai objek, bukan sebagai subjek. Informasi berjalan satu arah, dari pemerintah ke pesantren, tapi sebaliknya dari pesantren –yang berupa aspirasi– ke pemerintah tidak diperhatikan.

Kegiatan BPPM sangat kondang dan menjadi trend-setter dalam pengembangan masyarakat melalui pesantren saat itu. Tak heran kalau BPPM ini tampil sebagai pemenang “What’s Working in the World” tahun 1986 sebagai salah satu dari 5 NGO terbaik di Indonesia. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pada periode itu kaki Kiai Sahal berpijak pada dua ranah: di pesantren dan di NGO.

Pergaulan ini juga membawanya ke level nasional. Ia misalnya masuk menjadi pengurus P3M (Pusat Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat) dan menjadi Pemimpin Umum jurnal Pesantren, sebuah jurnal mengenai keilmuan dan pengembangan pesantren yang sangat menarik dan penting saat itu. Karena keterlibatan ini, ia sering bepergian ke Jakarta dan aktivitas ini kian meningkat ketika menjadi salah seorang rais syuriah PBNU tahun 1984. Saya menduga di antaranya melalui pergaulan yang luas ini pulalah tumbuh perhatian Kiai Sahal pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang lebih luas dan bervariasi.

Menurut Pradjarta, relasi yang luas hingga ke tingkat nasional inilah salah satu unsur kewibawaan kiai pesantren, yang tak banyak dimiliki oleh kiai langgar. Membuka, mengambil dan memanfaatkan peluang ini juga merupakan respon kiai pesantren untuk menjawab tantangan dan permasalahan di masyarakat.

Sebaliknya, kiai langgar lebih menutup diri dan bertahan di lingkup dunianya yang kecil. Memang selain kualifikasi pengetahuan agama dan memiliki langgar, kewibawaan kiai langgar juga terletak pada kualitas moral individunya sebagai bagian dari kiai yang melakoni tarekat dan ikut dalam jaringan tarekat. Karena itu kebanyakan kiai langgar adalah adalah kiai tarekat. Namun dalam hal ini Kiai Sahal juga tidak kalah karena beliau juga merupakan bagian dari kiai yang ikut dalam jaringan tarekat. Sayang aspek ini kurang ditelusuri dalam karya ini dan memang penjelasannya lebih banyak pada soal relasi kiai pesantren dengan dunia politik, bisnis, organisasi, dan NGO di luar. Inilah kewibawaan tambahan yang tak dimiliki kiai langgar, bahkan juga seorang kiai pesantren. Kiai Sahal adalah salah sedikit dari yang memilikinya.

 

Dalam suatu deskripsinya, Pradjarta menceritakan bagaimana seorang kiai langgar yang berniat maju dalam pemilihan kepala desa, jadi mengurungkan niatnya, karena Kiai Sahal tidak mendukung dan tidak merestuinya. Di bagian lain digambarkan bagaimana para tamu yang datang sering menanyakan masalah-masalah politik dan problem sosial yang aktual dan bagaimana semestinya respon NU, pesantren atau masyarakat secara umum. Sebagai seorang kiai dengan pengetahuan agama yang mumpuni, Kiai Sahal pantas untuk menjadi tempat bertanya dan memiliki kewenangan untuk menjawab pertanyaan. Sebagai contoh diceritakan bagaimana serombongan tamu dari Jepara datang khusus untuk bertanya mengenai kebijakan pemerintah mengenai haji dan hasil rapat PBNU. Tentu ini bukan semata karena pengetahuan agama, tetapi juga pergaulan yang luas hingga ke tingkat nasional.

Dengan demikian sumber kewibawaan kiai pesantren, selain pesantren dan penguasaan ilmu agama, serta kualitas moral adalah juga relasinya yang luas. Di dalam konteks politik lokal, ini menjadi sumber kewibawan yang dengannya para kiai langgar bertambah hormat dan taat. Bukan hanya kiai langgar, yang notabene memang merupakan patron kiai pesantren, pejabat daerah dan aparatus desa pun –yang kebanyakan merupakan kalangan abangan—turut menaruh hormat.

Sudah barang tentu Kiai Sahal tidaklah bermaksud membangun dan meraih kewibawaan tersebut. Ini hanyalah efek kuasa dari relasi yang telah dibangun yang pada awalnya dimaksudkan sebagai respon positif dan terbuka pesantren pada tantangan perubahan.

Kendati relatif dekat dengan pemerintah dan sibuk bolak-balik ke Jakarta, Pradjarta mencatat dua hal yang tetap dijaga Kiai Sahal. Pertama, tetap menjaga jarak dan bersikap independen. Diceritakan misalnya ia tetap melarang santri madrasahnya untuk ikut ujian negara. Pada lain kesempatan, meski ia bersedia bekerjasama menggelar seminar soal KB dengan BKKBN, ia tetap menolak bantuan mesin stensil dari lembaga pemerintah tersebut. Dalam sebuah tulisan, Kiai Sahal menggambarkan peran pesantren terlibat dalam kegiatan dari luar ini sebagai “ikut tapi tidak hanyut.”

Kedua, Kiai Sahal akan memilih berada di pesantren dalam acara yang dianggap penting dan tidak bisa ditinggalkan seperti haul Mbah Mutamakkin.
***

Kini menarik merenungkan bagaimana kewibawaan kiai pesantren sekarang, lebih seperempat abad setelah riset ini dilakukan. Adakah lagi sosok seperti Kiai Sahal, yang memiliki kewibawaan tradisional sekaligus modern?

Mungkin sekarang masih banyak kiai yang menjalani tradisi santri kelana dan mereguk pengetahuan agama yang mendalam, dan karena itu layak memimpin pesantren. Tetapi beranikah mereka membuka diri dengan gagasan-gagasan baru? Atau jika berani, mampukah mereka tidak terbawa hanyut dan kehilangan independensi dan identitasnya, sebagai pesantren?

Hal yang penting dicatat, Kiai Sahal hidup di era informasi belum menjadi air bah besar seperti sekarang ini. Karena itu relasi dan jaringan pargaulannya di tingkat nasional menjadi penting dan strategis sebagai tempat orang lokal bertanya tentang peristiwa atau isu nasional.

Karena itu jika sekarang pun ada kiai, yang melalui entah itu partai atau organisasi, bisa duduk menjadi tokoh nasional, bukan berarti hal itu otomatis meningkatkan kewibawaannya tersebab adanya pergeseran dan perubahan dari watak ‘relasi’ itu sendiri. Karena itu masih akan adakah umat yang bertanya tentang suatu masalah atau isu nasional sementara mereka sudah menyimaknya secara luas di sosial media?

Mungkin ada, tapi saya khawatir itu cuma basa-basi atau sekadar untuk mendapatkan afirmasi saja.

Keluhan yang meluas tentang ‘kiai google’ belakangan ini tak lain merupakan kerisauan atau merosotnya kewibawaan dan kewenangan ini. Kiai Google memang sumber masalah. Tapi mendakwanya saja tentu bukan jalan keluar yang apik. Yang diperlukan adalah respon dan terobosan untuk bukan hanya mempertahankan dan membendung peran Kiai Google tersebut, tapi juga membuatnya tak banyak berarti. Ini tak mudah. Jelas dengan kenyataan ini, pesantren dan kiai tidak bisa menutup diri. Mereka harus berani keluar dan bersentuhan dengan ide-ide baru dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai lembaga ‘tafaqquh fi addien”.

Barangkali dari riwayat dan perjalanan kehidupan Kiai Sahal ‘kita’ bisa belajar banyak hal.

 

Sumber: https://alif.id/read/hairus-salim-hs/kiai-sahal-dalam-kacamata-seorang-antropolog-b212888p/?fbclid=IwAR0YA8snvGHtFBNPek4ANZoseP_87ROIW9JqlIPbRvXTqF8keOss5HR-Ps4