Pos

PUASA DI TENGAH KESIBUKAN BEKERJA

Oleh Darsono

[Pengusaha – Pendiri Universitas Pamulang (UNPAM), Tangeran Selatan]

 

“Dalam hal puasa, sejak kecil saya sudah diajarkan. Di usia kira-kira 5 tahun saya sudah mulai melaksanakan puasa. Kehidupan keluarga yang serba susah membuat orangtua benar-benar menanamkan itu. Bukan hanya puasa Ramadhan, tetapi juga puasa Senin-Kamis. Puasa menjadi kesempatan bagi keluarga untuk lebih ‘irit pengeluaran’—kesempatan untuk tidak banyak makan. Untuk buka dan sahur kami hanya makan sedikit nasi jagung atau katul gabuk dengan lauk-sayur seadanya. Tidak ada istilah “perbaikan gizi” di bulan Ramadhan. Sekedar ‘perut terisi’ saja kami sudah sangat bersyukur.”

 

 

Latar Belakang

Nama saya Darsono. Lahir pada tanggal 5 Juli 1955 di Desa Ngelaren, Kel. Potorono, Kec. Banguntapan, Kab. Bantul, Yogyakarta. Saudara saya semuanya ada sembilan orang (4 laki-laki, 5 perempuan). Satu orang di antaranya lain ibu. Saya adalah anak keempat.

Masyarakat di kampung saya semuanya muslim. Umumnya mereka adalah petani yang setiap hari sibuk di sawah dan ladang untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seingat saya, dulu itu listrik belum masuk ke kampung saya. Jalanan belum ada yang diaspal. Listrik baru masuk sekitar tahun 1990-an.

Kehidupan yang serba susah pada masa itu membuat orangtua mendidik saya dengan sangat keras. Apalagi di tahun 1965 terjadi kemarau panjang. Kekeringan dan kelaparan ‘mengamuk’ di mana-mana. Saya ingat waktu itu banyak orang yang mati kelaparan, terutama di daerah Wonosari, gunung Kidul. Keadaan kampung kala itu sangat tandus seperti di padang pasir karena memang belum ada penghijauan. Tikus-tikus merajalela menyerbu tanaman di sawah dan ladang. Batang singkong saja dimakan oleh tikus. Karena itulah kemudian banyak orang yang memakan tikus agar bisa bertahan hidup. Tikus-tikus yang berkeliaran ditangkap ramai-ramai, lalu di masak dan dimakan.

Pada masa kemarau panjang itu, saya meluangkan waktu untuk menanam ubi. Dalam kondisi kekeringan seperti itu tidak mungkin saya menanam padi. Saat itu ubi bisa ditukar dengan rumah. Orang-orang gunung Kidul—terutama Wonosari—turun untuk mencari makan. Mereka menawarkan rumah-rumah mereka sekedar untuk mempertahankan hidup.

Di lingkungan saya, di kampung saya, kehidupan juga sangat susah. Kami biasa makan katul gabuk (atau dedek, yaitu kulit ari beras yang dislep tetapi tidak ada menirnya) yang kalau di zaman sekarang untuk makanan ayam. Katul gabuk itu dimasak oleh ibu untuk kami makan. Tidak ada campuran apapun, paling hanya ditambahkan sedikit garam sebagai penyedap agar enak saat dimakan. Kami sebenarnya sadar bahwa itu tidak layak menjadi makanan manusia. Tetapi karena tidak ada lagi yang bisa dimakan, dengan sangat terpaksa kami memakannya.

Meski hanya sekedar katul gabuk, orang-orang di kampung saya banyak yang tidak mampu membelinya. Untungnya kemudian, antara tahun 1965 sampai 1969 ada pembagian bulgur (sejenis gandum untuk makanan kuda). Tetapi kata orang, bulgur itu kalau dimakan bisa mengembang di dalam perut. Sehingga, kalau terlalu sering memakannya, tentu akan sangat membahayakan kesehatan yang berujung pada kematian. Banyak juga yang sudah menjadi korbannya.

Orangtua saya yang sejak kecil memang buta huruf, tidak mengerti apa tujuan dan manfaat sekolah, di samping kehidupan yang memang serba sulit, mendidik anak-anaknya hanya untuk bekerja dan bekerja. Kami memang diberi kebebasan untuk memilih. Namun tetap harus bekerja keras, tidak boleh main-main. Sebab tidak mudah untuk menghidupi sekian banyak orang dalam keluarga. Walaupun ayah saya seorang petani, tetapi beliau—sebagaimana penduduk kampung pada umumnya—disebut “petani burem”, karena kepemilikan lahannya kurang dari 0,2 hektar. Makanya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak cukup hanya dengan mengandalkan pertanian. Apapun yang kami bisa pasti kami kerjakan; memelihara kambing, memelihara sapi, ngarit rumput, dan membuat batu bata adalah di antara pekerjaan kami sehari-hari.

Terus terang, di waktu kecil saya merasa kehilangan banyak masa kanak-kanak. Orang sekarang bilang “masa kecil kurang bahagia”. Tidak ada ceritanya saya bermain sepak bola, bola kasti, bola volli dan permainan-permainan lainnya bersama anak-anak kampung yang lain. Sebagian besar waktu hanya digunakan untuk bekerja. Kalau ketahuan ikut main dengan mereka, saya akan langsung dimarahi atau bahkan digebukin oleh ayah.

Namun demikian, di tengah-tengah kesibukan bekerja, setelah tamat SD, saya tetap memilih untuk meneruskan sekolah. Untuk biayanya saya ambil dari tabungan yang saya kumpulkan dari hasil bekerja setiap hari. Saya mungkin di antara yang paling keras menentang harapan-harapan orangtua terhadap anak-anaknya. Orangtua lebih senang kalau anak-anaknya fokus bekerja saja, tidak memikirkan yang lain. Tetapi saya tidak mau, saya harus terus bersekolah meskipun tanpa dukungan dari orangtua.

Di samping alasan ingin terus belajar, saya melanjutkan sekolah sebetulnya hitung-hitung untuk istirahat. Melepas segala kepenatan fisik dan menggantinya dengan kegiatan belajar. Sebenarnya sih sama saja, sama-sama capek; bekerja membantu ayah membuat capek fisik, belajar di sekolah membuat capek otak. Tetapi, saya merasa kehidupan saya sudah sedemikian susahnya saat itu. Saya tidak ingin berada dalam keadaan seperti itu terus-menerus. Harus ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk merubah nasib agar di masa depan menjadi lebih baik. Makanya saya memutuskan untuk melanjutkan studi hingga perguruan tinggi. Waktu itu saya masuk di IKIP Yogyakarta untuk Program S1 Jurusan Ekonomi.

Suatu saat terjadi sebuah peristiwa yang membuat ayah marah kepada saya. Ceritanya, saya disuruh ayah membuat batu bata seperti biasanya setiap hari. Sebelum berangkat ke sekolah, saya memang selalu menyempatkan diri untuk itu. Tetapi batu bata itu kan tidak langsung kering, harus menunggu sampai siang untuk disisik supaya rapi. Makanya saya jemur dulu agar cepat kering. Setelah itu saya lalu berangkat ke sekolah. Ternyata, sebelum saya pulang, hujan tiba-tiba turun. Akibatnya, batu-batu bata yang saya buat itu menjadi lumer, hancur semuanya.

Ayah saya yang mengetahui hal itu marah besar. Saya diusir dari rumah. Tidak boleh lagi bekerja untuk membantu keluarga. Hubungan saya dengan ayah memang tidak begitu dekat. Kalau dengan ibu hubungan saya sangat dekat, tetapi beliau tidak bisa berbuat apa-apa saat saya diusir dari rumah. Ayah, sebagai kepala keluarga, diperlakukan seperti raja yang sangat berkuasa. Ibu pun memperlakukannya demikian. Apapun semuanya demi ayah. Dalam hal apapun yang didahulukan selalu ayah. Di kampung saya umumnya seperti itu. Berbeda dengan orangtua zaman sekarang, dalam hal apapun anak-anak selalu didahulukan. Ayahnya pun bahkan mengalah.

Saya pergi dari rumah dengan perasaan sedih. Kebetulan di kampung ada beberapa rumah yang tidak ditempati karena ditinggal transmigrasi oleh para pemiliknya. Saya memutuskan untuk tinggal di salah satunya. Karena tidak boleh lagi bekerja membantu keluarga, maka saya pun bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saya membuat batu bata sendiri. Sambil lalu kuliah saya menjual batu bata di pinggir-pinggir jalan dan tempat-tempat penjualan material. Hasilnya sebagian untuk makan dan sebagian lagi saya tabung. Ibu kadang-kadang datang menemui saya sambil membawa makanan. Malah beberapa waktu berikutnya beliau mengajak saya untuk pulang. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya saya mau juga pulang ke rumah.

Sebenarnya apa yang dilakukan ayah terhadap saya itu adalah sebuah ‘kekejaman’. Tetapi, sedikitpun saya tidak pernah menyalahkannya. Justru itu saya anggap sebagai pendidikan dan tempaan mental yang sangat penting guna menumbuhkan jiwa kemandirian. Saya dan saudara-saudara saya yang lain terbiasa hidup mandiri. Tidak ada seorang pun dari kami, dalam keadaan apapun, yang hidup bergantung kepada orangtua dan saudara-saudaranya sendiri. Semuanya makan dan memenuhi kebutuhan keluarganya dengan hasil keringat sendiri. Malah, saudara-saudara saya yang sampai sekarang masih bertahan hidup di kampung, kehidupan mereka saya lihat lebih baik daripada penduduk kampung yang lain.

Meskipun keadaan saya sekarang sudah seperti ini, orang bilang saya adalah pengusaha yang sangat sukses di Jakarta—masih kata orang, padahal menurut saya biasa saja—, tetapi tidak ada satupun dari saudara-saudara saya yang hidup bersama saya. Tiga orang dari mereka ada yang hidup di Jakarta; satu bekerja sebagai PNS, dua lainnya bekerja sebagai wiraswastawan. Dan mereka tidak ada yang mau hidup dengan saya.

Saya pribadi memang mempunyai prinsip, siapapun yang ingin hidup dengan saya, dia harus memiliki kompetensi yang bisa digunakan untuk membantu lembaga pendidikan (Universitas Pamulang) yang saya dirikan. Dia tidak boleh berpura-pura. Karena lembaga yang saya dirikan itu meliputi andil banyak orang yang ikut berpartisipasi dan mengharapkan berkah dari lembaga tersebut. Sehingga, kalau dia berpura-pura dan tetap hidup bersama saya, berarti dia telah mengambil hak orang lain. Jadi, kalau memiliki kompetensi yang cocok, saya persilahkan untuk bekerja di sini. Tetapi kalau tidak, saya harapkan jangan bekerja di sini.

Semua saudara saya memahami hal itu. Dan mereka memang tidak mau dan tidak akan pernah mau untuk hidup dengan saya—tidak mau menjadi ‘benalu’ dalam kehidupan saya apalagi orang lain. Kalau saya boleh bilang, setiap orang dari mereka sudah menjadi ‘juragan’ di bidangnya masing-masing, meskipun hanya kecil-kecilan.

Dari dulu, di samping memilih alternatif-alternatif yang akan ditekuni dan digeluti, saya juga mempunyai target-target waktu yang harus dicapai; di usia ke-26 saya harus bisa hidup mandiri, di usia ke-29 saya harus menikah, di usia ke-35 saya harus mempunyai usaha yang ditekuni, di usia ke-40 usaha yang saya tekuni harus bisa mandiri dan bisa menaungi siapapun yang ikut terlibat, di usia ke-50 saya harus sudah benar-benar matang dan mapan, di usia ke-55 saya harus mempersiapkan generasi pengganti.

 

Suasana Ramadhan di Kampung

Banyak pengalaman yang saya alami pada waktu masih kecil dulu. Semuanya menjadi kenangan tak terlupakan karena saya hidup di sebuah kampung yang serba kesusahan. Dan saya menganggap itu sebagai proses hidup yang memang harus saya jalani.

Dalam hal puasa, sejak kecil saya sudah diajarkan. Di usia kira-kira 5 tahun saya sudah mulai melaksanakan puasa. Kehidupan keluarga yang serba susah membuat orangtua benar-benar menanamkan itu. Bukan hanya puasa Ramadhan, tetapi juga puasa Senin-Kamis. Puasa menjadi kesempatan bagi keluarga untuk lebih ‘irit pengeluaran’—kesempatan untuk tidak banyak makan. Untuk buka dan sahur kami hanya makan sedikit nasi jagung atau katul gabuk dengan lauk-sayur seadanya. Tidak ada istilah “perbaikan gizi” di bulan Ramadhan. Sekedar ‘perut terisi’ saja kami sudah sangat bersyukur.

Bagi kami di bulan Ramadhan tidak kata ‘libur kerja’ karena alasan puasa. Semuanya berjalan seperti biasa. Setiap harinya kami tetap bekerja dari pagi (habis shubuh) sampai sore. Menjelang maghrib kami langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah tidak ada yang kami lakukan selain hanya duduk-duduk karena sudah capek. Dan biasanya, setiap maghrib di masjid ada buka puasa bersama. Saya melihat orang-orang saling berebutan. Padahal yang disuguhkan hanyalah air kelapa. Mau bagaimana lagi, mau makan yang lain tidak mungkin ada.

Masa jeda antara sehabis shalat Maghrib sampai Isya` saya gunakan untuk mengaji al-Qur`an di masjid. Kemudian, ketika adzan Isya` berkumandang, para penduduk, mulai dari anak-anak hingga orang-orang tua berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat Tarawih. Seingat saya, meskipun secara tradisi lebih cenderung ke Muhammadiyah, namun dalam pelaksanaan shalat Tarawih kami ikut tradisi NU, yaitu 23 rakaat. Ada juga yang shalat hanya 11 rakaat, tetapi itu hanya sedikit. Jangankan shalat Tarawih, shalat Shubuh pun kami ikut tradisi NU, yaitu pakai qunut. Dengan begitu bisa dibilang, kami adalah Muhammadiyah tetapi NU—jadinya Muhammad NU.

Shalat Tarawih pun usai. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Namun ada sebagian, terutama anak-anak dan para remaja, yang memilih untuk tetap berada di masjid. Beberapa di antaranya melakukan tadarus (membaca al-Qur`an secara kolektif) di dalam masjid, sisanya bermain-main di halaman masjid. Ada yang main mercon bumbung (sejenis mercon yang terbuat dari bambu berisi minyak tanah), ada yang main petak umpet, dan lain sebagainya. Saya sendiri biasanya langsung pulang untuk istirahat karena capek setelah seharian bekerja.

Sekitar jam 2 malam ibu bangun untuk memasak. Kemudian sekitar jam 3 beliau membangunkan ayah dan anak-anaknya. Dari kejauhan terdengar suara kentongan yang ditabuh beberapa anak sambil berkeliling kampung membangunkan para penduduk untuk sahur. Usai makan sahur saya dan saudara-saudara saya pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Acara setelah shalat biasanya mendengarkan ceramah (kultum) dari seorang ustadz yang menjadi imam di masjid tersebut. Dan sesudah itu kami pulang dan bekerja seperti biasa.

 

Ramadhan di Jakarta

Tahun 1982, setelah lulus dari S1—waktu itu umur saya sudah 26 tahun—, saya pamit kepada kedua orangtua untuk merantau ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Saya katakan kepada mereka kalau saya sudah lulus kuliah. Tetapi mereka tidak mengerti apapun tentang lulus atau tidaknya kuliah saya. Yang mereka tahu hanyalah bahwa saya pamit untuk bekerja di Jakarta. Dengan modal ilmu dari IKIP dan pendidikan kemandirian (kerja keras) dari keluarga saya berangkat ke Jakarta dengan naik kereta. Sebenarnya saya tidak tahu bagaimana Jakarta itu. Saya tahunya, kata orang-orang, Jakarta itu adalah tempat yang mudah untuk mencari pekerjaan. Tekad kuat untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik itulah yang mendorong saya berangkat.

Ketika sampai di Jakarta, saya mencari teman saya yang bekerja sebagai pemadam kebakaran di daerah Roxy. Dari Pasar Minggu saya naik metro mini. Itu adalah kali pertama saya naik metro mini. Ketika sampai di daerah Mampang, oleh supirnya saya disuruh turun. Dia bilang ke saya katanya sudah sampai Roxy. Karena saya tidak tahu, saya turun saja. Kemudian saya bertanya kepada penjual rokok tentang alamat yang saya cari. Saya kaget ketika orang itu bilang, “Di sini bukan Roxy, Pak. Di sini Mampang. Roxy masih jauh. Kalau mau ke sana bapak naik yang ke jurusan Blok M, lalu dari Blok M naik yang ke jurusan kota.” Tanpa berpikir panjang saya pun pergi ke Blok M. Sesampainya di sana saya bingung harus ke mana. Mau bertanya ke orang-orang saya malu. Akhirnya saya memutuskan mencari teman saya itu di lain hari saja.

Tuhan rupanya masih menjaga dan melindungi saya. Di daerah Warung Buncit ada orang yang sangat baik hati yang menyediakan sebuah rumah petak (rumah kontrakan) miliknya untuk saya tempati. Padahal, saya sama sekali tidak kenal dengan orang itu. Awalnya saya ingin mengontraknya, tetapi dia tidak mau. Dia hanya ingin saya membimbing anak-anaknya supaya mempunyai semangat untuk terus bersekolah. Namun, saya tidak begitu lama tinggal di rumah itu. Saya merasa tidak enak kepada pemiliknya. Akhirnya saya mencari tempat lain dan mengontrak sendiri. Kontrakan baru yang saya tempati itu kondisinya benar-benar memprihatinkan. Tidak ada kamar mandi dan tempat buang airnya. Untuk buang air saya harus pergi ke empang yang berada tak jauh dari kontrakan saya itu.

Tidak ada waktu yang saya sia-siakan selama saya tinggal di situ. Siang dan malam saya bekerja. Malamnya saya mengajar di Pondok Karya, di sebuah SMEA yang kegiatan belajarnya dilangsungkan di malam hari. Siangnya saya pergi ke Pasar Ular mencari barang-barang bekas yang masih bagus untuk saya tawarkan ke kantor-kantor. Salah satu kantor yang menjadi langganan saya waktu itu adalah Kantor Kejaksaan Agung. Saya datangi bendaharanya dan saya ajak untuk bekerjasama. Di sana ada sekitar 3000 pegawai. Mereka biasanya senang sekali kalau ditawari barang-barang kreditan. Di antara barang-barang yang mereka pesan adalah televisi—pada masa itu televisi merupakan barang mewah—, kulkas dan lain-lain.

Masih banyak sebenarnya pekerjaan saya yang lain. Dan semuanya saya lakukan demi masa depan yang lebih baik. Namun, sesibuk dan seberat apapun pekerjaan saya, di bulan Ramadhan saya tetap menjalankan ibadah puasa sebagai sebuah kewajiban dari agama. Puasa Senin-Kamis juga masih sering saya kerjakan, sama seperti ketika saya berada di kampung. Lapar dan dahaga menjadi suatu hal yang biasa di tengah-tengah kesibukan kerja sehari-hari.

Banyak sisi positif yang bisa diperoleh dari puasa. Dari sisi kesehatan, misalnya, puasa dapat meringankan kerja pencernaan. Dari sisi kesalehan personal, puasa dapat menumbuhkan keikhlasan, kesabaran, kejujuran dan kesungguhan. Dari sisi sosial-kemanusiaan, puasa dapat melahirkan kepedulian kepada sesama. Kita bisa merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan, sehingga mendorong kita untuk senantiasa berbagi. Kita tidak boleh kenyang sendiri sementara orang-orang di sekitar kita kelaparan. Saya mempunyai sebuah keyakinan, dalam semua harta yang saya miliki terdapat hak orang lain yang harus saya berikan. Kalau saya mengumpulkan harta dan hanya saya nikmati sendiri, itu sebetulnya bukan kenikmatan dan kebahagiaan bagi saya. Kalau saya mempunyai uang dan karenanya saya kemudian makan yang enak-enak, mungkin saya akan sakit. Kalau saya mempunyai uang dan karenanya saya kemudian membeli mobil-mobil mewah, mungkin akan banyak orang yang iri hati dan berpotensi menjadi musuh saya. Akan lebih baik bila saya bisa menahan diri dan memberikan sebagian dari harta yang saya miliki kepada yang berhak mendapatkannya. Inilah sebetulnya di antara inti dari ajaran puasa; menahan diri dan berbagi.

 

Lebaran Idul Fitri

Momen lebaran Idul Fitri di kampung saya kira tidak jauh beda dengan di daerah-daerah lain di Indonesia, khususnya di Jawa. Hal yang paling saya ingat adalah baju baru. Sesusah apapun kondisi ekonomi keluarga, tetapi baju baru untuk dipakai pada saat lebaran orangtua selalu mengupayakannya. Dan memang, saya mempunyai baju baru itu hanya pada waktu lebaran Idul Fitri saja. Baju baru seolah menjadi penanda datangnya momen berbahagia itu.

Pagi-pagi, sekitar jam 7-an, kami sekeluarga pergi ke masjid untuk shalat Id. Setelah shalat semua orang bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Sesudah itu kami makan bareng-bareng, menyantap hidangan yang disedikan oleh pengurus masjid hasil sumbangan dari para penduduk. Lalu sehabis makan kami pulang ke rumah dan sungkeman kepada orangtua, meminta maaf atas segala dosa dan kekhilafan. Kemudian setelah itu kami keliling kampung, bahkan ke kampung-kampung tetangga, untuk bersilaturrahim. Seharian kegiatannya seperti itu, bahkan sampai 2 atau 3 hari.

Belakangan, setelah tinggal di Jakarta, dan diberi sedikit rizki oleh Allah, khusus untuk Hari Raya Idul Fitri saya mempunyai kebiasaan menyembelih sapi-kambing dan membagi-bagikan dagingnya kepada orang-orang yang tidak mampu, dan itu lebih banyak daripada di lebaran Idul Adha. Di lebaran Idul Fitri banyak orang yang ingin memasak daging. Sementara daging di pasar-pasar harganya melangit, sangat mahal. Dan orang yang membagi-bagikan daging juga tidak ada. Makanya saya berinisiatif menyembelih sapi-kambing dan membagi-bagikan dagingnya di lebaran Idul Fitri, karena memang banyak orang yang membutuhkannya. Mereka akan lebih senang ketika diberikan sesuatu di saat mereka memang membutuhkannya. Sebenarnya itu merupakan salah satu bentuk zakat dari saya kepada mereka.

Biasanya saya melakukan penyembelihan sapi-kambing dua hari sebelum lebaran Idul Fitri. Saya kumpulkan anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang tidak mampu dari lingkungan sekitar rumah saya (terdiri dari 2 RW dan 5 RT). Saya bagikan kepada mereka daging, beras, dan uang. Adapun di lebaran Idul Adha saya menyembelih sapi-kambing sekedarnya saja, sekedar melaksanakan kewajiban. Toh di mana-mana sudah banyak orang lain yang melakukannya. Orang mudah mendapatkan daging.

Selain membagikan daging, untuk momen lebaran Idul Fitri saya juga menjual daging. Tetapi saya menjualnya tidak di rumah sendiri, karena tidak akan ada orang yang membelinya. Daging yang saya sediakan di rumah khusus hanya untuk dibagi-bagikan saja. Saya berjualan daging di jalan raya Parung, atau di pangkalan-pangkalan ojek. Niat saya berjualan bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga untuk membantu masyarakat. Kalau di pasar-pasar harga daging per kg mencapai 110 ribu, saya menjualnya hanya 80 ribu. Tentu saja, apa yang saya lakukan ini mengundang orang-orang kampung datang berbondong-bondong untuk membeli. Karena di samping harganya lebih murah, daging yang saya jual itu masih baru dan segar (hasil dari nyembelih sendiri). Adapun yang dijual di pasar-pasar dagingnya berasal dari Bulog (daging impor yang sudah di-es sekian hari).

Untuk lebaran Idul Fitri juga, ada sebuah kewajiban yang tidak bisa saya tinggalkan, yaitu pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) kepada para karyawan yang bekerja di perusahaan dan lembaga pendidikan yang saya bangun. THR yang saya berikan biasanya berupa uang, di samping gaji bulanan mereka. Selain THR kepada para karyawan, saya juga memberikan parsel kepada 120 anggota POLSEK, mulai dari petugas TU-nya sampai penjaga kantornya. Dalam setiap bingkisan parsel itu biasanya ada gula, sirup, kopi, dll.

 

Potensi Zakat untuk Mengentaskan Kemiskinan

Saya pribadi suka sekali membagi-bagikan zakat secara langsung kepada orang-orang yang berhak. Dengan begitu saya merasa lebih bermakna dan lebih tepat sasaran. Saya tidak begitu yakin dengan lembaga zakat yang dibentuk oleh negara. Dan saya kira sistem pengelolaan uang zakat yang dikumpulkan oleh lembaga negara harus diperbaharui supaya lebih bermanfaat untuk mengentaskan kemiskinan, bukan malah melestarikan kemiskinan.

Kemampuan negara mengumpulkan uang zakat sebetulnya merupakan sesuatu yang luar biasa. Kalau itu dimanfaatkan secara lebih produktif dengan memberikan kesempatan kerja, bukan dibagi-dibagikan langsung, mungkin akan banyak orang yang ikut terlibat dan bisa hidup mandiri dari situ dengan tidak membunuh harga dirinya. Tetapi kalau uang zakat itu hanya dikumpulkan dan kemudian dibagi-bagikan begitu saja, tentu tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.

Indonesia dikenal dengan mayoritas muslimnya. Oleh agama mereka diwajibkan membayar zakat fitrah. Sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan. Mereka menjadi pengemis dan meminta-minta di jalanan. Saya kira setiap orang dari mereka tidak mau hidup miskin, tidak mau mengemis di jalanan. Masing-masing pasti ingin menjadi orang kaya, ingin menjadi pemberi zakat bukan penerima zakat. Tetapi mereka memerlukan tuntunan, arahan dan kesempatan. Untuk itu, akan lebih baik bila uang zakat yang dikumpulkan itu dimanfaatkan untuk memberdayakan mereka dengan cara memberikan kesempatan kerja. Karena sebenarnya banyak dari mereka yang memiliki kemampuan untuk membuka usaha tetapi tidak mempunyai modal. Di sinilah peran negara untuk memberikan mereka modal yang diambil dari uang zakat yang telah terkumpul itu.

Kalau tidak memberikan modal usaha, bisa juga uang zakat itu diinvestasikan oleh negara untuk membuka usaha dengan mempekerjakan orang-orang yang tidak mampu itu. Mungkin salah satu caranya negara bisa mewajibkan beberapa orang dari setiap RT untuk dipekerjakan setiap tahunnya. Semakin tahun semakin bertambah. Orang-orang miskin, para pengangguran, semakin tahun semakin berkurang. Sebenarnya, mereka miskin itu karena nganggur, tidak bekerja, tidak berproduksi. Tetapi kalau mereka diberi kesempatan kerja dan berproduksi, mereka akan menghasilkan, tidak akan miskin lagi. Nah, kesempatan kerja inilah yang kurang di negara kita, tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang melaju begitu cepat.

Kesempatan kerja sudah diberikan, tetapi keterampilan yang dikuasai setiap orang tidak sesuai dengan kesempatan tersebut, maka itu memerlukan pendataan; masyarakat memiliki keterampilan apa? Bagi yang belum memiliki keterampilan, kira-kira supaya tetap jalan dan menghasilkan ia harus dikasih keterampilan apa? Dari sinilah nantinya masyarakat bisa menjadi lebih mandiri, tidak ada lagi pengangguran dan kemiskinan. Semuanya bekerja dan menghasilkan. Mereka tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke luar negeri hanya untuk menjadi TKW/TKI. Semakin banyak kesempatan kerja yang diberikan, negara akan semakin kaya.

Saya sering melakukan kunjungan ke pesantren-pesantren. Di antaranya saya pernah mengunjungi sebuah pesantren besar di Parung yang dipimpin oleh seorang habib. Jumlah santrinya 22 ribu orang. Mereka belajar di pesantren tersebut secara gratis. Tetapi di situ saya melihat ada kekurangan dalam hal pendidikannya. Maksud saya, para santri itu hanya dididik untuk menjadi manusia yang bermoral. Karakter mereka memang bagus. Mereka mandiri, nerimo dan mau kerja. Hanya saja, pendidikan yang mereka peroleh itu lebih cenderung pada tujuan akhirat semata. Sehingga, meskipun mempunyai mental dan karakter yang bagus, mereka tidak mempunyai wawasan untuk usaha dan wawasan untuk mandiri. Akibatnya, ketika lulus mereka tetap miskin. Padahal agama tidak pernah melarang siapapun dari umatnya untuk bercita-cita menjadi orang kaya. Kalau kita miskin, apa yang bisa kita perbuat untuk kemajuan bangsa? Mestinya di pesantren tersebut ada keseimbangan dalam hal pendidikannya agar santri-santri bisa sukses. Bukan hanya sukses di akhirat, tetapi juga sukses di dunia. Kaya di dunia dan kaya di akhirat. Saya kira memang perlu ada pembaharuan pola pendidikan di pesantren.

Potensi pesantren saya lihat sebetulnya sangat luar biasa. Di dalamnya bisa dibangun pendidikan sangat modern dan santri-santrinya tidak usah membayar alias gratis, justru pemilik pesantren itulah yang harus membayar (menggaji) santri-santri itu. Maksudnya saya begini: para santri itu full tinggal di dalam pesantren. Mereka mempunyai banyak waktu untuk dididik bekerja dan dibekali dengan keterampilan yang produktif yang dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Misalnya, sebuah pesantren mempunyai santri 22 ribu orang. Kalau pesantren itu membangun pabrik roti dan memanfaatkan sebagian santrinya sebagai tenaga pembuat sementara sebagian lainnya sebagai tenaga pemasaran, itu merupakan sesuatu yang bagus dan hasilnya pun tentu akan sangat besar. Atau bisa saja pesantren itu membuat peternakan sapi lalu memanfaatkan tenaga santri-santrinya untuk memeliharanya. Sebagai bentuk konpensasi, pesantren harus membiayai kebutuhan hidup sehari-hari para santri yang terlibat dalam mengembangkan usaha. Paling hanya sekian persen dari hasil pendapatan usaha-usaha pesantren tersebut. Dan kalau bisa mereka juga harus diberi uang saku untuk modal hidup mandiri ketika mereka sudah lulus nanti.

Saya mempunyai pemikiran begini: semakin banyak orang yang bekerja di lembaga saya, saya bisa menjadi semakin kaya. Karena hasil kerja mereka tidak saya berikan semuanya. Sebagian saya gunakan untuk eksistensi lembaga agar nantinya menjadi lebih besar, sehingga kemudian yang kebagian akan semakin banyak. Saya memberikan mereka kesempatan kerja supaya mereka bisa mandiri dan harga diri mereka tidak terbunuh. Dan bisa jadi orang yang sekarang mendapatkan kesempatan di lembaga saya dan dia menjadi besar, dia juga akan menjadi pembagi kesempatan kepada yang lain.

Saya banyak mempekerjakan orang-orang di sekitar rumah saya sesuai dengan keahliannya masing-masing; ada yang hanya lulusan SD dan tidak mempunyai keterampilan khusus, saya memakai tenaganya untuk menjadi satpam; ada yang lulusan sekolah yang agak tinggi, saya mempekerjakannya sebagai TU; ada yang lulusan perguruan tinggi, saya memberdayakannya sebagai guru atau dosen di lembaga pendidikan yang saya dirikan (Universitas Pamulang); ada orang yang bisanya hanya ngarit rumput, saya kemudian membuat peternakan sapi. Dengan begitu, orang itu bisa tetap ngarit rumput untuk makanan sapi-sapi yang saya pelihara; ada orang yang bisanya hanya memelihara ikan, saya kemudian membuat kolam ikan; dan masih banyak lagi kesempatan-kesempatan kerja lain yang saya berikan.

Kalau boleh dikatakan, saya itu seperti supermarket. Segala kebutuhan ada. Buah-buahan (pisang, mangga, rambutan, apel, dll), ikan, daging, semuanya ada. Bahkan pabrik tahu pun saya punya. Setiap hari 2 ton tahu yang diproduksi. Dan para pekerjanya rata-rata berasal dari penduduk sekitar. Mereka adalah mitra kerja saya. Saya membantu mereka, dan mereka membantu saya. Kami saling membantu.

Memberikan kesempatan kerja kepada orang-orang sekitar, selain membuat saya semakin kaya—jujur saya katakan—dan supaya senantiasa bisa terus berbagi, juga untuk pengamanan. Rumah saya tidak ada pagar apapun, tetapi aman-aman saja. Rumah saya menyatu dengan rumah-rumah penduduk yang lain. Mereka merasa rumah saya adalah milik mereka juga, tempat mereka mencari makan. Sehingga, ketika terjadi gangguan mereka juga ikut mengamankan.

 

Mudik

Dulu, sebelum mempunyai kendaraan sendiri seperti sekarang, saya mudik biasanya ramai-ramai naik Fajar Utama, kereta api kelas ekonomi. Pernah sekali, dari stasiun Gambir saya berdiri dengan satu kaki di dalam kereta sampai Purworejo (kira-kira 6 sampai 7 jam). Keadaan di dalam kereta yang sangat sesak membuat saya tidak mungkin meletakkan kaki yang satunya. Di dalam WC-nya saja sudah penuh dengan manusia. Sekedar untuk menggerakkan badan saja tidak bisa. Saat tiba di Purworejo, kereta berhenti sejenak, banyak orang yang turun. Ketika itulah keadaan kereta agak sedikit lega. Saya mencari kursi kosong, kemudian duduk dengan perasaan senang. Beberapa saat kemudian kereta kembali berjalan menuju Yogyakarta.

Ketika saya mempunyai kendaraan sendiri, saya mudik dengan naik kendaraan tersebut. Saya mencoba untuk menyupir sendiri. Namun saya merasa itu terlalu banyak memakan waktu dan membuat tubuh saya sangat capek. Belakangan, saya lebih suka naik pesawat. Selain untuk menghemat waktu, juga untuk menjaga kesehatan. Kenapa saya harus menjaga kesehatan? Agar saya bisa mengurus orang banyak yang bekerja membantu saya.

Kalau mudik kebetulan membawa istri, saya biasanya naik pesawat Garuda. Karena istri saya sukanya memang itu. Tetapi kalau mudik sendirian, saya bisa naik pesawat apapun, seperti Merpati, Lion Air atau apalah, yang penting saya selamat sampai tujuan. Atau kalau tidak, saya terkadang naik bus dari terminal Cimanggis. Saya bayar 90 ribu, dan tidur nyenyak di dalamnya. Ketika sampai di Sukamandi (Subang) saya dibangunkan. Saya makan sebentar, kemudian naik bus lagi dan tidur lagi hingga Yogyakarta.

Di kampung kegiatan saya adalah silaturrahim dengan kedua orangtua saja (saat keduanya masih hidup). Dan di dalam keluarga saya tidak ada tradisi bagi-bagi duit kepada anak-anak. Saya tidak pernah mengumpulkan keponakan-keponakan lalu saya kasih mereka duit. Saya hanya memberikan duit kepada orangtua, dan saya minta beliau untuk memberikannya kepada cucu-cucunya. Kalau saya sendiri tidak pernah bagi-bagi langsung, karena saya memang tidak begitu suka. Sehingga keponakan-keponakan saya itu jarang ada yang ingin bertemu dengan saya karena kangen.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

WINNETOU DAN OLD SHATTERHAND DI KAMPUNG KAUMAN

Oleh Prof. Dr. Zubairi Djoerban, MA.

[Profesor Ahli Penyakit Dalam]

 

“Puasa bagi saya adalah masa untuk “pulang” kepada kehangatan keluarga dan kemeriahan masjid, dengan kedua orangtua, terutama ibu, sebagai subyek utama. Puasa tak akan mungkin sama tanpa kehadiran sosok beliau berdua. Dan saya kira mereka yang pernah berpredikat anak pasti akan menyetujuinya. Ibulah yang pertama kali mengenalkan saya pada puasa dan rutinitasnya yang berbeda dengan hari-hari biasa: sahur, buka puasa, tarawih, dan shalat berjamaah. Ketika kami harus bangun sahur padahal mata tengah rapat-rapatnya terpejam, ibulah yang menguatkan. Juga pada waktu-waktu krusial di siang hari ibulah yang menjadi penenteram bagi anak-anaknya melalui jam-jam sulit tersebut.”

 

 

Lahir di sebuah keluarga Kauman, Yogyakarta, yang terkenal sebagai lingkungan santri, tidak dengan sendirinya membuat puasa saya berbeda—dalam pengertian lebih bagus dan khusyuk—daripada puasa anak-anak yang lahir di keluarga abangan. Seingat saya, memang selama puasa saya tidak pernah berbohong seperti berlama-lama di kamar mandi supaya bisa mereguk sedikit air ketika berwudhu di siang yang terik, atau sembunyi-sembunyi jajan dan berpura-pura puasa penuh sesudahnya. Berbohong dan berkelahi adalah hal yang dilarang keras oleh kedua orangtua saya, pasangan Bapak Djoerban Wachid dan Ibu Buchaeroh.  Meski demikian puasa bagi kami tetap saja menyediakan “petualangan” seru yang tidak akan terlupakan sampai kami dewasa.

Puasa bagi saya adalah masa untuk “pulang” kepada kehangatan keluarga dan kemeriahan masjid, dengan kedua orangtua, terutama ibu, sebagai subyek utama. Puasa tak akan mungkin sama tanpa kehadiran sosok beliau berdua. Dan saya kira mereka yang pernah berpredikat anak pasti akan menyetujuinya. Ibulah yang pertama kali mengenalkan saya pada puasa dan rutinitasnya yang berbeda dengan hari-hari biasa: sahur, buka puasa, tarawih, dan shalat berjamaah. Ketika kami harus bangun sahur padahal mata tengah rapat-rapatnya terpejam, ibulah yang menguatkan. Juga pada waktu-waktu krusial di siang hari ibulah yang menjadi penenteram bagi anak-anaknya melalui jam-jam sulit tersebut. Biasanya ibu akan menjanjikan makanan pembuka puasa yang unik, lezat, dan tentu saja memulihkan kembali kesegaran dan menghapus kepenatan akibat menahan makan dan (terutama) minum seharian.

Di keluarga kami yang bisa dibilang sederhana, makan berlauk ayam adalah sesuatu yang mewah ketika itu. Tidak saban hari kami bisa menemukan ayam di atas meja makan. Tetapi pada saat puasa, ayam goreng cukup sering menghiasi saat-saat berbuka dan sahur. Saya tidak tahu bagaimana persisnya, namun saya yakin ada budget khusus yang disiapkan bapak dan ibu untuk bisa menghadirkan masakan-masakan istimewa bagi kelima putra-putrinya di bulan yang juga istimewa tersebut. Diam-diam saya kerap terharu mengenang upaya mereka membuat anak-anaknya mencintai puasa dan segala ibadah di bulan Ramadhan.

Untuk saya, kuliner masa kecil yang tak tergantikan adalah ayam brambang–salam buatan ibu. sungguh itu adalah hidangan paling istimewa. Masakan itu sangat sederhana: ayam direbus dengan banyak bawang merah dan daun salam, tentu saja ditambah garam dan sedikit macam bumbu lainnya. Mungkin cinta ibu yang terbawa dalam masakan itulah yang membuat masakan sederhana itu sungguh terasa istimewa. Bahkan bukan cuma itu. Kelak, ketika saya dewasa pun, masakan ayam brambang-salam ini juga tetap menemani dan punya daya sembuh yang ajaib pada saat kondisi tubuh sedang turun. Meskipun profesi saya saat ini adalah dokter, namun ketika sakit masakan ibu yang satu inilah obat saya yang sesungguhnya.

Masakan lainnya yang tak kalah “memorable”-nya adalah tempe goreng dan sambal bawang. Memang di hari-hari biasapun masakan ini cukup sering hadir di meja makan—karena harganya yang terjangkau untuk ukuran keluarga seorang guru beranak lima. Namun entah kenapa juga setiap kali mengingat puasa di masa kecil, saya selalu menyebut tempe dan sambal bawang buatan ibu sebagai salah satu pernik indah dari masa lalu.

Begitu sederhananya kehidupan kami, sehingga sebagai anak-anak kami tak banyak mendapatkan uang jajan. Padahal di Kauman, sejak dulu sampai sekarang, aneka penganan dijual orang setiap sore di bulan puasa. Sayangnya uang pemberian Bapak dan Ibu hanya cukup untuk membeli tempe gembus dan kangkung rebus. Selebihnya saya hanya mampu merasakannya dalam angan-angan.

Salah satu keinginan saya ketika kecil dulu adalah jajan lele goreng. Tampak garing dan gurih sekali. Namun, ya itu tadi, tak pernah cukup uang jajan saya untuk membelinya. Baru setelah dewasa, setelah kuliah di Fakultas Kedokteran UI dan mulai bisa menyisihkan uang, saya bisa membeli lele sendiri. Rasanya, ya begitulah. Tapi cukuplah untuk menuntaskan rasa penasaran yang menggunung sejak masa kanak-kanak.

 

Tarawih di Kauman

Saya adalah sulung dari lima bersaudara—dua laki-laki dan tiga perempuan—yang lahir pada tahun 1947 di Kauman, Yogyakarta. Wilayah ini yang sangat erat terkait dengan perkembangan organisasi Islam, Muhammadiyah. Entah karena posisi sulung itu, atau karena dulu Ibunda saya mengalami kesulitan yang luar biasa pada saat hendak melahirkan saya karena posisi janin yang sungsang, ada hak-hak istimewa tertentu yang saya nikmati sebagai anak sulung. Mulai dari yang sederhana, sampai kesempatan untuk bersekolah di fakultas yang membutuhkan biaya lumayan untuk kondisi ekonomi yang berat waktu itu. Sebenarnya, sekedar cerita tambahan, biaya kuliah di FKUI mulai tahun 1965 sampai saya lulus sebagai dokter umum tahun 1971 cukup murah. Tapi tetap saja memerlukan uang transport untuk naik bus atau “tavip”—kendaraan umum yang tempat duduknya adalah bangku panjang dari kayu—dari Tebet ke Pasar Rumput. Untuk menghemat, tidak jarang saya berjalan kaki dari Pasar Rumput ke kampus di Salemba sambil menenteng rantang berisi bekal makan siang yang disiapkan ibunda.

Juga, ketika nilai di sekolah tidak terlalu cemerlang pada tahun-tahun tertentu, saya tidak ingat pernah mendapat peringatan dari Bapak ataupun Ibu. Saya, misalnya, pernah tidak naik kelas sewaktu SR kelas tiga…untung alasannya selalu ada: karena saya masuk SD pada usia 5 tahun. Barangkali juga karena itu saya cenderung santai dan tidak tegang menghadapi nilai anak-anak saya di sekolah. Ada banyak hal di luar nilai pelajaran yang lebih penting untuk menjalani hidup dengan baik: empati, simpati, kepekaan terhadap penderitaan orang lain, kemurahhatian, keberanian menghadapi risiko, keyakinan kepada Tuhan, dan sebagainya. Kebanyakan orang yang berhasil dalam hidupnya, menurut saya, lebih mengandalkan pada hal-hal tersebut dibanding nilai di sekolah.

Dan puasa, sungguh merupakan “madrasah ruhani” yang istimewa. Selain makanan yang istimewa, satu hal yang tak pernah akan saya lupakan dari puasa di masa kanak-kanak adalah shalat Tarawih yang biasanya diadakan di Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta, atau di pelataran Masjid Gede, Kauman. Shalatnya mungkin biasa-biasa saja—artinya ada juga kenakalan-kenakalan khas anak-anak seperti mengganggu teman-temannya yang berusaha shalat khusyuk dan tentu saja membuat kesal guru-guru atau marbot masjid. Tapi yang sungguh istimewa adalah kisah-kisah “Winnetou dan Old Shatterhand” yang dibawakan dengan sangat hidup oleh seorang kakak senior di lingkungan kami setelah shalat Tarawih usai. Ya, dibawakan. Bukan dibacakan. Kakak senior itu “hafal mati” seluruh kisah sosok rekaan Karl May (1842-1912), pengarang Jerman yang lahir hampir seratus tahun sebelum saya lahir. Dan cara ia menceritakan kisah-kisah petulangan Winnetou itu sungguh hebat, membuat kami yang masih kecil-kecil “tersihir” karenanya. Ada saatnya kami tertawa mendengar bagian-bagian yang lucu, tercekam mendengar pertempuran-pertempuran dahsyat yang melibatkan kedua sahabat tersebut, atau menitikkan air mata—yang dengan sembunyi-sembunyi kami seka dengan kain sarung—pada bagian ketika Winnetou akhirnya gugur dalam pertempuran penghabisannya.

Belakangan kita semua mendengar bahwa Karl May—yang sebelumnya diyakini mengalami sendiri kisah heroik ini dan menjelmakan diri sebagai tokoh Old Shatterhand, sahabat setia Winnetou—ternyata tidak pernah benar-benar hadir di padang savanna Amerika Utara. Alih-alih, ia menuliskan kisah epik tersebut dari balik penjara. Banyak orang lalu menuduhnya berbohong. Namun itu semua tidak mengurangi kekaguman saya kepada sosok Winnetou dan sahabat “kulit pucat”nya itu. Serial Winnetou—lebih dari serial petualangan Kara Ben Nemsi yang ditulis Karl May belakangan—menyimpan banyak hikmah mengenai persahabatan, kesetiaan, keberanian dan pembelaan terhadap kelompok pribumi yang tersingkirkan oleh kekuatan kolonial. Juga kehidupan sederhana yang dekat dengan alam. Indah, inspiratif, dan menggugah.

Ritual puasa seperti shalat Tarawih, mendaras al-Qur`an bersama ibu setiap usai shalat Shubuh dan Maghrib, untuk saya sama pentingnya dengan kisah-kisah Winnetou yang didongengkan kepada kami—kanak-kanak di Kauman pada tahun 1950-an. Tak ada orangtua yang keberatan anak-anaknya mendengar kisah yang ditulis oleh seorang “kafir” pada bulan yang begitu disakralkan oleh umat Muslim di seluruh dunia dari zaman ke zaman, sejak masa Rasulullah saw.

Kembali tentang puasa, khususnya mengaji, saya tak akan lupa pada almarhum Bapak Achyat, kepala sekolah di SR Ngupasan. Beliau ini sungguh piawai memotivasi murid-muridnya, sehingga rata-rata kami sudah hafal seluruh surat dalam Juz ‘Amma sebelum tamat SR. Pak Achyat memang guru yang istimewa. Tak hanya pandai mengaji, ia juga mengambil hati kami dengan keahliannya melakukan senam akrobatik. Barangkali karena beliaulah, antara lain, saya juga jadi menyukai olahraga. Silat, karate, badminton, renang, sampai yoga Asanas dan Pranayama yang tuntas saya kuasai secara otodidak. Buku-buku mengenai yoga saya dapatkan dari Gunung Agung, setelah menyisihkan uang saku yang terbatas.

 

Masjid: Pusaran Kegiatan

Puasa pada masa kanak-kanak adalah juga kesempatan untuk kembali membangun kedekatan dengan masjid. Rutinitas sebagai dokter dan dosen di Fakultas Kedokteran UI, terus terang, tidak banyak menyisakan waktu untuk dekat dengan masjid kecuali sesekali saja. Termasuk pada hari Jum’at. Namun puasa, masjid tetap menjadi magnet yang menarik saya untuk datang terutama pada 10 hari terakhir.

I’tikaf sudah saya jalani sejak kecil. Dalam ingatan awal saya, Masjid Gede Kauman sejak dulu selalu penuh dengan orang yang datang untuk beri’tikaf terutama pada hari-hari terakhir Ramadhan. Untuk saya, kebiasaan untuk beri’tikaf terbangun karena ajakan seorang bulik—adik Ibu—yang waktu itu punya hajat penting: segera lulus dari sebagai sarjana hukum. Awalnya sih, sebagai anak-anak, saya hanya ikut-ikutan saja, tetapi lalu berkembang menjadi ritual yang hampir tak bisa saya tinggalkan sampai sekarang. Akan ada yang terasa kurang jika 10 hari terakhir Ramadhan tidak diisi dengan tinggal di masjid pada malam hari, meski hanya untuk beberapa jam saja dan kadang tidak bisa sepuluh hari penuh menjalaninya.

Karena itu sebenarnya saya sempat agak kaget ketika keluarga kami pindah ke Jakarta tahun 1965 hanya sedikit orang yang melakukan i’tikaf. Sepanjang yang saya tahu, tidak ada masjid yang mengadakan acara i’tikaf pada tahun-tahun itu. Beberapa masjid bahkan ditutup setelah shalat Tarawih dan baru dibuka menjelang adzan Shubuh. Tetapi 10 tahun terakhir—atau mungkin sejak dekade 1990-an—kondisinya sudah berbeda. Banyak masjid menyelenggarakan i’tikaf secara berjamaah. Di masjid Sunda Kelapa bahkan presentasi muballigh dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer dan program powerpoint. Masjid di Tebet, di sekitar tempat tinggal saya sekarang, menggelar acara Khatmil Qur`an. Bersama anak lelaki dan tetangga dekat saya sering mencoba masjid-masjid lain untuk beri’tikaf, termasuk masjid di RSCM tempat saya bekerja hingga saat ini.

Ramadhan seperti memasuki babak baru seiring dengan pertumbuhan gairah orang dalam beragama. Sungguh menyenangkan, meskipun kadang-kadang saya merasa kangen dengan i’tikaf yang senyap dan tenang, ketika setiap orang tenggelam dalam doa dan perenungannya masing-masing. Tetapi zaman akan terus berubah, dan setiap generasi akan menghayati dan menjalankan ajaran Islam dengan cara yang berbeda pula, meskipun universalitas inti ajarannya akan tetap, melintasi ruang dan waktu.  Itu pelajaran yang harus saya ingat.

Masih mengenai masjid dan puasa, kenangan yang tak akang lekang dalam ingatan saya adalah belajar mengaji di masjid Syuhada, salah satu masjid terbesar dan tertua di Yogyakarta. Di tempat ini saya sempat belajar tilawah. Yang saya ingat ayat yang dibaca untuk tilawah adalah beberapa ayat terakhir dari surat al-Hasyr yang berisi al-asmâ` al-husnâ.

Saya sangat bersyukur bahwa orangtua saya mengajak dan mendekatkan masa kanak-kanak saya dengan masjid. Buat saya itu sangat penting. Kemampuan membaca al-Qur`an dan menghafal beberapa bagiannya, tak bisa dilepaskan dari keterlibatan saya di masjid. Harus diakui bahwa waktu mengaji saya sekarang tak sebanyak di waktu kecil dulu. Namun untunglah sekarang ada banyak bantuan teknologi yang memudahkan saya menyimak ayat-ayat suci al-Qur`an di manapun saya berada.

 

Libur Berkelahi

Saya kira untuk anak-anak angkatan saya, puasa identik dengan liburan. Selain memang sekolah diliburkan sebulan penuh, kami juga melakukan berbagai kegiatan yang berbeda dengan rutinitas di 11 bulan lainnya. Hingga usia tertentu, sakralitas Ramadhan hanya hadir sebatas ritual shalat Tarawih dan tadarus. Lainnya, anak-anak tetap “mengamalkan” kenakalan-kenakalan belianya.

Tapi bagaimanapun bandelnya saya, ketika puasa saya benar-benar libur berkelahi. Ya, orangtua saya memang agak keras dalam hal ini. Dilarangnya kami berkelahi, apapun alasannya. Padahal sebagai anak lelaki, saya kira wajar jika sekali atau dua kali saya ingin menunjukkan aspek jagoan dalam diri saya dengan mengajak duel anak lain yang menjadi musuh ketika itu. Duel, bukan berkelahi keroyokan yang menurut saya agak memalukan.

Saya cerita sedikit tentang pengalaman saya mengajak duel salah seorang teman masa kecil, meskipun ini tidak terjadi di bulan Ramadhan. Suatu hari, karena urusan yang saya sudah lupa pasalnya sekarang, saya ditantang duel oleh seorang teman. Kami berjanji untuk bertemu di tempat tertentu, di waktu tertentu. Tentunya yang orangtua kami tidak tahu.

Sebelum waktu yang ditentukan tiba saya sudah sampai di lokasi. Semakin dekat waktu yang ditentukan, jantung saya semakin berdebur kencang membayangkan jurus-jurus yang akan saya keluarkan. Waktu itu usia saya sekitar 10 tahun, dan belum tahu apa-apa mengenai silat, apalagi karate. Akhirnya, lawan saya datang. Dari kejauhan saya sudah melihat bayangannya, tetapi dia datang berdua! Celaka tiga belas. Bagaimana melawannya? Tetapi baiklah, saya akan hadapi, bisik hati saya. Akan sangat memalukan jika saya mengambil langkah seribu sebelum bertarung.

Tapi, ketika sampai di lokasi dan melihat saya, lawan saya dan kawannya yang bertubuh tinggi besar itu hanya menatap kepada saya. Sejenak saling memelototi, dan setelah itu mereka berlalu dari tempat itu. Sudah, begitu saja. Tidak ada kata-kata yang diucapkan. Tidak ada jurus yang dikeluarkan. Semuanya berakhir anti klimaks. Agak kecewa juga karena saya tak sempat unjuk kebolehan. Tapi selebihnya sebenarnya saya lega juga.

Kali lain, saya juga punya seorang musuh lain. Seorang anak lelaki tetangga dan teman sekolah. Suatu kali menjelang maghrib, dari jauh saya lihat anak itu berlari ke arah saya. Perasaan bermusuhan membuat saya memutuskan untuk menuntaskan kekesalan terhadapnya. Buru-buru saya bersembunyi. Begitu ia dekat, saya julurkan salah satu kaki untuk menjegalnya. Bleekk … jatuh tersungkur dia dengan telaknya. Anak laki-laki itu kontan menangis menggerung-gerung. Waah, ternyata dia bukan anak yang saya incar!! Gawat. Saya ketakutan dan segera memutuskan untuk mengambil langkah seribu menghindari konsekuensi diomeli orangtua anak itu. Sampai sekarang saya masih sering teringat rincian peristiwa tersebut dan merasa bersalah berkepanjangan karenanya.

Menengok kembali masa lalu, saya tahu orangtua saya sudah melakukan yang terbaik untuk mendidik anak-anaknya. Semasa SMP, sepulang sekolah atau tepatnya setelah magrib sampai jam 21.00 saya disekolahkan di sekolah agama di tingkat Wustha atau setara dengan Tsanawiyah, selama 3 tahun penuh. Saya sangat bersyukur karenanya. Juga bersyukur karena dulu saya mematuhi larangan mereka berkelahi di bulan puasa.

Ramadhan dan lebaran untuk anak-anak adalah juga permainan. Dan permainan yang paling saya kuasai selain berbagai jenis olah raga adalah layangan. Sampai sekarang pun rasanya saya berani bertanding membuat layang-layang. Meraut buluh bambu, memilih kertas yang tipis (biasanya kertas tipis bekas, seperti kertas karbon yang digunakan untuk menggandakan tulisan dengan mesin ketik), hingga membuat benang gelasan dari plentong (bohlam) yang digerus halus, semuanya saya kuasai dengan baik. Ngundo (mengejar) layangan, apalagi. Dan tempat favorit saya untuk mengadu layangan adalah loteng, baik loteng di rumah Mbah Wachid, kakek dari Bapak di Ngindungan, Kauman Timur, maupun loteng rumah Mbah Djufri, kakek dari Ibu di Kauman Utara. Pilihan ngundo layangan kedua adalah Alun-Alun Lor (utara) sebuah lapangan yang amat luas di sebelah timur Kauman.

Namun gara-gara kegilaan pada layangan ini pula pembuluh darah vena di kaki kanan saya pernah teriris benang gelasan. Darah mengalir kencang dari nadi yang terpotong. Ngerinya, dan juga bekasnya, tertinggal hingga sekarang. Bekas luka di kaki dan di kening akibat terkena peluru plintheng (ketapel)—tentu saja saya tak pernah mengaku kena plintheng, hanya bilang “ketotol gagak” (dipatuk burung gagak) kepada bapak dan ibu—adalah “piagam” yang akan terus mengukirkan kenangan indah masa kecil di benak saya.

 

Lebaran di Kauman

Lebaran tentu saja adalah puncak dari “madrasah ruhani” yang sudah ditapaki oleh setiap Muslim yang bersungguh-sungguh. Kegembiraan pada hari lebaran adalah kegembiraan mereka yang mengalami pembaruan pribadi setelah menunaikan pelatihan keras selama sebulan.

Bagi anak-anak, lebaran tentu bermakna kesenangan yang berbeda lagi dari kesenangan selama puasa. Bukan hanya banyak makanan enak-enak dan baju baru, tapi juga uang saku yang bebas kami belanjakan apa saja. Bapak dan ibu akan mengajak kami keliling kampung Kauman. Senang sekali menyadari bahwa masih ada pertalian darah di antara orang sekampung. Lebih senang lagi karena hampir dari setiap rumah kami mendapatkan uang beberapa talen yang bisa kami pakai membeli kembang gula.

Sekarang saya jadi kepikiran, jangan-jangan memberi uang kepada saya dan adik-adik mungkin juga menyenangkan si pemberi karena posisi kakek dan nenek kami yang lumayan terpandang di Kauman. Iya, Mbah Wachid kakung memang terpandang karena ilmunya, sementara Mbah Wachid putri terpandang karena beliau adalah keturunan pedagang yang lumayan sukses. Beliau berdua juga berbahasa Belanda sehari-hari. Kendati demikian beliau berdua hidup sederhana saja. Tetapi apapun alasannya, sekarang saya tahu bahwa tindakan memberi itu menyenangkan si pemberi jauh melebihi kegembiraan yang dialami si penerima.

Tahun 1965 keluarga kami pindah ke Jakarta. Kepindahan ke Jakarta itu pun terjadi pada bulan puasa, menambah daftar kenangan saya terhadap bulan puasa. Penghasilan Bapak sebagai guru dan dosen saat itu tidak mencukupi untuk bekal menghidupi kelima anak yang sudah beranjak besar. Sebagai pendidik, sekolah anak-anak adalah hal paling utama yang harus dikejar, diusahakan dan diperjuangkan, kalau perlu sampai titik darah penghabisan. Karena itulah tawaran untuk mengajar dan bekerja di Jakarta sebagai staf ahli Menteri Perindustrian waktu itu menjadi pilihan yang “wajib” diambil. Ketika itu kebetulan saya sudah lulus SMA dan diterima di Fakultas Kedokteran UI di Salemba.

Hari-hari menjelang kepindahan ke Jakarta, sedikit kilas balik, adalah hari-hari paling memprihatinkan buat keluarga kami dari segi ekonomi. Ayah sedang mengurus kepindahan kerja, sehingga beberapa kali harus ke Jakarta, sementara kami berlima kakak beradik bersama ibunda tinggal di rumah di Sendowo, Sekip (sekarang sudah menjadi salah satu lokasi di RS Sardjito), yang kami tinggali selama kurang lebih 3 tahun setelah pindah dari Kauman.

Saya dan adik-adik kerap membantu ekonomi keluarga dengan “bersih-bersih”. Bersama salah seorang adik beberapa kali boncengan naik sepeda menjual koran bekas ke pasar Beringhardjo. Kami amat bersyukur selama ini Bapak berlangganan lebih dari satu koran, jadi kami mempunyai banyak sekali stok koran bekas untuk dilego. Namun bagaimanapun puasa tetap saja sangat menyenangkan karena kebersamaan di antara kami: mulai dari sahur, buka puasa, tarawih, tadarus dan tentu saja membaca berbagai jenis buku—mulai dari wayang hingga kisah silat—dan tentu saja … bermain. Puasa tak berkurang istimewanya walaupun waktu itu saya sudah berusia 18 tahun dan duduk kelas tiga SMA, sementara adik-adik ada yang juga SMA, SMP dan SD.

Di Jakarta, puasa dan lebaran memasuki fase baru dengan dinamika dan kenangan yang berbeda. Namun puasa masa kecil—dan segenap pembelajaran yang mengendap dalam diri saya hingga saat ini—tak akan pernah pupus dari ingatan. Seperti kenangan saya terhadap almarhum dan almarhumah bapak dan ibu.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

BERPUASA DI KAMPUNG HALAMAN

Oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA.

[Profesor Riset Bidang Lektur Keagamaan – Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace]

 

“Kami tidak mengenal pembagian gender dalam pekerjaan, tetapi di kampung saya laki-laki memang bukan tempatnya di dapur, bahkan dianggap tabu (pamali) masuk ke dapur. Saya tidak begitu tahu, setiap menjelang Maghrib para laki-laki kerap tidak ada di rumah, selalu pergi sesukanya. Dan yang sangat unik menurut saya, di masyarakat Bugis tidak ada kamar khusus dalam rumah untuk anak laki-laki. Anak laki-laki bisa tidur di mana saja. Dikenal dalam falsafah Bugis istilah ‘laoko’. Artinya, anak laki-laki harus pergi merantau karena itu merupakan bagian dari tradisi Bugis. Rumah adalah milik perempuan. Sehingga kalau terjadi perceraian, yang pergi dari rumah itu laki-laki. Harta yang tidak bergerak dengan sendirinya milik perempuan.”

 

 

Latar Belakang

Saya dilahirkan di Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 dari pasangan H. Mustamin Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad. Ayah saya pernah menjadi Komandan Batalyon dalam Negara Islam pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang kemudian dikenal sebagai gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Beliau adalah orang kepercayaan Abdul Kahar Muzakkar. Tetapi anehnya, beliau tidak pernah menjelaskan apa itu DI/TII dan keterlibatan beliau dalam organisasi tersebut, juga tidak pernah mengajarkan kepada saya tentang Negara Islam. Saya mengetahui hal ini dari paman saya, Syamsul Bachri, kakak ayah yang juga merupakan orang penting dalam gerakan tersebut.

Adapun ibu saya merupakan gadis pertama di desa yang menyelesaikan pendidikan pada Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) di Pare-Pare, pesantren paling tua dan sangat terkenal di Sulawesi. Dan beliau juga perempuan pertama yang bicara di masjid memberikan ceramah di bulan Ramadhan. Sebelum beliau tidak seorang perempuan pun di kampung saya pernah memberikan ceramah di masjid. Beliau sangat fasih melantunkan puisi Arab tentang sirah Rasul yang tertulis dalam kitab “al-Barzanjîy”. Pokoknya, beliau adalah bintang di desanya.

Bila ditelusuri lebih ke atas, silsilah keluarga saya sangat kental dengan kehidupan agama. Kakek dari ayah, KH. Abdul Fatah adalah seorang Mursyid ternama di dalam Tarekat Khalwatiyah Naqsyabandiyah. Bahkan kakak ayah saya, KH. Muhammadong, melanjutkan kekhalifahan (kepimpinan) di organisasi tarekat tersebut. Para jamaah tarekat ini bisa dikatakan sangat fanatik. Mereka bahkan sampai mencium kaki sang mursyid. Saya ketika berada di tengah komunitas itu juga mendapat perlakuan yang berbeda dan cukup istimewa.

Sementara kakek dari ibu merupakan seorang ulama NU tradisional. Mungkin karena pernah belajar di Makkah, pandangan keislamannya dalam banyak hal sangat konservatif dan tradisional. Misalnya, beliau masih menganggap suara perempuan adalah aurat. Saya ingat sekali, ketika duduk di kelas I Tsanawiyah saya dibilang begini, “Kamu tidak bisa lagi ikut Musabaqah Tilawatil Qur`an karena kamu sudah baligh dan sudah di Tsanawiyah, jadi suara kamu adalah aurat. Ini adalah tahun terakhir kamu ikutan musabaqah.” Mendengar ini saya hanya bisa diam dan membisu, tanpa bisa protes sedikit pun. Namun saya harus mengakui, bahwa dominasi tradisi NU sangat kental di dalam keluarga saya.

Seperti saya utarakan sebelumnya, saya sebetulnya tidak tahu tentang keterlibatan ayah di DI/TII, karena beliau tidak pernah bercerita soal gerakan DI/TII ke saya, dan tidak pernah mengajak saya untuk bertemu dengan teman-teman seperjuangannya. Dan lucunya lagi, kakek saya juga tidak tahu menahu tentang aktivitas anaknya di DI/TII. Mungkin karena beliau terlalu sibuk di dalam tarekatnya. Saya mendapatkan cerita bahwa ayah terlibat di dalam gerakan DI/TII dari paman saya, seorang tokoh yang sebetulnya sangat disegani pada zaman Suharto karena dianggap banyak mengetahui rahasia-rahasia penting. Namun paman saya itu lebih memilih untuk mengasingkan diri di Malaysia. Menurut ceritanya, ibu saya juga termasuk anggota DI/TII, dan pernah menjadi anggota laskar sebagai perawat.

Sebenarnya yang diperjuangkan DI/TII bukan mengembangkan Islam garis keras, sebagaimana diduga banyak orang, melainkan melawan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. Abdul Kahar Muzakkar clash dengan Soekarno karena dia dianggap sudah menyalahi cita-cita proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Karena itu, dia ingin menunjukkan bahwa Soekarno sudah salah mengurus negara. Dan satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa di dalam DI/TII itu ada orang NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya. Jadi ceritanya Abdul Kahar Muzakkar ingin menyatukan Islam yang beragam itu karena bagi dia, Islam hakikatnya adalah satu.

Bagi orang Sulawesi, Abdul Kahar Muzakkar dianggap sebagai pahlawan. Kalau di daerah lain, orang cenderung menganggap DI/TII itu gerakan separatis yang sangat dimusuhi pemerintah, terutama pada masa Orde Baru.

Itulah sedikit gambaran tentang keluarga saya. Mereka adalah orang-orang terdidik yang mempunyai sejarah di masanya. Mereka memberi saya motivasi kuat untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya.

Pendidikan formal saya dimulai dari sebuah Sekolah Dasar di Kompleks Angkatan Laut Surabaya. Lalu naik kelas IV saya pindah ke Jakarta dan melanjutkan ke SDN Kosambi Jakarta Utara. Setamat dari situ saya kemudian belajar di Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMA) di Pesantren As’adiyah. Masih di lembaga yang sama, setalah tamat Tsanawiyah-Aliyah, saya lalu kuliah di Fakultas Ushuluddin merangkap Fakultas Syariah. Dosen-dosen saya di Fakultas Syariah umumnya adalah alumni dari  Universitas Madinah, Saudi Arabia, yang saking lamanya di sana mereka lupa bahasa Indonesia. Jadi, kalau mengajar mereka hanya menggunakan dua bahasa, Arab dan Bugis. Baru naik tingkat II (dulu belum pakai sistem semester seperti sekarang) saya pindah ke Ujung Pandang dan masuk IAIN Alaudin. Saya memilih Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastera Arab dan terpaksa mengulang kembali kuliah dari Tingkat I di Fakultas Adab, IAIN Alaudin. Selain itu, saya melanjutkan juga ke Tingkat III Fakultas Ushuluddin, Universitas Muslim Indonesia.

Tidak hanya sampai di situ, saya dengan dukungan penuh dari keluarga melakukan hijrah ke Jakarta dan menimba ilmu di IAIN Syarif Hidayatullah untuk Program S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam, dan Program S3 Bidang Pemikiran Politik Islam dengan disertasi berjudul “Negara Islam: Pemikiran Husain Haikal”. Dengan begitu, saya adalah perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Ramadhan di Kampung

Saya berpuasa sejak kecil. Di keluarga saya, puasa Ramadhan sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan oleh semua orang, tua dan muda. Ketika duduk di Kelas III SD saya sudah bisa berpuasa sebulan penuh. Ibu saya dulu selalu menyuruh begitu, tidak boleh setengah-setengah. Bahkan, nenek dan buyut perempuan saya sudah memulai puasa jauh sebelum Ramadhan tiba. Mereka sudah sering berpuasa sejak bulan Rajab lalu dilanjutkan bulan Sya’ban. Jadi, puasa Ramadhan dirasakan tidak terlalu berat lagi karena sudah ada latihan puasa pra-Ramadhan. Sewaktu masih di pesantren, saya pun mengikuti tradisi mereka, kecuali kalau sedang haid.

Biasanya seminggu sebelum Ramadhan, saya bersama keluarga melakukan ziarah ke makam-makam para leluhur. Demikian juga mengunjungi sanak keluarga yang dianggap lebih sepuh. Dan biasanya juga, pada sore di hari terakhir bulan Sya’ban, kami melakukan ‘mandi besar’ karena besoknya (tanggal 1 Ramadhan) akan melaksanakan puasa. Artinya, sebelum itu kami bersih-bersih dulu, bersih badan, seperti keramas, memotong kuku dan lain sebagainya, juga kami bersih-bersih di sekitar rumah, menyapu halaman, mengecat rumah dan sebagainya.

Di bulan Ramadhan sekolah selalu diliburkan. Namun bukan berarti tidak ada kegiatan, malah semakin padat yang dimulai sejak dini hari kala gelap masih menyelimuti bumi. Kira-kira jam 02.30, kakek dan nenek saya sudah bangun dan melaksanakan shalat Tahajjud dan berbagai bentuk shalat malam lainnya, begitulah kegiatan mereka setiap malam. Dalam hal ibadah, keluarga besar saya memang dikenal sangat taat. Dan kebiasaan itu menular dalam diri saya.

Ibu biasanya bangun jam tiga malam dan langsung ke dapur untuk memasak makanan buat sahur. Namun beliau tidak sendirian, beliau dibantu oleh 3-4 orang pembantu yang memang suka membantu keluarga saya dan tinggal di rumah. Mereka tidak dibayar bulanan layaknya PRT sekarang. Akan tetapi, mereka sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga besar kami. Semua keperluan hidupnya dipenuhi oleh kakek dan nenek. Mereka hidup bersama kakek-nenek sejak kecil, bahkan ada yang sejak bayi. Orangtua mereka tidak tahu pergi ke mana. Mereka disekolahkan dan tidak dibedakan dengan yang lain. Di antara mereka malah ada yang dikawinkan oleh nenek. Dan anaknya yang lahir juga diambil anak oleh nenek. Meski nenek saya agak cerewet, ngomong suka ceplas-ceplos, tetapi mereka dan kami semua tetap menghormatinya.

Bukan hanya para pembantu yang membantu memasak, tetapi kadang juga tante dan sepupu saya. Ibu saya adalah pribadi yang bisa dekat dengan siapa saja, juga sosok yang selalu menyenangkan bagi tante dan sepupu sehingga rumah saya selalu ramai. Merekalah yang menyediakan makanan, baik untuk buka dan sahur. Ketika beranjak dewasa saya juga sering membantu memasak.

Kami tidak mengenal pembagian gender dalam pekerjaan, tetapi di kampung saya laki-laki memang bukan tempatnya di dapur, bahkan dianggap tabu (pamali) masuk ke dapur. Saya tidak begitu tahu, setiap menjelang Maghrib para laki-laki kerap tidak ada di rumah, selalu pergi sesukanya. Dan yang sangat unik menurut saya, di masyarakat Bugis tidak ada kamar dalam rumah untuk anak laki-laki. Anak laki-laki bisa tidur di mana saja. Dikenal dalam falsafah Bugis istilah ‘laoko’. Artinya, anak laki-laki harus pergi merantau karena itu merupakan bagian dari tradisi Bugis. Rumah adalah milik perempuan. Sehingga kalau terjadi perceraian, yang pergi dari rumah itu laki-laki. Harta yang tidak bergerak dengan sendirinya milik perempuan.

Saya ingat waktu kecil dulu kakek mempunyai jam besar Belanda di ruang tamu. Namun patokan untuk panggilan sahur (juga buka puasa) bukan jam, melainkan dari masjid. Bahkan, bukan hanya dari suara masjid, tetapi dari beberapa orang yang meronda mengitari kampung kami. Seingat saya mereka adalah para waria, berjumlah antara 5 sampai 6 orang yang menabuh gendang. Mereka membangunkan orang untuk sahur dari rumah ke rumah sambil bernyanyi gambus kasidahan. Di sepanjang jalan tampak puluhan orang yang ingin melihat aksi heboh para waria itu. Mereka itulah yang membangunkan kami untuk sahur.

Kami tidak mempersoalkan keberadaan para waria itu. Karena di Bugis sendiri ada sekelompok laki-laki berpakaian perempuan dan tidak menikah, yang tak lain mereka sebenarnya adalah para waria. Oleh masyarakat Bugis mereka disebut Bissu, yakni suatu strata sosial yang dikultuskan dalam kerajaan karena fungsinya menjaga dan merawat barang-barang kerajaan seperti keris dll. Mereka hidup mengabdi pada tugas adat secara turun-menurun. Kalau ada perjamuan atau acara-acara adat merekalah yang mempersiapkan. Mereka juga menjadi tukang rias bagi para pengantin adat di dalam masyarakat Bugis.

Setelah makan dan cuci piring, kami lalu pergi ke masjid Pesantren As’adiyah yang kebetulan dekat dengan rumah kami. Di situ kami shalat Shubuh dan kemudian mengikuti pengajian. Kira-kira jam 07.00 pagi kami pun bubar dan kembali ke rumah. Setibanya di rumah, saya kadang tidur. Atau kalau tidak, saya melakukan kegiatan lain. Kalau ibu hampir bisa dipastikan tidak akan pernah tidur seharian. Ada saja pekerjaan yang beliau lakukan. Bahkan, pada jam 10.00-an beliau bersama nenek sudah sibuk membuat bermacam kue-kue tradisional. Sekitar jam 14.00 siang keduanya istirahat, kemudian jam 16.00 keduanya bangun lagi untuk menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Biasanya yang selalu ada di bulan Ramadhan adalah kue srikaya; bahannya telor dicampur sedikit terigu dan santan kental, lalu dikocok kemudian dipanggang di atas bara selama kurang lebih 4 jam. Di saat buka, kue ini biasanya dimakan dengan ketan yang dimasak dengan santan. Selain itu, ada hidangan kolak pisang ijo dan palu butung. Kue-kue Bugis terkenal dengan rasanya yang legit dan manis. Bagi orang Bugis, kue itu harus terasa manis, kalau tidak manis bukan kue namanya.

Setelah berbuka dengan makanan yang manis, kami lalu shalat Magrib berjamaah. Setelah itu makan malam. Menu yang disajikan biasanya nasi, sayur dan lauknya, dominan berupa ikan, terutama ikan bakar dengan sambal khusus. Kami juga suka ikan dari danau, sungai dll. Kami jarang sekali makan daging. Karena dalam miliu kami yang namanya daging itu hanya ada di kala lebaran, jadi sekali-sekali saja. Sementara di hari-hari biasa, juga di hari-hari bulan Ramadhan, kami mengkonsumsi ikan. Ikan masak palumara pakai asam kunyit adalah khas kami yang tidak ada di tempat lain. Jadi kelihatan betul, selain bulan untuk ibadah, Ramadhan juga menjadi bulan untuk masak dan makan enak. Sampai sekarang yang terkesan dari Ramadhan ketika di kampung dulu adalah makan enaknya itu.

Shalat Tarawih merupakan tradisi yang sangat kuat, dilakukan secara berjamaah di masjid, baik laki dan perempuan, tua dan muda, kaya dan miskin semuanya berbaur menjadi satu. Sampai kuliah S1 saya nyaris tidak pernah melihat orang sesudah berbuka masih berada di tempat lain kecuali di masjid untuk shalat Tarawih. Ketika di kampung, kalau ada orang yang berada di luar masjid pada jam-jam shalat Tarawih pasti ia bukan orang alim. Artinya, orang yang dianggap sebagai orang alim adalah orang yang pada jam-jam shalat Tarawih berada di masjid. Karena mayoritas pengikut NU, Shalat Tarawih di kampung saya sebanyak 23 rakaat; 20 rakaat Tarawih ditambah 3 rakaat shalat Witir.

Di daerah saya terdapat satu Masjid Raya, bisa dibilang Masjid Agung yang terletak di pusat kota, dekat dengan alun-alun dan kantor Bupati. Masjid tersebut di bulan Ramadhan selalu ramai, khususnya pada saat pelaksanaan shalat Tarawih. Betapapun jauhnya, namun orang-orang selalu berusaha untuk shalat di situ. Karena Ramadhan menjadi semacam celebration. Selain itu, ada juga mushalla-mushalla kecil, tetapi orang-orang melaksanakan shalat Tarawih di masjid, utamanya di Masjid Raya. Laki-laki dan perempuan semua shalat di masjid. Saya sendiri, juga keluarga, lebih suka shalat Tarawih di masjid Pesantren As’adiyah daripada di Masjid Raya. Karena memang lebih dekat dengan rumah. Dari sejak kecil, sampai gadis saya senang shalat di masjid. Tradisi kami sangat terbuka, suka pergi ramai-ramai ke masjid.

Saya sesekali shalat Tarawih di Masjid Raya. Di situ saya menyaksikan sesuatu yang menarik. Jadi, di daerah saya ormas keagamaan yang paling besar adalah NU. Sementara Muhammadiyah hanya menjadi kelompok minoritas, dan banyak di antara mereka yang datang ke Masjid Raya. Di sana mereka shalat 8 rakaat. Rupanya sang imam mengetahui hal itu. Makanya, ketika sampai pada rakaat kedelapan, ia berhenti sejenak. Setelah orang-orang Muhammadiyah itu pulang semuanya, baru kemudian ia melanjutkan lagi shalat Tarawih sampai selesai (20 rakaat) bersama jamaah yang mayoritasnya adalah orang-orang NU.

Bagi saya, shalat Tarawih adalah momen yang sangat istimewa, di mana saya dapat bertemu dengan banyak orang. Dan ini membuat saya sangat senang. Kadang kami berangkat dari rumah ke masjid dengan membawa makanan atau kue yang dibungkus dalam sarung. Setelah shalat kami mendengarkan ceramah sambil ngemil. Sepulang dari masjid, kami biasanya jalan-jalan dulu, karena di jalanan sangat ramai dengan aneka penjual makanan, minuman, pakaian dan sebagainya.

Saya ingat ketika masih gadis dulu, kalau pergi ke masjid untuk shalat Tarawih sering juga ikut-ikutan pamer sarung sutera mengikuti kebiasaan gadis-gadis di daerah kami. Di masa itu belum dikenal mukena sepasang seperti sekarang, tetapi memakai bawahan sarung, sarung sutera asli yang halus bagi yang punya. Kebetulan di rumah saya, yang sebaya ada 3 orang, yaitu saya, sepupu dan tante saya. Nenek saya dikenal banyak orang sebagai orang berpunya. Tak mengherankan bila koleksi kain sutranya bagus-bagus. Tetapi waktu itu saya merasa nenek tidak akan meminjamkannya kepada kami. Meskipun sebetulnya belum saatnya kami memakai sutera halus, apalagi hanya untuk Tarawih. Sebab, sutera halus hanya boleh dipakai ketika shalat Idul Fitri dan Idul Adha dan hari-hari penting lainnya, seperti acara perkawinan, acara selamatan dan berbagai kenduri adat lainnya. Makanya, ketika beliau sibuk di dapur, kami bertiga lalu mengambil beberapa lembar sutra halus yang cantik-cantik dari lemarinya. Jadi, kami ke masjid selain memakai mukena, juga memakai kain sutra untuk dibawahnya. Sehingga, apabila kami angkat mukenanya, orang-orang bisa melihat kain sutra halus yang kami kenakan.

Dari dulu orang Bugis memang terkenal dengan suteranya yang handmade. Dan nenek saya termasuk kolektor sutra. Jadi, kalau ada produk baru yang bagus dan halus orang-orang pasti menawarkannya ke nenek. Koleksi sutra beliau saya akui memang cantik-cantik. Dan saya, sepupu dan tante sering mengambilnya untuk bertiga dan kami gunakan ketika tarawih ke masjid. Kemudian sekembalinya dari masjid kami letakkan lagi di lemarinya dengan rapi agar tidak ketahuan. Saat kami pulang dari masjid biasanya beliau sudah tidur karena usianya yang sudah uzur. Setiap malam kami selalu begitu.

Bagi orang Bugis, laki dan perempuan, waktu shalat Tarawih memang merupakan ajang untuk pamer sarung sutra, dan ini sudah menjadi pemandangan yang khas. Dari warna dan coraknya saja orang yang mengerti pasti tahu tentang asli dan tidaknya sebuah kain sutra. Saya sendiri tidak begitu bisa membedakannya, mungkin karena tidak punya perhatian khusus terhadap sutera. Tetapi orang di kampung saya dengan hanya memegang saja sudah tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Mereka bisa mengetahui orang kaya, tingkatan bangsawan dari model dan corak sarung sutranya. Bagi mereka kain sutra merupakan simbol status sosial. Tetapi sekarang kain sutra sudah mulai hilang karena memang mahal dan merawatnya pun sangat rumit, tidak boleh dicuci dengan air. Kalau saat ini ada sutra yang bisa dicuci dengan air, itu pasti tidak asli.

Dulu kalau ada acara-acara besar seperti Maulid Nabi, misalnya, semua orang akan memakai sutra. Kalau dulu orang Bugis modelnya memakai kebaya dan kain sutra. Untuk acara pernikahan biasanya mereka mengenakan baju bodo yang transparan. Ketika menjadi santri di Pesantren As’adiyah saya juga kerap memakai baju bodo itu. Dan pada saat salah seorang putri kiyai menikah, misalnya, beberapa orang santri putri, saya juga kadang-kadang, ditunjuk menjadi pagar ayu dengan memakai baju bodo tanpa kerudung. Tetapi tidak ada orang yang bilang itu haram atau apa lah. Sekarang banyak perempuan memakai baju bodo dengan modifikasi, seperti dilapis dengan daleman, tetapi saya melihatnya tidak lagi cantik. Kami orang Bugis relatif bisa menghargai tradisi, tidak serta-merta membuangnya karena alasan agama.

Kemudian, tiba saatnya saya harus pindah ke Ujung Pandang, karena saya hendak melanjutkan studi S1 di IAIN Alaudin. Namun di sana saya dilarang ngekost oleh ibu. Sebab menurut beliau rumah kost itu tidak Islami. Sehingga, mau tidak mau, saya dibangunkan sebuah rumah di sebelah rumah paman saya yang sangat galak. Jadi, setiap ada tamu yang datang ke rumah dia pasti bisa melihat.

Di Ujung Pandang itu saya mulai mengenal shalat Tarawih ‘bersama’. Maksudnya, shalat Tarawih yang para jamaahnya diundang ke rumah seseorang. Hal ini saya lakukan bersama teman-teman PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia). Karena saya merupakan salah seorang pengurus di organisasi kemahasiswaan tersebut. Dan saya mengadakan kegiatan shalat Tarawih keliling ke rumah-rumah para tokoh PMII. Tidak setiap malam, tetapi diselang-seling. Misalnya, malam pertama, ketiga, kelima, dan seterusnya sampai selasai.

Setelah shalat Tarawih biasanya ada ceramah yang kemudian dilanjutkan dengan tanya-jawab dan diskusi sambil makan kue-kue yang sengaja dihidangkan untuk para jamaah. Saya dan beberapa teman terlibat aktif mengorganisasikan acara ini mengundang teman-teman yang lainnya. Sering juga shalat Tarawih diadakan di rumah saya. Karena ruang tamunya lumayan besar sehingga bisa menampung puluhan orang untuk shalat jamaah. Tambahan lagi, rumah saya letaknya dekat kampus sehingga memudahkan bagi teman-teman mahasiswa yang berdomisili di sekitar kampus. Jadi, ketika di Ujung Pandang itu saya mendapat pengalaman baru, bahwa shalat Tarawih tidak harus di masjid, tetapi bisa juga berjamaah di rumah.

Nah, saat tidak ada tarawih keliling saya melaksanakan shalat di masjid kampus. Saya ingat dulu saya makan sering terburu-buru agar dapat tempat duduk yang enak di barisan terdepan dalam masjid. Untuk laki-laki shafnya di depan dan perempuan di belakang tetapi tidak dipisahkan dengan tabir. Jarak antara shaf laki-laki dan perempuan hanya 2 meter. Sehingga saya dapat melihat dengan jelas siapa yang memberikan ceramah di depan. Saya dengan teman-teman berlomba-lomba mendapatkan tempat di barisan paling depan karena ingin melihat secara jelas siapa yang menjadi penceramah.

Saya mengalami kejadian paling aneh sewaktu pindah ke Jakarta untuk melanjutkan S2 di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah). Waktu itu, di bulan Ramadhan ada kuliah malam. Saya mengalami konflik batin yang sangat luar biasa karena sebelumnya saya tidak pernah punya kegiatan lain di malam-malam bulan Ramadhan kecuali untuk beribadah (shalat Tarawih dan sebagainya). Waktu itu hati saya memberontak sembari bertanya-tanya, “Kok bisa ya kuliah tidak menghargai bulan suci? Apa orang di sini kafir semua?”. Malah saya sampai bertanya kepada dosen saya, Dr. Muslim Nasution, alumnus Ummul Qura Makkah (kurang Islam apa lagi dia itu).

“Pak, besok kita kan sudah mulai puasa, kok malam ini kita masih kuliah?”

Lho, kalau Ramadhan kan tidak masalah sehabis buka kita kuliah,” katanya.

“Terus Tarawihnya bagaimana?” kata saya.

“Tarawih kan bisa diundur sampai tengah malam. Itu justru lebih afdhal (utama), karena proses pencernaan makanan sudah lewat. Sehingga kita tidak terengah-engah waktu shalat.”

“Iya, tapi kita kan tidak bisa ke masjid atau berjamaah, Pak,” sergah saya.

Lho, Musdah, kegiatan kuliah di malam Ramadhan itu pahalanya sama dengan shalat Tarawih.”

Terus terang saya kaget sekali waktu itu, karena sebelumnya tidak pernah mendengar penjelasan seperti itu. Saya merasa ketika orang-orang sedang melaksanakan shalat Tarawih di masjid sementara saya masih berada di kelas, saya sudah berbuat kesalahan. Suatu ketika Pak Harun Nasution, Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah juga ngomong di kelas, “Pahala shalat Tarawih dengan belajar atau kuliah itu sama. Tintanya ulama itu sama dengan darahnya syuhada.”

Namun, bagaimanapun dosen-dosen saya di IAIN Jakarta memberikan penjelasan, di manapun berada saya tidak pernah meninggalkan shalat Tarawih, bahkan dalam perjalanan sekalipun. Pernah suatu saat saya sedang berada di bandara, saya sempat-sempatin mencari tempat untuk shalat Tarawih. Sampai teman saya bilang, “Kok ada ya orang seperti kamu.” Tetapi biarlah, saya tidak peduli dengan omongan orang. Dan sampai sekarang saya masih konsisten melaksanakan shalat Tarawih. Saya tidak bisa seperti orang lain yang sengaja menghindarkan diri dari shalat nawâfil (sunnah).

Ada acara sepenting apapun saya tetap melaksanakan shalat Tarawih, meskipun sering tidak lagi 23 rakaat seperti dulu. Untuk masa sekarang ini, mengingat kegiatan saya yang sangat padat, khususnya di bulan Ramadhan, saya shalat Tarawih sering 8 rakaat saja, kemudian ditambah shalat Witir 3 rakaat. Di luar Ramadhan pun, setiap malam saya selalu melakukan qiyâm al-layl. Kalau dulu saya melakukan shalat Tarawih dan qiyâm al-layl agar mendapatkan pahala, tetapi sekarang hal itu merupakan kebutuhan spiritual untuk charger di mana saya memerlukan kekuatan dan tempat bersandar supaya lebih tahan banting.

Seiring dengan perjalanan waktu saya merasa dalam hal agama, saya menjadi lebih kritis dan rasional dalam beragama. Hal itu paling tidak karena dua faktor. Pertama, pengaruh pendidikan agama tingkat tinggi yang lebih mementingkan penggunaan akal sehat dan nalar kritis dari pada hafalan dan pendekatan dogmatis. Kedua, pengalaman perjumpaan dengan berbagai komunitas agama di berbagai negara, termasuk perjumpaan dengan berbagai komunitas Muslim di negara-negara Islam. Akibatnya, dalam beribadah saya tidak lagi hanya mementingkan aspek-aspek simbolistik belaka, melainkan mencoba menghayatinya sampai ke tingkat paling dasar, sampai ke pusat kesadaran kemanusiaan yang paling dalam.

Saya mengkritisi cara saya beragama di masa lalu yang sangat fokus pada sisi ritual semata. Selama di pesantren saya dididik untuk tidak banyak tidur, apalagi di waktu malam selama Ramadhan. Sepanjang malam kami dilatih untuk shalat sunnah sampai waktu sahur tiba. Wahh…shalat sunnah malamnya beraneka macam; mulai shalat Tarawih, shalat Mutlak, shalat Taubat, shalat Tahajjud, shalat Awwabin, shalat Hajat, shalat Lailatul Qadar dan seterusnya. Setelah sahur dilanjutkan dengan tadarusan (membaca al-Qur`an) sampai waktu shalat Dhuha. Setelah itu, baru istirahat untuk mandi, cuci pakaian dan sebagainya. Sehabis Zhuhur, tadarusan lagi sampai jelang Ashar. Lalu istirahat kemudian membantu masak, membantu persiapkan hidangan berbuka puasa. Saya ingat dulu ketika masih di pesantren, setiap bulan Ramadhan saya sanggup khatam al-Qur`an sampai 7 kali.  Kalau lagi tidak haid, saya sanggup menghatamkan al-Qur`an dalam tempo tiga hari. Waktu itu, kami para santri sering berlomba khatam al-Qur`an.

Tetapi, apa manfaatnya? Umumnya semua ibadah yang kami lakukan itu hanya membangun ketaatan individual, dan tidak banyak memberi efek pada pembentukan kesalehan sosial. Akibatnya, tujuan akhir agama, yakni memanusiakan manusia tidak banyak terwujud. Maksudnya, membentuk manusia yang memiliki moralitas dan spiritualitas. Manusia yang peka terhadap penderitaan sesama, manusia yang peduli pada sesama makhluk, dan peduli pada upaya pelestarian lingkungan.

Mengapa ini terjadi? Menurut hemat saya karena umumnya umat Islam lebih banyak diajarkan tentang ibadah mahdhah (ritual yang bersifat formal), berupa shalat, puasa, zakat (zakat minimal) dan haji. Itu pun sekedar aspek ritual yang mengedepankan unsur legal dan formalnya. Tidak heran, begitu banyak orang yang saleh secara individual tetapi tidak mampu mengubah kondisi sosial di sekitarnya ke arah yang lebih baik. Dalam praktik keagamaan, umumnya kita melupakan ibadah ghayru mahdhah (ibadah yang tidak memiliki bentuk formal) yang cakupannya amat luas, seluas aktivitas keseharian manusia sebagai makhluk sosial, seperti upaya-upaya pencerahan agar masyarakat terlepas dari tindakan pembodohan dan perlakuan tidak adil; upaya-upaya pemberdayaan agar masyarakat terhindar dari bencana kelaparan, kemiskinan dan perilaku eksploitatif; sebaliknya juga mengajarkan masyarakat terhindar dari perilaku konsumtif, hedonistik dan riya` (suka pamer); dan upaya-upaya advokasi terhadap kelompok rentan dan marjinal, seperti membela hak perempuan dan anak, membela kelompok minoritas  terkait suku, agama, kemampuan fisik (difabel) dan sebagainya

Jadi, bagi saya doa yang paling afdhal dilantunkan di bulan Ramadhan, antara lain sebagai berikut, “Andai saya tahu ini Ramadhan terakhir, tentu saya akan memastikan seluruh sisa hidup ini diabdikan sepenuhnya untuk menolong anak-anak yang tidak mampu bersekolah, anak-anak yang menderita penyakit ganas sehingga hanya bisa terkapar dan terbaring lunglai karena tidak mampu membayar biaya pengobatan, anak-anak jalanan yang terlantar karena kemiskinan, anak-anak yang dieksploitasi untuk bekerja, dan anak-anak yang dipaksa memanggul senjata di wilayah konflik dan perang.” Saya selalu berdoa agar dibimbing melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang bermanfaat bagi orang banyak.

Walau begitu, saya pribadi tetap saja secara tekun melakukan semua aktivitas ritual seperti dulu di pesantren, misalnya tadarusan sampai khatam, shalat malam semampu yang bisa saya lakukan. Bedanya, kini saya berusaha merefleksikan agar semua ibadah yang saya lakukan tersebut punya efek dalam kehidupan sosial dan bermanfaat bagi alam semesta. Ibadah harus punya implikasi sosial sehingga keberadaan kita sebagai Muslim dan Mukmin dirasakan manfaatnya bagi orang banyak, bahkan juga manfaat bagi para makhluk di sekitar kita dan juga bagi alam semesta. Dengan begitu Islam akan menjadi rahmat-an li al-‘âlamîn, pembawa rahmat bagi semua makhluk di alam semesta.

 

Lebaran Idul Fitri

Dalam penentuan tanggal 1 Syawal atau hari Idul Fitri, di Bugis kami selalu menunggu pengumuman dari pesantren. Kalau pesantren bilang besok lebaran, kita tinggal mengikuti saja. Saya tidak begitu tahu persis menggunakan metode apa, tetapi orang-orang NU dulu biasanya memakai ru`yah al-hilâl (melihat bulan).

Untuk persiapan lebaran kami jarang beli baju, lebih sering beli kain saja untuk dijahit oleh nenek yang kebetulan memang pandai menjahit, dan beliau mempunyai mesin jahit sendiri di rumah. Kepandaiannya ini beliau turunkan kepada keturunannya sehingga saya pun juga pandai menjahit. Jadi, beberapa hari menjelang lebaran kami berbelanja kain ke toko-toko Cina untuk membuat baju. Kemudian kain yang dibeli itu kami gunting-gunting untuk dibentuk kebaya dan selanjutnya kami jahit. Saya kadang juga membuatkan baju untuk adik-adik dan keponakan-keponakan saya. Membuat baju untuk anak kecil menghadirkan kesenangan tersendiri karena lucu seperti boneka, ada pernik-perniknya.

Selain menjahit baju, kami juga mempersiapkan kue-kue kering. Kami bahkan sering tidak tidur selama 2 hari karenanya. Kami membuatnya sangat banyak, malah kadang mencapai 20-30 toples. Hidangan paling khas di waktu lebaran adalah burasa, yaitu nasi pakai santan yang dibungkus dengan daun pisang, lalu disusun menjadi empat dan diikat lalu dimasak selama 6 jam. Burasa ini enaknya dimakan bersama Coto Makassar yang terkenal itu. Dulu belum ada benang rapiah, jadi kami membuat sendiri pengikatnya dari pelepah pisang yang dianyam dan dibikin tali. Kami membuatnya dengan sangat hati-hati, karena kalau tidak kuat pasti tidak akan jadi. Biasanya para laki bertugas untuk membungkus dan mengikat. Ada juga kue tumbuk, yaitu sejenis lemper yang dibuat dari ketan hitam atau putih dibungkus daun pisang. Ini biasanya dimakan dengan daging yang dimasak seperti rendang. Namun, ada juga yang menyantapnya dengan tape ketan. Selalu tersedia tape ketan putih dan hitam yang dibentuk bulat-bulat. Semua ini wajib ada di setiap lebaran.

Di kampung, kami sekeluarga biasanya shalat Idul Fitri di lapangan dan jarang di masjid. Orang-orang NU, Muhammadiyah dan lain-lainnya semua shalat Id di lapangan. Laki dan perempuan pasti memakai sarung sutera sesuai tingkat sosial masing-masing. Peragaan sarung sutera mendapatkan momentumnya pada hari lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Setelah shalat biasanya banyak orang yang bersilaturrahim ke rumah. Karena kakek dan nenek saya dituakan, maka semua famili dan kerabat saya pasti datang ke rumah. Jadi, saya dan keluarga tidak perlu keliling-keliling. Kami sangat egalitarian; dari dulu salaman laki-laki dan perempuan tidak ada masalah.

Para pembantu yang bekerja di rumah tidak pernah mudik karena mereka tidak mempunyai kampung. Mereka juga tidak kenal dengan familinya karena sejak kecil sudah tinggal bersama nenek. Biasanya mereka semua tinggal di rumah itu sampai meninggal dan tidak ke mana-mana terus turun-temurun ke anaknya membantu di rumah nenek.

Intinya, kalau lebaran di rumah saya ramai sekali. Banyak orang datang dan berkumpul di situ. Yang tidak pernah bertemu pasti akan bertemu. Di berbagai tempat di Indonesia selalu ada daerah khusus bagi komunitas Bugis. Misalnya, di Sumatera ada kampung bernama Kuala Enok, daerah Jambi. Kebanyakan orang Bugis merantau ke sana. Di Kalimantan, biasanya mereka merantau ke kota Samarinda dan Tarakan. Di Jawa, antara lain banyak yang merantau ke Gresik. Umumnya daerah pesisir karena orang Bugis dari dulu terkenal sebagai pelaut dan nelayan yang gigih dan ulet. Dan ketika lebaran mereka akan pulang. Saya pun sejak tinggal di Jakarta, hampir setiap tahun saya pulang kampung untuk lebaran.

Tradisi lain setelah hari lebaran adalah kami semua melakukan puasa Syawal selama 6 hari berturut-turut. Biasanya kami melakukan puasa mulai hari kedua di bulan Syawal dan berturut-turut sampai enam hari. Pada hari keenam kami membuat burasa lagi lengkap dengan lauknya persis seperti hari lebaran. Hakikatnya kami memang merayakan lebaran kedua, lebaran Syawalan namanya.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

PENGALAMAN RAMADHAN DI KAMPUNG

Oleh Dr. (HC). KH. As’ad Sa’id Ali

[Mantan Wakil Ketua Badan Intelejen Negara (BIN)]

 

“Yang jelas, ketika bulan Ramadhan tiba saya merasa senang sekali. Karena yang ada dalam bayangan saya, termasuk anak-anak kecil yang sebaya dengan saya, Ramadhan identik dengan keramaian. Dari dulu sampai sekarang suasana kampung di bulan Ramadhan menjadi lebih ramai dari biasanya. Ekonomi menjadi hidup. Kalau dalam bahasa sekarang, konsumsi menjadi semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari menu berbuka.”

 

 

Suasana Ramadhan

Saya dilahirkan dalam kondisi kampung yang sangat memprihatinkan. Fasilitas untuk memenuhi hajat sehari-hari sangat tidak memadai. Kakus saja jarang ada yang punya. Kalau orang mau buang ‘air besar’, orang kampung biasanya datang ke kali atau ke kebun. Karena waktu saya kecil memang banyak tanah yang tidak dikelola. Sehingga orang bebas buang ‘air besar’ tanpa ada yang menegur. Berbeda dengan sekarang, di mana tidak ada sejengkal pun tanah yang tidak dikelola. Tetapi kalau di dalam rumah saya, sejak sebelum saya lahir sudah ada yang namanya kakus. Bagi ayah saya, kakus adalah salah satu syarat kebersihan dan kesucian, khususnya dalam menjalankan ibadah shalat.

Terkait dengan pengalaman berpuasa, sejauh yang saya ingat, saya mulai berpuasa sejak umur 5 tahun, meskipun tidak penuh 30 hari. Saya baru bisa berpuasa penuh ketika saya berumur 10 tahun. Saya akan merasa sangat malu kalau tidak berpuasa penuh pada usia tersebut. Ibu selalu mengawasi saya dengan sangat ketat, karena beliau adalah seorang guru ngaji. Demikian juga ayah, yang secara detail mengamati tingkah laku saya saban hari di bulan Ramadhan. Sebagai orangtua keduanya bertanggungjawab dalam hal pendidikan anak-anaknya, terutama pendidikan keagamaan.

Ayah boleh sangat detail dan keras mengawasi saya, anaknya. Tetapi terhadap orang lain beliau cenderung bersikap longgar. Saya ingat, beliau dulu mempunyai pabrik pembuatan gula Jawa yang bahannya berasal dari perasan tebu. Untuk itu, beliau juga menanam tebu di sebuah lahan sawah yang telah dibelinya. Dengan ini, beliau bisa memberikan pekerjaan kepada para tetangga dan mengurangi angka pengangguran di kampungnya. Sebagian pekerja menangani produksi gula Jawa, sementara sebagian lainnya mengurusi perkebunan tebu. Ketika memasuki bulan Ramadhan, dan pada saat itu kebetulan sedang memasuki musim panen, para pekerja di kebun tebu dengan penuh semangat tetap bekerja menebang tebu di siang hari. Pekerjaan menebang tebu ini tentu saja banyak menguras tenaga mereka sehingga membuat mereka merasa letih dan akhirnya tidak berpuasa; mereka makan dan minum seperti biasanya pada saat bekerja.

Ayah saya bukannya tidak tahu, beliau jelas-jelas melihat mereka makan dan minum. Tetapi anehnya beliau membiarkannya saja. Karena merasa ada kejanggalan, saya pun memberanikan diri bertanya kepada beliau, “Ayah, maaf sebelumnya. Kenapa ayah membiarkan para pekerja itu tidak berpuasa? Bukannya puasa itu merupakan kewajiban?” Beliau menjawab, “Mereka itu sedang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri mereka di rumah. Ini juga merupakan kewajiban, karena menyangkut hajat dan kebutuhan keluarga mereka. Kalau dipaksakan berpuasa, dipastikan mereka tidak akan kuat saat bekerja. Dan kalau mereka tidak bekerja, mereka dan keluarga mereka tidak akan bisa makan. Jadi, biarkan saja mereka tetap bekerja meskipun tidak berpuasa. Tuhan Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya.” Demikianlah pandangan bijak dari ayah menyikapi nasib para pekerja di bulan Ramadhan.

Di kampung saya, menjelang Ramadhan ada tradisi memotong rambut (sampai gundul). Hal ini salah satunya adalah untuk mensucikan diri menyambut datangnya bulan penuh berkah itu. Saya sendiri pernah sekali potong rambut menjelang Ramadhan, namun pada tahun-tahun berikutnya ayah melarang saya melakukan itu. Alasannya karena proses pertumbuhannya memakan waktu yang sangat lama.

Di masa saya kecil dulu, ketika bulan Ramadhan semua sekolah diliburkan, mulai dari SD bahkan SMP. Salah satu pertimbangannya barangkali karena puasa itu berat, sehingga memerlukan pengurangan aktivitas. Namun, tidak berarti karena sekolah diliburkan saya lantas hanya berdiam diri di rumah tanpa kegiatan apapun. Pada bulan Ramadhan ayah selalu membawa saya ke Pondok Pesantren Salafiyah Kajen, pesantren milik saudara kandungnya, KH. Baidhawi Siradj, untuk bersilaturrahim.

Di sore hari, sehabis shalat Ashar, saya dulu bersama teman-teman sering kelayapan sampai ke Menara Kudus dengan berjalan kaki. Untuk sampai ke sana kami harus menempuh jarak sekitar 7 km selama kurang lebih 2 jam. Kami biasanya jalan-jalan ke pasar atau ke tempat-tempat yang menurut kami merupakan pusat keramaian.

Yang jelas, ketika bulan Ramadhan tiba, saya merasa senang sekali. Karena yang ada dalam bayangan saya, termasuk anak-anak kecil yang sebaya dengan saya, Ramadhan identik dengan keramaian. Dari dulu sampai sekarang suasa kampung di bulan Ramadhan menjadi lebih ramai dari biasanya. Ekonomi menjadi hidup. Kalau dalam bahasa sekarang, konsumsi menjadi semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari menu berbuka.

Untuk santapan buka, pastinya lebih banyak dan lebih variatif daripada di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Setahun penuh orang-orang mengumpulkan uang seolah hanya untuk menyambut datangnya bulan suci itu. Momen puasa hanya sekali dalam setahun, makanya mereka menginginkan dalam momen itu sesuatu yang lebih daripada biasanya—keluar dari rutinitas sehingga dalam soal makanan pun harus berbeda. Kalau dalam keluarga saya, untuk makanan buka biasanya ada kurma, kue-kue, nasi, sayur asem, dan sop kebo (kerbau). Sebelum makan nasi terlebih dahulu kami makan kurma dan kue, juga meminum teh atau kopi. Kemudian shalat Maghrib, baru setelah itu makan nasi, sayur asem atau sop kebo.

Ada pertanyaan, kenapa di Kudus itu hanya ada sop kebo, bukan sop sapi? Karena masyarakat Muslim di Kudus masih memegang teguh tradisi tidak memotong sapi saat Idul Adha. Hal itu sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu ketika Sunan Kudus mengeluarkan fatwa kepada keluarga dan pengikutnya agar tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Sebab pada masa itu, mayoritas penduduk Kudus merupakan penganut Hindu. Umat Hindu meyakini sapi disucikan para dewa.

Sunan Kudus mengeluarkan fatwa itu untuk menghargai kepercayaan agama lain. Pada masa itu, sapi-sapi hanya diletakkan di sekitar masjid dan tidak ada yang disembelih. Sebagai gantinya, hanya kebo dan kambing yang dijadikan hewan kurban. Dengan cara tersebut, warga Hindu tidak merasa terhina dan tetap dihargai kepercayaannya. Pendekatan Sunan Kudus ini ternyata cukup efektif. Buktinya banyak penganut Hindu yang kemudian datang ke masjid untuk menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Bahkan banyak di antara mereka yang akhirnya memeluk Islam. Sebenarnya tidak ada larangan untuk menyembelih sapi dalam Islam sehingga sah-sah saja bagi warga Kudus untuk menyembelihnya. Namun warga Kudus tampaknya masih mengikuti fatwa Sunan Kudus. Bahkan, sejumlah perusahaan dan intansi pemerintahan juga menghindari menyembelih sapi.

Kemudian, sehubungan dengan tradisi lain di bulan Ramadhan, yang membuat Ramadhan berbeda menurut saya adalah shalat Tarawih. Sejak kecil, saya shalat Tarawih seperti yang dilakukan masyarakat NU pada umumnya, 20 rakarat ditambah shalat Witir 3 rakaat. Saya pernah mengikuti shalat Tarawih di sebuah masjid dengan hanya 8 rakaat, tetapi saya merasa tidak nyaman. Karena terlalu banyak ceramahnya, dan momennya memang banyak yang tidak pas. Sehingga membuat saya merasa bosan. Akhirnya, ketika waktu ceramah tiba saya langsung pulang dan melanjutkan shalat di rumah. Sampai sekarang saya masih konsisten dengan yang 20 rakaat. Hanya saja, kalau saya kebetulan melaksanakan shalat Tarawih di rumah, bacaan asesorisnya saya hilangkan. Seperti bacaan “fadhl-an min Allâh Ta’âla wa ni’mah”, itu saya ganti dengan shalawat.

Saya pernah berada di Saudi dan Damaskus, dan saya lebih memilih mengikuti shalat Tarawih yang 20 rakaat. Di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi saya lihat 20 rakaat. Kalau yang di luar dua masjid besar itu memang kebanyakan yang 8 rakaat. Begitupun di Suriah, saya lihat tidak ada yang 8 rakaat. Meskipun ada, tetapi itu tidak umum.

Saat saya masih kecil dulu, yang saya ingat, imam shalat Tarawih membaca surat-surat al-Qur`an cepat sekali. Tetapi memang berbeda-beda di setiap masjid. Seperti di Masjid Kudus, itu tidak cepat. Bahkan ada juga yang seperti di Masjid al-Haram yang bacaan al-Qur`annya sampai 1 juz. Tentu saja peminatnya sangat sedikit. Jadi, menurut saya, yang paling enak itu adalah yang tengah-tengah.

Sehabis shalat Tarawih ada kegiatan ngaji tadarus. Setelah itu saya tidak pulang ke rumah. Saya lebih nyaman tidur di masjid bersama teman-teman. Sewaktu masih di SD dan SMP, di bulan Ramadhan, kalau malam saya memang suka sekali tidur di masjid. Sekitar jam 12, ditandai dengan pemukulan bedug, kami mulai mengaji lagi secara bergilir dengan dipandu oleh seorang senior. Misalnya, kalau ngaji surat al-Baqarah berarti jam 12, kalau ngaji surat Ali ‘Imran berarti jam 1, dan seterusnya sampai waktu sahur. Jadi, kalau ada orang yang kebetulan lewat di depan masjid dan mendengar kami mengaji surat Ali ‘Imran, maka orang itu akan langsung tahu bahwa waktu itu masih jam 1. Hampir secara keseluruhan di wilayah Kudus dan Jepara dulu tradisinya seperti itu. Bagi anak-anak seperti saya, itu menjadi kesenangan tersendiri.

Kemudian sekitar jam 2 malam kami membaca tarkhiman untuk membangunkan para penduduk agar tidak telat sahur. Tarkhiman itu diawali dengan membaca shalawat. Waktu itu, karena belum ada pengeras suara (speaker), tarkhiman dilakukan di atas menara yang terbuat dari puluhan bambu besar yang disusun sedemikian rupa yang tingginya bahkan mencapai 25 meter, lebih tinggi dari masjid. Setiap orang dari kami, bila sudah mendapat giliran mengaji, akan naik ke puncak menara melalui tangga yang juga terbuat dari bambu. Seusai tarkhiman, kami kemudian berjalan keliling kampung menabuh kentongan. Dalam konteks ini, secara tidak langsung mereka telah menunjukkan salah satu jenis kesenian Islam.

Demikianlah suasana Ramadhan di kampung, di mana agama banyak memberikan wadah kepada kultur yang ada. Misalnya, mengaji berdasarkan jam; ngaji surat al-Baqarah berarti jam 12, kalau ngaji surat Ali ‘Imran berarti jam 1, dan seterusnya. Demikian juga tradisi menabuh kentongan untuk membangunkan para penduduk supaya sahurnya tidak telat.

Namun kemudian, setelah teknologi semakin canggih, tradisi seperti itu menjadi hilang. Dulu, sekitar tahun 70-an, saat itu saya mungkin masih di SMA, ketika baru ada pengeras suara, bacaan shalat Tarawih dan pujian-pujiannya diperdengarkan keluar. Bahkan ketika shalat Jum’at pun, bacaan shalat imam diperdengarkan keluar. Tetapi kalau sekarang, terutama di kota-kota besar, tidak lagi seperti itu.

Dulu, sehabis pulang sekolah anak-anak biasanya lebih suka ke masjid. Sekarang hampir setiap hari orang berada di depan televisi. Keberadaan televisi saat ini tidak hanya membawa dampak terhadap orang-orang awam, tetapi juga terhadap para kiyai. Dalam hal ini setidaknya ada dua yang bisa dilihat. Pertama, pendisiplinan waktu. Misalnya, seorang kiyai diminta untuk mengisi acara haul. Karena di televisi sudah diprogram jam sekian, maka sang kiyai tidak boleh terlambat. Kedua, kiyai harus banyak belajar. Kalau dulu, seorang kiyai biasa mengisi acara di tempat yang berbeda-beda. Dan dia hanya membahas hal-hal yang sama di tempat-tempat yang didatanginya.

Namun sekarang keadaannya sudah tidak seperti itu lagi. Kita banyak menemukan seorang kiyai kadang hanya diminta mengisi acara di sebuah stasiun televisi. Setiap malam dia mengisi acara di situ. Sehingga yang dibahas tentu tidak lagi satu tema tertentu, akan tetapi memerlukan perluasan materi, dia yang harus banyak membaca buku. Artinya dia akan menciptakan keterbukaan berpikir. Kalau dalam istilah Gus Dur namanya kosmopolitanisme Islam. Maksudnya keterbukaan terhadap budaya-budaya lain; dia akan membaca banyak tentang budaya-budaya lain, sehingga itu akan menjadi ramuan dalam menyampaikan ceramahnya. Sebutlah, misalnya, dalam pembahasan tentang masalah air. Biasanya kalau di pesantren dia tahunya hanya air musta’mal, najis dll. Tetapi dengan banyak membaca, dia akan tahu banyak tentang air, tidak hanya sekedar air musta’mal. Dengan demikian dia akan membuka jendela wawasan dan banyak hal yang akan dia peroleh.

 

Tradisi Bagi-bagi Makanan

Pada malam tanggal 15, ada kegiatan khataman al-Qur`an di masjid. Jadi, pelaksanaan khataman bukan di malam Nuzul al-Qur`an (malam tanggal 17), akan tetapi pada saat bulan purnama saja sesuai dengan budaya atau tradisi sebelumnya. Selain khataman al-Qur`an juga ada pembagian makanan. Di antara menunya—biasanya—adalah opor ayam atau makanan rasulan (ayam yang masih utuh, kemudian diopor dan dikasih santan). Semua orang menyukai ini, karena sambelnya memang enak.

Kemudian pada malam Nuzulul Qur`an ada lagi pembagian makanan. Dan itu biasanya lebih banyak. Kemudian setelah tanggal 20, setiap malam ganjil pasti ada pembagian makanan dengan maksud untuk menyambut Lailatul Qadar. Biasanya para pemberi makanan ditentukan; kalau di malam-malam biasa dari masyarakat umum asalkan punya duit. Tetapi kalau di malam-malam ganjil setelah tanggal 20, itu biasanya dari Mbah Modin, kemudian Jogoboyo, dan terakhir biasanya dari Pak Lurah.

Saya melihat, dulu orang-orang di kampung saya—tahun 1962-1963—yang umumnya terbelit kemiskinan, ketemu nasi adalah hal yang sangat menyenangkan. Bagi mereka nasi adalah barang mewah. Bahkan, mereka rela antri dan berebut untuk mendapatkan makanan tersebut. Artinya, tradisi bagi-bagi makanan di masjid menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Apalagi anak-anak, mereka datang ke masjid, di samping niat untuk berjama’ah Tarawih, mereka juga mengincar makanan yang dibagikan setelah itu. Tradisi bagi-bagi makanan sehabis shalat Tarawih, utamanya di malam-malam ganjil, sampai sekarang masih ada. Meskipun zaman sudah sangat maju dan menawarkan hal-hal yang membawa dampak menjauhkan kita dari agama, tetapi orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap religiusitas masih ada, bahkan banyak.

 

Idul Fitri

Ketika Idul Fitri, dalam keluarga saya tidak ada tradisi sungkeman seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya. Dari dulu ayah saya memang tidak pernah mau. Beliau maunya hanya salaman saja. Ibu saya juga begitu. Sehabis shalat Idul Fitri, sepulangnya dari masjid, ibu dan ayah duduk di kursi, kemudian saya dan saudara angkat saya (yang juga masih putra Pak De saya)—waktu itu saudara kandung saya, Khairul Anam, sudah meninggal—salaman sambil cium tangan.

Saya lahir ketika bapak berumur 44 tahun. Ketika saya berumur 6 tahun, beliau sudah berumur 50 tahun. Karena bapak saya dianggap sebagai orangtua, maka banyak orang-orang ke rumah. Kemudian di hari berikutnya, di hari kedua ayah mengajak kami sekeluarga untuk mengunjungi kakak-kakaknya. Habis itu baru kami ziarah ke kuburan.

Untuk hari Raya Idul Fitri, kita makanannya biasa-biasa saja, yang disertai dengan banyak kue. Ketupat juga tidak ada di hari itu. Kami sekeluarga biasanya datang ke rumah-rumah tetangga untuk bermaafan, dan juga ke rumah-rumah keluarga. Sehari setelah hari raya kedua orangtua saya biasanya akan langsung berpuasa lagi selama 6 hari sampai Hari Raya Ketupat. Dalam keluarga saya, puasa Syawal 6 hari tidak pernah ditinggalkan. Nah, di Hari Raya Ketupat itulah akan banyak makanan khas seperti ketupat, dll.

Khusus orang-orang yang punya ternak, di kampung saya, mereka biasanya makan di perempatan jalan sambil berdoa. Jadi mereka mengundang seorang kiyai untuk memimpin ritual seperti tahlil atau hanya sekedar berdoa bersama mereka. Setelah itu mereka makan bareng-bareng. Tetapi tempatnya tidak melulu di perempatan jalan. Mereka pindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi. Kadang di pinggiran sawah, kadang di tempat pemandian hewan, kadang juga di pertigaan jalan. Adapun yang tidak punya hewan ternak mereka biasanya mereka jalan-jalan ke Bulusan, kemudian ke Jepara, ke Juwana, atau ke pinggir laut untuk berpesiar.

Itu adalah sebentuk pemujaan dari para pemilik hewan ternak sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan. Sungguh merupakan kesalahan sangat besar jika hal itu disebut sebagai singkretisme Islam—seperti yang banyak dikatakan oleh para orientalis Barat. Yang benar, dalam konteks ini, adalah bahwa hukum agama mewadahi kultur lokal. Agama datang ke suatu tempat yang di situ sudah terdapat kultur yang jauh-jauh sebelumnya telah ada. Kemudian kultur tersebut diserap oleh agama. Wujudnya tetap, tetapi subtansinya sarat dengan nilai-nilai agama.

Kalau dilihat dari sejarah, tradisi pemujaan itu memang sudah ada sejak berabad-abad yang silam. Saat itu, menurut cerita, para petani dan pemilik hewan ternak memberikan sesajen kepada Dewi Sri (Dewi Kesuburan). Oleh Islam tradisi ini kemudian diserap, tetapi sesajennya tidak dibuang begitu seperti pada masa sebelumnya, melainkan untuk dimakan sendiri. Makanya tidak ada unsur kemubadziran di situ. Doanya juga dengan doa-doa yang sesuai dengan ajaran Islam, yang dimulai dari tahlil, kemudian ada tahmid dan pujian-pujian lainnya untuk mengharap keridhaan Allah. Jadi, kalau sekarang ada orang yang membid’ahkannya, menurut saya itu salah kaprah. Kalau acara makannya, itu juga tidak bisa dibid’ahkan, karena itu sebetulnya adalah tradisi, bukan agama.

Selain itu, ada juga tradisi Nyekar, yang biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan. Tetapi kalau ayah saya bisa kapan saja. Menurut beliau, berdoa untuk para leluhur bisa dilakukan kapan saja. Dan beliau, biasanya, setiap kali melewati makam Mbah pasti akan langsung melakukan ziarah. Lokasi makam Mbah dari rumah saya berjarak sekitar 3 km.

Sebelum bulan Ramadhan kami sekeluarga melakukannya. Kemudian sebelum Hari Raya Idul Fitri kami juga melakukannya. Kami biasanya membawa bunga untuk ditaburkan di kuburan. Yang kami baca ketika berziarah ke makam Mbah biasanya surat al-Fatihah, al-Ikhlas dan al-Nas. Itu saja yang dibaca. Atau kadang kalau di bulan Syawal kami membaca surat Yasin.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

MENIKMATI RAMADHAN DI PESANTREN

Oleh KH Husein Muhammad

[Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon]

 

“Bergelut dengan kitab-kitab memang sangat mengasyikkan. Saya selalu ingat pepatah Arab yang mengatakan, “Khayr-u jalîs-in fî al-zamân-i kitâb-un”, sebaik-baiknya teman duduk adalah kitab atau buku. Dan bukan hanya sebatas teman duduk, kitab-kitab itu bisa menjadi guru, banyak sekali informasi yang saya dapatkan darinya, utamanya tentang toleransi, menghargai perbedaan, kesetaraan, kedamaian, keadilan, dll. Informasi-informasi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh negara kita, di mana kekerasan atas nama agama dan penistaan terhadap kemanusiaan sudah menyebar di hampir seluruh penjuru bumi pertiwi.”

 

 

Suasana Ramadhan

SAYA dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren di Arjawinangun, namanya Pondok Pesantren Darut Tauhid yang didirikan oleh kakek saya, KH. Syathori. Saat masih kecil, yang masih saya ingat, kala bulan Ramadhan tiba, ada dua tradisi yang berkembang, yaitu: pertama, tradisi membagi-bagikan bubur kepada para santri setiap menjelang maghrib untuk santapan buka puasa. Setiap jam 4 sore, para santri mulai antri dengan tertib dan sabar di halaman pondok. Pada wajah mereka terlihat kebahagiaan. Mereka membawa piring (bukan piring beling, tetapi piring seng), mangkok dan lain sebagainya—tergantung kepunyaan masing-masing. Satu per satu dari mereka maju, dan pengurus pondok kemudian menuangkan bubur ke piring masing-masing. Selain diberi bubur, mereka juga diberi sayur lodeh berikut teh manis. Ini semua merupakan sedekah pribadi dari kakek saya, bukan sumbangan dari masyarakat setempat.

Tidak seperti sekarang, dulu tidak ada kurma. Sehingga di saat ta’jil masyarakat di kampung lebih suka makanan tradisional. Kalau sekarang, saat hubungan Indonesia dengan negeri-negeri di Timur Tengah terjalin dengan baik dan intens, kurma bukanlah sesuatu yang langka. Di setiap tempat kita pasti menemukannya, khususnya di bulan Ramadhan, sebagai makanan nyaris ‘wajib’ untuk ta’jîl bagi sebagian kalangan.

Kedua, tradisi menabuh kentongan yang tujuannya membangunkan orang pada waktu menjelang sahur. Setiap jam, dari pukul 12 malam, kentongan itu ditabuh secara berbeda. Misalnya, pada pukul 12 ditabuh sebanyak 12 kali, pukul 1 ditabuh sekali, dan begitu seterusnya—mirip dengan lonceng yang berbunyi untuk menunjukkan waktu. Kemudian di waktu imsak kentongan itu ditabuh sebanyak 6 kali sebagai peringatan agar orang segera menghentikan aktivitas makan.

Menariknya, kentongan itu menjadi rebutan di antara para santri. Saya sendiri, misalnya, supaya kentongan itu tidak diambil anak-anak yang lain, kadang harus memeluknya di saat sedang tidur, atau menyembunyikannya di suatu tempat. Saat waktu menunjukkan pukul 12, saya mulai bangun dan menabuhnya dengan keras.

Di masa kecil dulu saya jarang sekali tidur di rumah, lebih banyak tidur di mushalla atau langgar—orang Cirebon menyebutnya tajug. Biasanya kakek, Kiyai Syathori, membangunkan saya beserta para santri lainnya menjelang shalat Shubuh. Beliau membangunkan kami dengan lemah-lembut dan penuh kasih-sayang, “Ayo bangun shalat,” begitu saja, dan tidak pernah keras. Meskipun begitu, beliau sangat berwibawa, sehingga ketika mendengar suaranya saja para santri akan langsung bangun untuk kemudian mengambil wudhu.

Tetapi ada juga di antara santrinya yang memang agak nakal, susah kalau dibangunkan untuk shalat. Anehnya, beliau membiarkannya saja, tidak memaksa membangunkannya. Kemudian beliau dengan santri-santri lainnya shalat berjamaah. Saat mendengar ucapan “amin”, santri yang susah dibangunkan itu akan kaget dan langsung bangun. Begitu juga sikap beliau terhadap saya. Ketika melihat saya masih ngantuk, oleh beliau dibiarkan saja dulu. Kemudian nanti setelah selesai shalat, beliau mencoba membangunkan saya lagi sampai terbangun.

Sejak adanya Kiyai Mahfuzh Thaha, kiyai muda asal Tegal yang tak lain adalah menantu kakek yang hafal al-Qur`an 30 juz, terdapat tradisi lain di dalam shalat Tarawih di Arjawinangun. Sebagai seorang hafizh (sebutan untuk orang yang hafal al-Qur`an), Kiyai Mahfuzh didaulat untuk menjadi imam shalat Tarawih. Saat Kiyai Mahfuzh mengimami, Kiyai Syathori selalu berada tepat di belakangnya. Di hadapan beliau terdapat al-Qur`an yang disangga. Maksudnya adalah untuk menyimak dan mengoreksi bacaan Kiyai Mahfuzh. Bisa dibilang, Kiyai Mahfuzh adalah hafizh pertama di Arjawinangun.

Setiap sore di bulan Ramadhan Kiyai Mahfuzh mengadakan sema’an al-Qur`an yang dihadiri oleh masyarakat di sekitar pesantren. Biasanya setelah itu beliau memberikan taushiyah, atau menjelaskan hal-hal penting terkait makna beberapa ayat al-Qur`an yang dibacanya. Tradisi ini berlangsung sampai sekarang. Selepas Kiyai Mahfuzh mangkat (meninggal), keturunannya lah yang meneruskan, atau mengundang orang luar yang hafal al-Qur`an untuk menjadi imam shalat Tarawih dan hadir di acara sema’an.

Saya sendiri sebetulnya adalah seorang hafizh, meskipun hafalan saya tidak sebaik dan sehebat adik saya, Kiyai Ahsin. Saya dulu belajar di PTIQ. Di sana kegiatan sehari-hari saya adalah menghafal al-Qur`an, kemudian dilanjutkan dengan sema’an sehabis shalat Ashar. Ketika disuruh maju untuk menunjukkan hafalan kepada teman-teman, saya bisanya paling hanya setengah atau satu juz saja.

Setelah beberapa tahun berjalan, dan Pondok Pesantren Darut Tauhid mengalami perkembangan yang cukup signifikan, kegiatan bulan Ramadhan menjadi semakin banyak, di antaranya yang paling sering dan menjadi kegiatan wajib adalah ngaji pasaran, dari pagi sampai malam. Sekitar pukul 9, para santri berkumpul di tajug. Dengan dipimpin langsung oleh seorang kiyai mereka mengaji kitab sampai Zhuhur. Usai shalat, kegiatan ini kemudian dilanjutkan sampai shalat Ashar. Lalu, setelah shalat Ashar dilanjutkan kembali sampai menjelang Maghrib. Untuk beberapa saat kegiatan ngaji dihentikan, memberikan kesempatan kepada para santri untuk beristirahat, berbuka puasa, shalat Maghrib dan Tarawih. Kemudian sehabis shalat Tarawih dilanjutkan kembali sampai jam 12 malam. Kegiatan ini berlangsung setiap hari sampai tanggal 25 Ramadhan.

Dan sampai sekarang, kegiatan ngaji kitab masih ada, bahkan semakin padat. Setiap kiyai di Pondok Pesantren Darut Tauhid, termasuk saya, mendapat bagian untuk memimpin pengajian kitab, dengan materi dan waktu yang berbeda-beda. Seperti Abah Inu—panggilan akrab KH. Ibnu Ubaidillah—misalnya, beliau memimpin pengajian kitab dari jam 9 pagi sampai Zhuhur. Kitab yang diaji biasanya adalah kitab-kitab hadits atau “Kutub al-Sittah”, seperti kitab “Shahîh al-Bukhârîy” dan “Shahîh Muslim”. Atau, kadang-kadang, mengaji kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik.

Saya pernah mengusulkan beberapa kitab kepada Abah Inu, seperti kitab “Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm” (kaidah fikih) karya Izzuddin ibn Abdissalam dan kitab “Mîzân al-Kubrâ” (tasawuf) karya Imam al-Sya’rani untuk diajarkan kepada para santri. Waktu itu pemikiran saya sudah modern. Abah Inu sebenarnya tidak menolak untuk mengaji kitab-kitab tersebut, tetapi beliau lebih memilih ngaji kitab-kitab hadits, karena beliau memang pakar di bidang hadits. Bila dilihat dari latar belakangnya, Abah Inu adalah murid dari Syaikh Muhammad al-Alawi al-Maliki, seorang pakar hadits terkenal di Makkah, Saudi Arabia.

Kalau saya biasanya mendapat bagian setelah shalat Tarawih. Kitab-kitab yang saya ajarkan adalah kitab-kitab baru yang menyuguhkan pemikiran berbeda dari kitab-kitab yang diajarkan di pesantren pada umumnya. Dulu, sebelum ke Mesir, saya sudah akrab dengan kitab-kitab Ushul Fikih, Fikih, Tasawuf, dan Teologi. Di antaranya ada sebagian kitab yang berisi kekerasan terhadap orang-orang kafir. Saya melihat, pada beberapa kitab yang beredar luas di kalangan pesantren, terlihat jelas didasari oleh pola pemikiran ahli hadits. Pola pemikiran ini cenderung memandang dan menyelesaikan suatu persoalan lebih memperhatikan pada teks zhahir dan riwayat. Hal ini berarti sesuatu dianggap benar jika didasari oleh adanya teks dan diinformasikan secara valid, walaupun tanpa mempertimbangkan aspek rasionalitas dari teks itu sendiri. Lebih dari itu, perhatian pada aspek latar belakang sosiologis mengapa teks tersebut lahir, tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Persoalan ini sesungguhnya sangat signifikan bila dimaksudkan sebagai media pengembangan pemikiran dalam teks tersebut untuk keperluan adaptable (tuntutan zaman).

Pada fase berikutnya saya melihat adanya perkembangan lebih lanjut dari pola pemikiran di atas, yaitu terbentuknya sistem keilmuan ‘naqlîy’ (penukilan dan transmisi). Sistem ini meski asal mulanya diberlakukan untuk keilmuan hadits, namun pada perkembangan lebih lanjut diberlakukan juga pada cabang keilmuan lainnya. Hal ini berarti bahwa keilmuan hanya dapat dipandang absah dan legitimed bila melalui cara transmisi. Akibat dari pola ini, hafalan menjadi suatu keniscayaan dalam metode pembelajaran. Lebih jauh lagi, parameter keilmuan seseorang diukur dari sejauh mana ia mampu menghafal teks-teks. Saya pernah membaca kitab “Ta’lîm al-Muta’allim”, di situ dengan jelas dinyatakan bahwa ilmu adalah sesuatu yang didapat dari mulut para guru karena mereka hafal apa yang terbaik dari yang mereka dengar, dan menyampaikan apa yang terbaik dari apa yang mereka hafal. Inilah rupanya yang menyebabkan mengapa hafalan selalu menjadi tradisi yang berkembang di dunia pesantren. Perhatian dan apresiasi yang besar terhadap metode ini seringkali—hampir—menafikan aspek pemahaman dan pengembangan wawasan, paling tidak mereduksi aspek pemikiran.

Realitas kehidupan manusia dewasa ini telah menunjukkan perubahan-perubahan yang sangat besar dan cepat. Gempuran modernisme rupanya telah merubah pandangan masyarakat dari sakralisasi kepada profanisasi; dari pemikiran tradisional kepada pemikiran rasional. Di hadapan realitas seperti ini, pesantren dengan segudang kitab kuningnya tengah bergumul di antara dua kutub yang bedegup. Di satu sisi, kitab kuning telah dipandang sebagai khazanah intelektual paling absah dan sakral. Namun di sisi lain, kecenderungan rasionalitas terus menggugat kemapanan tradisi. Ketika kitab kuning dipandang sebagai acuan yang baku untuk bisa menjawab berbagai persoalan, realitas baru memunculkan sederet persoalan yang membingungkan.

Dalam keadaan seperti itu, maka ketika pemikiran dan kasus-kasus baru bermunculan serta meminta jawaban yang relevan dengan tuntutan modernitas, kitab kuning lalu kehilangan daya tariknya. Bersikap apologi bahwa semua persoalan telah ada jawabannya dalam kitab kuning, saya kira membutuhkan kajian dan pemikiran kritis yang mendalam. Saya pribadi, ketika berhadapan dengan sebuah kitab, saya membaca, menganalisa, dan bahkan melakukan kritik ketika terdapat pemikiran di dalamnya yang tidak sesuai dengan pemikiran saya. Demikianlah yang saya lakukan setiap kali membaca kitab. Saya tidak pernah membiarkan sebuah kitab ‘menceramahi’ saya. Antara saya dan kitab yang saya baca selalu terjalin dialog aktif dua arah, ia bicara dan saya pun bicara. Hal ini selalu saya upayakan untuk ditularkan kepada para santri di Pondok Pesantren Darut Tauhid.

Kalau ditelisik lebih jauh, terdapat ciri khas yang membedakan antara Pondok Pesantren Darut Tauhid dengan pondok-pondok lain di Cirebon, yaitu dalam hal keilmiahan. Sejak masa Kiyai Syathori, kegiatan-kegiatan ilmiah sangat marak, seperti ngaji kitab dan menulis. Bahkan, tidak pernah memberikan perhatian khusus kepada ritus-ritus seperti tahlil dan haul yang diselenggarakan secara besar-besaran. Kendati dilakukan, tetapi hanya sederhana saja, tidak berlebih-lebihan seperti di pesantren-pesantren lainnya. Tidak juga mengundang pejabat pemerintah, meskipun di antara kawan beliau ada yang menjadi menteri, seperti Fatah Yasin.

Kiyai Syathori memang dikenal mempunyai pemikiran terbuka dan modern. Atas inisiatif beliau, beberapa keturunan beliau disekolahkan di luar negeri. Abah Inu disekolahkan di Makkah, Kiyai Ahsin di Madinah, saya sendiri di Mesir, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap pendidikan. Dalam artian, beliau ingin para keturunannya kelak dapat meneruskan perjuangan beliau dalam mendidik dan mencerdaskan masyarakat.

Beberapa kebijakan beliau kerap menuai kontroversi di zamannya, di antaranya adalah penerapan sistem klasikal di Pesantren Darut Tauhid. Dalam hal ini beliau mengikuti jejak gurunya, KH. Hasyim Asy’ari, yang juga menerapkan sistem klasikal di pesantrennya. Tak ayal, kebijakan beliau ini ditentang oleh hampir seluruh kiyai di Arjawinangun. Pernah suatu ketika beliau sampai berdebat dengan Kiyai Johar asal Balerante yang menganggap sistem klasikal bukan tradisi pesantren. Tidak hanya itu, Kiyai Johar juga tidak membolehkan para guru menggunakan kapur tulis yang saat itu jamak digunakan di Pesantren Darut Tauhid.

Hal yang tidak kalah menarik, Kiyai Syathori menyekolahkan putrinya, Nyai Mizah Syathori, di SMP. Padahal, saat itu di SMP tidak ada seorang siswi pun yang memakai jilbab, hanya memakai seragam biasa yang terdiri dari baju dan rok saja. Dan Nyai Mizah sendiri selama belajar di sekolah itu tidak pernah mengenakan jilbab, pakaiannya sama seperti para siswi pada umumnya; kepalanya dibiarkan terbuka dengan rambut yang terurai panjang sampai pinggang.

Dan memang, kebanyakan dari keturunan beliau dimasukkan ke sekolah-sekolah umum, SD dan SMP, termasuk saya. Berbeda dengan keturunan kiyai-kiyai lain yang hanya mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren saja. Saya merasa, dulu, tamatan sekolah umum seperti SMP, misalnya, secara kualitas lebih unggul dari tamatan Madrasah Tsanawiyah di pesantren. Karena, di samping materi-materi umumnya lebih banyak sehingga para siswa banyak menyerap beragam informasi yang sangat dibutuhkan dalam kancah dunia modern, juga karena guru-gurunya memang ahli di bidangnya masing-masing. Sementara guru-guru di Madrasah Tsanawiyah, menurut pengamatan saya, cenderung “asal comot” tanpa memperhatikan keahliannya. Misalnya, ada seorang guru yang sebetulnya ahli di bidang fikih, itu disuruh mengajar matematika, dan seterusnya. Ini sebetulnya merupakan sebentuk pelanggaran terhadap etika dalam pendidikan, bahkan bisa dikatakan menyalahi ajaran al-Qur`an. Allah berfirman, “Kullun ya’mal-u ‘alâ syâkilatih-i,” setiap orang bekerja berdasarkan bidang atau keahliannya. Atau dalam pepatah Inggris disebutkan, “The right man in the right place,” orang yang tepat [diposisikan] di tempat yang tepat.

 

Belajar Berpuasa

Pada waktu masih kanak-kanak—tidak begitu ingat persis berapa usia saya kala itu—saya sudah mulai berpuasa, meskipun tidak penuh. Mula-mula saya dikenalkan dengan istilah “puasa panas pager”. Maksudnya adalah ketika pagar di depan rumah terkena sinar matahari, kira-kira jam 10-an. Kebetulan, waktu itu rumah saya dikelilingi pagar yang terbuat dari bambu. Sahurnya seperti biasa bareng-bareng dengan keluarga. Ketika pagi-pagi saya mulai mengeluh lapar, orangtua pasti bilang, “Nanti, panas pager.”

Ada juga istilah “puasa sebedug”, yaitu berpuasa sampai bedug untuk shalat Zhuhur ditabuh. Namun, sampai saat ini saya belum pernah mendengar ada istilah “puasa seashar” atau berpuasa sampai waktu Ashar—mungkin karena tanggung, jarak antara waktu shalat Ashar dan Maghrib terlalu dekat. Jadi, tahapan pendidikan puasa yang diterapkan di dalam keluarga saya adalah panas pager, sebedug dan sampai Maghrib atau sehari penuh.

Tahapan-tahapan tersebut juga saya terapkan dalam mendidik anak-anak saya. Biasalah, yang namanya anak kecil bawaannya memang suka mengeluh; haus, lapar dan segala macamnya. Tetapi, sebagai orangtua, saya selalu berupaya menghibur, menenangkan dan mengawasi. Kadang saya membawanya jalan-jalan, atau membelikannya mainan, untuk membuatnya lupa akan rasa dahaga dan lapar.

 

Tak Kenal Ngabuburit

Dulu saya tidak mengenal yang namanya “ngabuburit”. Namun, yang saya ingat dari pengalaman di bulan Ramadhan, sehabis shalat Zhuhur, ketika tidak ada kegiatan ngaji kitab, biasanya saya bersama saudara dan teman-teman sebaya pergi ke Pongklang dengan berjalan kaki untuk memancing ikan di sungai, atau juga ke tempat-tempat lain yang ada sungainya, seperti Bayalangu dan Tegalgubug. Tetapi bagi saya, ini bukanlah ngabuburit seperti yang dipahami banyak orang saat ini, yaitu kegiatan nongkrong atau ngumpul-ngumpul di tempat-tempat tertentu, pergi mejeng ke pasar, dll.

Selama bulan Ramadhan, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngaji kitab kuning, dari pagi sampai malam. Kitab-kitab yang diaji biasanya adalah kitab-kitab kecil, seperti “Safînah al-Najâh”, “Kâsyifah al-Sajâ”, “al-Âjurûmîyyah”, “Alfîyyah ibn Mâlik”, dan kitab-kitab kuning lainnya yang jamak dikenal di dunia pesantren.

Kemudian, setelah pulang dari Mesir, saya lebih sering mengaji kitab-kitab umum (bukan kitab ‘kuning’), seperti “al-Siyah al-Islâmîyyah bayna al-Muhadhdhirîn wa al-Mujaddidîn”, “Nasy`ah al-Fiqh al-Islâmîy”, “Allâ Madzhabîyyah Akhthar-u Bid’at-in Tuhaddid-u al-Syarî’ah al-Islâmîyyah”, dan lain sebagainya yang saya bawa dari Mesir. Membacanya bukan dengan pembacaan biasa, tetapi memakai metode pesantren “utawa iku iku”. Artinya, ada semacam upaya dari saya untuk ‘mengkuningkan’ kitab-kitab yang belum dianggap ‘kuning’.

Bergelut dengan kitab-kitab memang sangat mengasyikkan. Saya selalu ingat pepatah Arab yang mengatakan, “Khayr-u jalîs-in fî al-zamân-i kitâb-un”, sebaik-baiknya teman duduk adalah kitab atau buku. Dan bukan hanya sebatas teman duduk, kitab-kitab itu bisa menjadi guru, banyak sekali informasi yang saya dapatkan darinya, utamanya tentang toleransi, menghargai perbedaan, kesetaraan, kedamaian, keadilan, dll. Informasi-informasi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh negara kita, di mana kekerasan atas nama agama dan penistaan terhadap kemanusiaan sudah menyebar di hampir seluruh penjuru bumi pertiwi.

Saya dapat memahami kenapa banyak dari warga NU yang berpikiran keras. Karena kitab-kitab kuning yang diaji muatan-muatannya memang sangat keras. Ada beberapa kiyai pesantren di Jawa yang sampai sekarang masih mengharamkan presiden perempuan. Bahkan ada dari mereka yang suka mengkafirkan. Namun sejauh ini, mereka relatif masih terkendali, juga warga-warga NU yang lain. Dan saya kira, peran para petinggi NU yang notabene mempunyai wawasan kebangsaan yang luas sangat dibutuhkan dalam mengarahkan warganya.

Saya dulu pernah mengaji kitab-kitab kuning seperti itu, tetapi saya masih bisa mengendalikan diri untuk tidak mengikuti isinya begitu saja, malah saya cenderung berontak. Apalagi kalau mengajinya di bulan Ramadhan, suatu momen yang menuntut kestabilan, ketenangan dan kedamaian jiwa serta pikiran. Sehingga pemikiran-pemikiran radikal dari kitab apapun tidak mudah mempengaruhi diri saya.

Itulah kegiatan saya selama Ramadhan, dari dulu hingga saat ini, ngaji dan belajar. Tidak ada yang namanya ngabuburit. Karena sebenarnya, ngabuburit itu kan istilah orang Sunda. Sementara di Cirebon, utamanya di Arjawinangun, istilah itu tidak dikenal sama sekali. Hanya sekarang saja istilah tersebut dikenal secara masif. Mungkin karena sering disebut oleh para artis di acara-acara televisi sehingga menjadi trend, khususnya di kalangan anak-anak muda. Saya tidak pernah mempersoalkan bila mereka nongkrong atau ngumpul-ngumpul di tempat-tempat tertentu. Hanya saja, jangan sampai melakukan aktivitas yang dapat menganggu ketenangan umum. Dan alangkah lebih baik bila bulan Ramadhan banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

BERPUASA DI KAMPUNG HALAMAN

Oleh Prof. Dr. Suwito, MA.

[Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]

 

“Orangtua tidak pernah memaksa saya dalam hal apapun, termasuk dalam mengerjakan ibadah puasa. Sejak kecil saya dididik untuk melakukan segala sesuatu tanpa paksaan dan tekanan dari orang lain, bahkan dari orangtua sekalipun, melainkan berangkat dari keinginan dan kesadaran diri. Contoh dan keteladanan yang diperlihatkan orangtua kepada saya sudah cukup menjadi semacam perintah tidak langsung untuk melakukan sesuatu yang baik.”

 

 

Suasana Ramadhan

Tanggal 7 Maret 1956 adalah hari kelahiran saya di Lebak Kulon-Sukolilo. Beberapa tahun kemudian pindah dari Lebak-Kulon ke sebuah kampung kecil, kurang lebih 1 km dari Lebak-Kulon yang terletak di daerah Kedungwinong—sekitar 27 km dari kota Pati ke arah selatan. Dulu, waktu saya masih kecil, letak masjid lumayan jauh, sekitar 500 meter dari kampung saya. Sementara mushalla, saya menyebutnya langgar, letaknya lebih jauh lagi, sekitar 1 km. Bagi masyarakat kampung, jarak seperti itu tidaklah jauh. Sebab mereka terbiasa menempuh perjalanan jauh dengan hanya berjalan kaki. Saya pribadi, khusus di bulan Ramadhan, sehabis makan sahur biasanya pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah.

Hal yang paling saya ingat di bulan Ramadhan waktu itu adalah ketika hendak berbuka puasa. Mulai sejak bangun tidur—karena saya memang suka tidur sehabis shalat Shubuh—segala kebutuhan untuk buka puasa sudah saya pikirkan. Biasanya, setelah bangun tidur, saya bersama teman-teman pergi bermain ke sawah yang kebetulan dekat dengan hutan pegunungan kapur utara, gunung Kendeng. Di sana saya dapati beberapa pohon mangga, pisang, jambu dan lain-lain. Yang paling banyak adalah pohon mangga.

Pohon-pohon itu sebenarnya milik orang, bukan milik orangtua atau kerabat saya. Namun, jiwa kekenak-kanakan saya tidak memperdulikan hal itu, bahkan tidak pernah takut ketahuan pemiliknya. Apalagi karena hutan tempat pohon-pohon itu lumayan jauh dari perkampungan, sekitar 1 sampai 2 km. Di antara teman-teman saya malah ada yang nekat, mengambil buah-buahan di pohon yang berada tepat di halaman rumah pemiliknya. Misalnya, ada pohon jambu, dan teman saya itu melempar buahnya dengan batu agar terjatuh ke tanah. Ketika ketahuan, si pemilik malah bilang, “Jangan dilempar, entar kena kaca. Panjat saja, dan ambil semua buahnya.” Perkataan ini tentu saja bukan merupakan perintah, melainkan sebentuk sindiran agar teman saya itu tidak meneruskan perbuatannya.

Terus terang, selama bulan puasa saya tidak pernah jajan untuk keperluan buka karena kondisi ekonomi keluarga saya di kampung tidak memungkinkan untuk itu. Saya lebih suka mencari buah-buahan saja, atau mencari atau memancing ikan di sungai. Kendati sebenarnya saya ingin ini-itu dan segala macam, tetapi setelah saya pikir, itu hanyalah keinginan belaka. Ketika sedang buka, makan sedikit saja sudah kenyang.

Boleh dibilang, di waktu kecil dulu saya adalah anak yang lumayan nakal. Meskipun tidak pandai memancing, tetapi tetap saja saya pergi ke sungai bersama teman-teman. Seringkali, saya tidak membawa pulang seekor ikan pun. Kalau sudah begitu, saya meminta teman-teman untuk memberikan beberapa ikan dari hasil tangkapan mereka. Saat tiba di rumah, saya katakan kepada orangtua bahwa ikan-ikan itu adalah hasil tangkapan saya sendiri, sekedar untuk menunjukkan bahwa saya pandai memancing.

Selain itu, yang saya suka ketika Ramadhan di kampung adalah bermain petasan. Petasan ini tidak beli, melainkan membuat sendiri karena memang tidak punya uang. Bahannya terbuat dari bambu ukuran besar, dengan panjang kira-kira 1 meter. Bambu itu atasnya dilubangi, kemudian dikasih minyak tanah, dan setelah itu ditiup dengan api, dan…DDEMMMM!!! Begitulah kira-kira bunyinya, nyaring sekali, tidak kalah dari petasan belian yang biasa ditemui di pasar atau pedagang kaki lima. Pernah, waktu hendak membeli peralatan untuk membuat petasan, saya pergi dengan naik sepeda ke daerah Prawoto yang jaraknya kurang lebih 10 km dari kampung saya. Akibatnya, dalam perjalanan balik ke rumah, sepeda saya patah. Bahkan, pernah juga saya membeli peralatan sampai ke Kudus yang dari kampung saya berjarak sekitar 25-30 km. Sebelum sampai di tujuan, lagi-lagi di tengah perjalanan sepeda saya patah sehingga saya harus membawanya ke bengkel terdekat. Setelah diperbaiki, baru kemudian saya melanjutkan perjalanan.

Suatu saat, kira-kira puasa sudah berlangsung seminggu, menjelang maghrib, teman-teman saya pergi ke masjid dan mushalla untuk mengaji. Saya diajak, tetapi saya tidak mau. Ada perasaan malas menghinggapi jiwa saya. Beberapa hari berikutnya, saat semangat saya pergi ke masjid mendadak melonjak naik, teman-teman saya malah enggan pergi ke sana seperti saya sebelumnya. Jadilah saya sendirian yang rajin mengaji sampai menjelang lebaran. Inilah saya kira di antara keistimewaan Ramadhan di kampung. Selain mengambil buah di sawah dan mamancing ikan di sungai, saya lebih banyak menghabiskan waktu di masjid.

Seperti biasa, setiap habis shalat Isya`, saya ikut mengerjakan shalat Tarawih berjamaah. Tetapi, yang namanya anak-anak, gurau adalah sesuatu yang biasa—ribut dan gaduh terus. Demikian halnya saya dan juga teman-teman yang lain. Sampai kemudian, karena mungkin dianggap mengganggu kekhusyukan shalat, kami diberi hukuman oleh ustadz. Kadang-kadang disuruh berdiri, atau ruku’, atau sujud lama-lama. Namun dengan begitu, saya justru berkesempatan untuk berlama-lama di masjid. Suatu ketika saya bertemu dan berkenalan dengan beberapa santri Pondok Pesantren Rifa’iyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Rifa’i. Cukup lama saya bergaul dengan mereka. Saya lihat mereka belajar menulis Arab dengan pena yang diisi dengan tinta Cina—di kampung dulu biasanya disebut mangsin. Saya juga ikut belajar bersama mereka, bahkan saya pernah menulis sebuah kitab dengan menyalin kitab Syaikh Ahmad Rifa’i, yaitu dengan menggunakan tulisan Arab Pegon. Seingat saya isi kitab tersebut antara lain adalah tentang rukun Islam.

 

Tak Ada Paksaan dari Orangtua

Pada awalnya saya berpuasa hanya ikut-ikutan orangtua yang kemudian menjadi kebiasaan. Tidak seperti anak-anak di daerah-daerah lain, di waktu kecil saya tidak pernah mendengar atau diajari berpuasa setengah hari, misalnya. Yang saya tahu puasa itu wajib dilakukan sehari penuh tanpa ‘bolong-bolong’. Hanya saja, karena masih anak-anak, ‘nyuri-nyuri’ adalah hal yang biasa bagi saya. Misalnya, di siang hari saat sedang mandi di kali, dan kebetulan tidak ada orang melihat, saya minum.

Dan orangtua saya tidak pernah sekalipun memaksa-maksa saya untuk berpuasa. Saya hanya disuguhi contoh dan keteladanan. Saya pernah disuruh, tetapi tidak dipaksa. Saya berpuasa semata-mata berangkat dari keinginan saya sendiri. Sebagaimana ketika saya hendak mengaji, itu juga keinginan saya sendiri, tanpa paksaan dari orangtua. Bahkan, dalam hal masuk sekolahpun, sayalah yang mempunyai inisiatif. Kebetulan setiap hari, kecuali hari Minggu tentunya, saya melihat anak-anak yang umurnya lebih tua dari saya, pagi-pagi pergi ke sekolah dengan mengenakan seragam. Saya ingin sekali seperti mereka, makanya saya bilang ke orangtua bahwa saya ingin masuk sekolah seperti anak-anak itu. Kemudian juga ketika saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Kudus, dan setiap bulan Ramadhan ngaji di Pesantren KH. Arwani. Orangtua saya, terutama ibu, tidak mengizinkan. Di samping karena saya adalah anak satu-satunya, semata wayang, juga karena faktor biaya—di kampung orangtua saya tergolong masyarakat tidak mampu. Saya sudah bertekad bulat, dan saya katakan, “Bapak, Ibu, saya akan baik-baik saja di sana. Soal biaya tidak perlu dirisaukan.” Begitupun ketika saya melanjutkan studi di UIN Jakarta—dulu namanya masih IAIN—, itu murni keinginan saya sendiri.

Bagi saya, kenyataan bahwa orangtua tidak pernah memaksa saya dalam hal apapun, termasuk dalam mengerjakan ibadah puasa, adalah suatu model pendidikan yang positif. Artinya, sejak kecil saya sudah dididik untuk melakukan segala sesuatu tanpa paksaan dan tekanan dari orang lain, bahkan dari orangtua sekalipun, melainkan berangkat dari keinginan dan kesadaran diri. Contoh dan keteladanan yang diperlihatkan orangtua kepada saya sudah cukup menjadi semacam perintah tidak langsung untuk melakukan sesuatu yang baik.

 

Menikmati Suasana yang Berbeda

Selama kuliah di Jakarta, saat bulan Ramadhan tiba saya tidak pulang kampung tetapi muqim di Pesantren Modern Gontor dan Pesantren Koleberes Sukabumi. Ada keinginan kuat di hati saya untuk menikmati suasana Ramadhan yang berbeda dari tanah kelahiran saya. Kadang-kadang sampai 20 atau 25 hari menjelang lebaran.

Di setiap tempat, pasti ada pengalaman yang menurut saya sangat luar biasa dan memberi kesan mendalam, khususnya di bulan Ramadhan. Ketika di Kudus, karena jauh dari orangtua, saya memasak sendiri, bahkan mulai belajar mencari uang sendiri dengan menjual gorengan atau kerjaan lainnya. Dari pagi sampai siang saya belajar di sekolah umum, kemudian sore harinya saya mengaji di pesantren. Ketika ngaji di Pesantren KH. Arwani, selama hampir sebulan oleh Kiyai Arwani saya hanya diajari surat al-Fatihah, mulai dari bacaan ta’awwudz dan basmalah-nya hingga ayat per ayat di dalam surat tersebut, dan tidak diajari surat-surat al-Qur`an yang lainnya. Tentu saja ini membuat saya bosan dan kesal. Akhirnya saya belajar ngaji sendirian. Tidak tahu benar atau salah, yang jelas saya bertekad harus bisa. Anehnya, saya bisa membaca surat-surat lain di dalam al-Qur`an dengan lancar. Akhirnya saya pun mengerti maksud sekaligus rahasia Kiyai Arwani hanya mengajarkan surat al-Fatihah kepada saya.

Begitu juga ketika saya berada di Sukabumi, momen yang paling menarik adalah pada saat ngabuburit. Setiap sore, selepas shalat Ashar, saya pergi ke sawah-sawah untuk nengambil jenis-jenis daun dan rumput. Kalau menurut orang Sunda, “Kecuali daun pintu, semua daun bisa dimakan.” Hal ini saya coba praktikkan dalam keseharian saya di bulan Ramadhan. Daun-daun itu saya jadikan lalapan untuk pelengkap menu buka puasa. Padahal, penduduk asli Cianjur sendiri sangat jarang yang melakukan itu. Karena di sana saya ada di pesantren, maka saban hari saya selalu mengaji kitab. Sebetulnya saya tidak begitu paham, karena si kiyai menerjemahkan kitab tersebut dengan bahasa Jawa, dan menjelaskannya dengan bahasa Sunda. Sementara pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan memakai bahasa Indonesia, tetapi ia menjawabnya dengan bahasa Sunda, dan sekali-kali dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata karena memang tidak terlalu bisa.

Selain itu, saat berada di Pondok Pesantren Modern Gontor, saya belajar menulis khat (kaligrafi Arab), belajar menjilid buku, dan yang paling saya suka adalah mengumpulkan kata-kata bijak yang tertulis di dinding-dinding asrama, seperti “Panca Jiwa”, “Motto Pondok”, atau ungkapan-ungkapan hikmah dari para ulama. Pada masa-masa itu saya tidak suka membaca hal-hal yang berkaitan dengan fikih. Saya lebih suka membaca al-Qur`an dan mencari tahu makna dari setiap kata dan kalimat yang ada di dalamnya. Untuk bahan bacaan lain, saya suka sekali membaca buku-buku terjemahan karangan para tokoh/ilmuan luar negeri yang sudah bergelar “Profesor-Doktor”. Saya jarang membaca buku-buku karangan para tokoh/ilmuan dalam negeri. Memang, di antara kegemaran saya waktu itu adalah membaca buku. Saya selalu menyisihkan sebagian uang baik dari kiriman orangtua ataupun hasil dari keringat sendiri untuk membeli buku. Setiap kali pulang kampung menjelang lebaran, saya pasti membawa buku. Sampai-sampai orangtua saya heran, “Kamu kayaknya gak pernah beli pakaian ya? Cuman beli buku mulu!”

 

Lebaran Idul Fitri

Bagi umat Muslim lebaran Idul Fitri adalah momen yang sangat spesial. Saya bersama orangtua biasanya bersilaturrahim ke keluarga saya yang lain. Kebetulan di kampung terdapat keluarga saya yang bisa dibilang kaya raya. Ketika datang ke rumahnya saya selalu dikasih uang. Namun bila bersilaturrahim ke rumah-rumah keluarga yang lain tidak dikasih apa-apa. Saya bisa memaklumi hal itu, karena masyarakat di kampung saya rata-rata memang bukan orang-orang ‘berada’.

Satu hal yang perlu dicatat, sebenarnya perayaan lebaran Idul Fitri di kampung saya tidak begitu semarak, terkesan sepi, seolah-olah bukan momen yang spesial. Justru yang paling ramai adalah tujuh hari setelah itu, yaitu lebaran Ketupat—di kampung saya biasanya disebut “bodho kecil”. Sebagaimana tradisi umat Muslim Indonesia pada umumnya, masyarakat kampung saya membuat ketupat dari beras, yang selain untuk dikonsumsi sendiri juga diberikan kepada tetangga. Biasanya ketupat itu—yang menjadi khas masyarakat kampung saya—sangat enak kalau dimakan dengan semur ikan ‘kutuk’. Dan pada momen itu juga, banyak dari masyarakat kampung saya yang bertamasya ke beberapa tempat yang menarik.

Sebetulnya, banyak momen sejenis yang dirayakan di kampung. Seperti, misalnya, Tanggal 1 Syura, Nyadran, di mana masyarakat saling memberi makanan; ke kerabat, tetangga, dan orang-orang tidak mampu atau miskin. Jadi, di kampung itu suasana kekeluargaannya sangat kental sekali. Meskipun oleh sebagian kalangan—maksudnya beberapa aliran dalam Islam—dianggap tidak Islami dan berbau bid’ah, tetapi tradisi seperti lebaran Ketupat, Tanggal 1 Syura, dan lain-lainnya, itu saya kira harus tetap dijaga dan dilestarikan. Karena justru dengan tradisi-tradisi semacam itu masyarakat senantiasa dapat menjalin ikatan persaudaraan, kekeluargaan dan kekerabatan, di samping, tentu saja, dapat mempererat tali silaturrahim di antara sesama yang memang sangat dianjurkan oleh Islam. Dan yang tidak kalah pentingnya, tradisi-tradisi semacam itu harus dipahami sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia yang telah diberikan-Nya.

Bisa jadi, individualisme, terorisme, kekerasan dan intoleransi yang saat ini merebak atau menjamur di Tanah Air, itu karena tradisi-tradisi lama yang baik di masyarakat mulai dikikis dan dihilangkan, dianggap sebagai bid’ah yang harus dijauhi karena tidak termasuk ajaran agama dan tidak ada di masa Nabi. Yang penting itu bukan bentuknya, bukan kemasan atau bungkusnya, melainkan nilai luhur dan pesan bijak yang terkandung di dalamnya. Kenyataannya memang, masyarakat kita sangat mudah terkesan atau silau oleh kemasan, bukan oleh isi atau muatan.

 

Jarang Mudik

Sejak tinggal di Jakarta, mulai dari masa-masa kuliah sampai sekarang, saya jarang sekali mudik alias pulang kampung pada saat lebaran Idul Fitri, bahkan cenderung menghindarinya. Saya masih ingat, saya mudik baru dua kali. Pernah satu kali, waktu hendak balik ke Jakarta saya naik kereta api dengan berdiri dari Purwokerto ke Jakarta. Rasanya memang sangat tidak enak; sesak, panas dan letih sekali. Kedua kaki saya serasa seperti mau patah. Ini membuat saya trauma, makanya saya tidak mau mudik ketika lebaran Idul Fitri.

Lebaran Idul Adha saya sering mudik karena memang tidak begitu ramai dan sesak seperti saat lebaran Idul Fitri. Saya suka sekali memotong kurban di kampung, dan kemudian membagi-bagikan dagingnya kepada orang-orang sekitar, terutama kepada mereka yang tidak mampu. Namun untuk saat-saat ini, semenjak orangtua telah tiada, saya sudah tidak mudik lagi. Karena tanah dan rumah orangtua saya wakafkan untuk kepentingan pembangunan sekolah. Jadi, sekarang ini di kampung saya sudah tidak punya apa-apa lagi.

 

Ramadhan di Kampung; Dulu dan Kini

Saat ini, seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, anak-anak sangat mudah mendapatkan hiburan, bisa melalui televisi, handphone, internet, playstation, dan lain-lain. Sehingga, ketika ngabuburit, misalnya, kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu dengan menikmati kecanggihan alat-alat tersebut. Khusus mereka yang mempunyai sepeda motor, sebagian di antaranya ada yang ngabuburit dengan bermain kebut-kebutan di tempat-tempat tertentu, di lapangan atau di jalanan.

Kalau dulu, waktu ngabuburit, saya paling-paling hanya bermain di sawah, ngaji di masjid, atau jalan-jalan dengan naik sepeda sehingga suasana Ramadhan benar-benar terasa, nuansa religiusnya sangat kental.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

PUASA DALAM PROSES PENYEMPURNAAN DIRI

Oleh Jalaluddin Rakhmat

[Cendiawan Muslim Terkemuka – Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)]

“Ada permainan lain yang juga digemari oleh anak-anak kampung, tak terkecuali di bulan Ramadhan. Tetapi saya sendiri tidak pernah mencobanya. Karena bagi saya permainan tersebut sangat menyeramkan. Ada seorang anak, kepalanya ditutup pakai sarung, dan tangannya memengang potongan kayu atau bambu. Anak tersebut disuruh berputar-putar, sementara teman-temannya membacakan kamaran (mantera). Tak lama setelah mantera itu dibaca, tiba-tiba anak tersebut ‘kemasukan’ setan. Kemudian mengejar anak-anak yang lain dengan mengayun-ayunkan kayu atau bambu di tangannya. Kalau boleh dibilang, kurang lebih seperti permainan jailangkung. Terkadang ada yang kerasukannya cukup lama, sehingga beberapa orang dewasa menangkapnya dan memasukkannya ke dalam air supaya sadar kembali.”

 

 

Latar Belakang

Sejak kecil saya hidup bersama kakek di sebuah kampung kecil bernama Lembang Gede, Desa Bojong Salam. Karena ayah telah lama pergi meninggalkan saya. Ayah saya namanya Rakhmat Syuja’i. Beliau adalah seorang kiyai sekaligus pesilat. Beliau sangat dihormati karena dua hal itu, yaitu: karena ilmu agama dan ilmu bela dirinya. Pendek kata, di kampung beliau dikenal sebagai jawara. Beliau sempat menjadi kepala desa. Namun kemudian karena terjadi peristiwa DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) beliau pergi entah ke mana. Waktu itu ada beberapa lurah di kampung yang menurut orang-orang DI/TII dibunuh oleh tentara. Sebaliknya menurut tentara, para lurah itu dibunuh oleh orang-orang DI/TII. Saya tidak tahu mana yang benar, tetapi yang jelas ayah tidak ada waktu itu. Dan ketika saya mau menikah, saya bertemu lagi dengan beliau.

Rumah kakek saya berada di samping masjid yang dibangun sendiri oleh beliau. Karena ayah saya tidak ada, maka tanggung jawab mengurus masjid diserahkan sepenuhnya kepada paman saya. Jadi beliaulah yang menjadi kiyai di masjid tersebut.

 

Suasana Ramadhan

Saya tidak tahu kapan persisnya saya mulai berpuasa penuh. Namun yang jelas, sebagaimana umumnya anak-anak, ada kemungkinan juga, dalam artian secara zhahir di depan publik, saya berpuasa langsung penuh. Dan boleh jadi, secara diam-diam saya minum ketika kehausan. Maksud saya secara zhahir itu bukan secara sufistik. Di hadapan umum, mungkin saya sudah langsung puasa penuh.

Satu hal yang paling mengesankan waktu saya masih kecil adalah, menjelang maghrib kakek saya memberikan penganan khusus kepada anak-anak kecil. Setiap sore, menjelang Maghrib, anak-anak sudah berkumpul di sekitar rumah kakek sambil bermain. Bila sudah tiba waktunya, kira-kira setengah jam sebelum buka puasa, mereka, termasuk saya juga, antri untuk mendapatkan penganan dari kakek. Peristiwa itu tidak pernah saya lupakan. Karena itulah yang menjadi cita-cita sejak saat itu; pada saat besar nanti saya ingin membagi-bagikan makanan untuk buka puasa.

Sekarang cita-cita itu terwujud. Setiap tahun di bulan Ramadhan saya mempunyai program membagi-bagikan makanan. Tidak hanya terbatas kepada anak-anak kecil, tetapi kepada orang-orang dewasa. Bahkan secara terorganisir sekarang saya menggunakan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) berikut cabang-cabangnya di seluruh Indonesia untuk mengisi bulan Ramadhan dengan memberikan makanan untuk buka kepada para fakir-miskin.

Di waktu kecil dulu setiap malam di bulan Ramadhan saya bersama teman-teman mempunyai kebiasaan tidur di masjid. Biasanya, setelah shalat Tarawih, juga pada waktu sahur dengan tujuan membangunkan orang, kami menabuh bedug dengan irama tertentu—dalam bahasa Sunda disebut ‘ngadulak’. Di antara iramanya, yang masih saya ingat, adalah “duk-druk-duk-duk-duk”. Setelah ngadulak, kami lalu berlarian pulang ke rumah untuk makan sahur.

Mungkin di antara ritual Ramadhan yang paling meriah adalah shalat Tarawih. Bagi anak-anak kecil, shalat Tarawih yang menjadi momen berkumpulnya umat Muslim di masjid merupakan hiburan tersendiri. Saya senang melihat banyak orang berbondong-bondong ke masjid. Dengan latar belakang tradisi NU, shalat Tarawih di kampung saya berlangsung 20 rakaat dan ditambah shalat Witir 3 rakaat.

Suasana menjadi kian menyenangkan ketika saya bergabung dengan teman-teman di shaf belakang. Ketika bacaan shalawat dikumandangkan menandai dimulainya shalat Tarawih, kami adalah yang paling keras menjawabnya, “Shalli wa sallim wa bârik ‘alayh”. Kami kadang bercanda dan saling dorong, sehingga membuat suasana shalat Tarawih agak sedikit terganggu. Suatu saat saya ketahuan oleh kakek. Beliau marah sekali, bahkan memukuli saya menggunakan serbannya. Itu pertama kalinya saya dipukul kakek. Bukan hanya saya, tetapi ada beberapa orang teman saya yang juga dimarahi dan dipukul oleh beliau.

Selain menjalankan ritual Ramadhan, di masjid saya juga mulai belajar membaca kitab kuning. Menantunya paman yang mengajari saya. Biasanya itu berlangsung di siang hari setelah shalat Zhuhur dan setelah shalat Shubuh. Kitab-kitab yang diajarkan di antaranya adalah “al-Âjurûmîyyah”, “Safînah al-Najâh”, “Tîjân al-Darârîy”, dan lain-lain. Seluruhnya adalah kitab-kitab dasar.

Di masa-masa belakangan saya menemukan di hampir seluruh daerah di Indonesia tradisi membaca al-Qur`an bersama secara bergilir atau disebut juga dengan tadârus jamâ’îy, yang biasanya dilaksanakan setelah shalat Tarawih. Tetapi di waktu saya kecil tradisi semacam itu tidak ada di kampung saya. Tadarus memang ada, tetapi sifatnya sendiri-sendiri. Setiap orang akan saling membanggakan diri atas capaiannya dalam membaca al-Qur`an, “Saya sudah sampai surat ini di juz kesekian.” Sama, saya juga begitu. Terjadi semacam kompetisi di antara kami.

 

Ngabuburit, Menunggu Waktu Buka Tiba

Suasana ngabuburit di kampung saya sangat ramai. Banyak orang mengisinya dengan berjalan-jalan ke luar rumah, duduk-duduk di pinggir jalan, atau bermain-main di pinggiran sawah. Ada juga yang bermain layangan di lapangan. Semuanya bertujuan menunggu datangnya waktu buka.

Saya ingat, dulu kami sangat kreatif. Mainan tidak ada yang dibeli, semuanya dibuat sendiri. Di antara mainan yang paling saya sukai adalah kereta dorong yang terbuat dari bagal pisang. Cara membuatnya, bagal pisang itu saya bentuk seperti roda, tengah-tengahnya dilubangi dengan potongan bambu. Kemudian saya dorong seolah kereta yang sedang berjalan. Atau kalau bukan itu, saya kadang jalan-jalan dengan naik sepeda. Di roda depannya saya kasih pelepah bambu yang diikat pada penyangganya. Sehingga ketika sepeda itu dijalankan akan mengeluarkan bunyi seperti motor.

Ada permainan lain yang juga digemari oleh anak-anak kampung, tak terkecuali di bulan Ramadhan. Tetapi saya sendiri tidak pernah sekalipun mencobanya. Karena bagi saya permainan tersebut sangat menyeramkan. Ada seorang anak, kepalanya ditutup pakai sarung, dan tangannya memengang potongan kayu atau bambu. Anak tersebut disuruh berputar-putar, sementara teman-temannya membacakan kamaran-kamaran (mantera-mantera). Tak lama setelah mantera itu dibaca, tiba-tiba anak tersebut ‘kerasukan’ setan. Ia kemudian mengejar anak-anak yang lain dengan mengayun-ayunkan kayu atau bambu di tangannya. Kalau boleh dibilang, kurang lebih seperti permainan jailangkung. Terkadang ada yang kerasukannya cukup lama, sehingga beberapa orang dewasa menangkapnya dan memasukkannya ke dalam air supaya sadar kembali.

Di waktu kecil, hal yang sering saya lakukan juga di bulan Ramadhan, di siang hari saya suka mengoleksi (mengumpulkan) makanan yang berasal dari pepohonan. Misalnya, saya mengambil jambu, rambutan, mangga dan buah-buahan lainnya. Setelah terkumpul, saya lalu menumpuknya dalam sebuah wadah. Ketika waktu buka tiba, selain makan penganan yang diberikan kakek, saya juga memakan buah-buahan tersebut.

Saya pernah menceritakan itu dalam sebuah tulisan saya yang dimuat di salah satu media, yaitu tentang “Kita Berbuka dengan Racun”. Maksud saya begini: sekiranya Nabi Adam as. sekarang hadir di tengah-tengah kita di Jakarta, lalu kita membawanya masuk ke dalam sebuah apotek, pasti beliau akan sangat terkejut ketika melihat banyak sekali obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit. Karena di zaman beliau dulu semua obat-obatan itu tidak ada, dan penyakit-penyakitnya pun tidak ada. Kemudian, kalau kita membawanya masuk ke sebuah mall, tentu beliau juga akan sangat keheranan ketika melihat banyak sekali jenis makanan. Karena semua makanan itu tidak ada di zaman beliau dulu. Bahkan untuk makan buah khuldi pun beliau dilarang.

Makanya pada masa kecil dulu saya merasa berbuka dengan makanan-makanan yang sehat, makan buah-buahan. Atau, saya dulu juga punya kesenangan menangkap belut dengan memakai murek (sejenis pancing tetapi khusus hanya untuk menangkap belut). Murek itu saya masukkan ke lubang di sekitar sungai, kalau sudah kena belutnya kemudian saya tarik. Setelah dapat saya lalu memanggangnya di atas perapian. Dan setelah matang lalu saya memakannya. Rasanya nikmat sekali. Belut juga merupakan makanan yang sehat, mengandung banyak protein.

Bisa dilihat, saya berbuka puasa dengan buah-buahan yang saya ambil langsung dari pohonnya, belut yang ditangkap langsung dari area sungai, dan kadang juga kolak yang dibuat sendiri. Semua itu adalah makanan yang sehat, tidak ada racunnya bagi tubuh. Dan semuanya sangat sederhana, apa adanya.

Namun sekarang saya harus kehilangan itu semua. Suasana kampung yang alami dan penuh keasrian, sekarang telah sirna termakan oleh zaman. Rimbunan pohon bambu yang tumbuh di sana-sini, sekarang sudah ditebangi dan diganti dengan pembangunan rumah-rumah mewah nan megah. Pohon-pohon yang penuh dengan buah-buah yang ranum, sekarang sudah hilang entah ke mana. Sungai dengan airnya yang sangat jernih sehingga mengundang keinginan saya untuk memancing di sana, sekarang menjadi sangat kotor, keruh, penuh sampah dan limbah.

 

Pengalaman Masa Lalu; Proses Pencarian Jati Diri

Ada beberapa pengalaman di masa kecil yang hilang, dan saya merasa kehilangan. Di antaranya suasana kampung yang alami, pengalaman ketika menyaksikan kakek atau orang-orang dewasa lainnya membagi makanan kepada anak-anak kecil, juga pengalaman ketika mencari makanan di siang hari untuk keperluan buka, semua itu benar-benar saya rindukan.

Selain itu, ada beberapa pengalaman di masa kecil yang hilang, tetapi saya tidak merasa kehilangan karena perkembangan paham keagamaan saya. Di antaranya shalat Tarawih ramai-ramai di masjid, saya tidak merasa kehilangan atau merindukannya. Karena banyak orang sekarang ini yang memindahkannya ke rumah-rumah. Dalam posisi saya sebagai ustadz, misalnya, saya sering diundang shalat Tarawih di rumah-rumah masyarakat. Fungsi saya di situ sebagai penceramah. Tetapi saya tidak merasakan suasana religius atau suasana yang memberikan pengalaman keruhanian, selain hanya untuk menghadiri acara dakwah. Atau paling tidak, meretri pengalaman saya ketika melaksanakan shalat Tarawih pada waktu kecil. Dan di masa kecil dulu saya melaksanakan shalat Tarawih memang bukan untuk pengalaman keagamaan, akan tetapi menjadi semacam hiburan. Saya kira tidak ada anak-anak yang merasakan pengalaman keruhanian di dalam shalat Tarawih selain kebahagiaan, kegembiraan dan keceriaan.

Di waktu saya masih kecil, kampung saya belum terganggu dengan kehadiran paham Muhammadiyah. Justru sayalah yang membawa paham itu pertama kali pada saat saya sudah menginjak usia dewasa. Saya mengikuti shalat Jum’at di masjid. Setelah azan pertama, semua orang berdiri untuk melaksanakan shalat Qabliyah Jum’at, kecuali saya. Saya hanya duduk mematung. Dan saya merasa semua orang memandang saya dengan pandangan permusuhan. Ketika hati saya resah, saya teringat sabda Nabi saw., “Akan datang padamu suatu zaman, orang-orang berpegang teguh pada agamanya sama seperti orang yang memegang bara api. Jika ia lepaskan, bara itu akan padam.” Keresahan saya pun berkurang. Saat itu saya merasa, saya sedang berjuang untuk menegakkan sunnah Nabi saw. Saya tidak mau bergabung melaksanakan shalat Qabliyah Jum’at, yang saya pandang sebagai bid’ah. Semua bid’ah sesat, dan semua kesesatan masuk neraka. Karena itulah saya kemudian berselisih dengan paman saya. Sehari-hari aktivitas saya mengajak berdebat dengan semua orang. Bahkan pernah suatu saat saya diturunkan dari mimbar pengajian oleh paman saya.

Kedatangan paham Muhammadiyah di kampung kemudian merubah tata cara pelaksanaan shalat Tarawih. Bacaan shalawat “shalli wa sallim wa bârik ‘alayh” dan pujian kepada empat sahabat Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ibn Thalib) yang biasanya dilantunkan setiap dua rakaat dihilangkan, karena dianggap sebagai bid’ah. Sehingga shalat Tarawih kemudian menjadi tidak ramai dan tidak menarik lagi—bisa dibilang agak kering—, khususnya bagi anak-anak. Di samping itu, rakaat shalat Tarawih yang biasanya 23 rakaat dikurangi menjadi 11 rakaat.

Kalau diamati, Muhammadiyah tampak lebih serius dalam pelaksanaan shalat Tarawih. Meski jumlah rakaatnya lebih sedikit, tetapi bacaan imamnya pelan. Bahkan ditambah juga dengan ceramah, baik sebelum ataupun sesudah shalat. Saya kira itu merupakan kreasi belakangan dari perkembangan pemikiran Muhammadiyah. Ajaibnya, sekarang acara ceramah mendominasi dalam pelaksanaan shalat Tarawih di perkotaan. Bandingkan dengan NU yang membuat kreasi melantunkan bacaan shalawat “shalli wa sallim wabârik ‘alayh” dan pujian kepada empat sahabat Nabi. Tetapi oleh Muhammadiyah itu dibid’ahkan, dan Muhammadiyah kemudian membuat bid’ah baru yaitu acara ceramah. Jadinya sama saja.

Saya melihat pada umumnya di perkotaan, kecuali di Masjid Istiqlal, pelaksanaan shalat Tarawih hanya 11 rakaat yang disertai dengan acara ceramah. Kadang dilakukan di rumah-rumah. Padahal di masa kecil saya dulu tidak shalat Tarawih dilaksanakan di rumah-rumah. Semuanya dilaksanakan di masjid atau mushalla. Malah mungkin aneh kalau dilaksanakan di rumah-rumah. Tetapi, apa yang dianggap aneh itu kemudian menjadi lazim.

Dengan pemahaman agama saya sekarang sebagai penganut Syi’ah, saya tidak melaksanakan shalat Tarawih sama sekali, kecuali kalau saya diundang untuk acara ceramahnya. Jadi, saya menghadiri shalat Tarawih kalau di situ saya memang diminta untuk memberikan ceramah saja. Itu pun kadang-kadang saja, kalau memang tidak bisa dihindari. Artinya begini: kalau saya diundang memberikan ceramah sebelum Maghrib, saya tentu tidak ikut shalat Tarawih. Kalau diundang setelah Isya`, sebelum shalat Tarawih, saya juga tidak ikut shalat. Kalau diundang setelah shalat Tarawih, saya biasanya hadir setelah shalat, hanya sekedar untuk memberikan ceramah. Sebisa mungkin saya menghindari shalat Tarawih. Kalau tidak bisa dihindari, dengan terpaksa saya mengikutinya.

Dulu, sebagaimana tradisi NU, tahlilan termasuk acara yang paling saya sukai. Karena itulah kesempatan saya mendapatkan makanan yang ‘rada’ bergizi. Biasanya, kawan saya yang kebetulan berduka-cita menjadi ‘bintang’ di dalam pergaulan sehari-hari. Saya kerap melakukan ‘PDKT’ kepadanya, karena dialah yang mempunyai hajat. Saya datangi rumahnya supaya diberi makanan.

Saya merasa pemikiran saya mengikuti perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagai pribadi, misalnya, saya dulu ikut shalat Tarawih ramai-ramai, itu karena memang ada di lingkungan sekitar saya. Kemudian saya mengikuti shalat Tarawih dari yang 23 rakaat menjadi 11 rakaat, itu juga karena ada di masyarakat, yaitu ketika munculnya paham Muhammadiyah.

Kalau boleh “GR”, saya katakan bahwa pemikiran saya mengikuti sejarah perkembangan pemikiran di Indonesia. Saya adalah sejarah perkembangan pemikiran di Indonesia dalam sebuah miniatur. Maksud saya begini, dulu paham keagamaan yang dominan adalah NU. Setelah itu, secara berangsur-angsur, bersamaan dengan urbanisme atau masuknya kehidupan kota, Muhammadiyah mulai masuk. Tetapi, lama-kelamaan Muhammadiyah sepertinya tidak sanggup bertahan, bahkan dalam kehidupan kota sekalipun. Malah pengaruh-pengaruh NU bisa masuk ke dalamnya. Sehingga paham keagamaan di kota lebih banyak merupakan campuran antara Muhammadiyah dan NU.

Jadi, pemikiran saya mengalir mengikuti arus. Secara pribadi, di dalam diri saya tidak ada guncangan. Saya justru mengalami guncangan dengan masyarakat. Misalnya, seperti tadi saya sebutkan, ketika membawa paham Muhammadiyah ke kampung saya berselisih bahkan sampai bertengkar dengan seluruh keluarga saya.

Kalau digambarkan, berdasarkan pengalaman hidup saya tentunya, saya telah melewati beberapa fase dalam keberislaman saya. Awalnya saya melewati fase Islam Fiqhîy. Kelompok Islam Fiqhîy selalu melihat kebenaran melalui kaca mata fikih. Mereka cenderung mengatakan, “Semua orang masuk neraka kecuali pengikut madzhab saya.” Katakanlah ketika menjadi orang NU saya menganggap orang Muhammadiyah sesat dan akan masuk neraka. Sebaliknya ketika menjadi orang Muhammadiyah saya menganggap orang NU sesat dan akan masuk neraka. Karena mereka ahli bid’ah, “Kullu muhdatsat-in bid’ah, wa kullu bid’at-in dhalâlah, wa kullu dhalâlah fî al-nâr” (Setiap hal yang baru—dalam agama—adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka).

Saya pernah melewati fase Islam Fiqhîy itu, baik ketika menjadi orang NU maupun ketika menjadi orang Muhammadiyah. Saya menjadi orang NU karena saya memang terlahir dari keluarga NU. Setelah dewasa saya pergi ke kota. Di sana saya bergabung dengan orang-orang Muhammadiyah. Lalu saya pun menjadi orang Muhammadiyah. Saya kemudian dididik di Darul Arqom, sebuah lembaga khusus untuk mencetak kader-kader Muhammadiyah. Setelah itu, di kota juga, saya kemudian bergabung dengan orang-orang Persis. Waktu itu, Persis dan Muhammadiyah hanya menjadi gejala perkotaan.

Setelah itu saya bergabung dengan gerakan-gerakan “ekstrem-radikal”, yang bertujuan menegakkan syariat Islam. Waktu itu saya ingat ayah saya dulu lari dari kampung dan bergabung di DI/TII. Dan saya yang merasa sebagai generasi muda harus melanjutkan perjuangan beliau dalam menegakkan syariat Islam di negeri ini. Tetapi saya tidak pernah sekalipun terlibat dalam aksi-aksi bom. Karena memang gerakan-gerakan “ekstrem-radikal” yang muncul pada waktu itu hanyalah gerakan-gerakan pemikiran semata. Berbeda dengan aliran-aliran DI/TII yang muncul belakangan ini yang mengekspresikan keyakinannya dengan melakukan kekerasan berupa aksi-aksi bom bunuh diri.

Meskipun begitu, tetap saja saya dipanggil polisi beberapa kali. Untung saja saya tidak dipenjara. Malah saya pernah dikeluarkan dari sebuah perguruan tinggi. Fase ini saya sebut dengan fase Islam Siyâsîy. Kelompok Islam Siyâsîy kerap mengatakan, “Semua orang akan masuk neraka kecuali orang Islam.” Jadi, dalam pahamnya hanya orang Islamlah yang akan masuk surga, apapun madzhabnya yang penting mereka menegakkan syariat Islam. Berbeda dengan fase Islam Fiqhîy, di mana orang yang melewatinya berkata, “Semua orang akan masuk neraka kecuali pengikut madzhab saya.”

Dilihat dari segi wacana, kelompok Islam Fiqhîy selalu mengangkat wacana-wacana fikih. Intinya, wacana-wacana fikih menjadi primadona dalam pemikirannya. Dan mereka biasanya mengukur derajat masing-masing melalui fikih. Misalnya, saya melihat ada orang shalat di masjid. Saya akan mengamati secara detail bagaimana ia melaksanakan shalat. Saya akan coba-coba nguping apakah dalam rukuknya ia membaca “Subhân-a Rabbîy al-‘Azhîm wa bi Hamdih-i”. Dari sini saya menjadi tahu ia orang NU. Kalau hanya membaca “Subhân-a Rabbîy al-‘Azhîm” saja, berarti ia orang Muhammadiyah. Kalau orang Persis lebih mudah ditandai, sebab ketika duduk untuk salam ia menggerak-gerakkan telunjuknya. Kalau sekarang yang menggerak-gerakkan telunjuk biasanya orang dari kelompok Salafi.

Bagi kelompok Islam Fiqhîy, gambaran ideal dari masyarakat adalah “masyarakat Islam di zaman Nabi”. Dalam konteks ini, hadits yang biasa mereka kemukakan adalah, “Khayr al-qurûn qarnîy, tsumma al-ladzîn-a yalûnahum, tsumma al-ladzîna yalûnahum” (Sebaik-baiknya masa adalah masaku. Kemudian setelahnya, kemudian setelahnya). Jadi, serba masa lalu, selalu bercermin kepada orang-orang salaf.

Sementara bagi kelompok Islam Siyâsîy, paling tidak dalam perkembangan pemikiran saya, masalah fikih tidak lagi menjadi sesuatu penting. Wacana utamanya adalah ideologi: Islam sebagai sebuah ideologi. Islam adalah solusi yang bisa memecahkan segala persoalan. Gambaran masyarakat yang ideal menurut mereka adalah “Masyarakat yang menegakkan syariat Islam”. Sikap mereka terhadap kelompok-kelompok non-Muslim sangat keras. Tema-tema yang selalu mereka angkat seperti kristenisasi, konspirasi dunia untuk menaklukkan Islam, zionisme internasional dan lain sebagainya.

Bandingkan dengan kelompok Islam Fiqhîy. Mereka tidak ada yang bicara tentang ideologi, kristenisasi, konspirasi dunia untuk menaklukkan Islam, zionisme internasional. Fokus mereka hanya pada masalah-masalah fikih yang tidak mendunia seperti tema-tema yang diangkat oleh kelompok Islam Siyâsîy. Saya mengalami bagaimana hidup dan menjadi bagian dari kelompok Islam Siyâsîy ini. Bahkan saya sempat membina kader-kader di Masjid Salman Bandung dan di kampus-kampus. Sampai akhirnya melahirkan pimpinan-pimpinan PKS sekarang ini. Jadi, pemimpin-pemimpin PKS yang sekarang banyak berhutang budi kepada saya. Di samping saya juga banyak mengilhami kelompok-kelompok DI TII.

Kalau dihubungkan dengan tradisi Ramadhan, bagi kelompok Islam Siyâsîy Ramadhan adalah bulan training. Saya masih ingat dulu pusat training-nya di Masjid Salman. Di situlah ideologi dimasukkan kepada para peserta training. Biasanya bersifat instan, dan ada ukurannya: kalau sebelum traning mereka tidak memakai jilbab, maka setelah training mereka memakainya. Kalau sebelum traning mereka tidak kenal agama, maka sesudah training mereka menjadikan agama sebagai jalan hidup. Pada akhirnya, yang ditanamkan ketika training adalah kecintaan kepada syariat Islam, selain juga berbagai hal yang menjadi mimpi-mimpi kelompok Islam Siyâsîy. Intinya, Islam-lah yang akan menjadi solusi bagi problem-problem masyarakat modern sekarang ini.

Di fase Islam Siyâsîy banyak tradisi saya yang berubah. Misalnya, apakah saya melaksanakan shalat Tarawih atau tidak, itu tidak penting lagi. Tetapi apakah shalat Tarawih itu berbekas dalam kehidupan sosial saya sehari-hari, itu yang dilihat. Malah pada fase itu saya cenderung meremehkan fikih. Saya tidak lagi memperdulikan tentang air suci yang mensucikan, jenis-jenis najis, larangan-larangan dalam haid atau nifas, shalat, dan tatacara ibadah lainnya. Karena saya berpandangan bahwa Islam—meminjam bahasa Imam al-Khumaini—tidak semestinya dibatasi pada tempat tidur, masjid dan toilet saja, melainkan harus dibawa ke medan kehidupan.

Menurut saya, itu juga yang terjadi di masyarakat. Maksud saya, apa yang saya alami itu menandai juga bahwa di masyarakat pun sedang muncul gelombang Islam Siyâsîy. Artinya, saya memang lebih banyak mengikuti gelombang itu dan tiba-tiba dibawa ke dalam Islam Siyâsîy hingga kemudian saya banyak mengalami perubahan.

Setelah itu saya melewati fase Islam Sufi. Pada fase ini, di samping sibuk mengajar tentang tasawuf di mana-mana, saya juga mempelajari gerakan-gerakan tasawuf dan tarekat. Saya pernah menempuh pendidikan di Iran. Di sana saya lebih banyak belajar tasawuf daripada fikih. Saya mengaji tasawuf kepada putra Ayatullah Behjat, seorang tokoh sufi terkenal di abad ini. Mungkin maqam saya belum sampai untuk mengaji langsung kepada beliau, sehingga saya hanya mengaji kepada putra beliau yang menurut saya adalah peneliti kitab-kitab tasawuf. Jadi, kesufian saya waktu itu lebih bersifat teoritis (nazharîy-falsafîy) ketimbang amali. Dan saya tetap saja seperti anak nakal yang menjadikan agama sebagai entertainment (hiburan).

Ternyata, agama sebagai entertainment sekarang sudah diinstitusionalisasikan menjadi acara-acara di televisi, juga acara-acara dzikir bersama. Sebetulnya itu adalah pengalaman masa kecil saya yang sekarang diperbesar. Namun sekarang saya sudah tidak lagi kembali ke situ. Masuknya saya ke dalam Islam Sufi paling tidak telah banyak membantu merubah paradigma saya. Dan konsentrasi saya kemudian tidak lagi kepada fikih, akan tetapi kepada akhlak. Mungkin istilah “akhlak” terdengar agak elementer, makanya saya akan menggunakan istilah “al-takâmul” (proses penyempurnaan diri). Karena dalam tasawuf—secara sederhana—diri disempurnakan dengan akhlak.

Ketika mengajar tawasuf sebetulnya yang saya ajarkan adalah tasawuf akhlak. Saya tidak lagi masuk ke tasawuf nazharîy (teoritis), karena bagi orang awam saya pikir itu terlalu berat. Makanya, ketika mendirikan Yayasan Tazkiyah Sejati, pusat kajian tasawuf, di antara pembicaraan saya adalah tentang maqâmât (perpindahan dari satu maqam ke maqam yang lain), seperti sabar dan seterusnya. Dan dalam maqâmât pun perhatian utamanya adalah akhlak. Karena itulah saya lebih mengutamakan akhlak daripada fikih. Fikih tetap saya jalankan, tetapi kalau bertentangan dengan akhlak saya tinggalkan fikih itu. Misalnya, kalau saya shalat di tengah-tengah orang NU saya shalat sebagaimana orang NU. Kalau saya shalat di tengah-tengah orang Muhammadiyah saya shalat sebagaimana orang Muhammadiyah. Bagi saya, menjaga silaturrahim itu jauh lebih penting daripada mempertahankan paham fikih saya yang sangat subyektif.

Islam Sufi adalah pengalaman saya dalam periode transisi. Kebetulan juga waktu itu di tengah-tengah masyarakat Indonesia sedang bangkit revival sufism. Di mana-mana orang larut dalam living sufism. Bahkan ada juga urban sufism. Dan satu hal yang sangat memprihatinkan, karena pada waktu itu bermunculan “para pedagang tawasuf” yang menjajakan tasawuf, tetapi menurut saya apa yang mereka klaim sebagai tasawuf sama sekali tidak ada hubungan kerabat dengan tasawuf dalam pemaknaan yang sebenarnya. Saya lebih suka menganggap itu—sebetulnya—sebagai kebangkitan ilmu kebatinan atau mistisisme Jawa yang kemudian diberi warna Islam. Akibatnya, bukan lagi mursyid yang mengajarkan tasawuf, akan tetapi “orang pintar”. Bukan lagi pengalaman ruhaniyah yang mereka alami—misalnya, fanâ` (luruh dalam Tuhan) sebagaimana yang dialami para sufi—melainkan pengalaman klenik atau pengalaman-pengalaman gaib lainnya.

Nah, dalam situasi seperti itu saya merasa terpanggil untuk menghidupkan kembali tradisi tawasuf di masyarakat kota pada waktu itu. Akhirnya saya mendirikan Yayasan Tazkiyah Sejati di daerah Kuningan Jakarta. Orang-orang yang saya ‘pancing’ ketika itu adalah masyarakat perkotaan, mulai dari kalangan elit, dan kalangan dari kelas menengah ke atas. Tidak lama kemudian yayasan yang saya dirikan itu semakin maju. Peminatnya lumayan banyak. Saya ajarkan kepada mereka tasawuf rasional yang berdasarkan ajaran Nabi saw. Sampai akhirnya sponsor yang mendanai kami bergabung juga ke dalam kelompok tasawuf yang tadi saya sebut sebagai ilmu kebatinan atau mistisisme Jawa yang kemudian diberi warna Islam. Persaingan pun terjadi, tak bisa dielakkan. Pemenangnya adalah kelompok tersebut. Saya dan yayasan saya kalah telak. Pihak sponsor menilai dengan mengikuti tasawuf kelompok tersebut lebih cepat mendapatkan pengalaman gaib ketimbang mengikuti ajaran tasawuf saya. Disebutkan, misalnya, ada orang yang dikuburkan hidup-hidup beberapa saat, kemudian ia merasakan ruhnya keluar dari tubuhnya. Inilah rupanya yang membuat pihak sponsor lebih memilih kelompok tersebut.

Upaya memberikan nasehat kepada pihak sponsor sudah saya lakukan. Saya katakan kepada mereka bahwa tasawuf model seperti itu tidak benar. Karena nasehat saya tidak didengarkan, saya kemudian menghentikan seluruh kegiatan yayasan saya. Dan bubarlah Yayasan Tazkiyah Sejati. Sekarang gedungnya kosong, tak ada kegiatan apapun. Kalau boleh saya katakan, gedung itu sekarang lebih mirip seperti kuburan. Pendek kata, Islam Sufi saya kalah oleh Tasawuf Kejawen.

Tulisan tentang itu pernah ingin saya buat, tetapi sampai sekarang tidak kunjung selesai. Rencananya mau saya beri judul “Para Perampok di Jalan Tuhan”. Maksud saya begini: ada banyak orang di zaman modern yang ingin kembali lagi kepada agama tetapi disergap di tengah jalan oleh kelompok ekstrem sehingga mereka menjadi ekstrem juga. Mereka merasa diri paling benar dan menyalahkan semua orang. Ada banyak orang yang disergap oleh aliran-aliran tasawuf hingga mendapatkan pengalaman batin. Saya sebutkan sebuah kasus, dan saya telah menulis kisahnya yang dimuat di Tempo. Seorang gadis—mahasiswi dari fakultas kedokteran pada salah satu perguruan tinggi—masuk ke dalam sebuah aliran tasawuf di Jakarta yang dalam tempo 1 minggu bisa mempertemukannya dengan Tuhan. Singkat cerita, pada akhirnya gadis tersebut kehilangan harta kekayaannya, keperawanannya, dan bahkan kesehatan jiwanya. Mula-mula saya bermaksud ingin membantu menyembuhkannya, tetapi mungkin karena dia merasa terancam akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Ibarat kata, seperti “domba-domba yang hilang”. Sebenarnya masih banyak sekali orang yang menjadi korban aliran-aliran tasawuf baru tersebut.

Julia Day Howell, seorang peneliti tasawuf dari Australia, pernah bertanya kepada saya tentang kriteria yang membedakan antara tasawuf sejati—yang sesuai dengan ajaran al-Qur`an dan sunnah Nabi saw.—dengan tasawuf model “para perampok di jalan Tuhan”. Saya katakan, bahwa tasawuf model “para perampok di jalan Tuhan” itu biasanya mudah ditandai. Pertama, UUD (Ujung-ujungnya duit). Ada-ada saja alasannya. Misalnya, untuk mahar dan lain sebagainya. Pokoknya, setiap kenaikan maqam selalu ditandai dengan ‘kontribusi’ alias sumbangan. Dan saya melihat, ternyata UUD juga banyak digunakan oleh gerakan-gerakan Islam yang muncul belakangan. Kedua, UUS (Ujung-ujungnya Seks). Ini sering terjadi di dalam gerakan-gerakan urban sufism. Banyak yang sudah menjadi korbannya.

Dalam fase Islam Sufi itu sebenarnya saya sudah banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Syi’ah. Tasawuf yang saya pelajari dan saya ajarkan juga banyak yang bercampur dengan ajaran-ajaran Syi’ah. Makanya, dalam tingkat intelektual yang lebih tinggi, saya sering menyebut Ibn Arabi karena dia ternyata menjadi kajian orang-orang Syi’ah. Ketimbang orang-orang Sunni, orang-orang Syi’ah mempunyai peran sangat besar dalam kajian Ibn Arabi. Penulis syarh dan ta’lîqât terkait karya-karya Ibn Arabi kebanyakan dari orang-orang Syi’ah. Bahkan, orang Sunni yang menulis syarh tentang karya Ibn Arabi juga dikomentari oleh orang Syi’ah. Jadi, pengaruh Syi’ah sangat besar dalam tasawuf.

Dari Islam Sufi saya kemudian masuk ke dalam apa yang saya sebut dengan Islam Madani. Mursyid saya dalam hal ini adalah Jean Jacques Rousseau. Karena konsep Islam Madani itu memang berasal dari bukunya yang bertajuk “Du Contrat Social”. Kalau sebelumnya, pada fase Islam Sufi, mursyid saya adalah Ibn Arabi, Mulla Sadra dan lain sebagainya. Tawaran-tawara Rousseau di dalam buku tersebut telah dirumuskannya sejak abad ke-18 Masehi, 100 tahun sebelum Perang Dipenogoro. Jadi, ketika nenek moyang kita sedang berkeluyuran membuang air besar di kebun-kebun, di Perancis ada orang bernama Rousseau yang memikirkan tentang hubungan agama dengan negara.

Saya pernah menghadiri seminar internasional tentang filsafat yang diselenggarakan di Jakarta. Saya katakan, kita telah ketinggalan dari Rousseau sekitar 300 tahun. Kalau sekarang kita berbicara tentang filsafat, berarti kita telah melakukan loncatan besar sekitar 300 tahun hanya untuk menjadi seperti Rousseau. Apalagi kalau dibandingkan dengan para filsuf yang lainnya sebelum Rousseau. Dan saya pikir Rousseau dulu juga melakukan lompatan cukup besar.

Kedutaan Perancis telah menerbitkan karya Rousseau tersebut dalam versi bahasa Indonesia bertajuk “Kontrak Sosial”. Saya kebetulan yang diminta untuk memberikan kata pengantar. Dalam buku tersebut Rousseau mengatakan, dalam hubungannya dengan negara, agama bisa menjadi pesaing. Sebab, orang beragama mengalami konflik di dalam dirinya antara kesetiaannya kepada agama dan kesetiannya kepada negara. Dan biasanya, kata Rousseau lagi, kesetiaan kepada agamalah yang menang. Artinya, warga negara, antara mematuhi gereja dan mematuhi negara, mereka pasti akan memilih mematuhi gereja meskipun harus melawan negara.

Hal itu juga terjadi di dalam gerakan-gerakan Islam Siyâsîy, seperti MMI, HTI dan lain sebagainya. Mereka tidak akan setia kepada negara. Mereka hanya setia kepada agama. Agama harus didahulukan sebelum apapun, “Anâ muslim qabl-a kull-i syay`-in” (Saya adalah muslim sebelum apapun). Saya dulu pernah mempunyai seorang pembimbing yang sebetulnya, menurut saya, tidak begitu mengerti bahasa Arab. Dia bilang begini, “Anâ muslimûn-a qabl-a kull-i syay`-in” (Saya adalah orang-orang muslim sebelum apapun). Padahal dalam bahasa Arab kata “anâ” (saya) itu adalah mufrad (singular), sementara kata “muslimûn-a” adalah jama’ (plural). Antara mufrad dan jama’ tidak bisa disandingkan. Jadi mestinya, mufrad harus disandingkan dengan mufrad. Misalnya, “Anâ muslim” (Saya muslim). Artinya, banyak orang dalam kelompok Islam Siyâsîy yang secara fisikal sok arabik, padahal secara subtansial mereka tidak mengerti apa-apa.

Kelompok Islam Siyâsîy juga beragam. Ada yang ekstrem, dan ada juga yang moderat. Kelompok yang ekstrem menolak semua peraturan negara. Bahkan mereka tidak mau mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk). Sementara kelompok yang moderat menolak sistem parlemen karena dianggap sebagai sistem Barat. Dalam Islam, menurut mereka, tidak ada sistem parlemen. Lebih sederhana lagi, mereka menolak setiap kebijakan pemerintah. Dan lebih sederhana lagi—biasanya ini di tingkat bawah—menolak kehadiran paham dan agama yang lain. Jadi, mereka tidak mengenal paham pluralisme. Mereka sangat eksklusif. Mereka membagi dunia menjadi dua, yang pro dan yang tidak pro. Semua yang tidak pro dianggap anti. Hidup menjadi terlihat hitam-putih.

Rousseau mengatakan, bahwa sepanjang sejarah, negara yang kuat ditegakkan di atas keyakinan agama. Orang yang berjuang untuk negara sekaligus berjuang untuk agama, maka perjuangannya untuk negara itu menjadi perjuangan yang luhur. Kalau dasarnya agama, orang bisa mengorbankan jiwa dan raganya demi negara. Seperti anak-anak muda Iran yang antri meminta izin kepada Imam al-Khumaini untuk bisa berjihad membela negara. Mereka tidak hanya membela negara, tetapi—yang paling utama—adalah membela agama. Makanya Rousseau menginginkan adanya sebuah ideologi yang dasarnya adalah agama. Dan tidak ada pertentangan antara ideologi negara dengan ideologi agama. Ideologi agama bersatu menjadi ideologi negara.

Hal yang menarik, Rousseau malah menolak kristianitas untuk dijadikan sebagai “agama baru” tersebut, sebagaimana dia juga menolak Islam. Tetapi, di dalam buku “Kontrak Sosial” dia sangat memuji Nabi Muhammad saw. sebagai seorang tokoh Islam yang dia sebut dalam bahasa Perancis “La religion sivilla”. Saya menerjemahkannya sebagai “agama madani”. Dan “agama madani” inilah yang menjadi keberagamaan saya sekarang dalam hubungannya dengan negara.

Mungkin karena masalah duit, belakangan ini banyak bermunculan gerakan-gerakan Islam yang terinspirasi oleh kaum Wahabi. Berdasarkan hasil survei, bahwa segala hal yang ada di dalam Wahabi, apapun bentuknya, semakin hari semakin popular di dalam kehidupan kampus dan di tengah-tengah masyarakat kota, khususnya Jakarta. Bisa saja sebagian orang-orang Jakarta ini ada stres, sehingga mereka membutuhkan sebuah kepastian, termasuk dalam soal agama—agama harus pasti. Dengan mengikutinya mereka yakin akan menjadi saleh. Mereka tidak ingin terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang tak pasti. Menjalani hidup ini saja sudah letih, apalagi bila ditambah diskusi dan perdebatan. Itu sungguh akan sangat melelahkan.

Jadi, ketika memasuki agama mereka menginginkan agama itu yang sederhana (simplistik), tidak membuatnya semakin lelah. Dan yang lebih penting lagi harus membuat mereka selamat. Tidak perlu mengikuti madzhab ini dan itu. Nah, di sinilah orang-orang Wahabi datang memberikan pemecahan sederhana yang—katanya—berpijak kepada ajaran orang-orang salaf. Ajaran-ajarannya yang serba sederhana mudah diterima oleh masyarakat awam.

Tetapi ajaran Wahabi mempunyai kekurangan sangat besar yang dibutuhkan oleh masyakarat modern, yaitu kehangatan spiritual. Maka muncullah kelompok-kelompok yang menawarkan “kehangatan spiritual sesaat”—yang penting Anda merasakan hangat saja secara spiritual. Sebutlah, misalnya, ada orang yang pergi ke apotek. Sebenarnya dia sakit, tetapi tidak peduli apapun penyakitnya yang penting dia mendapatkan Panadol untuk menghilangkan rasa nyerinya. Kalau, misalnya, penyakit yang dia derita asalnya demam, yang penting minum Panadol agar tubuhnya menjadi sedikit hangat. Dari sinilah kemudian muncul gerakan-gerakan “Islam Panadol”, yaitu yang memberikan kehangatan spiritual sesaat. Misalnya, “Kalau Anda ingin memperoleh kehangatan spiritual, maka ikutilah dzikir bersama,” dan seterusnya. Inilah yang saat ini sedang menjadi trend di tengah-tengah masyarakat perkotaan.

Ayatullah Khairi—kalau tidak salah—pernah mengatakan bahwa, kalau kita mengikuti tasawuf, kita tidak boleh hanya mengambil satu obat saja darinya untuk memberikan kepada kita pengalaman keagamaan. Tetapi, tasawuf itu harus bisa merubah jalan hidup kita. Jadi, kalau kita ingin sehat, misalnya, kita tidak hanya meminum obat Panadol saja. Selain itu kita harus melakukan olah raga, mengatur pola makan dan lain sebagainya. Pokoknya kita harus mengatur jalan hidup kita dengan aturan yang baru supaya kita bisa hidup sehat.

Saya kadang merasa lucu kalau melihat tingkah laku orang-orang modern sekarang ini. Di satu sisi ada menginginkan kesederhanaan dengan memeluk paham Wahabi. Di sisi lain ada yang ingin tetap dengan paham keagamaan mereka tetapi juga memerlukan kehangatan spiritual dengan mengikuti gerakan “Islam Panadol”, termasuk juga mengikuti Jama’ah Tabligh dengan segenap ritualnya seperti khuruj, ijtima’, jaulah dan seterusnya. Sekarang saya lihat para pengikut Jama’ah Tabligh terus bertambah. Untuk persaudaraan memang bagus. Tetapi jalan hidup mereka tidak ada yang berubah. Hanya begitu-begitu saja. Saya tidak menyalahkan mereka. Saya anggap yang mereka lakukan itu sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan spiritual lewat jalan yang sesingkat-singkatnya.

Belakangan ini juga muncul gejala Agama Panasea. Maksud Agama Panasea ini adalah agama yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Tetapi orang-orang hanya mengambil satu saja dari agama itu. Sebagian ada yang hanya mengambil dzikirnya saja. Mereka percaya dzikir dapat menghilangkan semua persoalan hidup. Sebagian lagi ada yang hanya mengambil shalat malamnya saja. Sekarang kita kerap menemukan training-training shalat malam untuk penyembuhan penyakit, penyelesaian masalah rumah tangga, masalah kenaikan pangkat, dan masalah-masalah hidup lainnya. Dengan shalat malam mereka yakin akan dapat menyelesaikan semua itu. Sebagian lainnya ada yang hanya mengambil “Jagalah Hati”. Dengan memusatkan perhatian pada “penjagaan hati” mereka percaya akan terhindar dari masalah. Sebagian lainnya juga ada yang hanya mengambil “sedekah”. Mereka percaya bahwa sedekah adalah solusi bagi segala permasalahan hidup. Mereka berkeyakinan, kalau sudah belajar dan mengerti ilmu sedekah, maka ilmu-ilmu lainnya akan gugur dengan sendirinya. Mereka tidak perlu lagi belajar ilmu kedokteran untuk menyembuhkan penyakit, tidak perlu belajar ilmu marketing untuk membuat dagangan laris-manis di pasaran, tidak perlu belajar ilmu psikologi untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan. Karena semuanya bisa diselesaikan dengan sedekah.

Islam seperti itulah yang sekarang sedang laku di mana-mana. Sehingga muballigh seperti saya tidak laku lagi. Karena saya bertentangan dengan itu semua. Saya ingin mereka merasakan kelezatan ruhaniyah melalui sebuah pengalaman yang panjang seperti yang dirintis oleh para sufi agung. Tetapi mereka bilang, “Kami tidak punya waktu. Entar kami keburu mati.”

Saya kerap mengajak mereka kepada Islam yang memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat. Karena inilah yang menurut saya di antara ciri dari Islam Madani. Islam sebagai agama, mempunyai nilai-nilai. Pertama, al-qiyam al-juz`îyyah (nilai-nilai partikular), yang hanya khusus untuk umat Muslim. Al-Qur`an biasanya menyeru umat Muslim dengan ungkapan, “Yâ ayyuhâ al-ladzîna ãmanû…” (Wahai orang-orang yang beriman…”). Di antara nilai-nilai partikular Islam adalah potong tangan bagi pencuri, mendirikan negara Islam, memakai jilbab, dan lain sebagainya. Dan nilai-nilai partikular ini bisa bertentangan dengan aturan negara.

Kedua, al-qiyam al-kullîyyah (nilai-nilai universal), yakni untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Al-Qur`an biasanya menyeru seluruh umat manusia dengan ungkapan, “Yâ ayyuhâ al-nâs…” (Wahai manusia…). Di antara nilai-nilai universal Islam adalah memberikan kontribusi bagi seluruh umat manusia, menyantuni kaum fakir-miskin dan lain sebagainya. Nah, inilah yang saya maksud dengan Islam Madani yang saya anut sekarang. Saya tetap muslim, tetapi fokus perhatian saya adalah bagaimana saya sebagai muslim memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada kemanusiaan, khususnya terhadap nasib bangsa ini. Inilah ukuran saya dalam beragama. Dalam masalah pemilukada Jakarta, misalnya, saya tidak lagi menggunakan ayat, “Yâ ayyuhâ al-ladzîna ãmanû la yattakhidz-i al-mu`minûna al-kâfirîna awliyâ`…” (Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah orang-orang mukmin memilih orang-orang kafir sebagai pemimpin) untuk menyerang pasangan “Jokowi-Ahok”. Jujur, pada pemilukada Jakarta 2012 saya memilih Jokowi. Karena menurut saya, dia telah memberikan banyak kontribusi kepada kemanusiaan. Dalam hal ini, saya berpegang teguh kepada nilai-nilai universal Islam.

Dalam suatu kesempatan saya dimintai nasehat oleh Kota Madya Bandung dalam hal pendirian Komite Penegak Syariat Islam. Jadi, ceritanya, waktu itu gubernur yang akan segera berakhir masa jabatannya mencalonkan diri lagi untuk menjadi gubernur pada periode berikutnya. Dia ingin mengangkat tema syariat Islam dan membuat Perda Syariat agar dipilih kembali oleh masyarakat Muslim di Bandung. Saya tanya, “Ini syariat Islamnya yang mana? Apakah seperti Aceh di mana semua wanita harus pakai jilbab dan para penjudi dihukum cambuk, atau seperti di Cianjur di mana seluruh pegawai negeri harus shalat berjama’ah di Masjid Agung, atau seperti di Bulukumba di mana seluruh pegawai negeri tidak boleh naik pangkat kecuali setelah pandai membaca al-Qur`an? Mau yang mana ini?” Begitu pertanyaan saya. Tetapi mereka malah bilang ke saya, “Tolong Pak Jalal sebutkan dalil-dalil tentang jilbab, potong tangan…” Saya katakan, “Begini Pak, kalau saya boleh memberikan nasehat, dalam hal penegakan syariat Islam saya menganjurkan di sini dibangun perumahan sederhana bagi fakir-miskin, memberikan modal bagi mereka supaya bisa hidup layak, menetapkan gaji minimal tertinggi bagi para pegawai yang mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kalau untuk ini, saya akan bawakan kepada Bapak dalil-dalilnya setebal kamus Munjid tentang perhatian Islam kepada fakir-miskin dan kaum lemah dari al-Qur`an dan sunnah. Dan itu lebih banyak daripada dalil tentang jilbab dan potong tangan.”

Dalam konteks keislaman saya sekarang ini, Islam Madani, maka mempersoalkan tradisi Ramadhan menurut saya sudah tidak relevan lagi. Apapun tradisinya bagi saya tidak menjadi masalah, yang penting dapat menumbuhkan spirit-spirit kemanusiaan dan kedamaian sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. melalui al-Qur`an dan Sunnahnya.

Sebagai manusia, saya bergabung dengan para penduduk planet bumi di dalam sebuah kapal. Saya dibawa berputar mengelilingi mentari. Setahun sekali saya bertemu lagi dengan hari kedatangan saya di kapal itu. Saya merayakan ulang tahun. Suatu saat, dalam sejarah alam semesta, saya harus meninggalkan kapal. Nama saya akan dicoret dari daftar penumpang. Bersama Nabi Ibrahim as., saya ingin mengantarkan doa ini dengan seluruh jeritan hati, “Tuhanku, anugerahkan pengetahuan kepadaku. Gabungkan aku dengan orang-orang yang saleh. Berikan kepadaku kemampuan meninggalkan kenangan indah (lisân shidq) bagi generasi sepeninggalku.” Kenangan indah apa lagi selain berusaha mendamaikan sesama muslim—sejak Muhammadiyah, NU, sampai Sunni dan Syi’ah. Dengan kenangan itu, saya ingin digabungkan dengan orang-orang saleh sepanjang sejarah—para imam, para ustadz, para tokoh agama, atau umat Muslim biasa pada umumnya. Dengan setiap orang yang berjuang untuk menegakkan masyarakat Muslim yang dibangun di atas saling menghormati dan saling mencintai.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

RAMADAN YANG MENGESANKAN

Oleh Dra. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum

[Ibu Negara RI Ke-4 – Ketua Umum Yayasan Puan Amal Hayati]

 

“Kalau ditilik dari segi esensinya, puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk makan secara teratur, yakni dua kali sehari (waktu buka dan sahur). Namun pada praktiknya, dana yang dikeluarkan lebih banyak di bulan Ramadhan ketimbang di bulan-bulan lainnya. Bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi di bulan Ramadhan, misalnya di dalam keluarga saya. Untuk buka kami biasa makan nasi, kolak, snack dan gorengan. Sebelum tidur kami juga masih menikmati snack, belum lagi makanan untuk sahur. Jadi, kalau dipikir-pikir, dalam tataran praktik, di bulan Ramadhan ternyata memang lebih boros.”

 

 

Suasana Ramadhan

Sebagai anak dari salah satu keluarga muslim, sejak kecil—umur 5 atau 6 tahun—saya sudah diajari berpuasa. Seperti biasa, orangtua mengajari saya puasa secara dogmatik—untuk tidak mengatakan memaksa. Saya tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan untuk apa berpuasa selain bahwa itu sebagai kewajiban dari agama. Dan memang tidak pernah sedikitpun terbesit di benak saya untuk mempertanyakannya. Dalam konteks ini, rasionalitas tidak mendapatkan ruang sama sekali. Orangtua tidak pernah membiarkan anaknya menggali kesadaran dari dirinya sendiri.

Saya merasa nyaman dengan suasana di kampung yang sangat natural. Suasana puasanya lebih terasa. Dari pagi saya sudah sibuk mengumpulkan berbagai jenis makanan untuk buka. Saya ingin makan ini, itu dan segala macam. Padahal saat berbuka, makanan-makanan itu tidak termakan semuanya. Malah yang sering terjadi, minum sedikit saja saya sudah merasa kenyang, dan tidak berselera lagi untuk menyantap makanan yang lain.

Di siang hari, ummi (ibu saya) rutin menyuruh saya bersama adik-adik untuk mengaji al-Qur`an dan dipimpin oleh beliau sendiri. Di depannya sudah tersedia sebuah penggaris yang setiap saat akan melayang ke tangan kami apabila bacaan kami ada yang salah. Malam harinya, setelah shalat Isya`, kami melakukan shalat Tarawih berjamaah di surau/langgar. Bagi saya saat itu, shalat Tarawih merupakan satu di antara sekian banyak ritual Ramadhan yang paling menyenangkan. Saya bersama adik-adik dan teman-teman saya berangkat ke surau/langgar bareng-bareng. Biasalah, sebagai anak-anak kecil yang masih suka bermain, kami bergurau dan bercanda. Keramaian karena berkumpulnya para jamaah di surau/langgar membuat kami bersemangat untuk hadir di sana.

Saya melihat perbedaan puji-pujian yang dibaca ketika shalat Tarawih antara dulu dan sekarang. Seingat saya, dulu kami membaca nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti “wujûd, qidam, baqâ`, mukhâlafat-u li al-hawâdits-i, qiyâmuh-u binafsih-i” dan seterusnya, di samping juga nama-nama dan sifat-sifat Nabi berikut ajaran-ajaran Islam lainnya yang sudah dikemas dalam bentuk syair yang dibuat oleh para ulama pesantren. Setelah shalat Tarawih, di surau/langgar biasanya ada kegiatan tadarus (ngaji al-Qur`an bersama).

Untuk anak kecil, termasuk juga saya waktu itu, yang paling sulit di bulan Ramadhan adalah dibangunkan untuk sahur sekitar jam 2 atau 3 dini hari. Biasanya sejak jam 2 ada beberapa orang yang berkeliling menabuh kentongan sambil berteriak-teriak membangunkan para penduduk kampung. Tetapi saya lebih suka melanjutkan tidur daripada bangun untuk sahur. Padahal, kalau tidak sahur besoknya ketika berpuasa saya kadang-kadang tidak kuat.

Kalau ditilik dari segi esensinya, puasa sebenarnya mengajarkan kita untuk makan secara teratur, yakni dua kali sehari (waktu buka dan sahur). Namun pada praktiknya, dana yang dikeluarkan lebih banyak di bulan Ramadhan ketimbang di bulan-bulan lainnya. Bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi di bulan Ramadhan, misalnya di dalam keluarga saya. Untuk buka kami biasa makan nasi, kolak, snack dan gorengan. Sebelum tidur kami juga masih menikmati snack, belum lagi makanan untuk sahur. Jadi, kalau dipikir-pikir, dalam tataran praktik, di bulan Ramadhan ternyata memang lebih boros.

Untuk hidangan buka dan sahur, yang menyiapkan adalah nenek saya yang dibantu oleh ummi dan seorang pembantu keluarga. Boleh dibilang, nenek saya adalah orang yang paling rajin di dapur. Mungkin beliau tidak terlalu percaya kepada ummi dan pembantu, kuatir masakan keduanya tidak enak. Makanya, beliau lebih sering memasak sendiri makanan untuk buka dan sahur. Dan tentu saja masakan beliau jauh berbeda dan lebih enak daripada di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan—kalau orang Jawa bilang, berkutengnya lebih banyak.

Terdapat beberapa kebiasaan di waktu kecil yang juga kerap saya lakukan di bulan Ramadhan, utamanya di siang hari sampai sore menjelang maghrib. Di antaranya adalah main di pinggir sungai yang tak jauh di sebelah rumah saya. Orang Belanda dulu menyebut sungai tersebut “Sungai Van Hengell”, dan kemudian orang Jawa menyebutnya “Sungai Penengel”. Di sana saya biasanya mandi dan menangkap ikan-ikan kecil, kermis (kijing) atau udang. Tetapi kalau kedapatan main di situ, saya langsung dimarahi oleh nenek. Mungkin beliau kuatir terjadi apa-apa dengan saya. Atau kalau tidak, saya biasanya pergi ke lapangan melihat anak-anak lelaki main layangan. Atau kadang-kadang saya pergi ke sawah mencari kinjeng (capung) dan kotrik (capung yang lebih kecil).

Semasa masih ada kakek, saya kadang pergi ke lapangan bersama beliau untuk menonton sepakbola. Melewati rumah-rumah penduduk, kemudian galengan (pematang) sawah. Sangat menyenangkan. Perpaduan antara hangat mentari senja dan angin yang berhembus sepoi-sepoi menghadirkan sensasi tersendiri.

Kebiasaan lainnya, saya bersama teman-teman suka berkeliling kota Jombang dengan berjalan kaki sambil membawa galah mencari buah kersen (buah kecil bulat berwarna merah dan rasanya manis). Kami memanjat pohonnya, kemudian mengambil buah-buahnya yang sudah matang dengan galah yang kami bawa.

Sambil berkeliling, kami juga mencari bungkus rokok untuk diambil capnya. Kami kumpulkan cap-cap rokok itu sebanyak mungkin. Kami menggunakannya sebagai mata uang mainan. Misalnya, kami membuat bioskop-bioskopan. Biasanya kami pakai senter yang diarahkan ke tembok. Gambarnya kami buat seperti wayang kulit. Siapapun dari teman-teman yang lain hendak menonton, harus membayar dengan menggunakan uang mainan dari cap bungkus rokok itu. Kalau tidak begitu, biasanya kami main bekel, sondah, gobak sodor, dll.

 

Ramadhan di Pesantren

Ketika sudah di pesantren, di bulan Ramadhan, kami mempunyai tradisi pindah-pindah pesantren. Sebenarnya saya adalah santri di Pesantren Tambak Beras. Kemudian di bulan Ramadhan, ketika sedang libur, untuk mengisi waktu luang saya mondok di Cukir. Dan di bulan Ramadhan berikutnya, saya mondok di pesantren yang lain. Kenapa harus pindah-pindah pesantren? Karena ada beberapa kitab di sebuah pesantren yang tidak diajarkan di pesantren lain. Katakanlah, misalnya di pesantren saya, untuk persoalan puasa, kitab yang dipelajari adalah “Fath al-Qarîb”, sementara di pesantren lain yang dipelajari adalah “Fath al-Mu’în”. Sehari-hari kegiatannya adalah ngaji kitab, full dari pagi sampai sore.

Pernah di bulan Ramadhan saya mondok di Singosari, di tempatnya Ust. Bashori Alwi, khusus untuk belajar al-Qur`an. Sebenarnya beliau tidak mempunyai pesantren. Hanya saja, pada saat itu, beliau dikenal sebagai seorang hafizh (penghafal al-Qur`an) yang ahli dalam hal qirâ`ât (mambaca al-Qur`an dengan lagu), sehingga banyak orang yang datang ke tempat beliau untuk belajar al-Qur`an. Nah, karena beliau tidak mempunyai asrama khusus santri seperti di pesantren-pesantren lain, maka mereka yang belajar di sana ngekost di rumah-rumah penduduk sekitar. Kalau saya dulu ngekost di kediaman Kiyai Nahrowi yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Ust. Bashori Alwi.

Di kediaman Kiyai Nahrowi, saya dengan teman-teman mendapatkan perlakuan berbeda dengan di pesantren pada umumnya. Makanan yang saya nikmati adalah makanan rumahan yang sengaja disediakan oleh Ibu Nyai khusus untuk para santri yang ngekost di sana. Boleh dibilang agak sedikit mewah. Tetapi tetap saja, untuk urusan-urusan lain seperti mencuci pakaian, saya biasa mengerjakannya sendiri.

Namun, saya perlu menggaris bawahi, bahwa kegiatan saya nyantri di bulan Ramadhan itu tidak bisa disamakan dengan pesantren kilat seperti yang belakangan sedang marak. Sebab, pada dasarnya saya adalah santri dari sebuah pesantren, tetapi kemudian pindah—untuk sementara waktu, antara 15 sampai 20 hari, dan itu pun karena sedang libur panjang—ke pesantren lain di bulan Ramadhan untuk mempelajari kitab atau ilmu lain yang belum diajarkan pesantren saya. Sementara di pesantren kilat, yang masuk ke dalamnya adalah mereka yang belum menjadi santri (belum pernah mengenyam pendidikan di pesantren). Di situ mereka diajari tentang ibadah, seperti shalat dll., secara kilat.

Setiap bulan Ramadhan kegiatan saya selalu begitu. Selain untuk mempelajari kitab, menambah pengalaman, juga untuk “ngalap berkah” atau “tabarrukan” dari para kiyai— untuk memperbanyak guru. Dan sejak zaman dulu, para ulama besar pesantren seperti Mbah Hasyim Asy’ari, sering pindah-pindah pesantren. Tujuan utamanya adalah untuk menambah ilmu, memperbanyak guru dan mendapatkan berkah dari setiap ilmu yang dipelajari.

Dari segi metode pengajiannya, sebetulnya tidak ada yang berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Bedanya hanya di materinya saja. Suasananya juga berbeda. Teman-teman menjadi semakin bertambah.

 

Pengalaman Puasa Bersama Gus Dur

Awalnya, setelah menikah, saya dengan Gus Dur tinggal di rumah ‘Mertua Indah’ di daerah Matraman. Pengalaman puasa dengan Gus Dur biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja yang enak dari dia adalah karena dia tidak pernah rewel terkait urusan makanan. Tidak banyak nuntut dan tidak merepotkan. Dia makan apa adanya, baik ketika buka, sahur, dan juga di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Makanan yang paling disukainya adalah soto—soto apa saja; soto ayam, soto babat dan jenis-jenis soto yang lain. Tetapi tentu saja tidak setiap hari Gus Dur saya suguhi makanan soto. Setiap harinya saya menyediakan menu makanan yang berbeda-beda agar tidak bosan.

Setelah mempunyai anak satu, kami kemudian pindah ke Jombang dan tinggal di Pesantren Denanyar. Saat itu saya mendapatkan pengalaman menarik. Di bulan Ramadhan, saya bersama keluarga pesantren yang lain diminta secara bergiliran menjadi imam shalat Tarawih di beberapa mushalla di kampung khusus untuk ibu-ibu muslimat.

Ada momen-momen di mana saya dan Gus Dur selalu bergotong-royong dalam pekerjaan di rumah tangga, pada saat-saat tidak ada pembantu. Hanya saja memang, karena badannya agak subur, dia suka melakukan pekerjaan yang ada unsur airnya. Misalnya, kalau dia mencuci baju, saya yang menyetrika. Kalau dia mencuci perabotan, saya yang masak. Kalau dia ngepel lantai, saya yang nyapu rumah. Artinya, dia tidak menyerahkan sepenuhnya seluruh pekerjaan rumah tangga kepada saya, tetapi ada pembagian kerja yang adil dan seimbang.

Dalam hal mengurus anak juga demikian. Biasanya, yang namanya anak bayi, kalau malam pasti bangun sambil menangis minta disusui. Gus Dur biasanya bangun duluan mengganti popoknya—dulu belum pempers seperti sekarang. Setelah popoknya diganti, lalu diangkat dan diserahkan ke saya untuk disusui.

Untuk menambah uang belanja, saya melakukan kerja sambilan, yaitu menjual kacang dan es. Pekerjaan itu saya kerjakan malam hari dengan dibantu seorang pembantu yang menggoreng kacangnya, kemudian saya yang membungkus kacang dan es tersebut. Esok harinya, barang dagangan itu dibawa oleh seorang penjual dan juga dititipkan ke warung-warung.

Gus Dur memang tidak pernah enggan untuk membantu saya. Baginya, tidak ada salahnya bila suami membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga. Rasulullah saw. sendiri, yang menjadi panutan umat Muslim, semasa hidupnya juga kerap melakukannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, di tengah-tengah kesibukan mengurus umat, beliau masih sempat menjahit bajunya sendiri.

Kalau diamati lebih jauh, kesukaan Gus Dur membantu saya dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah lebih disebabkan karena sifat romantisnya kepada saya. Harus saya akui, Gus Dur memang romantis. Dulu, ketika berada di luar negeri, Gus Dur mengirim surat-surat cinta kepada saya. Sayang sekali, surat-surat itu disimpan oleh ayah (abi) saya. Ketika rumah beliau dibongkar, lemari tempat menyimpan surat-surat itu hancur. Surat-surat itu pun hilang entah ke mana. Saya benar-benar sangat menyesalkan hal itu.

Setelah Gus Dur wafat di akhir tahun 2009, saya menemukan satu buku di antara sekian banyak buku yang dibawanya dari Baghdad-Irak. Di sampul depan buku tersebut tertulis beberapa kalimat dalam bahasa Arab dan Inggris yang ditujukan kepada saya. Tulisan tangannya sangat bagus. Kalimat pertama berbunyi, “Ma’a al-hubb wa al-tahannîy / with love and compliment” (Teriring rasa cinta dan penghormatan). Ternyata, buku tersebut dikirimkan Gus Dur kepada saya tahun 1966, tetapi tidak pernah sampai ke tangan saya. Baru setelah beliau wafat saya menemukan buku tersebut. Komentar menantu pertama saya, Mas Erman (suami Mbak Alissa), “Ya Allah bapak, masa’ kiriman bukunya baru sampai setelah 45 tahun.”

Pernah waktu di Jombang, saya dan Gus Dur naik becak. Saat itu sedang turun hujan. Biasanya, ketika turun hujan, tukang becaknya akan menutupkan tabir plastik di depan untuk melindungi penumpangnya supaya tidak terkena air. Begitu tabir plastik ditutupkan, Gus Dur tiba-tiba mencium saya. Kemudian saya bilang, “Hus…jangan gitu, nanti diintip tukang becaknya.” Dia malah menjawab, “Biarin aja, nanti biar tukang becaknya pingin.”

Sebagai seorang aktivis yang melayani masyarakat, kesibukan Gus Dur banyak sekali. Dia kerap meninggalkan saya dan anak-anak di rumah, bahkan di bulan Ramadhan sekalipun. Dia pergi ke Jakarta dan ke daerah-daerah lainnya. Mula-mula saya tidak mau ditinggalkan terus, bahkan saya sempat marah-marah sambil nangis. Tetapi lama-kelamaan saya bisa menerima itu, karena dilarang dan dicegah bagaimana pun dia juga akan tetap pergi. Kalau tidak pergi, bisa-bisa dia malah sakit.

Selama hidup dengan Gus Dur, setiap harinya saya tidak pernah melihatnya 24 jam berada di rumah. Paling lama hanya sejam atau beberapa jam, setelah itu dia pergi entah ke mana. Ada saja urusannya. Saat berada di rumah, yang dilakukannya adalah membaca buku. Yang dibacanya adalah buku-buku berbahasa Inggris, Prancis dan Arab. Ketiga bahasa ini sangat dikuasainya. Bahkan, karena senang dengan wayang kulit, dia juga menguasai bahasa Jawa Kuno (Sangsakerta). Atau kalau tidak membaca buku, biasanya dia tidur. Ketika anak-anak kami masih kecil, biasanya dia bermain bersama anak-anak sebentar, setelah itu dia tidur.

Lebih parah lagi ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Waktu itu kami sudah tinggal di Jakarta. Karena kesibukannya semakin banyak, dia hampir tidak pernah ada di rumah. Sampai-sampai dia sadar sendiri, katanya, “Kalau saya terlalu lama di luar, nanti kalau pulang ke rumah, anak-anak bisa pangling ke saya. Ketika pertama kali sampai rumah, mereka mungkin akan langsung bilang, ‘Nyari siapa, Om?’”

Gus Dur sering mengajak anak-anak untuk jalan-jalan. Mereka biasanya diajak ke toko-toko buku. Tetapi anak-anak kadang tidak mau. Mereka bilang, “Nggak mau ah! Soalnya kalau di tengah jalan bapak ketemu temannya, bisa-bisa kami dicuekin sama bapak.”

 

Puasa Dawud

Saat masih di pesantren, puasa yang saya lakukan bukan hanya puasa Ramadhan, tetapi juga puasa Senin-Kamis seperti disunnahkan oleh Nabi. Kemudian, saya melihat salah seorang teman saya melakukan puasa Dawud (puasa selang-seling; hari ini puasa, hari berikutnya tidak, dan begitu seterusnya). Saya berpikir, kok sepertinya enak banget. Saya mencoba melakukan, dan saya merasa mampu. Lama-lama itu menjadi kebiasaan.

Di masa-masa awal pernikahan saya dengan Gus Dur, saya masih tetap melakukannya. Lalu ketika hamil dan kemudian melahirkan, saya berhenti berpuasa Dawud. Saya mempunyai anak kecil, tidak mungkin melakukannya. Waktu terus berjalan, dan dalam suatu kesempatan di mana saya mempunyai banyak sekali waktu luang, saya mulai melakukannya lagi.

Sampai suatu saat saya mengalami kecelakaan dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadhan. Saya sangat bersyukur Allah masih menyelamatkan nyawa saya meskipun saya mengalami cedera amat parah. Dalam kondisi fisik yang sangat lemah, saya berhenti berpuasa, juga puasa Dawud. Kemudian, di bulan Ramadhan berikutnya, saya coba untuk berpuasa. Ternyata saya bisa dan kuat. Ketika bulan Ramadhan itu usai, saya melanjutkannya dengan puasa Dawud. Belakangan, ketika bapak mulai sering sakit, saya melakukan puasa setiap hari sampai sekarang. Tetapi saya jarang makan sahur, dan jarang sekali makan nasi. Biasanya saya hanya minum air putih dan tiga potong kue. Itupun saya sudah merasa sangat kenyang.

Tidak ada tujuan atau motivasi apapun di balik puasa yang saya lakukan setiap hari selain niat karena Allah. Saya banyak menemukan di masyarakat, ibu-ibu berpuasa untuk kelulusan anak-anak mereka menghadapi ujian sekolah. Atau untuk suami-suami mereka agar selalu sukses dalam meniti karir, baik di bidang usaha maupun politik. Malah sekarang saya banyak juga menemukan ibu-ibu pejabat yang melakukan puasa.

Saya tidak seperti itu. Saya tidak mempunyai pikiran apa-apa. Pokoknya saya berpuasa, dan itu semata-mata karena Allah. Anak-anak pernah bertanya kepada saya, “Ibu puasa tiap hari untuk apa?” Saya jawab, “Ya bukan untuk apa-apa, tetapi karena Allah.”

 

Sahur Keliling

Gus Dur diangkat menjadi presiden RI Ke-4. Kami sekeluarga mendapat hak menduduki istana negara. Memasuki bulan Ramadhan, melalui Yayasan Puan Amal Hayati yang saya dirikan jauh sebelumnya, sebuah gagasan saya cetuskan, yaitu sahur bersama kaum dhu’afa. Caranya adalah membeli makanan di warteg-warteg dan kemudian membagi-bagikannya kepada mereka yang membutuhkan, utamanya kaum dhu’afa. Waktu itu lingkupnya masih terbatas di wilayah Jakarta saja.

Kenapa sahur bersama? Kenapa bukan buka bersama? Karena buka bersama sudah banyak yang mengadakan. RT, RW, gedung bertingkat, hotel, partai politik hingga para pejabat tinggi negara, semuanya mengadakan. Namun saya heran, sebab orang-orang yang diajak berbuka kebanyakan kadang tidak berpuasa. Jangankan yang diajak, orang yang mengajak pun bahkan tidak berpuasa. Padahal tujuan buka itu untuk membatalkan puasa.

Berbeda dengan sahur bersama yang saya adakan. Setiap malam, dengan didampingi beberapa teman, saya berkeliling ke berbagai tempat di Jakarta, seperti di kolong-kolong jembatan dan perkampungan kumuh, membagi-bagikan nasi kotak kepada para fakir-miskin dan orang-orang di jalanan. Tujuannya untuk apa? Mengajak mereka untuk berpuasa. Dan saya selalu menekankan itu kepada mereka. Inilah bedanya antara buka bersama dan sahur bersama. Sebelumnya saya memberikan sedikit pengantar tentang makna dan hikmah puasa yang sebenarnya. Ketika sedang makan sahur, kami selingi dengan tanya-jawab tentang berbagai masalah kehidupan serta kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

Buka bersama yang diadakan oleh para pejabat umumnya mengajak para sahabat dan kolega yang secara ekonomi mereka mampu. Demikian juga yang diadakan oleh partai-partai politik. Para mitra, kolega dan konstituen yang diundang berbuka adalah orang-orang ‘berkantong tebal’ alias banyak duit. Hidangan yang mereka sajikan bukan makanan biasa, melainkan makanan berkelas dan super mewah. Lantas di mana letak kepedulian mereka terhadap rakyat kecil?

Adapun sahur bersama yang saya dan teman-teman adakan benar-benar mengajak orang-orang tidak mampu, kaum lemah, kaum yang terpinggirkan dan kaum yang tidak dianggap keberadaannya. Makanan yang kami bagikan hanyalah nasi kotak. Saya berbaur dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Saya katakan kepada mereka, bahwa di samping bersilaturrahim, bersahur bersama, saya juga belajar tentang makna hidup dan kehidupan yang sebenarnya dari saudara-saudara saya yang kurang beruntung itu.

Setelah Gus Dur dilengserkan, kegiatan sahur bersama itu tetap diadakan. Malah masyarakat di daerah-daerah juga meminta agar itu tidak hanya diadakan di Jakarta saja, tetapi juga di daerah-daerah. Nah, sejak itu kami mengadakan sahur keliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Tiada tujuan dari kegiatan itu selain hanya untuk berbagi rasa dan membuat orang lain bahagia.

Beberapa teman ada yang mengusulkan agar dalam kegiatan itu juga mengajak orang-orang dari agama lain. Saya setuju dan kemudian kami mencobanya. Ternyata, itu mendapat sambutan sangat luar biasa dari Romo Beni dari Keuskupan, Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) dan kelompok-kelompok lain. Oleh karena itu, kadang-kadang kami berbuka/sahur di Klenteng, kadang-kadang di halaman Gereja.

Kami kerap mengadakan sahur keliling di Jawa Timur, seperti di Pasuruan, Probolinggo, Jember dan daerah-daerah lainnya. Sebenarnya, dari segi fisik, saya dan teman-teman merasa letih sekali. Tetapi demi untuk berbagi kasih dan kehangatan kepada kaum dhu’afa, kami tetap melanjutkannya. Malah masyarakat di Jember berharap itu bisa diadakan lebih dari 1 hari. Mereka tidak mau kalau hanya 1 hari saja. Bahkan kadang, satu malam kami bisa di dua tempat mengadakan sahur bersama, yakni jam 1 dan 3. Jadi, dalam sebulan, kami bisa mengadakan di 35 tempat di berbagai daerah. Padahal bulan Ramadhan hanya 29 – 30 hari.

Kegiatan sahur keliling itu bukan tanpa perencanaan yang matang. Tiga bulan sebelum Ramadhan, saya sudah menghubungi cabang-cabang Yayasan Puan Amal Hayati yang ada di daerah; Inderamayu, Tasikmalaya, Lombok, Malang, Jember, Probolinggo dan Sumenep. Saya minta mereka membentuk panitia lokal.

Sampai sekarang, kegiatan tersebut masih terus berlangsung. Terdapat nilai-nilai pluralisme yang kami usung. Dalam berbagai kesempatan saya selalu menekankan, bahwa puasa memang mengajarkan untuk hidup rukun, saling merasakan penderitaan orang lain, saling menyayangi, saling menghormati, saling bergotong-royong dan menjalin persaudaraan antara sesama warga negara, termasuk dengan para penganut agama lain. Inilah sebetulnya maksud ayat al-Qur`an yang artinya, “Wahai sekalian para manusia, sesungguhnya Aku (Allah) menjadikan kamu sekalian bersuku-suku dan bergolong-golongan agar kamu sekalian saling berkenalan dan bergaul dengan sebaik-baiknya, karena sesungguhnya orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah orang yang bertakwa,” [QS. al-Hujurat: 13]. Sedang maksud dari “la’allakum tattaqûn” (agar kalian bertakwa) di dalam ayat al-Qur`an [QS. al-Baqarah: 183] sehubungan dengan kewajiban puasa, adalah menjaga moralitas dan etika serta hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam bingkai moralitas ini, terkandung nilai-nilai kesabaran, kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan nilai-nilai luhur lainnya.

Selama ini yang saya amati, masyarakat Muslim umumnya beranggapan bahwa berpuasa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban agama tanpa mengerti hikmah dan tujuan puasa itu sendiri. Akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga, karena mereka memang tidak mengerti. Oleh karena itu, dengan kegiatan sahur keliling itu, saya berharap masyarakat dapat mengerti makna dan hakikat puasa yang sesungguhnya.

 

Mudik

Ketika berada di Jakarta (di rumah mertua bersama Gus Dur), mudik tidak mesti untuk berlebaran. Kapanpun, kalau memang diperlukan, kami biasa mudik ke Jombang. Kemudian, setelah mempunyai anak dan tinggal di Jombang, kalau lebaran kami pasti mudik ke Jakarta. Waktu itu kami naik kereta api Matarmaja (Malang, Blitar, Madiun, Jakarta). Atau kadang kami naik kereta api yang lebih bagus dengan harga tiket yang tentunya lebih mahal.

Ada hal yang paling berkesan dengan Gus Dur ketika berada di dalam kereta api. Saat sudah ngantuk, tidak peduli banyak orang atau tidak, dia pasti akan langsung tidur. Dan tidurnya bukan di atas kursi, melainkan di bawah beralaskan koran dan sebuah bantal sewaan. Terserah mau dilangkahi orang, pokoknya tidur saja. Sementara saya sendiri tidurnya di atas kursi.

Untuk keperluan buka dan sahur kami tidak mau ambil pusing, karena untuk mendapatkan makanan di atas kereta memang sangat mudah. Banyak orang yang berjualan makanan. Apalagi ketika kereta berhenti sebentar di stasiun Cirebon. Para penjual makanan berjubel naik ke dalam menawarkan berbagai jenis makanan. Kami tidak pilih-pilih makanan, apapun yang ada, mau nasi pecel atau apalah, kami langsung membelinya dan kemudian memakannya bersama-sama. Kami menikmatinya di tengah-tengah keriuhan suara manusia di dalam kereta yang tidak jauh beda dengan pasar.

 

Idul Fitri

Banyak hal yang harus disiapkan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Di antaranya adalah kue dan makanan-makanan lainnya. Selain itu, juga baju baru untuk saya, Gus Dur dan anak-anak. Untuk urusan kue dan makanan, saya sendiri yang menyiapkan semuanya dengan dibantu oleh anak-anak, karena anak saya perempuan semua.

Kemudian, untuk urusan baju baru, saya juga yang mengurusnya. Bahkan saya yang menjahitnya sendiri, kecuali baju untuk Gus Dur. Jadi, saya yang membeli kainnya di toko. Saya pilih yang terbaik menurut saya. Setelah itu saya potong-potong sesuai ukuran badan anak-anak, lalu saya jahit hingga menjadi baju-baju yang indah dan cantik. Gus Dur kadang protes ke saya, “Kalau anak-anak dibuatin baju, kalau saya tidak.”—tentu saja ini hanya bercanda saja.

Baju untuk Gus Dur memang bukan saya yang menjahit, sebab Gus Dur mempunyai penjahit langganan. Tetapi, yang memotong dan merapikan rambutnya saya sendiri. Dari dulu sampai saya kecelakaan, untuk urusan potong rambut, Gus Dur selalu mempercayakannya kepada saya. Di dalam keluarga, banyak hal yang saya bisa dan menjadi hobi saya; memasak, menjahit, memotong rambut, merangkai bunga, dll.

Hobi-hobi saya itu pernah saya ajarkan di pesantren, khususnya kepada para santri putri. Oleh karena itulah, setiap kali pergi keluar negeri, Gus Dur selalu membelikan saya buku-buku mode, bordil, merangkai bunga, dll. Gus Dur berharap buku-buku tersebut akan membuat saya senang dan pengetahuan saya tentang semua itu semakin luas dan matang.

Tradisi lebaran Idul Fitri antara Jombang dan Jakarta berbeda. Kalau di Jombang  penyajian ketupat biasanya dilakukan pada hari ke tujuh setelah lebaran, yang disebut Lebaran Ketupat. Tetapi makanan tersebut tidak disuguhkan untuk para tamu yang berkunjung ke rumah, melainkan dikirim ke sanak keluarga dan tetangga. Sementara kalau di Jakarta, ketupat dan lauk-pauknya serta kue-kue, dihidangkan pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri untuk disantap oleh tamu yang datang bersilaturrahim.

 

Tradisi Nyekar dan Sungkem

Saat saya masih kecil biasanya ada tradisi nyekar atau ziarah kubur. Ayah saya sering melakukannya ke makam kakek dan para kiyai. Tetapi beliau tidak pernah mengajak saya dan ibu, karena perempuan memang tidak lazim berada di kuburan. Apalagi kami hidup di lingkungan pesantren. Begitu pun ketika saya sudah hidup bersama dengan Gus Dur. Dia melakukan ziarah ke makam-makam para leluhurnya. Sama seperti ayah saya, Gus Dur tidak pernah mengajak saya dan anak-anak. Dia tidak pernah mewajibkan kami melakukannya.

Tradisi sungkem juga ada. Ketika masih anak-anak, di Hari Raya Idul Fitri saya bersalaman dan meminta maaf kepada ayah dan ibu. Kemudian keduanya mengajak saya untuk mengunjungi rumah orang-orang yang lebih tua dan para sesepuh. Kami bersalaman dan meminta maaf. Keakraban dan jalinan silaturrahim di kampung memang sangat kuat, antara satu dengan yang lain saling peduli, saling bersimpati dan berempati. Tidak ada seorang pun yang merasa hidup terasing dan terabaikan, atau bahkan tersisihkan karena kemiskinan.

Sesudah menikah dan hidup dengan Gus Dur, tradisi sungkem menjadi tidak penting. Kami jarang melakukannya. Saya memang bersalaman dengannya, tetapi ketika saya meminta maaf dia hanya diam saja. Tidak memberikan respon apapun walaupun sekedar mengangguk, karena menurutnya, antara suami-istri semestinya memang harus selalu saling memaafkan, meskipun tidak ada acara saling minta maaf. Tradisi sungkem dan meminta maaf hanyalah formalitas belaka. Dari dulu Gus Dur memang tidak menyukai formalitas.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, saya dan anak-anak mencoba membiasakan sungkeman. Tetapi tetap saja Gus Dur tidak suka. Saat kami mau bersalaman, dia bilang, “Ayo cepat, cepat! Salamannya jangan lama-lama!”

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

SEMARAK RAMADHAN, BUKAN KONSUMERISME

Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

[Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Cendikiawan Muslim Indonesia]

 

“Di bulan Ramadhan konsumsi pasti mengalami peningkatan, tetapi itu tidak berarti juga peningkatan konsumerisme. Harus dibedakan antara peningkatan konsumsi dengan peningkatan konsumerisme. Contohnya, di bulan Ramadhan banyak orang yang merasa ada kelebihan rizki menyediakan makanan untuk ifthâr (buka puasa) atau sahur, baik di masjid maupun di rumah sendiri. Seperti saya dan keluarga yang kadang diminta oleh beberapa masjid di kampus dan lingkungan pertetanggaan untuk menyediakan makanan ifthâr atau sahur. Ketika saya melakukannya, konsumsi saya meningkat. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan konsumerisme. Saya dan keluarga hanya mencoba untuk berbagi dengan orang lain sebagai upaya meningkatkan kesalehan sosial.”

 

 

SAYA berasal dari Pariaman, Alam Minangkabau, yang sejak masa kemerdekaan menjadi Provinsi Sumatera Barat. Kalau Abak (ayah) berasal dari dusun Duku, Sungailimau, tidak jauh dari Pariaman, ibukota Kabupaten Padang/Pariaman. Sementara Amak (ibu) berasal dari dusun Cimpago, Kampungdalam, juga dekat kota Pariaman. Sekarang Sungailimau dan Kampungdalam menjadi dua kecamatan di Kabupaten Padang/Pariaman.

Para sejarawan hampir sepakat menyebut daerah Pariaman, wilayah pesisir barat, sebagai asal-muasal datangnya Islam. Islam menurut mereka datang pertama kali di Ulakan, tempat ulama besar Syaikh Burhanuddin, tokoh terkemuka Tarekat Syattariyah, yang makamnya di Ulakan sampai sekarang menjadi pusat ‘basapa’ (‘bersafar’) dan ibadah-ibadah lain para pengikut tarekat tersebut.

Sementara daerah pegunungan seperti Bukittinggi, Padangpanjang, Batusangkar, Payakumbuh, yang semuanya merupakan wilayah Bukitbarisan, disebut sebagai darek (darat, dataran tinggi, highland), tempat sumbernya adat. Sehingga orang-orang yang tinggal di daerah-daerah tersebut diklaim atau mengklaim diri sebagai masyarakat yang lebih beradat.

Berdasarkan pembagian Alam Minangkabau menjadi pasisia (pesisir) dan darek (dataran tinggi), maka ada ungkapan Minang, “Syara’ mendaki adaik menurun”. Maksudnya ungkapan ini adalah: Islam datang dari pesisir Pariaman, lalu naik ke dataran tinggi atau daerah pedalaman. Sedangkan adat turun dari wilayah dataran tinggi ke daerah pesisir.

Sekarang ini, kalau nama Pariaman disebut, ada orang-orang—apakah Minang atau non-Minang—yang berkomentar, “Wah, itu tempat di mana laki-laki dibeli, ya.” Saya sebagai orang Pariaman sulit membantah. Karena memang ada sebuah kebiasaan yang sudah ‘mentradisi’ di Pariaman yang menurut saya muncul belakangan, sekitar tahun 1970-an ke atas. Saat masih kecil di kampung pada 1960-an saya belum menemukan tradisi tersebut.

Tradisi yang saya maksud adalah dalam perkawinan, di mana keluarga calon mempelai perempuan memberikan sejumlah uang atau materi kepada mempelai laki-laki. Orang-orang Pariaman menyebut uang atau materi pemberian dari pihak perempuan itu dengan ‘uang hilang’. Besar-kecilnya tergantung status laki-laki calon mempelai; apakah ia sarjana atau tidak, kalau ia sarjana, maka sarjana apa. Kalau dokter, misalnya, jelas berbeda jumlah ‘uang hilang’-nya jika dibandingkan dengan SH, atau Drs.

Pihak mempelai laki-laki meminta ‘uang hilang’ tersebut dengan alasan—katanya—untuk biaya awal hidup berumah tangga. Misalnya, kalau kedua mempelai ingin mengontrak rumah, ya bisa diambil dari uang itu. Kata mereka, nanti uang tersebut akhirnya kembali juga kepada si mempelai perempuan. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Karena kemudian yang sering terjadi justru ‘uang hilang’ itu benar-benar ‘hilang’ diambil oleh pihak keluarga laki-laki. Di antaranya mungkin dipakai untuk biaya baralek (berhelat, walimah al-‘ursy resepsi pernikahan). Atau mungkin sebagian diberikan kepada anak laki-lakinya, sang pengantin.

Dalam tradisi itu, orangtua mempelai laki-laki mempunyai otoritas penuh dan hak untuk menentukan. Tidak bisa, misalnya, laki-laki dan perempuan menjalin hubungan ‘suka sama suka’ atau pacaran, lalu keduanya sepakat untuk menikah dan tidak ingin mengikuti tradisi yang berlaku tersebut, menikah tanpa ‘uang hilang’. Keduanya tetap harus mengikuti kemauan dan kesepakatan keluarga tentang ‘uang hilang’ tersebut. Tidak bisa tidak.

Banyak kritik terhadap tradisi ‘uang hilang’ tersebut, baik dari alim ulama, pemuka adat dan pemimpin pemerintahan. Tetapi tradisi itu sebagian besarnya nampak terus bertahan; dan nampaknya sudah menjadi semacam ‘gaya hidup’ dan ‘gengsi’.

Pada akhir 1940-an Abak dan Amak pindah ke Lubukalung, yang belakangan sering disingkat sebagai ‘LA’, yang terletak sekitar 25 km di selatan kota Pariaman, dan sekitar 30 km di sebelah utara kota Padang, di lintasan jalan raya Padang-Padangpanjang untuk terus ke Bukittinggi, Payakumbuh dan Pekanbaru; atau Padangpanjang untuk bisa terus ke Batusangkar, Solok dan wilayah timur Sumbar dan terus ke Jambi. Jadi, LA adalah wilayah urban, ramai dengan lalu lintas bus dan truk antar kota-antar provinsi.

Pada awal 1950-an Abak dan Amak dikaruniai dua orang anak laki-laki. Namun sayang, kedua kakak laki-laki saya ini tidak berumur panjang. Mereka meninggal sejak kecil. Setelah itu, sekitar tahun 1951, orangtua saya dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Raazni, yang setelah menikah sampai kini menetap di Jambi. Lalu pada tahun 1953 kembali dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Azriati, yang sekarang menetap di LA. Dan setelahnya, tahun 1955 saya yang dilahirkan. Setelah saya masih ada lagi tiga orang adik; laki-laki, Azwirman, yang meninggal pada usia sekitar 20 tahun karena penyakit jantung bawaan; lalu adik perempuan, Azmailis, yang kini menetap di Parung, Kabupaten Bogor; dan terakhir Buyung Azril, yang menetap di LA. Jadi, putra-putri orangtua saya—dengan yang sudah meninggal—seluruhnya berjumlah 8 orang.

Di Lubukalung rumah kami berada di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi; di belakang rumah terdapat pasar yang hari pekannya adalah setiap hari Selasa. Artinya, kami tinggal di daerah yang sebetulnya bisa dibilang urban; bahkan di rumah sering menumpang tidur pedagang babelok, keliling dari satu pekan ke pekan lain. LA adalah salah satu wilayah urban di mana proses urbanisasi mengakibatkan realitas hidup sehari-hari tidak sepenuhnya sesuai dengan adat dan tradisi Minangkabau.

Yang paling jelas adalah Abak mengambil peran dan tanggungjawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Kontras dengan tradisi di mana mamak (saudara laki-laki Amak) bertangungjawab pula terhadap para kemenakan (keponakan)nya. Sang mamak di wilayah urban seperti LA sebaliknya memikul tanggungjawab terhadap anak-anaknya sendiri. Paling banter, mamak hanya diberitahu hal-hal penting semacam rencana pernikahan; tetapi tidak mengambil keputusan. Saya punya dua mamak yang persis memiliki posisi seperti itu.

Hal penting lain, berbeda dengan tradisi di desa Minang zaman itu, saya sejak kecil tidak pernah tidur di surau seperti kalau tinggal di kampung. Saya tidur di rumah saya sendiri, tidak seperti anak-anak Minang lain yang suka tidur di surau. Tetapi, seperti lazim dalam tradisi Minang, anak laki-laki seperti saya di LA sekalipun tidak punya kamar sendiri; kamar hanya untuk anak-anak perempuan. Jadi, saya tidur di mana saja di dalam rumah, yang penting bisa berbaring.

Waktu itu adalah masa-masa yang sangat sulit secara ekonomi bagi masyarakat Sumatera Barat. Kita tahu di akhir kepemimpinan Bung Karno kondisi ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan. Waktu itu saya ingat kami sekeluarga makan nasi bulgur (beras campur jagung). Itupun sangat susah untuk mendapatkannya, belum lagi lauk-lauknya yang juga tidak mudah didapat oleh masyarakat.

Abak pada waktu itu mendapatkan nafkah sebagai tukang kayu dan tukang batu. Bisa dibayangkan betapa susahnya menafkahi keluarga yang cukup besar berjumlah 12 orang: Abak dan Amak dengan enam anak kandung; dua anak tiri Amak; dan dua saudara sepupu, yang orangtuanya sudah meninggal. Tetapi Abak dan Amak tidak pernah mengeluh.

Dalam kesulitan berlapis itu, untuk makan sehari-hari, beras dan jagung dicampur lalu dimasak. Setelah matang dikepal-kepal dengan menggunakan minyak kelapa, lalu dikasih sedikit garam. Lauknya kadang ikan asin, atau kadang telur yang dicampur dengan parutan kelapa agar bentuknya menjadi lebih besar ketika digoreng sehingga bisa mencukupi untuk dimakan kami sekeluarga. Tidak ketinggalan juga sambel yang menjadi penambah selera.

Di samping kesulitan dalam hal ekonomi, juga ada problem politik. Pada akhir 1950-an sampai awal tahun 1960-an di Sumatera Barat terjadi pemberontakan PRRI. Saya ingat vividly, pada waktu itu adanya tentara—dikenal dengan tentara Jawa, karena mereka memang berasal dari Jawa—berseliweran di berbagai tempat di Sumatera Barat untuk meredam pemberontakan. Karena rumah saya berada di pinggir jalan, saya dapat melihat mereka bergerak dengan panser-pansernya yang suaranya menderum dan membuat bumi seolah bergetar.

 

Puasa Ramadhan

Kedua orangtua saya adalah orang-orang yang sangat taat dalam beragama. Abak adalah tamatan sekolah teknik rendah. Meski bukan dari sekolah agama tetapi beliau sangat rajin beribadah. Sehari-hari pekerjaan beliau mula-mula sebagai tukang kayu dan tukang batu, kemudian sebagai pedagang. Waktu itu saya ingat beliau berdagang cengkeh dan kopra. Dari situ beliau mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya. Sebagian beliau tabung agar bisa dimanfaatkan di masa-masa mendatang, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

Saya masih ingat menjelang pemberontakan G30S/PKI pada 1965, Abak menggali lubang yang cukup dalam di belakang rumah. Beliau mengatakan, penggalian lubang itu atas perintah pemerintah setempat, sebagai tempat berlindung yang aman ketika negara-negara Nekolim menyerbu Indonesia. Belakangan saya tahu, bahwa lubang itu adalah untuk Abak dan keluarganya jika PKI berhasil dalam kudeta; dan membasmi orang-orang yang mereka anggap taat beragama, termasuk Abak dan Amak. Tetapi—kita tahu semua—pemberontakan  PKI gagal, sehingga kami sekeluarga tetap selamat.

Sedangkan Amak adalah tamatan Madrasah Al-Manar di Kampungdalam, sebuah lembaga pendidikan yang dilihat dari namanya ada hubungannya dengan gerakan modernis Islam yang dicetuskan Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha di Kairo, Mesir. Dengan bekal ilmu dari Madrasah Al-Manar itu pada awal tahun 1960-an Amak menjadi guru agama PNS di sebuah SDN Jambak, sekitar 5 km dari LA setelah melalui seleksi UGA (Ujian Guru Agama) yang diselenggarakan di masa Menteri Agama Muhammad Dahlan.

Saya dan saudara-saudara saya belajar agama hanya kepada Amak di rumah. Maksudnya, kami belajar agama bukan di luar rumah seperti di masjid atau di surau sebagaimana anak-anak lain di pedalaman Sumatera Barat. Amak sepenuhnya bertanggungjawab dalam soal pendidikan dan pengajaran pengetahuan serta keterampilan praktis agama seperti membaca al-Qur`an, shalat, puasa dan lain sebagainya. Sementara Abak tidak banyak ikut campur. Paling banter beliau hanya melakukan koreksi bila mendapati salah seorang dari kami salah ketika membaca dan melafazhkan ayat-ayat al-Qur`an.

Menjelang Ramadhan kami, anak-anak, kadang pergi balimau (berlimau), yaitu mandi di sungai Batang Anai yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Di sana, bersama para penduduk lainnya (laki-laki dan perempuan), kami membersihkan badan dengan air sungai yang sudah ditaburi daun-daun atau bunga-bunga wangi seperti mawar, melati, dan lain-lain. Tradisi mandi secara komunal ini sudah ada sejak dulu, yang hingga sekarang masih ada. Tujuannya adalah membersihkan badan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.

Ada beberapa ulama—yang biasa disebut ‘Buya’—di Sumatera Barat yang menolak tradisi balimau. Menurutnya, tidak pantas laki-laki dan perempuan bercampur dan mandi bersama-sama dalam satu sungai. Tetapi mereka tidak sampai membid’ahkan. Sebenarnya, kalau dilihat lebih cermat, laki-laki dan perempuan di sungai itu tidak bercampur-baur seperti yang mungkin dibayangkan sementara orang. Mereka terpisah oleh jarak tepian-tepian sungai yang lumayan jauh. Karena sungai Batang Anai itu panjang sekali. Sehingga antara mereka tidak bisa saling mendekat dan melihat.

Menjelang Ramadhan juga biasanya ada tradisi Pawai Obor. Puluhan atau bahkan ratusan anak-anak, remaja dan pemuda berjalan berkeliling kampung dengan membawa obor bambu. Kegiatan ini juga menunjukkan antusiasme masyarakat Muslim di sana dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Nah, karena di Sumatera Barat sangat kental dengan tradisi Muhammadiyah, tradisi-tradisi seperti nyekar (ziarah) yang menjadi kebiasaan masyarakat Muslim di Jawa boleh dibilang hampir tidak ada. Saya sendiri, misalnya, tidak pernah diajak Abak atau Amak untuk berziarah ke kuburan kakek, baik sebelum maupun sesudah Ramadhan. Kebanyakan orang Minang sampai sekarang tidak biasa melakukan ziarah kubur; dan juga hampir tidak ada makam yang disucikan, atau dianggap sebagai kuburan ‘wali’.

Dalam mengajarkan puasa, Abak dan Amak boleh dibilang cukup keras. Di usia 5-6 tahun saya sudah harus bisa berpuasa penuh. Kedua orangtua saya itu, terutama Abak, tidak bisa menerima alasan apapun dari saya dan anak-anaknya yang lain untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Kalau ketahuan, pasti dia akan sangat marah.

Di sore hari, tidak ada yang kami lakukan di rumah selain terus membantu Abak bekerja seperti hari-hari di luar Ramadhan ditambah mengaji sedikit-sedikit pada habis Ashar untuk mengisi kekosongan menjelang berbuka. Dari Abak pula saya terus ingat pesannya sampai sekarang, “Awak kalau puaso jan puaso ula; malam jago, siang lalok taruih ndak ado karajo,” (Kita kalau puasa jangan puasa ular, malam terus bangun, siang tidur terus tidak melakukan apa-apa).

Belum ada televisi pada waktu itu untuk sekedar menghibur diri melepas kepenatan dan keloyoan. Tidak ada pula kegiatan yang dalam bahasa Sunda disebut ngabuburit, melewatkan waktu menunggu waktu buka puasa tiba. Orangtua melarang kami keluar rumah bermain-main. Mungkin maksudnya agar kami lebih mudah diawasi. Sebab, bukan tidak mungkin ketika berada di luar rumah, di luar pengawasan orangtua, puasa kami menjadi batal karena satu dan lain hal.

Saya mengalami, dalam soal makanan di rumah, antara bulan Ramadhan dan hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan tidak banyak perbedaan. Hal ini terkait kondisi umum masyarakat Sumatera Barat yang pada waktu itu terbelit kesulitan ekonomi. Dalam keluarga saya, khususnya, baik untuk buka ataupun untuk sahur, makanannya sangat sederhana. Paling banter tambahannya cuma kolak dan minuman yang manis-manis; biasanya berbuka langsung makan.

Di bulan Ramadhan, kami tidak hanya berpuasa saja, tetapi juga melaksanakan ritual-ritualnya yang lain, seperti shalat Tarawih. Setelah buka dan shalat Maghrib di rumah, saya bersama keluarga pergi ke Masjid Raya Pasar Lubukalung untuk melaksanakan shalat Tarawih. Lokasi masjid tersebut tidak begitu jauh dari rumah—sekitar 500-an meter saja.

Masjid Raya LA, seperti umumnya di masjid-masjid lain di Sumatera Barat dalam hal shalat Tarawih mengikuti yang 11 rakaat; Tarawih 8 rakaat dengan dua kali salam. Ditambah witir 3 rakaat satu kali salam. Bacaan imamnya juga biasa dan datar saja, tidak cepat dan tidak lambat. Waktu itu belum lazim adanya kultum (kuliah tujuh menit) atau pemberian taushiyah seperti yang marak saat ini di masjid-masjid di seluruh Indonesia. Jadi, shalat Tarawih dilaksanakan langsung setelah shalat Isya`. Setelah shalat Tarawih para jamaah langsung pulang ke rumah masing-masing.

Agar malam-malam bulan Ramadhan tidak sepi, pengurus masjid mengadakan tadarus, yaitu mengaji bersama untuk mengkhatamkan al-Qur`an. Tadarus ini hanya diikuti oleh orang-orang yang sudah dewasa, yang kemampuan membaca al-Qur`annya cukup bagus. Tetapi, tadarusan ini tidak disiarkan melalui loudspeaker, seperti sering terjadi di masa sekarang. Lagi pula, anak-anak kecil tidak boleh ikut. Alasannya mungkin karena dikuatirkan mereka lebih banyak bergurau sehingga menimbulkan kegaduhan di masjid.

Jika waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, kami pun semua dibangunkan untuk makan sahur; tidak ada anak-anak dan remaja yang keliling pasar membunyikan kentongan sambil meneriakkan, “sahur, sahur, sahur”. Dengan nasi dan lauk seadanya kami makan. Tidak ada protes atau perasaan kecewa di dalam diri kami saat menyantap makanan yang itu-itu saja. Bisa makan saja setiap harinya kami sudah sangat bersyukur. Dapat dibayangkan, kami berpuasa mulai dari sesudah makan sahur (sekitar pukul 2 malam) sampai Maghrib (sekitar pukul 6 sore). Kalau dihitung-hitung, sekitar 17 sampai 18 jam kami berpuasa. Relatif lebih panjang puasanya dibanding mereka-mereka yang mulai bersahur di saat mendekati waktu Imsak (sekitar pukul 4 malam) seperti lazim sekarang ini. Setelah sahur kami tidak boleh tidur. Bagaimana pun kerasnya rasa kantuk menyerang harus bisa ditahan. Kami hanya dibolehkan untuk tidur setelah melaksanakan shalat Shubuh. Itupun kalau ada yang mau tidur.

Saya berada di Lubukalung sampai tahun 1968 (setelah tamat SD dari tahun 1963 – 1968). Setelah itu, pada tahun 1969, saya pindah ke kota Padang untuk melanjutkan sekolah di PGAN 6 Tahun (1969 – 1975). Di kota Padang saya menempati rumah sendiri, yang dibeli Abak sekitar awal-awal tahun 1968. Ketika masih berada di Lubukalung, setiap sore di bulan Ramadhan saya paling hanya duduk-duduk saja di rumah tanpa aktivitas apapun selain mengaji sebentar.

Pindah ke kota Padang, saya banyak menyibukkan diri dengan membaca buku-buku cerita dan komik yang saya sewa di kios penyewaan di samping Bioskop Raya, Pasar Raya kota Padang. Kebetulan di sana ada tempat khusus untuk menyewa buku, khususnya buku-buku cerita dan komik. Di antara buku-buku yang pernah saya baca saat itu adalah serial cerita kependekaran seperti karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo, cerita detektif seperti “James Bond”, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, membaca bukanlah hal baru bagi saya. Sejak masih di Lubukalung saya sudah terbiasa membaca potongan-potongan koran. Di Pasar Lubukalung saya temukan koran-koran bekas yang terbuang karena tidak terpakai lagi. Saya pungut dan saya baca. Bahkan jauh sebelum masuk SD saya sudah diajari membaca oleh Abak dan Amak. Mula-mula saya diajari mengeja huruf nama-nama bus antar kota yang lewat setiap waktu di depan rumah.

Dari situlah minat saya dalam membaca mulai tumbuh. Sebelum melanjutkan sekolah di PGAN Gunung Pangilun Padang saya sudah pernah membaca banyak novel dan cerita para pujangga baru. Di antaranya adalah “Salah Asuhan”, “Tenggelamnya Kapal Van der Wick”, dan banyak lagi.

 

Lebaran Idul Fitri

Tidak mudah bagi saya melupakan kenangan-kenangan di masa lalu, termasuk dalam soal Ramadhan dan lebaran. Istilah ‘lebaran’ tidak dikenal dalam masyarakat Minang di Sumatera Barat pada waktu itu. Istilah yang biasa dipakai adalah ‘Hari Rayo’ (hari raya)—tanpa Idul Fitri di belakangnya. Sedangkan untuk Idul Adha biasa digunakan istilah ‘Hari Rayo Haji’.

Saya ingat betul, sehari menjelang Hari Rayo, Abak pergi ke pasar untuk membeli daging. Itu adalah pemandangan sangat langka dalam masyarakat Minang; suami tidak lazim membantu istri pergi ke pasar berbelanja untuk urusan dapur. Itu adalah urusan kaum perempuan. Karena itu, Abak tidak setiap hari membantu Amak berbelanja ke pasar. Karena memang tidak lazim. Dalam setahun, beliau hanya sekali keluar rumah untuk berbelanja daging, yaitu menjelang lebaran, baik untuk keperluan sendiri ataupun untuk diberikan kepada kakak dan adiknya—rumah kakak dan adiknya itu yang ada di sebelah rumah kami. Hal ini kontras dengan kebiasaan masyarakat di daerah-daerah lain, katakanlah seperti di Jawa, di mana suami setiap harinya bisa saja membantu istri mencuci pakaian, masak, belanja, dan seterusnya.

Daging yang dibeli dari pasar itu nantinya dibuat rendang dan gulai oleh Amak. Saya sangat suka masakan Amak yang bagi saya amat enak. Di Minang tidak ada tradisi membuat ketupat Lebaran. Kalaupun ada, paling hanya membuat ketupat ketan, yang berpasangan dengan tapai (tape)—yang kemudian menjadi pasangan ‘tape-ketan’. Selain itu, Amak biasanya membuat kue-kue; seminggu sebelum lebaran beliau sudah mulai sibuk membuat berbagai macam kue. Kue yang paling beliau suka buat adalah kue sapik (kue jepit) yaitu kue dengan bahan dasar tepung beras dengan santan, gula dan kayu manis yang dijepit menggunakan dua buah besi bidang bundar di atas bara tempurung kelapa, yang kemudian digulung. Amak tahu saya sangat suka ‘kue sapik’, sehingga setelah saya pergi merantau ke Jakarta sejak akhir tahu 1975 beliau sering mengirimkannya; kebiasaan Amak ini terus berlanjut setelah saya berkeluarga; tidak jarang kue sapik itu sudah hancur sesampainya di Jakarta.

Setiap menjelang lebaran juga, Abak menyediakan baju baru untuk kami. Ini adalah di antara rutinitas tahunan beliau—setiap tahun pasti ada baju baru. Tetapi beliau tidak membelikan kami baju yang sudah jadi dan siap pakai, melainkan kain bal untuk bahan baju dan celana. Selanjutnya bahan kain itu dipotong oleh Abak dan dijahit oleh Amak. Saya benar-benar kagum kepada Amak, selain pintar masak beliau juga mahir menjahit dan membuat pakaian.

Di hari lebaran, sebelum pergi shalat Idul Fitri, kami sarapan terlebih dahulu. Makan nasi dengan rendang atau gulai. Dalam soal makan, Abak adalah orang yang sangat disiplin. Pagi-pagi diharuskan untuk sarapan. Setelah itu kami berangkat ke sebuah lapangan di sebelah utara Masjid Raya LA untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Masjid sendiri memang dikosongkan, tidak dipakai untuk shalat Idul Fitri.

Ritual berikutnya adalah bersilaturrahim ke para dunsanak (karib kerabat) dan tetangga. Tetapi Abak melarang saya dan saudara-saudara pergi lebaran keliling kampung atau pasar. Kami paling hanya diajak bersilaturrahim ke rumah kakak dan adik beliau, juga ke rumah kakak dan adik Amak. Alasannya, Abak kuatir kalau keliling-keliling itu motifnya adalah untuk mendapatkan ‘hadiah lebaran’ dalam bentuk uang kecil, yang sekarang di Jakarta kian sering juga disebut dengan menggunakan istilah Tionghoa sebagai ‘angpau’. Orang Minang memang memiliki tradisi seperti ini sudah sejak lama. Tetapi saya, sebagai anak kecil, jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan duit seperti anak-anak lainnya dari orang lain. Sedangkan Amak selalu menyediakan uang-uang receh untuk diberikan kepada anak-anak kecil lain. Kebiasaan Amak ini sekarang diikuti istri saya, yang orang Sunda-Banten; ia selalu menyediakan uang kecil (Rp 2.000-Rp 50.000) untuk dibagikan kepada anak-anak—besar kecilnya tergantung pada usia anak masing-masing.

Biasanya, di setiap rumah kami selalu disuguhi makanan. Meskipun sedikit kami harus memakannya. Kalau kami tidak makan, tuan rumah biasanya marah karena merasa tidak atau kurang dihormati. Karena itu, perut selalu penuh pada Hari Rayo.

Dan biasanya, sehari atau dua hari setelah lebaran kami diajak pergi ke kampung tempat lahir Abak dan Amak di Sungailimau dan Kampungdalam. Sejak dulu pulang kampung ini disebut ‘mudiak’ (mudik); istilah terakhir ini telah sangat populer sekarang. Saya ingat beberapa kali ikut ke kampung Amak, di Cimpago, Kampungdalam. Dari LA kami berangkat naik kereta api lalu turun di Naras, stasiun kereta api yang terakhir. Dari sana kami naik bendi ke Kampungdalam. Kemudian dari sana kami menyeberang sungai dengan naik sampan. Nah, di seberang sungai itulah tempat kelahiran Amak, namanya Cimpago (Cempaka). Dan, kami menginap di rumah usali (asli, rumah asal) yang merupakan rumah panggung. Sampai sekarang masih segar bau rumah itu dalam ingatan saya.

Kegiatan kami selama berada di kampung Amak adalah bersilaturrahim mengunjungi dunsanak (kerabat). Dari Lubuk Alung Amak biasanya membawa oleh-oleh berupa makanan, kue-kue, bahan pakaian, dan kain sarung untuk dibagikan kepada keluarga dan saudara-saudaranya di kampung. Kedatangan kami disambut dengan kebahagiaan. Saya merasa senang sekali bisa kembali ke asal.

Saya melihat ada perbedaan antara masyarakat Kampungdalam dan Lubukalung. Kohesi sosial masyarakat Cimpago Kampungdalam lebih kuat dan erat. Karena mereka memang berasal dari satu daerah yang sama, di samping karena jumlah mereka yang sedikit, sehingga antara satu dengan yang lain bisa saling mengenal seperti satu keluarga. Sementara masyarakat LA tidak begitu, karena mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda; ada yang dari Pariaman dan pesisir lain, Bukittinggi dan wilayah darek lainnya. Tentu saja, setiap daerah mempunyai adat masing-masing. Orang Pariaman, misalnya, dikenal dengan keterus-terangannya, suka bicara apa adanya. Jadi, di Lubukalung terdapat berbagai adat dan tradisi  kecil yang masih dipertahankan sebagai ciri khas dari asal masing-masing.

Suasana Ramadhan dan Lebaran yang khas di LA, dan juga di lingkungan Ciputat setelah saya alami sejak tahun 1975 akhir ketika melanjutkan pelajaran di IAIN Jakarta tidak saya temui di Amerika. Melanjutkan kuliah S2 dan S3, saya pertama kali pada Musim Panas 1986 pergi ke Southern Illinois University, Carbondale untuk memperkuat bahasa Inggris, dan itu pas Ramadhan. Waktu puasa sangat panjang, dari sekitar pukul 4 pagi sampai pukul 21.00. Dan mulai menjelang musim gugur, September 1986, saya pindah ke New York City untuk kuliah di Columbia University.

Ramadhan di New York tidak kelihatan; suasana puasa baru terasa ketika pada akhir pekan ada acara ifthâr yang diselenggarakan Muslim Student Association (MSA) dan Konsulat Jenderal RI (KJRI) New York. Selain berbuka puasa bersama juga diselenggarakan shalat Tarawih berjamaah. Ketika Lebaran datang, masyarakat Muslim New York biasanya mendapat undangan Konsul Jenderal dan Watapri di PBB dalam open house dan silaturrahim Lebaran.

 

Makna Puasa

Bagi saya, inti puasa adalah pengendalian diri sekaligus pembebasan dari cengkeraman hal-hal yang serba materi dan jasmani. Inilah makna puasa yang saya pahami dan saya hayati. Karena manusia sangat mudah terjerumus kepada hal-hal yang bersifat fisikal-material, seperti harta-benda, makanan, hubungan seksual, dan lain-lain. Nafsu untuk selalu memenuhi kebutuhan fisikal-material setiap saat menggoda manusia. Jadi, tujuan puasa adalah untuk melatih diri mengambil jarak atau distansi—bukan memutuskan—dari hal-hal yang bersifat material.

Sekarang banyak pejabat negara yang semestinya menjadi contoh, justru terjerumus ke dalam prilaku-prilaku yang tidak patut. Saya melihat itu karena ketidakmampuan mereka menjaga jarak antara diri mereka dan hasrat fisikal-material. Gejolak birahi yang tidak bisa ditahan, inilah yang mendorong mereka berselingkuh dan berzina dengan orang lain yang bukan pasangannya, atau juga memotivasi mereka untuk menikah lagi. Godaan untuk cepat kaya, punya rumah megah, mobil mewah, inilah yang membuat mereka melakukan korupsi.

Karena itu puasa merupakan latihan untuk mengendalikan diri; bersikap sabar, disiplin, dan puas diri (qanâ’ah) dengan rizki halal yang diberikan Allah. Inilah salah satu tantangan berat yang dihadapi umat Muslim sekarang ini karena dalam proses globalisasi yang terus berlangsung secara intens, kehidupan materialistik dan hedonistik terus menggoda dan menyeret orang ke dalam kehidupan yang serba affluent. Di tengah tantangan itu, puasa menawarkan kesempatan kepada umat Muslim untuk meningkatkan kualitas rohani, menuju maqâm (posisi) spritual yang lebih tinggi.

 

 

Semarak Ramadhan: Konsumsi dan Konsumerisme

Suasana Ramadhan di Indonesia sekarang ini jauh lebih heboh. Ada kesemarakan, baik dalam masyarakat, maupun yang bisa kita lihat pula di berbagai stasiun televisi. Walaupun tidak semua acara televisi sesuai dengan semangat Ramadhan. Tetapi itu mungkin merupakan konsekuensi yang tidak bisa dielakkan dari terjadinya komodifikasi Islam. Karena Islam di Indonesia terlalu besar untuk tidak tersentuh komodifikasi.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan selain terus-menerus mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan. Namun kita juga harus mensyukuri, tidak hanya melakukan kritik dan kecaman terhadap televisi. Bagaimanapun keberadaan televisi itu mempunyai peranan penting dalam proses peningkatan islamisasi dan santrinisasi, termasuk juga dalam kemeriahan Ramadhan.

Saya tidak menemukan suasana Ramadhan di negara Muslim manapun yang seheboh dan semeriah di Indonesia. Meskipun di siang hari ada warung-warung makan yang masih buka, tetapi menurut survei akademis yang dilakukan oleh para profesor berbagai universitas luar negeri, umat Muslim Indonesia adalah yang paling taat dalam menjalankan puasa, shalat Tarawih dan ritual-ritual lainnya di bulan Ramadhan.

Saya pernah mengumpulkan bahan mengenai tingkat kepatuhan pengamalan ‘formalitas’ keagamaan. Umat Muslim Indonesia menempati posisi paling tinggi dalam ketaatan menjalankan ibadah bila dibandingkan negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, Mesir dan lain-lain. Kemudian dalam hal memberi dan berbagi (giving and sharing) yang juga sering disebut sebagai filantropi Islam, di bulan Ramadhan, antusiasme masyarakat Muslim Indonesia juga sangat tinggi. Sekali lagi, walaupun tentu saja ada ekses-eksesnya, yaitu komersialisasi dan komodifikasi Islam di televisi.

Suatu saat saya dalam dialog ‘live’ di sebuah saluran televisi, mereka mengatakan bahwa di bulan Ramadhan konsumsi mengalami peningkatan. Itu artinya, konsumerisme juga mengalami hal serupa. Saya katakan, di bulan Ramadhan konsumsi pasti mengalami peningkatan, tetapi itu tidak berarti juga peningkatan konsumerisme. Harus dibedakan antara peningkatan konsumsi dengan peningkatan konsumerisme. Contohnya, di bulan Ramadhan banyak orang yang kelebihan rizki menyediakan makanan untuk ifthar (buka puasa) atau sahur, baik di masjid maupun di rumah sendiri. Seperti saya dan keluarga yang rutin diminta beberapa pengurus masjid untuk menyediakan makanan ifthar atau sahur. Ketika saya melakukannya, maka konsumsi saya otomatis meningkat. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan konsumerisme, karena konsumsi saya sendiri dan keluarga hampir saja tetap sama. Saya hanya mencoba untuk berbagi dengan orang lain sebagai upaya meningkatkan kesalehan sosial, yang melibatkan penyediaan barang-barang konsumsi.

Makanan untuk berbuka puasa di dalam keluarga saya sejak dulu sampai sekarang juga tidak ada yang aneh-aneh atau berlebihan. Malah sangat sederhana. Paling yang ada—dan semua orang di dalam keluarga sukai—adalah gorengan buatan sendiri, seperti bakwan dan sejenisnya. Kolak saja kami jarang membuatnya. Saat berbuka hanya makan bakwan dan minum cendol. Kalau saya pribadi paling hanya ngopi atau ngeteh. Jadi, konsumsi antara di luar dan di dalam bulan Ramadhan tidak banyak berubah. Tetapi kalau konsumsi untuk para tetangga dan masjid di lingkungan sekitar memang meningkat. Kami tidak mungkin memberikan bakwan kepada para tetangga dan masjid. Selain makanan kecil untuk ta’jîl, minimal harus disediakan nasi plus telur, atau nasi plus daging, atau nasi plus ayam untuk jamaah yang melakukan ifthâr di masjid.

Banyak pula orang yang mengadakan ifthâr bersama hampir setiap hari di rumahnya. Hari ini mengundang saudara-saudaranya, besoknya mengundang kawan-kawan sekantornya, besoknya lagi mengundang kawan-kawannya yang lain, besoknya lagi mengundang anak-anak yatim, dan seterusnya. Semua ini meningkatkan konsumsi, tetapi tidak otomatis dapat dikatakan sebagai konsumerisme.

Begitu pula, orang mudik tentu tidak akan berangkat dengan tangan kosong. Ia pasti membawa oleh-oleh atau hadiah untuk dibagi-bagikan kepada keluarga, sanak-saudara dan tetangga-tetangganya di kampung. Kalau ia punya mobil, sudah pasti mobilnya itu penuh dengan barang bawaan, baik berupa pakaian ataupun makanan. Lagi-lagi, semua gejala ini tidak dapat disebut sebagai konsumerisme.

Saya dan keluarga di Jakarta juga begitu. Setiap menjelang lebaran kami selalu menyiapkan paket lebaran untuk dibagikan kepada para tetangga, setidaknya 100 – 150 paket. Di dalam masing-masing paket ada baju koko, sarung, beras, sirup, biscuit dan minyak goreng. Dengan demikian, pengeluaran dan konsumsi di dalam keluarga saya memang meningkat, tetapi itu sama sekali bukan konsumerisme.

Itulah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, antara seminggu sebelum lebaran dan seminggu setelah lebaran, uang kecil yang beredar selalu mengalami peningkatan. Di tahun 2012, misalnya, dana dalam bentuk denominasi kecil yang disiapkan oleh Bank Indonesia untuk kepentingan lebaran sekitar 90 trilyun. Begitu banyak dana yang beredar sepanjang Ramadhan, Lebaran dan musim mudik. Tetapi, saya katakan sekali lagi, pada waktu-waktu ini, konsumsi memang meningkat, tetapi yang jelas bukan konsumerisme.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

RAMADHAN UNTUK BELAJAR

Oleh Prof. Dr. Dawam Rahardjo, MA.

[Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang]

 

“Di bulan Ramadhan, semua sekolah diliburkan. Dan karena itulah saya sering pergi ke rumah nenek di desa Tempur Sari, Klaten. Di sana, saya menyempatkan untuk membaca buku dan majalah. Setiap hari saya membawa buku-buku dan majalah-majalah, yang saya baca di pendopo rumah nenek. Sambil membaca buku, saya duduk di kursi goyang kakek saya, dan di situlah sebetulnya saya belajar agama, termasuk belajar filsafat dan lain sebagainya. Liburan sekolah tidak saya gunakan untuk bermain melainkan membaca.”

 

 

Latar Belakang

Nama saya Dawam Rahardjo—biasa dipanggil Dawam. Nama Rahardjo itu diberikan oleh ayah saya. Tetapi sebetulnya, nama Rahardjo adalah nama kakek saya. Beliau adalah seorang petani yang hidup di kampung Tempur Sari, Klaten. Namanya Ali Rahardjo. Tetapi oleh orang kampung dipanggil Ngali Redjo. Itu hal biasa kalau di kampung. Setelah naik haji, kakek saya mengubah namanya menjadi Ali Azhar. Nama Rahardjo lalu diwariskan, diabadikan, dan ditempelkan kepada nama saya. Namun, saya baru memakainya ketika saya menjadi mahasiswa di Yogyakarta.

Ayah saya adalah lulusan pesantren dan madrasah. Mulanya beliau belajar di SD di desa, kemudian mondok di Pesantren Jamsaren-Solo, dan juga belajar di Mamba’ul Ulum, sebuah madrasah terkenal yang didirikan oleh Keraton, berdampingan dengan Masjid Besar di Solo. Setelah lulus, ayah lalu menjadi guru di sebuah sekolah Muhammadiyah. Tidak lama kemudian ayah menikah dengan ibu, Mutmainnah. Ibu saya juga seorang guru di lingkungan Muhammadiyah.

Orangtua saya dikaruniai 9 orang anak. Saya adalah anak pertama. Saya mempunyai 3 orang adik perempuan yang lahir secara berturut-turut. Saya juga mempunyai 3 saudara laki-laki, tetapi tidak lahir secara berturut-turut, diselingi perempuan. Dan adik saya yang terakhir adalah perempuan. Jadi, adik saya 5 perempuan dan 3 laki-laki. Sebenarnya masih ada lagi adik saya, tetapi ia meninggal pada waktu masih bayi. Artinya, kami bersaudara sebetulnya ada 10 orang.

Paman saya—saya menyebutnya Pak De—, bersama Kiyai Ghazali dari Solo, mendirikan sebuah organisasi baru yang diberi nama Al-Islam dengan slogannya yang terkenal, “Bukan NU, bukan Muhammadiyah, tetapi kembali kepada Islam yang asli.” Saya melihat itu lebih merupakan sejenis faham Salafi, alirannya bersifat rasional dan mengacu kepada tauhid yang murni serta mengacu kepada ajaran Salafi. Gagasan dan organisasi itu didukung oleh seluruh keluarga ayah saya. Maka, lingkungan organisasi keluarga saya ada dua, yaitu Muhammadiyah dan Al-Islam.

Pendidikan saya dimulai di Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah (setingkat TK) di Kauman yang terletak di sebelah utara Masjid Besar Solo. Kemudian saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Pagi hari saya mengikuti sekolah umum Al-Rabithah Al-Alawiyyah di Kelas I. Ketika masuk ke Sekolah Dasar (SD), saya langsung ke Kelas II di Sekolah Rakyat Loji Wetan, yang letaknya tepat di depan Pasar Kliwon. Saya tamat pada tahun 1954. Pada usia yang sama, saya juga bersekolah di Madrasah Al-Islam di sore harinya.

Setelah tamat di Sekolah Dasar, pendidikan saya lanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Solo. Kemudian saya melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Manahan, Solo. Setelah lulus SMA, saya melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Itulah sekilas latar belakang pendidikan saya. Dari sana barangkali terlihat suatu gambaran bahwa sejak remaja saya telah memberi perhatian kepada dua dunia itu. Saya mempelajari ilmu-ilmu umum dan juga ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, fikih (hukum Islam), kalam (teologi), tarikh (sejarah) dan sebagainya. Sejak di Tsanawiyah (setingkat SMP), saya sudah meminati buku. Mula-mula saya menekuni dan mempelajari buku-buku agama. Pada masa itu saya sudah mempunyai koleksi yang lumayan banyak mencakup buku-buku agama lama, seperti karangan Kiyai Munawwar Kholil, Abu Bakar Aceh dan yang lainnya. Saya banyak belajar agama dari buku. Dan karena yang saya perhatikan lebih pada pemahamannya, saya tidak memperdalam kemampuan saya untuk menghafal ayat-ayat dan sebagainya kecuali dalam bahasa Indonesia.

Saya juga banyak belajar dari ayah saya. Sebagai lulusan pesantren, beliau mempunyai keahlian khusus, yaitu ilmu tafsir. Semasa di pesantren, beliau pernah mempelajari tafsirnya al-Zamakhsyari yang banyak mengulas berbagai aspek dari bahasa al-Qur`an. Beliau sering memberi saya kuliah terkait dengan fokus menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan juga ilmu tafsir. Inilah yang menyebabkan saya sangat berminat kepada ilmu tafsir al-Qur`an sampai sekarang. Boleh dikatakan, saya sangat akrab dengan al-Qur`an; bisa membaca dan memahaminya dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial, termasuk ekonomi yang menjadi latar belakang pendidikan saya.

Selain dari ayah, saya juga banyak belajar dari Kiyai Dzarokah, seorang ulama besar yang pernah menjadi ketua Al-Islam dan Majlis Ulama Surakarta. Dari beliau saya belajar membaca al-Qur`an, dasar-dasar fikih, dll.

Satu aspek lain yang ingin saya kemukakan adalah, sejak SMP saya sudah membaca buku-buku sastra. Sehingga di Surakarta saya sempat tumbuh menjadi penyair muda yang aktif di dalam Ikatan Penyair Muda Surakarta (IPMS). Saya banyak menulis puisi, di antaranya ada yang saya masukkan ke rubrik Remaja Nasional di Yogyakarta. Sebagian dari puisi-puisi saya sekarang masih ada, dan sebagian sudah saya terbitkan. Tetapi banyak juga yang hilang, dan saya sangat menyesalkan hal itu. Di samping itu, saya juga menulis cerita-cerita pendek (cerpen) dan banyak artikel.

Kegemaran saya menulis cerita pendek bangkit kembali pada tahun 2000-an. Ketika saya sakit, justru saya menulis cerita pendek. Dan bersama-sama dengan cerita pendek saya yang lama, saya kumpulkan menjadi satu dan diterbitkan oleh Penerbit Jalasutra dengan judul “Anjing yang Masuk Surga”. Cerita-cerita pendek itu bernuansa sosial, dan juga keagamaan.

 

Ramadhan di Kampung

Pada waktu masih remaja, masa-masa masih di SMP dan SMA, saya sangat tekun beribadah. Dan karena rumah saya dekat dengan masjid, maka hampir setiap waktu shalat Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya`, selalu saya sempatkan untuk shalat berjamaah di sana. Apalagi shalat Jum’at. Di samping itu, saya juga aktif mengikuti pengajian-pengajian di sana. Singkatnya, waktu itu saya sangat religius.

Khusus untuk hari Jum’at, sebelum berangkat ke masjid saya mandi terlebih dahulu, lalu mengenakan baju yang paling bagus, dengan sarung batik yang mahal harganya, dan juga kopiah hitam. Intinya, kalau mau ke masjid untuk shalat Jum’at saya berhias betul. Dan niat saya benar-benar untuk ibadah.

Di bulan Ramadhan, semua sekolah diliburkan. Dan karena itulah saya sering pergi ke rumah nenek di desa Tempur Sari, Klaten. Di sana, saya menyempatkan untuk membaca buku dan majalah. Setiap hari saya membawa buku-buku dan majalah-majalah, yang saya baca di pendopo rumah nenek. Sambil membaca buku, saya duduk di kursi goyang kakek saya, dan di situlah sebetulnya saya belajar agama, termasuk belajar filsafat dan lain sebagainya. Liburan sekolah tidak saya gunakan untuk bermain melainkan membaca. Karena liburan saya punya waktu cukup banyak untuk membaca. Di situlah saya mengalami akumulasi pengetahuan di segala bidang. Karenanya, bidang kajian dan minat saya sangat luas. Bukan hanya ekonomi, akan tetapi juga agama, politik, sosial, kebudayaan dan sastra. Itu tercermin dalam perpustakaan saya.

Kampung saya di Solo adalah kampung Pasar Kliwon, yang terkenal para penduduknya terdiri dari orang-orang Arab. Dekat rumah saya terdapat sebuah masjid, namanya Masjid Al-Adzkar. Pada saat bulan Ramadhan, masjid itu kegiatannya ramai sekali. Tentu yang utama adalah Tarawih. Dan Tarawih itu 23 rakaat. Waktu shubuh juga sudah ramai. Pada waktu buka puasa juga ada acara ta’jilan. Ta’jilnya pakai hidangan buah kurma. Saat itu tidaklah seperti sekarang yang di mana pun kita bisa mendapatkan kurma. Kurma masih langka saat itu. Jadi, hidangan kurma di mesjid itu istimewa sekali. Dan banyak sekali kurma yang disuguhkan untuk ta’jil berbuka. Kurma itu umumnya dihidangkan oleh orang-orang Arab di sekitar masjid itu. Setelah buka, shalat Tarawih, kami kemudian mendengarkan ceramah agama. Setiap malam selalu begitu. Ceramahnya juga diikuti oleh para jamaah, jadi ramai sekali suasananya. Dan seingat saya saat itu tidak ada petasan seperti sekarang ini.

Lulus dari SMA saya pindah ke Yogyakarta karena kuliah di UGM. Di Yogyakarta saya tinggal di Asrama Yasman dekat Masjid Syuhada. Salah satu tugas dari penghuni asrama itu adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di masjid. Jadi di Yogyakarta pun saya dekat dan aktif dalam kegiatan di masjid.

Ketika di Yogya, bulan puasa kuliah juga libur. Tetapi saya tidak pulang ke Solo dulu. Saya justru mondok di pesantren Krapyak Yogya. Di pesantren itu terkenal dengan qira`ah-nya (teknik membaca al-Qur`an dengan lagu tertentu). Di pesantren itu saya belajar qira`ah al-Qur`an, dan juga tarawih dengan mengkhatamkan al-Qur`an. Saya ingat betul di pondok Krapyak itu bacaan dalam shalat Tarawih bukan surat-surat pendek atau penggalan ayat pendek sekedar memenuhi syarat bacaan setelah membaca surat al-Fâtihah, melainkan membaca surat-surat panjang dari al-Qur`an. Oleh karena itu saya mengerjakan shalat Tarawih dengan membawa al-Qur`an sambil membacanya. Dan ketika imam membaca bacaannya, saya cari ayatnya, lalu saya ikuti bacaan sambil berdiri. Shalat Tarawih itu bisa berlangsung berjam-jam karena bacaan ayat-ayatnya memang panjang.

Sebelum mondok di Krapyak, ketika tinggal di dekat Masjid Syuhada, saya juga suka mengerjakan shalat Tarawih di sana karena bacaan al-Qur`annya bagus. Imam-imamnya terdiri dari para qari`, khususnya qari` dari Banjarmasin yang memang terkenal qira`atnya. Jadi, di Masjid Syuhada itu, saat mengerjakan shalat Tarawih saya betah berdiri berjam-jam, karena bacaan al-Qur`annya enak didengar. Bagi saya, itu sungguh sangat mengesankan, dan terus terang sulit saya temukan sekarang ini.

Saya sudah mulai berpuasa semenjak kecil. Mungkin sekitar umur lima (5) tahun. Tidak melalui proses latihan dulu, tetapi langsung berpuasa penuh. Cucu saya pun sekarang langsung berpuasa penuh. Sesekali memang saya berpuasa sampai Zhuhur, tetapi itu karena masih kecil. Selebihnya saya selalu berpuasa penuh. Dan karena rumah saya dekat dengan masjid saya sering tidur di sana pada waktu siang setelah shalat Zhuhur.

Ibu saya pintar sekali memasak. Masakannya selalu enak. Dan pada waktu buka puasa, banyak makanan yang disediakan; makanan kecil, makanan ringan dan makanan besar. Semalaman kerjanya cuma makan saja. Yang disuguhkan ibu adalah makanan-makanan tradisional Jawa ada kolak, jadah, ketan, goreng-gorengan, makanan-makanan basah, kue-kue basah. Ketupat juga atau lontong dengan sayur tahu. Ibu saya itu nomer satu membuat ketupat itu. Sekarang beliau sudah tiada, dan saya sudah tidak bisa menikmati masakannya lagi. Solo itu terkenal dengan ketupat tahunya. Sampai sekarang ketika pergi ke Solo, saya selalu makan sayur ketupat tahu. Isinya selain tahu, kecap dikasih kacang.

 

Lebaran Idul Fitri

Saya kira semua kita tahu, salah satu tradisi berlebaran adalah berpakaian serba baru. Dan memang begitulah tradisi lebaran di kampung saya dulu. Tetapi karena waktu itu belum ada industri garmen, saya membawa kain ke penjahit untuk dijahit. Tukang jahit bekerja siang malam. Menjelang lebaran kita ambil dari tukang jahit. Pas tiba waktu lebaran, kita memakai kopiah baru, baju baru, sarung baru dan sandal baru, bukan sepatu.

Ada tradisi silaturrahim dan bermaaf-maafan waktu lebaran. Kata-kata permohonan maaf itu kalimatnya panjang sekali yang diucapkan dalam bahasa Jawa. Memang dalam menyampaikan permohonan maaf itu sudah ada semacam kalimat yang standar, harus diucapkan dengan lengkap. Kepada orangtua dan orang yang lebih tua, kami yang muda atau anak menyampaikan permohonan maaf itu, lalu mereka membalasnya. Ini semacam ikrar saling memaafkan yang harus disampaikan secara lisan. Namun lama-kelamaan kebiasaan serupa itu ditinggalkan kecuali kepada ibu karena ayah saya sudah meninggal ketika saya sudah bekerja.

Semasa di Solo, saya senang sekali mengerjakan shalat Idul Fitri di stadion Sliwidari. Karena memang stadion itu merupakan tempat shalatnya orang-orang elit. Dulu, di sana banyak khutbah dan khatib yang bagus-bagus. Saya senang mendengarkan khutbah-khutbah yang bagus. Saya tidak pernah melaksanakan shalat Id di masjid, selalu di lapangan. Hanya ayah saya yang shalat di masjid. Karena orang-orang di Pasar Kliwon itu biasanya shalat Id itu bukan di lapangan, tetapi di masjid. Dan karena ayah saya bergaulnya dengan orang-orang Arab, maka beliau tidak pernah ke lapangan. Beliau lebih memilih dan merasa nyaman shalat di masjid. Sementara saya, ibu dan adik-adik sekeluarga pergi ke tanah lapang untuk shalat Id mengikuti tradisi Muhammadiyah.

Hal lain yang harus dilakukan setelah lebaran adalah silaturrahim. Kurang lebih selama satu minggu pekerjaan kami adalah mengunjungi atau dikunjungi. Kami mengunjungi Pak De dan saudara-saudara yang lebih tua baik dari pihak ayah maupun ibu. Dan itu jumlahnya banyak sekali. Bisa benar-benar melelahkan. Tetapi tidak mungkin ditinggalkan. Belum lagi bersilaturrahim ke teman-teman ayah yang sudah seperti keluarga sendiri. Capek betul itu. Saya tidak ingat kapan kebiasaan ziarah kubur menjadi suatu ritual yang menyatu dengan awal puasa atau menjelang lebaran. Sebab ketika saya masih kecil, ziarah kubur itu hanya biasa saja, tidak berduyun-duyun seperti sekarang. Kami berziarah ke kuburan kakek dan nenek. Belakangan saya tentu berziarah ke kuburan ayah, dan yang terakhir ini ke kuburan ibu.

Tradisi lain yang menyertai perayaan lebaran adalah piknik. Sejak kecil kebiasaan itu sudah ada. Kalau di Solo pikniknya ke Tawang Mangu. Dan karena ayah saya tidak mempunyai villa, saya biasanya ikut ke tempat teman-temannya yang punya villa. Belakangan kemudian adik saya punya villa juga di Tawang Mangu. Maka setiap habis lebaran sekeluarga besar menginap di situ berjubel di satu rumah. Suasananya meriah dan benar-benar hangat meskipun udaranya sangat dingin di sana.

Ketika saya sudah bekerja di Jakarta, silaturrahim dilakukan bukan hanya dengan famili dan kerabat melainkan kepada tokoh-tokoh kita. Pada waktu Pak Natsir masih hidup, saya sering datang. Kemudian ke Pak Idham Kholid. Ya, kepada pemimpin-pemimpin Islam pada waktu itu di antaranya ke Pak Mukti Ali. Semakin lama, lebaran itu semakin praktis, lebaran itu liburan. Dan kalau lebaran, sewaktu ibu saya masih hidup, saya selalu pulang ke Solo. Atau ke mertua di Yogyakarta. Dan sekarang meskipun mereka sudah tidak ada, saya masih tetap mudik ke Solo mengunjungi adik-adik. Itulah hal yang selalu saya rindukan dari perayaan Idul Fitri, mudik ke kampung halaman, bersilaturrahim dan mengenang masa kecil di kota Solo. Saya telah melanglang buana, namun buat saya Solo adalah kampung halaman yang selalu dikenang dengan indah. Di sanalah saya lahir dan tumbuh dan menjadi cikal bakal saya, Dawam Rahardjo, yang sekarang.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”