Pos

Selamat Hari Kartini

Siapa yang tak kurang hormat kepada Ibumu hanya karena Ibumu bukan Kartini? Tak ingatkah perempuan lain selain Ibumu yang berjasa dalam hidupmu hingga kamu bisa seperti ini. Pengasuhmu? Guru TK dan Guru SDmu? Atau sahabat curhat selain saudara perempuan dan Eyang Putrimu.

Jadi mengapa kau sempitkan volume hati dan otakmu hanya menolak Kartini dan memasukkan perempuan lain seperti Khadijah? Sedang kau bisa sekolah berkat begitu banyak orang dalam kehidupanmu. Kartini salah satunya.

Sejarah itu punya jalannya sendiri, tugas kita adalah menelusurinya dengan kesadaran waktu dari masa lampau untuk masa depan. Menghapus sejarah hanya akan membodohi diri sendiri dan menghilangkan ruang- ruang sejarah dalam jejak langkahmu sendiri.
-Lies Marcoes

rumah kitab

Merebut Tafsir: Feminiskah Aisyah?

Oleh Lies Marcoes

Belakangan ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?
Aisyah r.a., adalah perawi hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Aisyah adalah istri Nabi dan karenanya memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya baik sebagai perempuan atau sebagai istri. Di antara sekian banyak hadis-hadis yang sanadnya melalui Aisyah, tentu kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas “peran”nya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir abad ke 7, Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu di abad ke 7.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya) atau feminisme ( cara pandang/ filsafat/ ideologinya) atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya, bisa dianggap bebas-bebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti agama serta anti keluarga.

Nyatanya feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki). Sebab feminisme melihat SECARA KRITIS kemapanan hubungan-hubungan itu yang didalamya DAPAT mengandung pelanggengan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal SECARA KRITIS hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan -hubungan personal ( di dunia privat) atau hubungan sosial, politik ( di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam aqidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum ( fiqh utamanya dalam rumpun fiqh keluarga/perdata – ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti keluarga.

Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja? Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan KRITIS, mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan KARENA DIA PEREMPUAN sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia/ mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut SEPARUH feminis.

Dikatakan baru separuh feminis, sebab, berbeda dari “isme” yang lain, FEMINISME adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang SELALU mendialektikakannya dengan AKSI untuk perubahan guna MENGAKHIRI penindasan. Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir /bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan AKSI untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis – bertanya-tanya, berpikir, membangun dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan AKSI inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme” feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai WARGA NEGARA. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara; aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum dan lain-lain yang berfungsi mengatur/meregulasi. Masalahnya dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme. Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali. Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan. Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak “pangreh praja” (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda: dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk berpendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut ngaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, hanya baru 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut ngaji kitab di luar baca Al Qurian.

Berkat RA Kartini, kita semua kaum perempuan SECARA HISTORIS mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk AKSI, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti R.Dewi Sartika, Rohana Koedoes dll. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari pejuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah r.a.? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara bacanya adalah “apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam”?. Sebab di eranya feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam paska kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam. Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Mekkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti al Qur’an / tafsir, hadis dan dari kodifikasi hukum Islam (fiqh). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam seperti Al Qur’an / tafsir, hadis dan kodifikasi hukum Islam yang mereka sebut Islam sebagai worldview. Adapun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad Saw sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan TEKS yang dibaca dan ditarfsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan Hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme; apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada METODOLOGI (manhaj) dalam mendekati rujukan/ teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah r.a. adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis. Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa, Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah. Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep kepemihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang a-historis. Kenyataannya banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah r.a.

Lies Marcoes,5 Mei 2020.

Cahaya Iman Kartini

Oleh Jamaluddin Mohammad

 

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah 256)

 

Raden Ajeng Kartini adalah perempuan Jawa yang tercerahkan. Anak seorang priyayi Jawa, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, berhasil keluar dari kegelapan feodalisme Jawa dan terlepas dari belenggu kolonialisme Belanda menuju cahaya iman pembebasan.

 

Allah SWT memancarkan “cahaya iman” (kesadaran spiritual-kultural) di hati Kartini agar ia terbebas dari kabut tebal yang menyelimuti hati dan pikirannya. Apakah kabut tebal itu? Feodalisme yang merendahkan perempuan dan kolonialisme yang membelenggu manusia. Perkawinan antara feodalisme dan kolonialisme inilah yang melahirkan imperialisme.

 

Di masa kolonialisme, priyayi dijadikan alat pemerintah kolonial untuk merenggut dan melumpuhkan rakyat. Dalam struktur masyarakat feodal priyayi berada di puncak piramida sosial, baik politik maupun ekonomi. Priyayi menguasai tanah, mengendalikan kekuasaan politik, dan dihormati masyarakat. Para bupati di daerah-daerah kekuasaan kolonial adalah para priyayi ini.

 

Dalam budaya feodal, laki-laki menempati urutan pertama dan paling utama. Dalam makna tertentu, laki-laki adalah “pemilik” perempuan. Karena itu tidaklah aneh ketika Kartini harus mengikuti permintaah ayahnya untuk menjadi istri ketiga Bupati Rembang, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kartini maupun ayahnya menganggap bahwa ia adalah milik ayahnya. Berdasarkan anggapan ini (kesadaran masyarakat feodal) Kartini pun tidak bisa atau bahkan tidak mungkin menolak. Penolakan adalah tabu dan salah satu bentuk larangan dan pelanggaran.

 

“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh aku kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku,” tulis Kartini pada Stella Zaehandelaar, 6 November 1899. Ini bentuk pengakuan Kartini atas ketidakberdayaan menghadapi kultur patriarkhi pada feodalisme Jawa.

 

Ketika kolonialisme hadir, kultur feodal ini tetap dirawat, dipelihara, dan dipertahankan karena sesuai dengan semangat dan tujuan imperialisme: menciptakan manusia-manusia jinak, tunduk, lemah, sehingga mudah dieksploitasi.

 

Nah, agar imperialisme tetap langgeng dan berumur panjang, maka cukup memegang kendali para priyayi berikut nilai dan norma feodalismenya. Para priyayi pun merasa aman, nyaman, dan diuntungkan secara sosial dan politik. Inilah salah satu alasan kenapa kolonialisme-imperialisme berumur panjang di negeri ini. karena masyarakat kita mengalami dua penjajahan: penjajahan dari luar (kolonialisme-imperialisme) dan penjajahan dari dalam (feodalisme)

 

Sebagai orang yang lahir dari rahim feodalisme dan sekaligus berhadapan dengan pengalaman-pengalaman ketidakadilan, Kartini gelisah dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: siapa aku? Kenapa aku lahir di dunia ini sebagai seorang priyayi? Aku mau kemana dan untuk apa? Dan, cahaya iman menuntun dan menunjukkan ia pada jawabannya

 

Migrasi kultural-spiritual

 

  1. Al-Baqarah 256 di atas bisa juga digunakan untuk menjelaskan proses migrasi spiritual-kultural seorang Kartini. Orang-orang “kafir” (maksudnya orang-orang yang hatinya masih diselimuti kabut tebal tradisi, budaya, bahkan agama [ekspresi pengamalan dan pemahaman keagamaan] yang merugikah harkat dan martabat kemanusiaan di hadapan) Tuhan kebanyakan tidak mau beranjak dari kegelapan. Bahkan, mereka akan terus dalam kegelapan. Mereka menganggap itu sebagai satu-satunya kebenaran

 

Kartini, kalau dalam “mitologi goa” Plato, adalah orang yang berhasil keluar dan melihat realitas sesungguhnya. Sementara orang-orang “kafir” yang masih terperangkap dalam kegelapan goa menyangka bayangan sendiri yang terpantul di dinding goa sebagai realitas. Filsuf besar Yunani itu membuat sebuah alegori seperti ini:

 

Ada sekelompok narapidana yang sejak kecil ditawan di dalam goa. Tangan, kaki, dan lehernya dipasung sehingga tidak bisa bergerak ke mana-mana. Mereka hanya bisa mememandang dan menghadap dinding goa. Di belakang mereka ada seonggok api unggun besar yang sesekali orang atau binatang melewati api unggun itu. Bayangannnya yang memantul ke dinding goa dianggap oleh para tawanan sebagai satu-satunya kenyataan.

 

Plato membuat alegori itu untuk menjelaskan tingkatan realitas: realitas ideal dan realitas empirik. Yang kedua merupakan  “tiruan” dari yang pertama yang tidak menampakkan realitas seutuhnya. Menurut  banyak orang terjebak pada yang kedua dan menganggap sebagai satu-satunya “kebenaran”, sebagaimana para tahanan dalam goa itu.

 

Kartini, melalui tuntunan iman yang memancar di hatinya, berhasil keluar dari lorong goa itu. Ia melihat realitas ketertindasan dan ketidakadilan pada masyarakatnya, terutama perempuan. Ia keluar dan mengajak masyarakatnya untuk melihat realitas ketertindasan dan ketidakadilan itu melalui pintu pendidikan. Lewat pendidikan, Kartini berharap masyarakat akan terbebas dari belenggu tradisi dan budaya yang berkonstribusi terhadap ketidakadilan itu.

 

“Al-Awliya” dalam ayat tersebut lebih tepat dimaknai sebagai pelindung atau penolong bukan pemimpin. Ayat ini tidak berbicara dalam konteks kepemimpinan. Kesadaran teologis Kartini meruntuhkan dinding feodalisme yang selama ini menyekat sekaligus memenjara kesadarannya. Ia kembali pada Tuhan. Tuhan sebagai satu-satunya pelindung. Di hadapan Tuhan semua orang sama dan setara.

 

“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepadaNya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah” (surat Kartini kepada Abendanon, 12 Oktober 1920)

Dalam terang iman inilah Kartini memulai “revolusi Tauhid” untuk membebaskan perempuan Jawa dari realitas ketertindasan dan ketidakadilan. Ia mulai menggugat kelas-tradisi dan budayanya. Ia mulai mempertanyakan pemahaman-pemahaman keagamaan yang merendahkan martabat kemuanusiaan yang dianut dan diyakini masyarakatnya. Ia juga melawan kolonialisme dan imperialisme yang dialami bangsanya. Wallahu a’lam bi sawab

Kawin Anak di Abad Kedua Kartini

KARTINI bukan pelaku kawin anak, tetapi ia mengkritik keras kebiasaan itu. Kepada Nona EH Zeehandelaar, 25 Mei 1899, Kartini menulis: “…Mengenai pernikahan [anak-anak] itu sendiri, aduh, azab sengsara adalah ungkapan yang terlampau halus untuk menggambarkannya!”

Nyatanya, memasuki abad kedua dari perjuangan Kartini, praktik itu belum juga sirna. Padahal, pendidikan yang diperjuangkannya berhasil meningkatkan partisipasi perempuan. Mengapa modernisasi, capaian pendidikan perempuan, dan industrialisasi gagal untuk mengendalikan praktik kawin anak?

Minggu ini, lembaga riset dan advokasi, Rumah KitaB, meluncurkan 14 buku hasil penelitian di sembilan daerah di Indonesia. Studi ini mencari tahu mengapa praktik jahiliyah perkawinan anak ini tetap berlangsung. Data menunjukkan, satu dari lima perempuan Indonesia kawin di bawah umur; dua per tiga dari perkawinan anak itu kandas dan bercerai.

Secara absolut Indonesia masuk ke dalam sepuluh negara dengan praktik anak tertinggi di dunia.

Penelitian Rumah KitaB itu mencatat, kawin anak kebanyakan terjadi akibat kehamilan yang tidak dikehendaki, dijodohkan, desakan orangtua dengan tujuan untuk mengurangi beban, orangtua khawatir dengan pergaulan anak, anak sudah tidak sekolah atau menganggur, dipaksa kawin akibat perkosaan, serta dikawinkan atas permintaan pemimpin kelompok keagamaan orangtuanya serupa kasus “Syekh Puji”.

Empat Temuan

Ada empat temuan pokok dari penelitian ini.

Pertama, praktik ini terkait dengan perubahan ruang hidup dan sosio-ekologis lingkungan. Terjadinya pergeseran kepemilikan tanah atau alih fungsi tanah telah mempersempit lapangan pekerjaan di desa. Ketika suatu daerah mengalami perubahan ruang hidup yang berpengaruh kepada perubahan-perubahan relasi gender di dalam keluarga, dapat dipastikan di daerah itu terdapat kecenderungan tingginya kawin anak. Hilangnya tanah serta sumber ekonomi di desa mendorong orangtua merantau baik tetap atau sirkuler atau berimigrasi.

Kedua, hilangnya peran orangtua akibat migrasi telah pula berdampak pada perubahan pembagian kerja dan peran gender di tingkat keluarga. Banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama. Namun, perubahan ini tak diikuti dengan perubahan lelaki di ruang domestik.

Meskipun mereka menganggur, secara budaya, lelaki tak disiapkan menjadi orangtua pengganti. Akibatnya, anak perempuan mengambil alih peran ibu, dalam banyak kasus mereka terpaksa berhenti sekolah. Ini mendorong mereka cepat kawin karena tak sanggup menanggung beban rumah tangga orangtuanya.

Ketiga, perkawinan anak merupakan konsekuensi logis dari semakin kakunya nilai-nilai moral akibat hilangnya kuasa pemimpin lokal pada sumber-sumber ekonomi dan aset desa, serta melemahnya kekuasaan tradisional mereka.

Hilangnya akses mereka pada tanah telah memunculkan “inovasi kebudayaan”. Budaya menjadi semakin rumit, tidak toleran, dan kaku. Perangkat desa dan kaum adat ikut kehilangan kuasanya atas aset-aset yang menjadi sumber pendapatan mereka. Meski demikian, energi kekuasaan mereka tak dengan sendirinya berkurang, bahkan sebaliknya, semakin menguat.

Pada waktu yang bersamaan terjadi panik moral yang menganggap seksualitas sebagai ancaman yang menakutkan. Akibatnya, kontrol mereka untuk isu-isu moral, terutama isu seksualitas, semakin menguat, menyempit, dan memaksa.

Secara tersamar, setiap pelanggaran moral pada kenyataannya juga merupakan peluang untuk memperoleh pendapatan atau menguatkan posisinya sebagai pamong. Bahkan pada sejumlah situasi, mereka menjadi pihak yang mengondisikan atau memaksakan terjadinya praktik perkawinan anak.

Keempat, terjadinya kontestasi hukum antara negara dan hukum agama (fikih). Pada kasus perkawinan anak, yang sering terjadi adalah hukum keagamaan diletakkan di atas hukum negara. Pandangan keagamaan kerap menjadi legitimasi kelembagaan yang ada untuk menguatkan tindakan mengawinkan anak.

Jargon-jargon “yang penting sah dulu” atau “lebih penting penuhi kewajiban agama dulu” dijadikan alasan pelanggaran hukum negara. Dalam banyak kasus, perkawinan usia anak-anak terjadi karena yang mereka cari bukan legalitas hukum, melainkan legalitas moral keagamaan yang didukung cara pandang patriarkal.

Kelembangaan yang ada, baik itu adat, agama, atau sosial lainnya, seperti mati angin menghadapi praktik kawin anak yang berlangsung atas nama perlindungan nama, baik perkauman atau keluarga. Itu terutama dalam kasus kehamilan yang tidak dikehendaki atau si anak dianggap bergaul terlalu bebas.

Kelembangaan-kelembagaan itu juga seperti membiarkan perlakuan orangtua yang memaksakan perkawinan anak dengan pertimbangan sepihak bagi kepentingan orangtua semata.

Reaktif dan menyasar masalah

Sebagai studi dengan pendekatan feminis, penelitian ini juga mengidentifikasikan berbagai upaya dalam mengatasi problem ini. Beberapa daerah telah meluncurkan regulasi penundaan usia kawin. Sayangnya upaya itu bersifat ad hoc, dengan anggaran yang sangat kecil. Upaya lain dilakukan sejumlah pesantren dengan membuka pintu bagi anak yang telah kawin.

Namun secara keseluruhan upaya-upaya itu menunjukkan bahwa bacaan atas peta persoalan perkawinan anak begitu sederhana, bersifat reaktif, dan tak menyasar masalah. Praktik perkawinan anak yang ditentang Kartini dua abad silam seharusnya menjadi agenda penting negara. Kita tak bisa lagi hanya mengenang perjuangan Kartini dalam menolak praktik itu.

Kita membutuhkan solusi yang mampu membongkar akar masalahnya; mengatasi pemiskinan sistemik, mengembalikan dukungan warga dan pamong agar anak tak mengalami krisis yatim piatu sosial, memperbaharui dan menegakkan hukum yang sensitif perempuan dan anak, menyajikan fikih alternatif, mewajibkan kurikulum kesehatan reproduksi berbasis pemahaman relasi gender, serta membuka akses pendidikan tanpa diskriminasi kepada anak perempuan yang telah menikah.[]

Dipublikasikan di Harian Kompas, kolom Opini, 20 April 2016