Perhatian Islam Terhadap Hak Anak
PADA 1 Juni 2023 dunia internasional memperingati “Hari Anak Internasional” atau tepatnya “Hari Perlindungan Anak Internasional” (The International Day for Protection of Children), yang ditetapkan berdasarkan hasil kongres Women’s International Democratic Federation di Moskow, Rusia pada 4 November 1949. Selanjutnya negera-negara di seluruh dunia memperingatinya sejak tahun 1950.
Dibandingkan dengan isu-isu lain seperti radikalisme, terorisme, atau bahkan isu perempuan dan kelompok-kelompok rentan lain, isu mengenai anak selalu menjadi isu pinggiran yang tak mendapatkan porsi perhatian yang semestinya. Padahal, semua orang tahu, anak-anak adalah harapan masa depan. Mereka yang akan membuat masa depan, karena mereka adalah aset seluruh bangsa dan harapan yang lahir untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan cita-cita masa depan.
Sungguh merupakan hal yang sangat memalukan bagi umat manusia dan bisa saja layak dituduh telah melakukan kejahatan, bahwa di dunia saat ini terdapat ratusan juta anak korban berbagai bentuk pelanggaran kemanusiaan yang mengerikan. Pelanggaran hak anak dan pembiarannya akan menjadi ancaman nyata tidak saja bagi anak-anak, kesejahteraan, dan masa depan mereka, tetapi juga masa depan dunia secara keseluruhan, di mana seorang korban kejahatan akan menjelma menjadi pelaku kehajatan karena pengaruh kebencian yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Laporan tahunan UNICEP (United Nations Children’s Fund) tahun 2010 pernah menyebut bahwa anak telah menjadi bahan bakar perang dalam lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat ledakan bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak. Dilaporkan juga pada tahun 2003 bahwa selama 15 tahun sebelumnya sebanyak lebih dari 2 juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata, sebagaimana sekitar 6 juta anak lainnya terkena ledakan bom, sebagian dari mereka menderita cacat permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.
Jelas, konflik-konflik bersenjata telah melanggar seluruh hak anak termasuk hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak kesehatan, hak kembang-tumbuh, serta hak pengasuhan dan perlindungan.
Kehadiran Islam pada abad ke-5 atau 6 sebenarnya membawa angin segar bagi pemenuhan hak-hak anak. Islam memberikan banyak hak dan perlindungannya kepada anak. Ini merupakan nilai sangat tinggi yang dimiliki umat Muslim sebagaimana digambarkan di dalam al-Qur`an, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” [Q.S. al-Kahfi: 46].
Di dalam al-Qur`an, sumber utama seluruh hukum Islam, tertulis banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai hak-hak anak, di antaranya ancaman Allah bagi pelaku dosa pembunuhan anak, apapun alasannya, bahwa mereka akan menderita kerugian yang sangat besar, “Sungguh merugi orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah karuniakan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk,” [Q.S. al-An’am: 140]. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian agama dan dunia sekaligus karena mereka membunuh anak-anak mereka.
Islam menolak keras banyak kebiasaan masyarakat Arab saat itu, di antaranya pembunuhan anak-anak perempuan dengan alasan menghindari aib, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?” [Q.S. al-Takwir: 8 – 9]. Ayat merupakan sindiran dan teguran keras bagi orang yang membunuh anak perempuannya yang tak berdosa dan tak melakukan kesalahan apapun yang membuatnya layak dibunuh dan dijauhkan dari haknya untuk hidup. Ancaman Allah bagi pelaku dosa ini adalah perhitungan yang keras kelak di hari Akhir.
Islam menggariskan persamaan dan kesetaraan di antara umat Muslim, sehingga pembedaan dan diskriminasi bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya [dengan berfirman], ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, [karena] sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain,” [Q.S. Ali Imran: 195]. Laki-laki dan perempuan, keduanya berada dalam posisi yang seimbang, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain kecuali dengan ketakwaan. Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam balasan atas apa yang mereka kerjakan dan tidak menyia-nyiakan perbuatan baik dari mereka.
Islam mendorong umat Muslim untuk melindungi anak-anak dan membela mereka dari ketidakadilan dan penindasan, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan maupun anak-anak,” [Q.S. al-Nisa`: 75]. Para mufassir melihat bahwa penyebutan “anak-anak” (al-wildân) di dalam ayat ini adalah untuk menunjukkan kejamnya penganiayaan dan penyiksaan penduduk Makkah terhadap umat Muslim, bahkan anak-anak pun mereka siksa demi memaksa orangtua-orangtua mereka untuk kembali ke ajaran lama mereka.
Dalam suasana perang, Islam meletakkan prinsip-prinsip dasar moralitas dan mewajibkan umat Muslim untuk menjalankannya, yaitu melarang pembunuhan orang yang tidak ikut berperang dengan tujuan menjaga hak manusia untuk hidup. Umat Muslim tidak diperintah untuk memerangi kecuali terhadap orang yang memerangi mereka. Para penduduk sipil, laki-laki, perempuan dan anak yang tidak ikut berperang dilarang untuk dibunuh, “Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan,” [QS. al-Nisa`: 98].
Di dalam sebuah hadits, Nabi Saw. menggambarkan dunia anak-anak (al-thufûlah) seperti dunia yang dekat dengan surga, “Anak-anak itu seperti kupu-kupu surga,” [H.R. al-Bukhari, No. 145]. Secara tegas Nabi memberikan hak kepada anak perempuan untuk hidup dengan melarang pembunuhan anak perempuan. “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak kewajiban dan menuntut sesuatu yang bukan menjadi haknya,” [H.R. Muslim, No. 1407]. Dalam hadits lain disebutkan, “Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan, ia tidak menyakitinya, tidak pula menghinakannya, tidak mengutamakan anak laki-lakinya atas anak perempuannya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga,” [H.R. Abu Dawud, No. 5146].
Nabi Saw. menjaga kehormatan anak perempuan dan seluruh haknya dengan tidak membedakannya dengan anak laki-laki. Anak perempuan punya hak untuk hidup sebagaimana anak laki-laki dan keduanya harus diperlakukan sama, tidak boleh ada yang lebih diutamakan daripada yang lain. Nabi menentang keras tindakan pengutamaan anak laki-laki atas anak perempuan, bahkan beliau mengingatkan umat Muslim mengenai kebaikan mempunyai anak perempuan, “Sebaik-baik anak kamu adalah anak-anak perempuan.”
Di dalam banyak haditsnya Nabi Saw. mendorong umat Muslim untuk memperhatikan pendidikan anak-anak perempuan guna menegaskan prinsip anti-diskriminasi antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bila keduanya diperlakukan setara, maka bangunan keluarga, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan akan berdiri kokoh.
Terkait hubungan negara-negara Muslim dan negara-negara non-Muslim pada masa-masa perang, Nabi Saw. menggariskan prinsip-prinsip khusus mengenai perlindungan para warga sipil terutama anak-anak. Beliau melarang keras serangan terhadap anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua renta. Beliau bahkan meminta para panglima perang Muslim untuk tidak memerangi orang-orang yang belum mencapai usia perang, “Berperanglah, jangan melampaui batas. Jangan melarikan diri. Jangan melakukan mutilasi. Jangan membunuh anak-anak,” [H.R. Muslim, No. 1731].
Diriwayatkan dari al-Aswad ibn Sari’ bahwa Nabi Saw. bersabda, “Janganlah kalian membunuh anak-anak di dalam perang.” Para tentara bertanya, “Bukanlah mereka adalah anak-anak kaum Musyrik?” Nabi Saw. bersabda, “Bukankah orang-orang terbaik di antara kalian adalah anak-anak kaum Musyrik?” [H.R. Ahmad, No. 15713]. Nabi sangat marah ketika mendengar bahwa sebagian tentaranya membunuh anak-anak, beliau berkata lantang, “Ada apa dengan kaum yang melebihi batas dalam membunuh sehingga mereka membunuh anak-anak? Bukankah tidak boleh membunuh anak-anak, bukankah tidak boleh membunuh anak-anak, bukankah tidak boleh membunuh anak-anak?!” [H.R. Ahmad].
Para sahabat dan para ahli fikih menyepakati larangan membunuh anak-anak di dalam perang. Abu Bakr al-Shiddiq ra. memberikan nasihat kepada Yazid ibn Abi Sufyan, Amr ibn al-Ash, dan Syarahbil ibn Hasanah sebelum perang di Syam, “Jangan membunuh anak kecil.” Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan para penduduk sipil umumnya dan anak-anak khususnya dari bahaya dan kekejaman perang.
Prinsip-prinsip luhur dan nilai-nilai kemanusiaan agung ini sedikit demi sedikit mulai memudar di kalangan umat Muslim seiring dengan perjalanan waktu. Di era Dinasti Utsmani, para tawanan, terutama anak-anak, dijadikan budak lalu dilatih berperang dan dididik untuk loyal kepada sultan dan penguasa. Sebagian dari mereka diambil untuk dibentuk menjadi kelompok Janisari (unit pasukan infanteri elit).
Mobilisasi dan pelibatan anak di dalam perang biasa dilakukan di masa-masa Dinasti Utsmani. Sebagian besar tentara perang Dinasti Utsmani adalah para budak yang dibeli sejak mereka masih kecil dari bangsa Turki, Sirkasia, Kurdi, Romawi, Armenia, dan Turkmenistan. Budak-budak ini dibeli sejak kecil untuk dididik dan dilatih gerakan-gerakan perang.
Dinasti Utsmani mewajibkan “pajak manusia” kepada keluarga-keluarga Kristen di negeri-negeri taklukannya seperti Makedonia, Serbia, Bulgaria, Albania, Hungaria, dan lain sebagainya. Setiap keluarga Kristen harus menyerahkan satu orang anak laki-laki. Negara mengirim agen-agennya ke daerah-daerah Kristen, masing-masing orang dari mereka akan tinggal di rumah seorang pendeta desa, dan mereka akan meminta daftar nama anak laki-laki yang pernah dibaptis oleh setiap pendeta itu. Saat itu tidak ada aturan atau hukum khusus yang mengatur cara memilih dan menyeleksi anak-anak. Para agen itu umumnya mengambil anak-anak laki-laki yang berusia antara 8 – 10 tahun. Dan setiap agen terkadang mengambil untuk dirinya sendiri dengan cara tidak legal sejumlah anak kecil, terutama anak-anak perempuan, untuk dijual.
Karena sebagian besar orangtua dari anak-anak itu adalah kaum petani, mereka merelakan anak-anak mereka direkrut menjadi tentara supaya mereka tetap dibiarkan bertani dan sawah-sawah mereka tidak dirampas dari mereka.
Sejarah mencatat mengenai kekejaman Dinasti Utsmani dalam memperbudak orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka. Apalagi ketika mereka berperang di Bosnia dan Balkan, mereka merampas secara paksa anak-anak kecil langsung dari pangkuan ibu-ibu mereka.
Upaya Pengembangan Hak-hak Anak
Situasi yang dihadapi anak saat ini berupa pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-haknya dalam skala internasional yang telah melewati batas kemanusiaan merupakan tema penting dan membawa ancaman besar bagi masyarakat internasional dan dunia secara keseluruhan. Karenanya setiap upaya pengembangan bagi hak-hak ini akan membawa dampak yang besar bagi kemanusiaan secara menyeluruh.
Namun, meskipun tema ini sangat penting, hanya saja—karena minimnya data yang memperlihatkan situasi-situasi anak—, dan kendati banyaknya kaidah-kaidah hukum internasional mengenai perlindungan anak, para akademisi dan peneliti di bidang hukum dan agama belum memberikan perhatian memadai dan tidak melakukan studi-studi mendalam mengenai berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak, situasi yang melatari fenomena pelanggaran ini, dan kemungkinan pengembangan hak-hak anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kontemporer.
Kurangnya sumber dan kelangkaan referensi menjadi halangan terbesar dalam studi pengembangan hak-hak anak. Alasan utama kurangnya sumber-sumber ini mungkin karena isu mengenai anak dipandang kurang menarik dibandingkan dengan isu-isu lain terkait kelompok-kelompok rentan, sehingga tidak mudah menemukan literatur-literatur yang secara memadai dapat membantu studi dan penelitian mengenai hak-hak anak, khususnya dari sisi hukum Islam, mengingat situasi saat ini di mana pemenuhan hak-hak anak di negara-negara mayoritas Muslim hanyalah harapan semu.
Jarang sekali ditemukan kelompok besar penelitian sebelumnya di bidang hukum Islam yang berhubungan dengan studi ini, dan oleh karena itu tidak diperoleh informasi yang cukup kecuali dari sumber-sumber sekunder seperti jurnal ilmiah, buku, dan laporan. Meskipun ada, muatan-muatan yang dikandung cenderung sama dan lebih merupakan penafsiran-penafsiran normatif terhadap teks-teks keagamaan sehingga tidak ditemukan hal-hal baru yang sesuai dengan tuntutan realitas. Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan memang penting. Tetapi masalahnya, penafsiran cenderung bersifat spekulatif, sehingga potensi untuk memicu kontroversi dan perdebatan sangat besar, terutama yang terkait anak-anak perempuan.
Hal itu menjelaskan perbedaan pendapat di antara para pemikir Muslim di masa lalu, bahkan di masa kini. Sehingga masalah-masalah yang dihadapi anak-anak saat ini tidak akan selesai hanya dengan mengandalkan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, melainkan akan menemukan solusi sejatinya melalui pemahaman terhadap teks dengan melihat konteks sosial di masa-masa Islam awal mengenai kehidupan Nabi Saw. dan bagaimana beliau berinteraksi dengan umat Muslim, khususnya anak-anak.[]