Pos

Perhatian Islam Terhadap Hak Anak

PADA 1 Juni 2023 dunia internasional memperingati “Hari Anak Internasional” atau tepatnya “Hari Perlindungan Anak Internasional” (The International Day for Protection of Children), yang ditetapkan berdasarkan hasil kongres Women’s International Democratic Federation di Moskow, Rusia pada 4 November 1949. Selanjutnya negera-negara di seluruh dunia memperingatinya sejak tahun 1950.

Dibandingkan dengan isu-isu lain seperti radikalisme, terorisme, atau bahkan isu perempuan dan kelompok-kelompok rentan lain, isu mengenai anak selalu menjadi isu pinggiran yang tak mendapatkan porsi perhatian yang semestinya. Padahal, semua orang tahu, anak-anak adalah harapan masa depan. Mereka yang akan membuat masa depan, karena mereka adalah aset seluruh bangsa dan harapan yang lahir untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan cita-cita masa depan.

Sungguh merupakan hal yang sangat memalukan bagi umat manusia dan bisa saja layak dituduh telah melakukan kejahatan, bahwa di dunia saat ini terdapat ratusan juta anak korban berbagai bentuk pelanggaran kemanusiaan yang mengerikan. Pelanggaran hak anak dan pembiarannya akan menjadi ancaman nyata tidak saja bagi anak-anak, kesejahteraan, dan masa depan mereka, tetapi juga masa depan dunia secara keseluruhan, di mana seorang korban kejahatan akan menjelma menjadi pelaku kehajatan karena pengaruh kebencian yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Laporan tahunan UNICEP (United Nations Children’s Fund) tahun 2010 pernah menyebut bahwa anak telah menjadi bahan bakar perang dalam lebih dari 30 konflik bersenjata di Afrika sejak tahun 1970 akibat ledakan bom dan ranjau yang menargetkan individu serta operasi mobilisasi anak. Dilaporkan juga pada tahun 2003 bahwa selama 15 tahun sebelumnya sebanyak lebih dari 2 juta anak di dunia tewas dalam konflik bersenjata, sebagaimana sekitar 6 juta anak lainnya terkena ledakan bom, sebagian dari mereka menderita cacat permanen, dan puluhan juta anak lainnya menderita gangguan psikologis dan trauma cukup parah.

Jelas, konflik-konflik bersenjata telah melanggar seluruh hak anak termasuk hak hidup, hak untuk berada di dalam keluarga dan masyarakat, hak kesehatan, hak kembang-tumbuh, serta hak pengasuhan dan perlindungan.

Kehadiran Islam pada abad ke-5 atau 6 sebenarnya membawa angin segar bagi pemenuhan hak-hak anak. Islam memberikan banyak hak dan perlindungannya kepada anak. Ini merupakan nilai sangat tinggi yang dimiliki umat Muslim sebagaimana digambarkan di dalam al-Qur`an, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” [Q.S. al-Kahfi: 46].

Di dalam al-Qur`an, sumber utama seluruh hukum Islam, tertulis banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai hak-hak anak, di antaranya ancaman Allah bagi pelaku dosa pembunuhan anak, apapun alasannya, bahwa mereka akan menderita kerugian yang sangat besar, “Sungguh merugi orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah karuniakan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk,” [Q.S. al-An’am: 140]. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian agama dan dunia sekaligus karena mereka membunuh anak-anak mereka.

Islam menolak keras banyak kebiasaan masyarakat Arab saat itu, di antaranya pembunuhan anak-anak perempuan dengan alasan menghindari aib, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh?” [Q.S. al-Takwir: 8 – 9]. Ayat merupakan sindiran dan teguran keras bagi orang yang membunuh anak perempuannya yang tak berdosa dan tak melakukan kesalahan apapun yang membuatnya layak dibunuh dan dijauhkan dari haknya untuk hidup. Ancaman Allah bagi pelaku dosa ini adalah perhitungan yang keras kelak di hari Akhir.

Islam menggariskan persamaan dan kesetaraan di antara umat Muslim, sehingga pembedaan dan diskriminasi bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya [dengan berfirman], ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, [karena] sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain,” [Q.S. Ali Imran: 195]. Laki-laki dan perempuan, keduanya berada dalam posisi yang seimbang, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain kecuali dengan ketakwaan. Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam balasan atas apa yang mereka kerjakan dan tidak menyia-nyiakan perbuatan baik dari mereka.

Islam mendorong umat Muslim untuk melindungi anak-anak dan membela mereka dari ketidakadilan dan penindasan, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan maupun anak-anak,” [Q.S. al-Nisa`: 75]. Para mufassir melihat bahwa penyebutan “anak-anak” (al-wildân) di dalam ayat ini adalah untuk menunjukkan kejamnya penganiayaan dan penyiksaan penduduk Makkah terhadap umat Muslim, bahkan anak-anak pun mereka siksa demi memaksa orangtua-orangtua mereka untuk kembali ke ajaran lama mereka.

Dalam suasana perang, Islam meletakkan prinsip-prinsip dasar moralitas dan mewajibkan umat Muslim untuk menjalankannya, yaitu melarang pembunuhan orang yang tidak ikut berperang dengan tujuan menjaga hak manusia untuk hidup. Umat Muslim tidak diperintah untuk memerangi kecuali terhadap orang yang memerangi mereka. Para penduduk sipil, laki-laki, perempuan dan anak yang tidak ikut berperang dilarang untuk dibunuh, “Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan,” [QS. al-Nisa`: 98].

Di dalam sebuah hadits, Nabi Saw. menggambarkan dunia anak-anak (al-thufûlah) seperti dunia yang dekat dengan surga, “Anak-anak itu seperti kupu-kupu surga,” [H.R. al-Bukhari, No. 145]. Secara tegas Nabi memberikan hak kepada anak perempuan untuk hidup dengan melarang pembunuhan anak perempuan. “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak kewajiban dan menuntut sesuatu yang bukan menjadi haknya,” [H.R. Muslim, No. 1407]. Dalam hadits lain disebutkan, “Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan, ia tidak menyakitinya, tidak pula menghinakannya, tidak mengutamakan anak laki-lakinya atas anak perempuannya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga,” [H.R. Abu Dawud, No. 5146].

Nabi Saw. menjaga kehormatan anak perempuan dan seluruh haknya dengan tidak membedakannya dengan anak laki-laki. Anak perempuan punya hak untuk hidup sebagaimana anak laki-laki dan keduanya harus diperlakukan sama, tidak boleh ada yang lebih diutamakan daripada yang lain. Nabi menentang keras tindakan pengutamaan anak laki-laki atas anak perempuan, bahkan beliau mengingatkan umat Muslim mengenai kebaikan mempunyai anak perempuan, “Sebaik-baik anak kamu adalah anak-anak perempuan.”

Di dalam banyak haditsnya Nabi Saw. mendorong umat Muslim untuk memperhatikan pendidikan anak-anak perempuan guna menegaskan prinsip anti-diskriminasi antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bila keduanya diperlakukan setara, maka bangunan keluarga, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan akan berdiri kokoh.

Terkait hubungan negara-negara Muslim dan negara-negara non-Muslim pada masa-masa perang, Nabi Saw. menggariskan prinsip-prinsip khusus mengenai perlindungan para warga sipil terutama anak-anak. Beliau melarang keras serangan terhadap anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua renta. Beliau bahkan meminta para panglima perang Muslim untuk tidak memerangi orang-orang yang belum mencapai usia perang, “Berperanglah, jangan melampaui batas. Jangan melarikan diri. Jangan melakukan mutilasi. Jangan membunuh anak-anak,” [H.R. Muslim, No. 1731].

Diriwayatkan dari al-Aswad ibn Sari’ bahwa Nabi Saw. bersabda, “Janganlah kalian membunuh anak-anak di dalam perang.” Para tentara bertanya, “Bukanlah mereka adalah anak-anak kaum Musyrik?” Nabi Saw. bersabda, “Bukankah orang-orang terbaik di antara kalian adalah anak-anak kaum Musyrik?” [H.R. Ahmad, No. 15713]. Nabi sangat marah ketika mendengar bahwa sebagian tentaranya membunuh anak-anak, beliau berkata lantang, “Ada apa dengan kaum yang melebihi batas dalam membunuh sehingga mereka membunuh anak-anak? Bukankah tidak boleh membunuh anak-anak, bukankah tidak boleh membunuh anak-anak, bukankah tidak boleh membunuh anak-anak?!” [H.R. Ahmad].

Para sahabat dan para ahli fikih menyepakati larangan membunuh anak-anak di dalam perang. Abu Bakr al-Shiddiq ra. memberikan nasihat kepada Yazid ibn Abi Sufyan, Amr ibn al-Ash, dan Syarahbil ibn Hasanah sebelum perang di Syam, “Jangan membunuh anak kecil.” Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan para penduduk sipil umumnya dan anak-anak khususnya dari bahaya dan kekejaman perang.

Prinsip-prinsip luhur dan nilai-nilai kemanusiaan agung ini sedikit demi sedikit mulai memudar di kalangan umat Muslim seiring dengan perjalanan waktu. Di era Dinasti Utsmani, para tawanan, terutama anak-anak, dijadikan budak lalu dilatih berperang dan dididik untuk loyal kepada sultan dan penguasa. Sebagian dari mereka diambil untuk dibentuk menjadi kelompok Janisari (unit pasukan infanteri elit).

Mobilisasi dan pelibatan anak di dalam perang biasa dilakukan di masa-masa Dinasti Utsmani. Sebagian besar tentara perang Dinasti Utsmani adalah para budak yang dibeli sejak mereka masih kecil dari bangsa Turki, Sirkasia, Kurdi, Romawi, Armenia, dan Turkmenistan. Budak-budak ini dibeli sejak kecil untuk dididik dan dilatih gerakan-gerakan perang.

Dinasti Utsmani mewajibkan “pajak manusia” kepada keluarga-keluarga Kristen di negeri-negeri taklukannya seperti Makedonia, Serbia, Bulgaria, Albania, Hungaria, dan lain sebagainya. Setiap keluarga Kristen harus menyerahkan satu orang anak laki-laki. Negara mengirim agen-agennya ke daerah-daerah Kristen, masing-masing orang dari mereka akan tinggal di rumah seorang pendeta desa, dan mereka akan meminta daftar nama anak laki-laki yang pernah dibaptis oleh setiap pendeta itu. Saat itu tidak ada aturan atau hukum khusus yang mengatur cara memilih dan menyeleksi anak-anak. Para agen itu umumnya mengambil anak-anak laki-laki yang berusia antara 8 – 10 tahun. Dan setiap agen terkadang mengambil untuk dirinya sendiri dengan cara tidak legal sejumlah anak kecil, terutama anak-anak perempuan, untuk dijual.

Karena sebagian besar orangtua dari anak-anak itu adalah kaum petani, mereka merelakan anak-anak mereka direkrut menjadi tentara supaya mereka tetap dibiarkan bertani dan sawah-sawah mereka tidak dirampas dari mereka.

Sejarah mencatat mengenai kekejaman Dinasti Utsmani dalam memperbudak orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka. Apalagi ketika mereka berperang di Bosnia dan Balkan, mereka merampas secara paksa anak-anak kecil langsung dari pangkuan ibu-ibu mereka.

 

Upaya Pengembangan Hak-hak Anak

Situasi yang dihadapi anak saat ini berupa pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-haknya dalam skala internasional yang telah melewati batas kemanusiaan merupakan tema penting dan membawa ancaman besar bagi masyarakat internasional dan dunia secara keseluruhan. Karenanya setiap upaya pengembangan bagi hak-hak ini akan membawa dampak yang besar bagi kemanusiaan secara menyeluruh.

Namun, meskipun tema ini sangat penting, hanya saja—karena minimnya data yang memperlihatkan situasi-situasi anak—, dan kendati banyaknya kaidah-kaidah hukum internasional mengenai perlindungan anak, para akademisi dan peneliti di bidang hukum dan agama belum memberikan perhatian memadai dan tidak melakukan studi-studi mendalam mengenai berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak, situasi yang melatari fenomena pelanggaran ini, dan kemungkinan pengembangan hak-hak anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kontemporer.

Kurangnya sumber dan kelangkaan referensi menjadi halangan terbesar dalam studi pengembangan hak-hak anak. Alasan utama kurangnya sumber-sumber ini mungkin karena isu mengenai anak dipandang kurang menarik dibandingkan dengan isu-isu lain terkait kelompok-kelompok rentan, sehingga tidak mudah menemukan literatur-literatur yang secara memadai dapat membantu studi dan penelitian mengenai hak-hak anak, khususnya dari sisi hukum Islam, mengingat situasi saat ini di mana pemenuhan hak-hak anak di negara-negara mayoritas Muslim hanyalah harapan semu.

Jarang sekali ditemukan kelompok besar penelitian sebelumnya di bidang hukum Islam yang berhubungan dengan studi ini, dan oleh karena itu tidak diperoleh informasi yang cukup kecuali dari sumber-sumber sekunder seperti jurnal ilmiah, buku, dan laporan. Meskipun ada, muatan-muatan yang dikandung cenderung sama dan lebih merupakan penafsiran-penafsiran normatif terhadap teks-teks keagamaan sehingga tidak ditemukan hal-hal baru yang sesuai dengan tuntutan realitas. Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan memang penting. Tetapi masalahnya, penafsiran cenderung bersifat spekulatif, sehingga potensi untuk memicu kontroversi dan perdebatan sangat besar, terutama yang terkait anak-anak perempuan.

Hal itu menjelaskan perbedaan pendapat di antara para pemikir Muslim di masa lalu, bahkan di masa kini. Sehingga masalah-masalah yang dihadapi anak-anak saat ini tidak akan selesai hanya dengan mengandalkan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, melainkan akan menemukan solusi sejatinya melalui pemahaman terhadap teks dengan melihat konteks sosial di masa-masa Islam awal mengenai kehidupan Nabi Saw. dan bagaimana beliau berinteraksi dengan umat Muslim, khususnya anak-anak.[]

Peluncuran Buku Hak Anak dalam Islam

Rumah KitaB didukung Oslo Coalition meluncurkan draft buku “Hak Anak dalam Islam: Ikhtiar dari Hukum Positif, Fikih, Hadis dan Al-Quran”. Acara yang diikuti 74 peserta baik luring maupun daring ini diadakan di Hotel Aston, Bogor, pada 7 Februari 2022. Acara ini dibuka jam 13.00  dengan menghadirkan para pembicara, seperti Lies Marcoesm M.A dan Dr. Lena Larsen sebagai perwakilan Rumah KitaB dan Oslo Coalition, Dr. Faqih Abdul Kodir selaku koordinator peneliti dan penulis buku, serta sejumlah penanggap yaitu Rita Pranawati dari KPAI, Dr. Maria Ulfa Anshor perwakilan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Kiai Ulil Abshar Abdalla M.A sebagai ahli dalam kajian teks  keagamaan klasik.

Acara ini juga menghadirkan para peneliti yang sekaligus kontributor penulis buku ini, yaitu Rifa Tsamrotus Sa’adah, Achmat Hilmi dan Jamaluddin Mohammad, sementara Fadilla Dwianti hadir melalui Zoom bersama sejumlah peserta lain mengingat pembatasan protokol kesehatan karena naiknya angka keterpaparan Covid-19.

Dalam sambutan pembuka acara ini, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes Natsir memberikan konteks latar belakang dari kegiatan ini. “Sejak dua tahun lalu Oslo mendukung kami melakukan penelitian NDIT (New Directions in Islamic Thoughts) yang pada dasarnya sejalan dengan program yang sedang kami jalankan, yaitu mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak,” ujarnya.

Lies juga menegaskan bahwa sudah delapan tahun Rumah KitaB bekerja untuk advokasi  Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, kata Lies, sejauh ini isu Perkawinan anak masih terus berada di abu-abu alias kurang tegas. Padahal, berdasarkan riset yang di lakukan Rumah KitaB, sudah jelas dan tegas bahwa perkawinan anak adalah satu bentuk kekerasan dan dalam realitasnya lebih banyak memunculkan mafsadat.

“Karena itu, melalui buku ini, kami ingin membangun argumentasi bagaimana pencegahan perkawinan anak didukung baik dalam hukum positif maupun hukum Islam.  Buku yang kita launching hari ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendukung dan menguatkan keinginan tersebut,” kata Lies.

Lies menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan Islam orang menyangka ada dispute antara pandangan konservatif dan progresif dalam kaitan dengan perlindungan anak. Namun ketika riset ini dilakukan ternyata ada problem mendasar, yaitu  baik yang konservatif maupun progresif dalam kaitannya dengan perlindungan anak sama-sama dari subyek yang sama yaitu kepentingan orang dewasa, sementara hak-hak anak hanyalah menjadi lampiran. Di lain pihak pendekatan yang ditawarkan kelompok “sekuler” yang mengembangkan hak-hak anak, tak secara terbuka menimbang pandangan-pandang dari kelompok agama yang telah merasa bahwa hak-hak anak telah selesai di bawah daial diskursus keagamaan.

Hal ini diakui oleh Lena Larsen sebagaimana dikatakan dalam sambutannya sebagai direktur Oslo Coalition bahwa terjadi benturan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut ketika melihat realitas perkembangan dan kebutuhan manusia modern. Menurutnya “tugas tokoh agama adalah menciptakan harmoni antara nilai-nilai agama  yang dianut dengan semangat perkembangan zaman yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan pluralisme”.

Sebagai penulis buku ini,  Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah konstruksi bagaimana menemukan dan menegaskan hal-hal yang bersifat prinsip dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang berasal norma-norma dalam hukum positif maupun norma-norma lain bersifat kultur berbasis hukum Islam. Ia menawarkan pendekatan refleksif kolaboratif dengan mengakui bahwa masing-masing norma memiliki modal untuk mengembangkan perlindungan dan hak-hak yang berpusat kepada anak.

Sebelumnya, kata Faqih, tidak bisa lain kita harus melakukan refleksi dan bersikap terbuka terhadap hal-hal yang selama ini menjadi kendala dan halangan dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang ditemukan dalam hukum positif maupun hukum Islam (fikih, al-Quran dan Hadis). Setelah itu, tahap berikutnya melakukan kolaborasi secara konstruktif seluruh norma-norma yang berlaku baik dalam hukum positif maupun agama dengan mendasarkan pada hal-hal yang prinsip, untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam norma manapun, melalui inisiatif yang ada dari norma manapun, bagi ikhtiar komprehensif pemenuhan hak-hak anak.

Ibu Rita Pranawati dari KPAI mengapresiasi upaya yang dilakukan Rumah Kitab dan apa yang dipersoalkan dalam penelitian ini meru[akan juga persoalan yang dihadapi lembaga perlindungan anak ini. Menurutnya perlu ditambahkan pembahasan terkait beberapa topik terbaru yang tidak dibahas baik dalam hukum positif maupun oleh norma budaya dan agama.

Maria Ulfa Anshor selaku penanggap diskusi ini sangat mengapresiasi keseluruhan buku ini. Ia bersepakat bahwa hak-hak anak dalam Islam terlalu terfokus pada level mikro sebagaimana temuan penelitian Rumah KitaB.  Karenanya ia setuju kajiannya perlu diperluas lagi pada level meso dan makro. Sebagaimana disebut dalam teori ekosistem perlindungan anak yang dikemukakan Bronfenbrenner dalam The Ecological of Human Development,  perkembangan hidup/tumbuh-kembang anak terdiri dari mikro, meso dan makro.

Sementara menurut Ulil Abshar Abdalla kita harus bisa menempatkan positioning kita sebagai intelektual muslim ketika berhadapan dengan konvensi yang dibuat PBB. “Posisi kita sebagai intelektual muslim tidak sekadar mengonfirmasi konvensi yang dibuat PBB. Kita juga harus bisa melampaui dan memberikan penafsiran baru terhadap konvensi tersebut. Ketika kita menulis buku ini kita memiliki otonomi intelektual. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman di luar negara maju juga memberikan sumbangan,” pungkasnya.

Sementara dari pihak pemerintah Ibu Rohika Kurniadi Sari dari Deputi Tumbuh Kembang Anak mengapresiasi dan menunggu hasil kajian ini untuk mengatasi problem perlindungan anak yang disebabkan oleh tidak memadainya kajian norma hukum dan norma agama atau budaya.

Seluruh peserta terlihat antusias dan setia mengikuti acara ini hingga berakhir pada pukul 15.30 WIB. [JM]

Program OSLO / NDIT, RK dan Mubadalah 2021

Hak Anak dalam Perspektif Hadits
Oleh: Faqih Abdul Kodir
Itu judul formal dari workshop tipis-tipis, kemarin siang-sore, yang membicarakan rancangan outline sebuah buku tentang Hak Anak dalam Islam. Ini digagas Rumah Kitab yang dipimpin mba Lies Marcoes.
Ya ini hanya judul formal. Isinya sih baru outline yang menjajagi sejauhmana tradisi Hadits bisa ditambang untuk berbicara mengenai hak anak pada konteks kita sekarang. Tulisan ini adalah catatan tentang apa yang aku sampaikan terkait outline ini.
Di forum ini, aku mengatakan bahwa tradisi Hadits dengan berbagai kekayaan dan kompleksitasnya menunjukan sebuah dinamika interaksi umat Islam dengan sumber otoritas, seperti Hadits, dari dulu dan sampai saat ini, masih berlanjut. Baik menyangkut sanad, dengan proses validasi, maupun matan dengan seluruh proses interpretasi.
Karena itu, kekayaan dan kompleksitas ini bisa ditambang kembali. Misalnya, sebagai modal kita dalam membicarakan hak-hak anak pada konteks kontemporer kita saat ini. Kita bisa berkontribusi secara kritis, kepada kesepakatan global yang disebut Convention on Rights of Childe (CRC, 1989), maupun peraturan hukum positif kita seperti yang ada dalam UU Perlindungan Anak (no. 35 tahun 2014).
Misalnya, data bahwa tiga dari perawi besar Hadits adalah sahabat yang pada masa Nabi Saw masih berada pada usia, yang saat ini, dikategorikan sebagai anak. Yaitu, Anas bin Malik ra, Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Abbas ra. Ibn Abbas ra, misalnya, lahir dua tahun sebelum peristiwa Hijrah. Artinya, pada saat Nabi Saw wafat, beliau berusia 12 tahun.
Selama usia 12 tahun ini, beliau mendengar, belajar, dan menghimpun hadits-hadits dari Nabi Muhammad Saw, yang kemudian diriwayatkan kepada yang lain setelah kewafatan baginda Nabi Saw. Selang dua tahun, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra, Ibn Abbas ra termasuk tokoh yang dirujuk pada disiplin tafsir, hadits, dan fatwa-fatwa keagamaan. Di kalangan ulama Hadits, Ibn Abbas ra adalah tokoh perawi utama kelima, setelah Abu Hurairah ra, Anas bin Malik ra, Ibn Umar ra, dan Aisyah ra.
Apa yang bisa kita simpulkan dari data ini? Perlukah kita mendefinisikan ulang tentang konsep Hadits? Ia tidak hanya tentang Nabi Saw, tetapi tentang kehidupan anak-anak pada masa Nabi Saw? Perlukah kita kumpulkan secara khusus semua perilaku anak-anak, atau mereka yang saat itu, dianggap berada pada usia anak? Apa saja yang bisa kita simpulkan nanti tentang teks-teks Hadits ini?
Sepertinya, setahuku, belum ada karya yang menyentuh hal ini. Ini bisa menjadi kajian dan karya akademik mereka yang bergelut pada bidang Hadits. Di Indonesia ada Asosisiasi par Dosen Ilmu-ilmu Hadits (ASILHA), yang dulu dipimpin al-marhum Prof. Dr. KH. Muhammad Alfatih Suryadilaga.
Asosiasi ini, menurutku, perlu mendorong seleksi dan kompilasi teks-teks Hadits tentang kehidupan anak-anak pada masa Nabi Muhammad Saw, yang tersebar di berbagai kitab-kitab Hadits.
Pelajaran apa lagi yang bisa ditambang dari kisah Ibn Abbas ra ini? Bisa kah kita bicarakan tentang otoritas pengetahuan anak yang diterima dan diakui dalam Islam? Apakah anak tidak hanya berhak belajar, tetapi juga berhak mengajar? Jika mengajar sekarang dianggap profesi, apakah berarti anak juga berhak untuk memiliki profesi dan bekerja?
Nah, ini kan berbeda dengan CRC yang melarang anak bekerja atas alasan apapun. Secara fundamental CRC juga hanya menegaskan anak-anak sebagai pemegang hak semata, tanpa ada tanggung-jawab sama sekali. Padahal, dalam semangat tradisi Islam, di samping memiliki hak, anak-anak juga menanggung tanggung-jawab: minimal hormat pada orang tua. Bagaimana, kita membicarakan hal ini?
Kita juga punya data berjibun tentang sikap kasih sayang Nabi Saw terhadap anak-anak. Nabi Saw yang sering bermain dengan mereka, bersenda gurau, membiarkan baju beliau dikencingi bayi, mempercepat shalat ketika ada tangis bayi, bersujud cukup lama karena punggung beliau dinaiki anak-anak saat shalat menjadi imam di masjid, shalat menjadi imam dengan menggendong balita, bahkan pernah turun dari khutbah karena melihat sang cucu datang bersedih, menggendongnya menenangkanya, lalu melanjutkan khutbah.
Hadits-hadits seperti ini banyak sekali dan diriwayatkan kitab-kitab yang sangat otoritatif. Ini semua menyiratkan sebuah perspektif dasar bahwa perlakuan terhadapa anak-anak itu dasarnya adalah kasih-sayang terhadap mereka. Perspektif ini, secara substansial, adalah sama persis dengan perspektif yang terkandung di dalam CRC dan UU Perlindungan Anak.
Karena hadits-hadits ini banyak dan fundamental, harusnya ia menjadi dasar dalam memaknai sebuah teks hadits tentang “pemukulan anak saat usia 10 tahun, karena tidak mau shalat” (Sunan Abu Dawud, no. hadits: 495), yang sering melegitimasi kekerasan dalam pendidikan dan pengajaran apapun. Dari sisi interpretasi, kita memiliki ragam pandangan yang dibukukan kitab-kitab klasik.
Sehingga, bisakah pemukulan hanya dianggap sebagai metode, yang suatu saat harus berubah jika tidak mencerminkan dasar kasih sayang dan maksud pendidikan? Bisakah dipahami sebagai ketegasan untuk berpegang pada aturan yang disepakati? Atau, minimal, bisakah ia hanya berlaku pada pengajaran tertentu, usia tertentu, dan orang tertentu?
Begitupun teks hadits yang sering menjadi dasar para ulama fiqh untuk membeaskan pidana yang dilakukan orang tua pada anaknya. Yaitu teks hadits: “Bahwa kamu dan hartamu adalah miliki ayahmu” (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 238). Bisakah teks hadits ini dibicarakan ulang dengan semangat dasar kasih sayang tadi? Bisakah ia tidak ditarik pada kesimpulan untuk membebaskan pidana orang tua?
Tetapi apa makna dari hadits ini kira-kira? Adakah para pembaca yang bisa mengusulkan? Bisakah ia sedang menekankan pentingan seorang anak memperhatikan kehidupan orang tuanya, dengan diri dan hartanya? Bukan untuk membebaskan pidana yang dilakukan orang tua terhadap anak?
Mba Nyai Nur Rofiah mengusulkan kerangka Islam sebagai sistem dan sekaligus proses, yang harus diterapkan ketika berinteraksi dengan ayat, hadits, maupun peraturan yang berlaku. Ini penting untuk memastikan tidak ada teks, Hadits misalnya, yang digunakan orang tua menzalimi anak, alih-alih melindunginya.
Mas Ulil Abshar Abdalla, yang hadir lambat he he hee, mengusulkan pembacaan literatur terkini terkait hak-hak anak dalam Islam, baik yang ditulis para ulama dunia, sarjanan, praktisi, dan aktivis perlindungan anak. Ini penting sebelum memulai penulisan buku baru tentang hak anak dalam Islam. Menurutnya, CRC walau bagaimanapun adalah berangkat dari pengalaman dan perspektif Barat.
Walaupun kita tidak perlu dikhotomi Barat-Timur, kata mas Ulil, tetapi kajian kita harus kontributif-kritis. Kebebasan beragama bagi anak, misalnya, yang diakui CRC, itu diartikan sebagian orang Barat: bahwa mengajarkan agama pada anak itu adalah kekerasan. Katanya, ini kan harus dikritik. Tetapi juga kita harus berkontrbusi dari tradisi keislaman kita, baik yang klasik, maupun kontemporer. Termasuk, dan terutama dari tradisi Nusantara.
Mba Ala’i Nadjib, yang hadir juga di workshop, usul mendalami fakta Ibn Abbas ra itu sebagai modal kontribusi Hadits pada isu-isu anak, mba Rifa Tsamrotul Syaa’dah, yang salah satu penulis dari perspektif al-Qur’an, usul tentang hadits-hadits nasihat Nabi Saw pada anak dari gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, yang harus terus bebuat baik pada ayahnya yang munafik, bisa diangkat tentang relasi anak dan orang tua yang berbeda prinsip, agama, atau ideologi dari anaknya.
Apapun itu, karena ini rancangan outline, masih terbuka berbagai masukan, termasuk dari semua pembaca FB ini he he hee…..
Mangga ditunggu…..