Pos

Peluncuran Buku Hak Anak dalam Islam

Rumah KitaB didukung Oslo Coalition meluncurkan draft buku “Hak Anak dalam Islam: Ikhtiar dari Hukum Positif, Fikih, Hadis dan Al-Quran”. Acara yang diikuti 74 peserta baik luring maupun daring ini diadakan di Hotel Aston, Bogor, pada 7 Februari 2022. Acara ini dibuka jam 13.00  dengan menghadirkan para pembicara, seperti Lies Marcoesm M.A dan Dr. Lena Larsen sebagai perwakilan Rumah KitaB dan Oslo Coalition, Dr. Faqih Abdul Kodir selaku koordinator peneliti dan penulis buku, serta sejumlah penanggap yaitu Rita Pranawati dari KPAI, Dr. Maria Ulfa Anshor perwakilan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), dan Kiai Ulil Abshar Abdalla M.A sebagai ahli dalam kajian teks  keagamaan klasik.

Acara ini juga menghadirkan para peneliti yang sekaligus kontributor penulis buku ini, yaitu Rifa Tsamrotus Sa’adah, Achmat Hilmi dan Jamaluddin Mohammad, sementara Fadilla Dwianti hadir melalui Zoom bersama sejumlah peserta lain mengingat pembatasan protokol kesehatan karena naiknya angka keterpaparan Covid-19.

Dalam sambutan pembuka acara ini, Direktur Rumah KitaB, Lies Marcoes Natsir memberikan konteks latar belakang dari kegiatan ini. “Sejak dua tahun lalu Oslo mendukung kami melakukan penelitian NDIT (New Directions in Islamic Thoughts) yang pada dasarnya sejalan dengan program yang sedang kami jalankan, yaitu mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak,” ujarnya.

Lies juga menegaskan bahwa sudah delapan tahun Rumah KitaB bekerja untuk advokasi  Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, kata Lies, sejauh ini isu Perkawinan anak masih terus berada di abu-abu alias kurang tegas. Padahal, berdasarkan riset yang di lakukan Rumah KitaB, sudah jelas dan tegas bahwa perkawinan anak adalah satu bentuk kekerasan dan dalam realitasnya lebih banyak memunculkan mafsadat.

“Karena itu, melalui buku ini, kami ingin membangun argumentasi bagaimana pencegahan perkawinan anak didukung baik dalam hukum positif maupun hukum Islam.  Buku yang kita launching hari ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendukung dan menguatkan keinginan tersebut,” kata Lies.

Lies menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan Islam orang menyangka ada dispute antara pandangan konservatif dan progresif dalam kaitan dengan perlindungan anak. Namun ketika riset ini dilakukan ternyata ada problem mendasar, yaitu  baik yang konservatif maupun progresif dalam kaitannya dengan perlindungan anak sama-sama dari subyek yang sama yaitu kepentingan orang dewasa, sementara hak-hak anak hanyalah menjadi lampiran. Di lain pihak pendekatan yang ditawarkan kelompok “sekuler” yang mengembangkan hak-hak anak, tak secara terbuka menimbang pandangan-pandang dari kelompok agama yang telah merasa bahwa hak-hak anak telah selesai di bawah daial diskursus keagamaan.

Hal ini diakui oleh Lena Larsen sebagaimana dikatakan dalam sambutannya sebagai direktur Oslo Coalition bahwa terjadi benturan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut ketika melihat realitas perkembangan dan kebutuhan manusia modern. Menurutnya “tugas tokoh agama adalah menciptakan harmoni antara nilai-nilai agama  yang dianut dengan semangat perkembangan zaman yang menuntut kesetaraan, keadilan, dan pluralisme”.

Sebagai penulis buku ini,  Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah konstruksi bagaimana menemukan dan menegaskan hal-hal yang bersifat prinsip dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang berasal norma-norma dalam hukum positif maupun norma-norma lain bersifat kultur berbasis hukum Islam. Ia menawarkan pendekatan refleksif kolaboratif dengan mengakui bahwa masing-masing norma memiliki modal untuk mengembangkan perlindungan dan hak-hak yang berpusat kepada anak.

Sebelumnya, kata Faqih, tidak bisa lain kita harus melakukan refleksi dan bersikap terbuka terhadap hal-hal yang selama ini menjadi kendala dan halangan dalam pemenuhan hak-hak anak, baik yang ditemukan dalam hukum positif maupun hukum Islam (fikih, al-Quran dan Hadis). Setelah itu, tahap berikutnya melakukan kolaborasi secara konstruktif seluruh norma-norma yang berlaku baik dalam hukum positif maupun agama dengan mendasarkan pada hal-hal yang prinsip, untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dalam norma manapun, melalui inisiatif yang ada dari norma manapun, bagi ikhtiar komprehensif pemenuhan hak-hak anak.

Ibu Rita Pranawati dari KPAI mengapresiasi upaya yang dilakukan Rumah Kitab dan apa yang dipersoalkan dalam penelitian ini meru[akan juga persoalan yang dihadapi lembaga perlindungan anak ini. Menurutnya perlu ditambahkan pembahasan terkait beberapa topik terbaru yang tidak dibahas baik dalam hukum positif maupun oleh norma budaya dan agama.

Maria Ulfa Anshor selaku penanggap diskusi ini sangat mengapresiasi keseluruhan buku ini. Ia bersepakat bahwa hak-hak anak dalam Islam terlalu terfokus pada level mikro sebagaimana temuan penelitian Rumah KitaB.  Karenanya ia setuju kajiannya perlu diperluas lagi pada level meso dan makro. Sebagaimana disebut dalam teori ekosistem perlindungan anak yang dikemukakan Bronfenbrenner dalam The Ecological of Human Development,  perkembangan hidup/tumbuh-kembang anak terdiri dari mikro, meso dan makro.

Sementara menurut Ulil Abshar Abdalla kita harus bisa menempatkan positioning kita sebagai intelektual muslim ketika berhadapan dengan konvensi yang dibuat PBB. “Posisi kita sebagai intelektual muslim tidak sekadar mengonfirmasi konvensi yang dibuat PBB. Kita juga harus bisa melampaui dan memberikan penafsiran baru terhadap konvensi tersebut. Ketika kita menulis buku ini kita memiliki otonomi intelektual. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman di luar negara maju juga memberikan sumbangan,” pungkasnya.

Sementara dari pihak pemerintah Ibu Rohika Kurniadi Sari dari Deputi Tumbuh Kembang Anak mengapresiasi dan menunggu hasil kajian ini untuk mengatasi problem perlindungan anak yang disebabkan oleh tidak memadainya kajian norma hukum dan norma agama atau budaya.

Seluruh peserta terlihat antusias dan setia mengikuti acara ini hingga berakhir pada pukul 15.30 WIB. [JM]