Pos

Merebut Tafsir: Seikat Kangkung di Hari ke-15 Ramadhan

Oleh: Lies Marcoes, M.A.

 

SETIAP pagi, bersama Asri, sang penggerak rumah tangga kami, saya menyusun menu dan memerika persediaan bahan makanan yang ada. Pagi ini kami memutuskan untuk masak tumis kangkung, goreng udang tepung dan terong ungu, tempe orek, dan bakso kuah serta pisang goreng untuk ta’jil. Ini sudah tanggal 15 Ramadhan, penghematan sudah dimulai namun kemeriahan berbuka harus tetap dijaga. Apalagi hari ini anak cucu akan kumpul menjelang akhir pekan sekaligus menikmati liburan berkat Jum’at Agung menjelang Paskah.

Seperti biasa, setelah belanja dan mengeluarkan bahan makanan yang masih ada, saya merapihkan belanjaan, membersihkan dan mengelompokkannya sesuai dengan bahan-bahan dan tahapan pengolahan berdasakan waktu yang dibutuhkan. Terus terang saya menikmati rutinitas ritual itu. Bagi saya ini seperti memberi waktu untuk mengembangkan kreasi, membuat padu padan menu, sambil kadang-kadang mengingat-ingat masa kecil. Banyak hal yang dapat menghubungkan ingatan dari masa kini ke masa lampau. Dan itulah keajaiban ingatan.

Dalam mengerjakan pekerjaan berulang seperti memetik sayuran, mengupas bawang atau mengiris tempe untuk orek, biasanya saya melakukannya sambil wiridan. Saya merasa cara itu dapat melatih konsentrasi dan merasa mendapat manfaat tambahan seperti bonus.
Pagi ini, sambil berjemur dan slonjoran di risbang di taman belakang, saya membersihkan kangkung. Seperti biasa saya memisahkan bagian yang akan dimasak dan membuang bagian lain yang tak terpakai.

Tiba-tiba ingatan saya melayang kepada Ibu; bukan soal kangung itu tetapi soal konsep makanan yang akan dimakan dan yang terbuang karena tidak dapat diolah.

Ketika itu, saya kelas 2 SMP. Seperti biasa, menjelang puasa Ibu akan menyiapkan makanan istimewa di luar hari-hari biasa. Ibu akan “mbeleh pitik” memotong ayam. Halaman belakang rumah kami adalah bagian dari kandang dan pelataran yang dimanfaatkan untuk memelihara ayam. Bisa ada puluhan ayam kampung yang dipelihara. Masing-masing kami, punya akuan ayam
favorit peliharaan. Biasanya karena dirawat sejak piyik dan menjadi ayam yang lulut.

Rupanya, Ayah memilih ayam peliharaan saya, Si Iteung”- ayam berbulu hitam mengkilap. Saya protes dan kesal atas keputusan itu. Di antara dua puluhan ekor ayam yang ada mengapa Si Iteung yang dipilih Ayah. Tapi Ayah adalah pemiliki kuasa atas keputusan. Ibu juga tidak protes atau menggantinya dengan yang lain. Saya menangis diam-diam dan menolak “ngopeni” setelah ayam dipotong. Biasanya ayam akan disiram air panas untuk kemudian dicabuti bulunya hingga benar-benar bersih.

Ibu tahu saya protes, ketika marah saya telah reda saya kembali membantu ibu menyiapkan makanan untuk sahur pertama sambil “mecucu” cemberut.

Ibu tak membiarkan saya bergulat sendiri untuk meredakan kemarahan. Ibu mengatakan alangkah beruntungnya ayam yang dipotong dan akan disantap oleh orang yang akan menjalankan ibadah puasa. Binatang dan tumbuh-tumbuhan tak diwajibkan ibadah. Tapi hidupnya akan mulia ketika mereka bermanfaat bagi mereka yang menjalankan ibadah, melakoni perannya sebagai khalifah di bumi, berbuat amal saleh dengan menebarkan kebaikan. Karenanya, demikian Ibu menasihati, kita harus senang menyajikan makanan terbaik yang disiapkan untuk makanan bagi orang-orang yang akan bergerak untuk mewujudkan kebaikannya di dunia. Ayam yang mati dan diolah untuk orang yang beribadah akan lebih mulia daripada ayam mati sebagai bangkai.

Saya mencerna “konsep” kemanfaatkan pangan dari Ibu itu sebagai catatan yang kemudian saya kembangkan ketika saya semakin banyak bertemu dengan tata cara ritual yang menyajikan sesembahan seperti adat orang Tengger yang mengadakan upacara larung hasil panen ke kawah Gunung Bromo dalam upacara Kasodoa, atau tradisi Hajat Laut masyarakat pesisir. Saya belajar memahami hakekat ketuntukkan semesta kepada Tuhan dan ikhtiar manusia di dalamnya.

Pagi ini ketika memotong-motong kangkung, saya pisahkan bagian pucuk yang hendak dimasak dan bagian batang yang harus dibuang. Setelah selesai saya korek-korek lagi bagian yang hendak dibuang siapa tahu ada yang masih bisa masuk ke bagian yang bisa diolah. Tapi saya merasa kasihan kepada bagian yang hendak dibuang. Betapa malang mereka, sebagian yang terbaik akan disantap oleh orang yang akan puasa sementara batangnya akan terbuang sia-sia. Itu sama dengan bulu-bulu ayam yang dipisahkan dari dagingnya yang akan disantap smenetara bulu-bulunya akan dibuang. Tapi Ibu saya mengatakan bahwa bulu-bulu ayam dan bagian yang terbuang akan tetap bermanfaat karena telah menjadi lantaran seekor ayam itu hidup dan tumbuh dan hidup. Itu sama dengan batang dan akar kangkung yang menjadi lantaran kita dapat menyantap pucuk kangkung itu. Karenanya kedua bagian itu sepadan derajatnya.

Pagi itu saya ingin memastikan, batang kangkung yang tak ikut dimakan itu tak akan busuk sia-sia. Saya kemudian mencincangnya/memotong-motongnya dan memasukkannya ke ember penampungan sampah organik. Saya pilih untuk pro aktif dengan memastikan batang kangkung itu tidak busuk sia-sia.

Melalui ikhtiar manusia mereka dimungkinkan menjadi bagian dari penciptaan alam semesta yang bermanfaat. Di sanalah letak martabat suatu benda.

Pada hakikatnya manusialah–dengan akal budinya–yang mampu memilih dan menentukan bagaimana alam semesta akan diperlakukan agar manfaat. Merekalah yang menentukan apakah semesta akan menjadi bagian dari ikhtiar ketundukkan manusia, bagian dari cara manusia berserah diri dan mengakui bahwa alam dan seisinya adalah hakikat dari kehadiran manusia sebagai “khalifah fi al-ardh“, atau sebaliknya mereka menjadi pihak yang takabur dan sombong.

Dalam tafsir, ini tercermin dari dialog antara Tuhan dan malaikat dan jin yang mempertanyakan tujuan penciptaan manusia. Manusia dibekali akan dan pikiran sehingga mereka mampu menimbang akankah mereka menjadikan alam semesta sebagai cara untuk pengakuan kepasrahan dan ketundukkan atau sebaliknya menjadi sarana ketamakan, kesombongan, keangkuhan manusia yang menjadikannya seolah sang maha penentu atas alam semesta.[]

 

16 April 2022