Pos

Dari Pohon ke Pahala: Telaah Hadis Kitab Sittina ‘Adliyah

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ؟ قَالَتْ: بَلْ مُسْلِمٌ. فَقَالَ: لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا، وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ، وَلَا دَابَّةٌ، وَلَا شَيْءٌ، إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً. رَوَاهُ مُسْلِمٌ[1]

Dari Jabir r.a, Nabi saw masuk ke perkebunan milik Ummu Mubasyir al-Ansari, lalu beliau bertanya: “Siapa yang menanam pohon kurma ini? Seorang muslim atau kafir?” Ia menjawab: “Seorang muslim ya Rasulullah saw”. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman lalu ada manusia, hewan atau sesuatu yang memanfaatkannya atau memakannya, kecuali menjadi sedekah kepadanya” ( HR. Muslim).[2]

~~~

Hadis ini bersumber dari Shahih Muslim nomor hadis 1556. Berdasarkan redaksi hadisnya, Nabi  saw sedang berkunjung ke sebuah perkebunan milik Ummu Mubasyir, seorang sahabat dari golongan Ansar. Setelah melihat pepohonan di kebun tersebut, beliau bertanya mengenai siapa yang menyiramnya. Kemudian Nabi saw menyampaikan hadis ini sebagai anjuran kepada seluruh umat Islam agar menjaga lingkungan dan melaksanakan reboisasi.[3]

Dilihat dari teks hadis, Islam tidak melarang kepada siapa pun termasuk perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Contohnya sahabat Ummu Mubasyir yang memilih untuk beraktivitas di luar rumah dengan berkebun. Nabi saw tidak melarangnya, bahkan membiarkan perempuan yang beraktivitas di luar rumah selama dalam batasan syariat.

Dalam hadis tersebut, pohon digambarkan sebagai sumber manfaat. Ia tidak hanya menghasilkan buah, tetapi juga memberi keteduhan, menyuburkan tanah, dan menjadi rumah bagi makhluk hidup. Setiap orang yang menanam pohon, sejatinya sedang menanam manfaat untuk banyak pihak. Demikian pula karier seorang perempuan: saat ia bekerja, berkarya, atau membuka peluang usaha, sejatinya ia sedang menanam kebaikan yang dapat dirasakan orang lain.

Hadis ini bisa dikontekstualisasikan pada zaman sekarang bahwa semua orang, laki-laki maupun perempuan berhak memiliki karier dalam hidupnya. Sebab sekarang sudah memilik sistem keamanan yang lebih maju terhadap siapa pun dan sarana transportasi umum yang lebih mudah dan terjangkau.

Seperti halnya menjadi seorang guru, yang mendidik generasi dengan penuh dedikasi, sedang menanam pohon ilmu yang akan berbuah di masa depan. Seorang tenaga kesehatan perempuan, setiap kali membantu pasien sembuh, sedang menanam pohon kebaikan yang kelak pahalanya mengalir. Seseorang menjadi pengusaha yang membuka lapangan kerja, sedang menanam pohon rezeki untuk orang lain. Semuanya adalah bentuk kontribusi yang selaras dengan makna hadis.

Apalagi bagi seseorang yang sudah berkeluarga, hadis ini menjadi rujukan bahwa suami dan istri itu boleh memiliki karier masing-masing untuk memberikan nafkah yang lebih stabil terhadap keluarga, sejalan dengan prinsip maqashid asy-syari’ah untuk menjaga jiwa (hifdzu al-nafs) dan menjaga keturunan (hifdzu an-nasl).[4]

Belajar dari kota Jakarta yang sering digambarkan sebagai kota yang menjanjikan segalanya, ada peluang kerja yang lebih baik, banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lengkap, serta gaya hidup modern yang sulit ditemukan di kota kecil, semua ini menciptakan daya tarik bagi orang-orang dari berbagai daerah untuk datang, meski harus meninggalkan kampung halaman.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali lebih keras dari yang dibayangkan. Biaya hidup tinggi membuat banyak orang harus bekerja dari pagi hingga larut malam hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gaji yang didapat sering kali langsung habis untuk membayar kontrakan, memberi orang tua, dan transportasi.[5]

Oleh karena itu, dengan memiliki karier masing-masing, suami istri akan saling mendukung dalam menjaga ekonomi keluarga, mendukung pendidikan anak, atau bahkan menolong kerabat dan masyarakat, sehingga apa yang mereka lakukan akan bernilai sedekah. Seperti halnya pepohonan yang ditanam, lalu menghasilkan buah dan dimanfaatkan oleh manusia atau hewan, semuanya akan menjadi catatan pahala.

Di dalam hadis ini juga Nabi saw secara jelas menjunjung nilai kesetaraan. Pahala tidak hanya diberikan kepada seorang laki-laki yang menanam pohon, tetapi kepada siapa saja yang berbuat baik. Hal ini menegaskan bahwa dalam Islam, kesempatan untuk beramal baik terbuka luas bagi laki-laki maupun perempuan. Kebaikan tidak diukur  dari jenis kelamin, tetapi dengan niat hati dan manfaat bagi orang lain.

Dengan niat yang lurus, karier seseorang akan bisa bernilai ibadah. Ini bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang menebar manfaat dan menjaga keberlangsungan hidup, dan memberi ruang tumbuh terhadap orang lain. Seperti pepohonan yang terus berbuah meski penanamnya sudah tiada, amal dari karier seseorang pun akan terus mengalir sebagai sedekah jariyah.[6]

Hadis ini juga menjadi rujukan bagi perempuan modern yang turut bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga. Dengan niat ikhlas, kerja keras ini bukan sekadar rutinitas, melainkan ibadah. Hadis menegaskan bahwa kebaikan apa pun yang memberi manfaat akan bernilai pahala, sehingga kontribusi perempuan dalam nafkah adalah amal yang mulia.

Hadis menanam pohon memberikan pelajaran bahwa setiap amal yang memberi manfaat adalah sedekah. Bagi perempuan modern, berkarier bukan hanya soal kemandirian finansial atau membantu nafkah keluarga, melainkan juga jalan ibadah. Setiap tetes keringat yang diniatkan ikhlas, setiap manfaat yang lahir dari pekerjaan, semuanya adalah pohon kebaikan yang akan terus berbuah di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, karier perempuan bukan sekadar rutinitas, melainkan ladang pahala. Seperti pepohonan yang kokoh dan bermanfaat, perempuan berkarier adalah penanam kebaikan yang hasilnya dapat dinikmati banyak orang, dan pahalanya akan mengalir tanpa henti.

 

 

 

[1] Shahih Muslim, hal. 1556.

[2] Sittina Adliyah, hal. 13.

[3] Fathul Mu’in, Syarah Shahih Muslim, hal. 265.

[4] Buku Saku Fikih Perempuan Bekerja, Tim Rumah KitaB Yayasan Rumah KitaB, 2022, hal.  49.

[5] Ananda Stoon, “Jakarta Itu Keras, Masa Iya?”, https://anandastoon.com, diakses tanggal 02 Oktober 2025.

[6] Buku Saku Fikih Perempuan Bekerja, hal. 50.

Urgensi Membahas Fatwa Hidup Satwa (Bagian 2)

Pembahasan sebelumnya telah menguraikan tentang pentingnya membahas fikih kehidupan satwa. Bahwa sebagai seorang manusia, apalagi beriman, kita perlu menjaga ekosistem alam, termasuk binatang. Bukan sebatas karena perbuatan itu baik, tetapi juga ada dorongan teologis sebagai makhluk yang ditugaskan menjadi khalifah dan abdullah di bumi.

Namun, tidak sedikit dalil-dalil keagamaan yang justru dapat memberikan legalitas untuk memberangus kehidupan hewan. Tulisan ini akan menguraikan beberapa dalil yang sering dijadikan landasan bahwa ada hewan yang tidak layak untuk dibiarkan hidup dan berkembang biak.

Pandangan Islam tentang Anjing

Dalam sebuah hadis yang masyhur diriwayatkan bahwa Rasul saw bersabda:

لولَا أنَّ الكِلابَ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لَأمَرْتُ بقتْلِها ، فاقتُلوا منها كُلَّ أسودَ بهيمٍ

“Seandainya anjing bukan termasuk salah satu umat (kelompok), niscaya aku akan perintahkan untuk membunuh semuanya. Tetapi, bunuhlah yang berwarna hitam.”

Dalam hadis lain, dikatakan bahwa yang berwarna hitam itu adalah setan. Tentu amat susah merasionalkan alasan warna hitam dengan eksistensi setan. Karenanya, ulama hadis menyusun metodologi kritik matan (naqd al-matn) selain juga kritik sanad (naqd al-sanad). Salah seorang ulama yang konsen pada kritik matan adalah Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi dalam kitab Manhaj Naqd al-Matn ind Ulama al-Hadis al-Nabawi.

Menurutnya, ada lima kriteria hadis dapat diterima secara matannya, yaitu: sesuai dengan Al-Quran; hadis sahih dan sirah Nabawiyah; dapat diterima akal, indra dan fakta sejarah; dan redaksi kebahasaan memang menggambarkan perkataan Nabi. Dari kelima kriteria tersebut, paling tidak, gambaran warna hitam sebagai setan sulit diterima oleh akal dan indra manusia. Karenanya, hadis ini perlu dimaknai secara kontekstual, alih-alih dipahami tekstual.

Ibnu Qutaibah dalam kitab Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis menegaskan bahwa seandainya Nabi memerintahkan untuk membunuh semua anjing, maka satu spesies akan punah. Padahal manusia mendapatkan manfaat dari anjing untuk menjaga rumah, gembalaan, harta dan dapat dimanfaatkan untuk berburu. Karenanya, dalam literatur fikih pun diperbolehkan mengonsumsi hewan hasil buruan anjing sebagaimana yang termaktub dalam redaksi fakuluu mimma amsakna ‘alaikum dalam surat al-Ma`idah ayat 4.

Belum lagi, kata Ibn Qutaibah, anjing adalah hewan yang paling setia dengan tuannya. Ia mengutip kisah yang dituturkan oleh Abu Ubaidah tentang anjing yang menjaga jenazah majikannya yang tewas dalam perjalanan. Maka menurut Ibn Qutaibah, hadis tersebut harus dipahami pengecualian, bukan keseluruhan. Warna ‘hitam’ dalam hadis tersebut juga perumpamaan dari sifat buas yang memang juga melekat pada beberapa anjing.

Karenanya, bagi anjing buas dan ganas, yang menyerang manusia, diperkenankan untuk membunuh sebagai opsi terakhir melindungi kehidupan. Terlebih, di era modern sekarang diketahui, anjing juga membawa virus rabies yang bisa membahayakan kehidupan jika tidak segera ditangani.

Kehidupan Nabi bersama Anjing

Pada saat yang sama, anjing yang jinak dan tidak menyerang manusia, amat terlarang untuk dibunuh. Dalam sejarah kenabian, sebagaimana dipaparkan Quraish Shihab dalam buku “Jawabannya adalah Cinta”, beliau menegaskan ada tiga periode Nabi hidup bersama anjing. Fase pertama, anjing menemani manusia yang membutuhkan perlindungannya. Dahulu, tidak jarang perempuan keluar di malam hari bersama anjing untuk menjaganya bahkan menunjukkan jalan terdekat dan teraman melalui indra penciumannya yang tajam.

Fase kedua, Rasul memerintahkan untuk menjauhkan bahkan membunuh anjing karena sudah terlampau banyak dan berlalu lalang di dalam masjid sehingga mengganggu ibadah. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Pada fase ketiga, Nabi melarang membunuh anjing kecuali yang ganas dan gila. Bahkan beliau mengizinkan untuk memelihara anjing guna menjadi penjaga kebun serta menjadi anjing pemburu.

Kehidupan Nabi bersama anjing itu juga selaras dengan potret ashabul kahfi dalam Al-Quran yang juga hidup berdampingan dengan anjing. Sehingga membunuh anjing yang tidak menyerang manusia bukan hanya bertentangan dengan sunnah, tetapi juga melanggar hak hidup hewan.

Ada Hewan yang Fasik

Selain anjing, ada beberapa hewan lain yang juga dibolehkan dalam hadis Nabi untuk dibunuh. Sebagaimana hadis Nabi berikut:

خمسٌ منَ الدَّوابِّ كلُّهنَّ فاسقٌ يُقتَلنَ في الحلِّ والحرمِ الْكلبُ العقورُ والغرابُ والحدَأةُ والعقربُ والفأرةُ

“Ada lima hewan fasik yang harus dibunuh di tanah halal maupun haram, yaitu: anjing, gagak, rajawali, kalajengking dan tikus.”

Hadis tersebut menegaskan bahwa ada binatang yang fasik sehingga halal untuk dibunuh. Sama seperti manusia yang ‘kafir’ dalam narasi keagamaan sering dipahami oleh sebagian orang boleh dibunuh. Tentu dengan dalil Al-Quran yang menegaskan qital terhadap orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Lagi-lagi, sebagaimana pembahasan sebelumnya tentang anjing, hadis ini pun tidak dapat dipahami secara tekstual. Sebab kalau hewan itu dibunuh secara masif dan punah, maka justru itu akan mengganggu ekosistem kehidupan. Terlebih diyakini bahwa tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan Tuhan di bumi ini.

Lantas bagaimana memahami hadis tersebut secara tepat? Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, hadis itu melekatkan kata fasiq kepada binatang. Ini menarik untuk dicermati, sebab selama ini ada pemahaman bahwa hewan itu tidak berakal. Kalau dia tidak berakal, maka perbuatannya tidak dapat dikenakan tanggung jawab (taklif). Pun demikian, mereka tidak dapat dikatakan fasik, maksiat, kafir, dan sejenisnya atas perilaku yang dilakukan.

Hewan dan Ketaatan Kepada Sang Pencipta

Dari sini, kata fasiq perlu dipahami secara lebih luas. Ibn Qutaibah memahami kata fasaqa dengan makna fasaqa ‘an amri rabbih, keluar dari perintah dan ketaatan Tuhan. Apakah hewan bisa taat kepada Tuhan? Di sinilah perlu pemahaman yang lebih komprehensif terkait dunia hewan.

Selama ini, dengan kaca mata sebagai manusia, sering kali kita menganggap hewan itu tak beradab. Dunia hewan hanyalah tunduk pada kepentingan manusia. Padahal kalau mau mengeksplorasi kitab suci, ada banyak kisah fabel yang menggambarkan bahwa dunia binatang itu sama dengan manusia. Mereka pun berzikir kepada Tuhan, melalui kokok ayam di pagi hari, kicauan burung di petang hari, hingga suara jangkrik yang memecah keheningan malam. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Saba` ayat 10:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ ۚوَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ

Sungguh, benar-benar telah Kami anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang kali bersama Daud!” Kami telah melunakkan besi untuknya.

Selain interaksi Nabi Daud dengan kicauan burung, dalam Al-Quran juga ditemukan narasi kehidupan burung Hudhud dan semut bersama Nabi Sulaiman, kehidupan lalat, lebah, laba-laba, tongkat ‘ular’-nya Nabi Musa, dan sebagainya. Potret ini sepenuhnya memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kehidupan satwa itu juga beragam dan penuh warna.

Hewan dan Sunnatullah Kehidupan

Kedua, kehidupan hewan sepenuhnya mengikuti sunnatullah. Saling menjaga saling menghidupkan. Tetapi, ada hewan-hewan yang mempunyai sisi lain yang dapat membahayakan kehidupan, seperti anjing buas, bisa kalajengking yang ganas, hingga populasi tikus yang bisa membawa penyakit.

Sifat-sifat buruk inilah yang disematkan pada kata fasiq dalam hadis tersebut. Dan untuk menjaga manusia, bagi hewan yang menyerang diperkenankan untuk dibunuh saat itu juga. Hal ini tidak membuat seluruh populasi anjing, gagak, kalajengking, tikus dan rajawali menjadi mati. Justru perintah tersebut maqasid-nya adalah menjaga kehidupan.

Melampaui Persoalan Asal Membunuh Hewan

Namun, di sini letak vitalnya. Pemahaman soal membunuh hewan ini sering kali berakhir pada fikih normatif bahwa diperbolehkan dan urusan selesai setelah hewan yang mengganggu itu dibunuh. Padahal ada persoalan yang lebih mendasar dari fenomena hewan tersebut.

Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, bahwa hewan tersebut hadir di habitatnya masing-masing. Tikus hidup di tempat yang kotor, penuh sampah dan kumuh. Ketika ada tikus yang masuk ke rumah, kesalahan itu tidak sepenuhnya karena sang tikus. Justru kehadiran tikus itu menjadi teguran bagi sang pemilik rumah, bahwa ia sedang hidup di lingkungan yang kotor dan jorok.

Pelajarannya adalah harus membersihkan rumah lebih giat, sampah jangan menumpuk, dan lingkungan sekitar lebih asri. Sayangnya, langkah yang dilakukan biasanya hanya membeli racun tikus. Tetapi rumah tetap dalam kondisi kotor berantakan. Maka ibarat mati satu tumbuh seribu, tikus akan datang menyerbu lagi. Karena yang menjadi problem bukan tikusnya, tetapi gaya hidup kita yang serampangan.

Contoh lain, anjing buas, harimau atau singa yang habitatnya di hutan. Jangan salahkan hewan tersebut kalau pada akhirnya mereka menyerang warga desa, karena rumah mereka di hutan sana sudah habis dibabat manusia. Kalau rumah mereka diganggu, ya mereka akan mengakuisisi rumah lain untuk dijadikan tempat tinggal. Persis seperti naluri manusia yang juga akan menyerang kalau diserang terlebih dahulu.

Karenanya, hadis di atas harus dipahami lebih kontekstual. Bukan sebatas bunuh-membunuh, apalagi pembunuhan menjadi fantasi untuk membasmi satu spesies. Hadis itu justru memberikan pesan agar manusia dan hewan bisa saling memberikan hak hidup dan ruang bersama. Kehadiran hewan ‘pengganggu’ di lingkungan masyarakat harus dipahami sebagai peringatan, bahwa ada pola hidup yang keliru dari manusia. Dan karenanya, kehidupan ini tidak selalu soal manusia, tapi ada hewan dan lingkungan sekitar yang harus dijaga.

Tinjauan Islam dalam Upaya Menolak Gerakan Privatisasi Air


Air, sebagai sumber kehidupan yang dianugerahkan oleh Allah untuk seluruh umat manusia, seharusnya menjadi hak bersama warga negara, bukan komoditas yang dikuasai oleh segelintir pihak seperti korporasi atau organisasi tertentu. Ketika air diprivatisasi dan dikelola demi keuntungan segelintir pihak, hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan yang ditegaskan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Rahman (55:7-9):

“Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan), agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.”

Islam sangat menekankan keseimbangan dan keadilan dalam menjaga tatanan kehidupan, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Sayangnya, kenyataan di Indonesia menunjukkan ketimpangan dalam pengelolaan air. Berbagai perusahaan, seperti PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), PT Aetra Air Jakarta, PT Tirta Benteng di Tangerang, dan PDAM di beberapa daerah telah terlibat dalam privatisasi air yang menyebabkan ketidakadilan akses, peningkatan tarif, dan kualitas layanan yang menurun. Fenomena ini menggambarkan ketidakseimbangan yang jelas, di mana kepentingan masyarakat luas terabaikan demi keuntungan pihak tertentu.

Pada dasarnya, privatisasi air di Indonesia tidak hanya bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, tetapi juga bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yang berbunyi:

“Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena-fenomena tersebut?

Tinjauan Air dari Perspektif Qur’an dan Hadis

Air adalah salah satu elemen paling penting yang disebutkan berulang kali dalam Al-Qur’an. Kata “air” sendiri disebutkan sebanyak 60 kali, dan jika kita memperhitungkan istilah lain seperti al-matar (hujan), al-anhar (sungai), al-uyun (mata air), yanbu‘ (sumber air), nahr (sungai besar), dan al-bahr (laut), jumlah penyebutannya mencapai 214 kali. Penyebutan ini menegaskan peran vital air dalam kehidupan dan alam semesta, serta mencerminkan perhatian Islam terhadap keseimbangan ekosistem dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Sayangnya, eksplorasi terhadap makna air sering kali mendapat pengerdilan. Air dalam pandangan sebagian besar umat Islam sering kali terbatas hanya pada ritual ibadah, seperti wudhu dan mandi wajib. Perspektif ini cenderung mengerdilkan makna air yang sejatinya jauh lebih mendalam. Air bukan sekadar instrumen ritual, tetapi merupakan sumber kehidupan yang mendasar, baik dalam konteks ekologis maupun spiritual. Implikasinya, kerap terjadi pengabaian terhadap tanggung jawab kita dalam menjaga air itu sendiri.

Pengkerdilan makna air ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam memahami hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam). Oleh karena itu, kita perlu mengembalikan kesadaran kolektif akan kedudukan air sebagai elemen vital yang menuntut pemeliharaan dan penghormatan, tidak hanya dalam praktik ibadah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Fungsi air, menurut Al-Qur’an, adalah sumber utama kehidupan. Dalam surat Al-Anbiya’ ayat 30, Allah berfirman:

“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air.”

Ayat ini menggarisbawahi bahwa tanpa air, kehidupan tidak akan ada. Al-Qur’an juga menekankan air sebagai sarana penciptaan manusia, sebagaimana disebutkan dalam An-Nur ayat 45 dan Al-Furqan ayat 54, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari air. Ini menunjukkan bahwa air bukan sekadar elemen fisik, tetapi juga simbol kehidupan itu sendiri.

Selain itu, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana air memengaruhi tanah dan seluruh makhluk hidup. Dalam surat Al-Baqarah ayat 164 dan Al-Haj ayat 5, air disebut sebagai elemen yang menyuburkan tanah, menghidupkan tumbuh-tumbuhan, dan memberikan rezeki bagi makhluk hidup. Ayat-ayat ini menekankan fungsi air dalam ekosistem yang lebih luas, sebagai sarana keberlanjutan dan keseimbangan alam. Dari sini, Islam mengajarkan pentingnya menjaga air sebagai anugerah yang harus dipelihara dengan adil untuk memastikan kesejahteraan semua makhluk hidup di bumi.

Sejalan dengan ajaran Al-Qur’an, terdapat hadis yang menegaskan bahwa air adalah milik bersama dan tidak boleh dimonopoli. Rasulullah SAW bersabda:

“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menekankan bahwa air adalah salah satu sumber daya yang harus diakses oleh semua orang, tanpa ada pihak yang berhak untuk menguasai atau memperjualbelikannya secara eksklusif.

Upaya Islam dalam Menolak Gerakan Privatisasi Air

Islam memandang air sebagai hak publik yang harus dikelola demi kesejahteraan semua makhluk. Privatisasi air yang menguntungkan segelintir pihak bertentangan dengan prinsip keadilan dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu ada upaya nyata untuk menolak segala bentuk privatisasi yang merugikan masyarakat luas. Sekali lagi, air adalah karunia Tuhan yang tidak boleh dimonopoli atau diperdagangkan demi kepentingan pribadi.

Ada beberapa upaya yang bisa diambil, di antaranya adalah:

  1. Membentuk gerakan sosial. Upaya ini dimaksudkan memperjuangkan akses air bersih bagi semua orang, serta mendorong perubahan kebijakan yang melindungi hak publik atas sumber daya ini. Sebagaimana pesan dalam hadis bahwa kita umat Islam harus bersekutu atas air.
  2. Mendorong adanya fatwa ulama atas larangan kebijakan privatisasi air. Upaya ini memperkuat landasan moral dan hukum bagi umat Islam dalam menolak segala bentuk monopoli sumber daya air. Langkah ini juga membantu memperkuat solidaritas dalam gerakan menolak privatisasi, sehingga suara masyarakat semakin kuat dan terorganisir.
  3. Memanfaatkan tradisi wakaf dalam pengelolaan air. Gerakan mengelola air melalui wakaf dapat dijadikan sebagai gerakan remunisipalisasi (mengembalikan barang publik yang diprivatisasi menjadi barang publik kembali). Wakaf memungkinkan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan dan bebas dari komersialisasi.
  4. Menghadirkan pendidikan dalam menciptakan kesadaran mengenai air. Pendidikan dapat membangun kesadaran di kalangan masyarakat tentang bahaya privatisasi air dan pentingnya melindungi hak atas air.

Dengan kombinasi gerakan sosial, fatwa, wakaf, dan pendidikan, Islam menyediakan solusi yang kuat untuk menolak gerakan privatisasi air dan memastikan akses yang adil bagi semua.[]

rumah kitab

Merebut Tafsir: Berdamai dengan Hadis

Rabu malam, 1 September 2021, saya hadir dan menjadi salah satu dari  yang pengayu bagya atas terbitnya buku Dr. Faqih Abdul Kodir “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” (Afkaruna.id-2021).

Acara ini luar biasa meriah.  Jumlah peserta  yang “ngezoom” mendekati 1000 orang.  Para pembicaranya tak kalah seru. Ada pengasuh ngaji KGI Dr. Nur Rofiah, pengasuh ngaji Ihya – kyai Ulil Abshar Abdalla, ada anggota DPR- Dr. Nihayatul Wafiroh, dosen UIN Jogja Dr. Inayah Rohmaniyah, ahli pendidikan Evy Ghazali MA, pelaku seni stand up comedy yang membuat peserta ger-geran, Sakdiyah Makruf, dan tentu saja kyai Husein dengan kesaksiannya sejak Faqih baca Juz-Amma hingga saat ini, serta penulisnya sendiri, Faqih.

Buku ini berisi sejumlah kajian hadis untuk-tema-tema yang subyeknya perempuan. Ini merupakan upaya Faqih untuk men“dekonstruksi” cara pandang pembaca hadis dengan sebuah tawaran metodologis yang dinamai “Qira’ah Mubadalah”.  Sederhananya ini adalah sebuah konsep yang menawarkan cara baca kritis dengan menggunakan konsep kesalingan atau hubungan timbal balik. Intinya, memastikan bahwa setiap subyek hadis yang merujuk kepada manusia maka itu berarti berlaku bagi lelaki dan perempuan meskipun secara literal obyeknya perempuan saja atau lelaki saja. Kira-kira, jika perempuan dianggap fitnah, lelaki pun sama saja, sumber fitnah!

Sebagaimana sering dikeluhkan Faqih, dalam amatannya, banyak aktivis feminis muslimah yang “menghindar” atau bahkan “menolak” menggunakan hadis sebagai rujukan dalam melakukan upaya pemberdayaan perempuan meskipun menggunakan argumentasi keagamaan. Umumnya kami langsung merujuk Al Qur’an atau turun ke tataran lebih praktis ke metodologi penafsirannya yang diterapkan dalam sistem hukum seperti dalam hukum keluarga Islam.

Amatan itu ada benarnya. Namun bisakah dibayangkan betapa terbelahnya jiwa kaum perempuan Muslim tatkala berhadapan dengan kontradiksi-kontradiksi terkait hadis-hadis tentang mereka.

Sebagai Muslimah, dan melalui pengalaman tumbuh kembang dalam tradisi yang sebegitu rupa memulikan Nabi, hati siapa yang tak tergetar setiap saat melantunkan kidung shalawat tentang betapa tingginya ahlak Nabi kepada perempuan.  Dalam serpihan-serpihan kisah yang kerap ada di garis tepi (tidak mainstream meskipun kualitas hadisnya bisa sahih), kita membaca bagaimana Sang Cahaya Rembulan itu menimang dan mengasihi anak-anak perempuan, mengiyakan, menunjukkan jalan, memuji di hadapan sahabat yang lelaki, atau menguatkan untuk setiap keputusan kaum perempuan yang bertanya soal hidup dan penghidupan mereka; mencari ilmu, mencari nafkah, berhaji, menerima dan menolak pinangan, berkeluarga dan merawatnya, menolak pemukulan dan pemaksaan kawin. Oooo betapa rindunya  kami padamu ya Rasul…

Namun mayoritas hadis-hadis tentang perempuan yang kami baca seakan Nabi tak menyayangi kami. Sudah patuh pun  masih tetap dihukum kurang iman, kami dianggap penyebab fitnah (kekacauan), tubuh perempuan sepenuhnya aurat (seolah tubuhnya merebarkan bau busuk hingga harus ditutup rapat), kerja kerasnya akan sia-sia jika tak seizin dan atas ridha suami, harus selalu sedia bersetubuh kapanpun dan dimanapun suami mau, menyediakan pecut untuk suami dan berhak untuk memukulnya jika suami merasa tak berkenan, ridha suami adalah ridha Allah. Bahkan telah menjilati nanah suami pun belum tentu diterima amal ibadahnya tanpa ada keridhaan suami. Semua itu dinisbatkan kepada  ujaran atau ajaran dari Nabi.  Wahai Nabi kami… begitukah?

Dalam perumpamaan yang tak sebanding, tapi sekedar untuk imajinasi, ini seperti zaman DOM di Aceh, mereka diminta cinta mati NKRI namun perlakuan tentara dan “Jakarta”  kepada orang Aceh sedemikian buruknya hingga mati pun tanpa arti. Tak beda dengan tuntutan kepada orang Papua untuk setia tanpa syarat kepada NKRI tapi perlakuan kepada mereka tak menunjukkan kecintaan yang sebaliknya  kepada Papua. Betapa terbelahnya jiwa mereka. Hanya ingatan kepada cita-cita luhur negeri ini yang terus menguatkan cinta mereka kepada Indonesia.

Faqih menawarkan sebuah jalan yaitu Mubadalah-relasi timbal balik. Jelas ini sebuah terobosan baru dan penting meskipun tentu tidak gampang. Ini karena  dalam stuktur- struktur relasi gender yang timpang, posisi salah satu pihak sedemikian tak seimbang dan tak sebandingnya. Salah satu pihak dianggap punya kendali atas yang lain, mendapatkan posisi yang diuntung oleh struktur dan kultur. Sementara pihak yang lain memiliki beban permanen yang lebih berat  dan khusus (reproduksi biologis) dan beban kultral (peran gender) yang seolah permanen.  Tanpa ada upaya untuk mengakui peran dan beban itu dan menaikannya agar seimbang  dan setara maka syarat untuk terjadinya relasi yang mubadalah akan tetap sulit.

Namun seperti yang disampaikan Faqih, bukan menjadi kewajiban konsep mubadalah untuk mengatasinya. Ini harus menjadi upaya kolektif agar  terjadi  kesederajat  equality dan equity  sehingga  hak-hak perempuan setara  agar terjadi keadilan yang penuh (istilah Nur Rofiah- hakiki). Mereka   sama-sama  berhak menerima maslahah dari kehadiran agama dan derivasinya dalam bentuk peradaban, kebudayaan, aturan hukum dan seterusnya.  Selamat ya Faqih # Lies Marcoes 3 September 2021.

Dalil Gus Ulil: Kisah kecil tentang Ibrahim ibn Thahman

Oleh Ulil Abshar Abdalla
.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat besar, Ibn ‘Abbas (w. 68 H), mengisahkan tentang Kanjeng Nabi yang memiliki kebiasaan meng-qashar salat saat dalam perjalanan. Hadis ini termuat dalam Sahih Bukhari, nomor 1056. Cara Imam Bukhari (w. 256 H) meriwayatkan hadis ini unik, tidak seperti biasanya. Ia menulis: “Dan Ibrahim ibn Thahman berkata…” (Wa qala; bukan “haddatsana” atau “akhbarana” seperti biasanya).
.
Ini adalah salah satu contoh dari “mu’allaqat al-Bukhari”, yakni hadis-hadis yang diriwayatkan secara “mu’allaq” oleh Imam Bukhari; yaitu, ada satu, dua atau lebih nama rawi yang tidak disebutkan di awal sanad secara berturut-turut.
.
Keterangan selingan: pada umumnya, hadis mu’allaq dianggap lemah dan karena itu harus ditolak (mardud). Ia tak memenuhi syarat penting dalam hadis yang sahih atau valid, yaitu “ittishal al-sanad”, yakni, sanad yang bersambung, tanpa putus, dari awal sampai akhir sanad, yaitu Kanjeng Nabi.
.
Tentu saja, status “ditolak” ini tidak berlaku untuk semua hadis mu’allaq. Jika hadis seperti ini dijumpai dalam Sahih Bukhari atau Sahih Muslim, statusnya tetap sahih atau valid. Jika sebuah hadis di-ta’liq oleh al-Bukhari, artinya ada sejumlah nama rawi yang tidak ia sebut di awal sanad, pastilah rawi-rawi itu adalah orang-orang yang bisa dipercaya, walau namanya tidak disebutkan secara eksplisit. Ini tentu saja karena nama besar Imam Bukhari sebagai “garansi” kesahihan hadis.
.
Saking banyaknya jumlah hadis mu’allaq dalam Sahih Bukhari (ada sekitar 1300an), seorang ulama hadis besar dari Kairo, Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 1449 M), menulis kitab penting: “Taghliq al-Ta’liq” (تغليق التعليق). Kitab ini bertujuan untuk membela kedudukan Sahih Bukhari sebagai kitab koleksi hadis yang tak diragukan otoritasnya. Melalui kitabnya itu, Ibn Hajar mencoba memastikan kesahihan hadis-hadis mu’allaq yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Oleh Ibn Hajar, semua hadis mu’allaq dalam koleksi itu di-washal-kan, yakni, sanad-sanad yang “bolong” disambungkan lagi.
.
Kembali kepada hadis riwayat Ibn ‘Abbas tadi. Sebagaimana sudah saya tulis di atas, dalam rangkaian sanad hadis ini terdapat seorang rawi bernama Ibrahim ibn Thahman (w. 163 H), seorang rawi hadis asal Khurasan, provinsi tempat kelahiran Imam al-Ghazali. Provinsi ini berada di bagian timur Iran.
.
Sosok Ibrahim ibn Thahman ini, jika kita telaah dalam literatur thabaqat (biographical dictionaries), amatlah interesan. Ia adalah salah seorang ulama yang paling awal (abad ke-2 Hijriyah) menolak dengan keras pandangan sebuah sekte bernama Jahmiyyah. Inilah sekte yang menjadi pendahulu sekte terkenal bernama Mu’tazilah.
Salah satu ciri aqidah kelompok Jahmiyyah adalah: mereka cenderung menolak sifat-sifat Tuhan yang bernada antropomorfis (serupa manusia; misalnya, penggambaran di Qur’an tentang Tuhan yang memiliki tangan). Kelompok ini berpandangan, tidak mungkin Tuhan memiliki sifat-sifat yang serupa manusia. Jika ada sifat-sifat yang menyarankan “tasybih” atau serupa manusia di Qur’an, ia harus di-ta’wil, ditafsir begitu rupa sehingga kesan antropomorfistik-nya bisa dihindarkan.
.
Ibrahim ibn Thahman juga dianggap cenderung mengikuti pandangan sekte Murji’ah yang memiliki akidah penting: bahwa seorang beriman yang melakukan dosa besar, tidak otomatis menjadi kafir. Sekte Murji’ah paling anti pada tindakan “takfir”, mengkafir-kafir kan kelompok yang berbeda. Ini berbeda secara kontras dengan kelompok Khawarij yang salah satu hobinya adalah mengkafirkan golongan yang berbeda.
.
Informasi lain mengenai Ibrahim ibn Thahman kita jumpai dalam “Siyar A’lam al-Nubala'”, sebuah kitab penting dalam genre thabaqat karya Imam al-Dzahabi (w. 1348 M). Di sana disebutkan kisah kecil berikut ini. Suatu hari, Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), imam besar pendiri mazhab Hanbali itu, sedang sakit dan rebahan di kursi (muttaki’an). Tiba-tiba salah seorang muridnya menyebut nama Ibrahim ibn Thahman.
.
Demi mendengar nama itu, Imam Ahmad mendadak “njenggirat”, bangkit dari rebahannya, dan duduk secara formal, seraya berkata: “Tak selayaknya jika nama seorang yang saleh disebut, engkau rebahan.”
Inilah cara umat Islam di masa lampau menghormati orang-orang yang memiliki ilmu. Mendengar nama seorang ulama disebut, mereka akan menaruh hormat setinggi-tingginya, antara lain dengan menampakkan bahasa tubuh yang menandakan penghormatan; bukan “celelekan”.
.
Sekian.