Pos

Tinjauan Islam dalam Upaya Menolak Gerakan Privatisasi Air


Air, sebagai sumber kehidupan yang dianugerahkan oleh Allah untuk seluruh umat manusia, seharusnya menjadi hak bersama warga negara, bukan komoditas yang dikuasai oleh segelintir pihak seperti korporasi atau organisasi tertentu. Ketika air diprivatisasi dan dikelola demi keuntungan segelintir pihak, hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan yang ditegaskan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Rahman (55:7-9):

“Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan), agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.”

Islam sangat menekankan keseimbangan dan keadilan dalam menjaga tatanan kehidupan, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Sayangnya, kenyataan di Indonesia menunjukkan ketimpangan dalam pengelolaan air. Berbagai perusahaan, seperti PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), PT Aetra Air Jakarta, PT Tirta Benteng di Tangerang, dan PDAM di beberapa daerah telah terlibat dalam privatisasi air yang menyebabkan ketidakadilan akses, peningkatan tarif, dan kualitas layanan yang menurun. Fenomena ini menggambarkan ketidakseimbangan yang jelas, di mana kepentingan masyarakat luas terabaikan demi keuntungan pihak tertentu.

Pada dasarnya, privatisasi air di Indonesia tidak hanya bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, tetapi juga bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yang berbunyi:

“Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena-fenomena tersebut?

Tinjauan Air dari Perspektif Qur’an dan Hadis

Air adalah salah satu elemen paling penting yang disebutkan berulang kali dalam Al-Qur’an. Kata “air” sendiri disebutkan sebanyak 60 kali, dan jika kita memperhitungkan istilah lain seperti al-matar (hujan), al-anhar (sungai), al-uyun (mata air), yanbu‘ (sumber air), nahr (sungai besar), dan al-bahr (laut), jumlah penyebutannya mencapai 214 kali. Penyebutan ini menegaskan peran vital air dalam kehidupan dan alam semesta, serta mencerminkan perhatian Islam terhadap keseimbangan ekosistem dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Sayangnya, eksplorasi terhadap makna air sering kali mendapat pengerdilan. Air dalam pandangan sebagian besar umat Islam sering kali terbatas hanya pada ritual ibadah, seperti wudhu dan mandi wajib. Perspektif ini cenderung mengerdilkan makna air yang sejatinya jauh lebih mendalam. Air bukan sekadar instrumen ritual, tetapi merupakan sumber kehidupan yang mendasar, baik dalam konteks ekologis maupun spiritual. Implikasinya, kerap terjadi pengabaian terhadap tanggung jawab kita dalam menjaga air itu sendiri.

Pengkerdilan makna air ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam memahami hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam). Oleh karena itu, kita perlu mengembalikan kesadaran kolektif akan kedudukan air sebagai elemen vital yang menuntut pemeliharaan dan penghormatan, tidak hanya dalam praktik ibadah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Fungsi air, menurut Al-Qur’an, adalah sumber utama kehidupan. Dalam surat Al-Anbiya’ ayat 30, Allah berfirman:

“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air.”

Ayat ini menggarisbawahi bahwa tanpa air, kehidupan tidak akan ada. Al-Qur’an juga menekankan air sebagai sarana penciptaan manusia, sebagaimana disebutkan dalam An-Nur ayat 45 dan Al-Furqan ayat 54, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari air. Ini menunjukkan bahwa air bukan sekadar elemen fisik, tetapi juga simbol kehidupan itu sendiri.

Selain itu, Al-Qur’an menjelaskan bagaimana air memengaruhi tanah dan seluruh makhluk hidup. Dalam surat Al-Baqarah ayat 164 dan Al-Haj ayat 5, air disebut sebagai elemen yang menyuburkan tanah, menghidupkan tumbuh-tumbuhan, dan memberikan rezeki bagi makhluk hidup. Ayat-ayat ini menekankan fungsi air dalam ekosistem yang lebih luas, sebagai sarana keberlanjutan dan keseimbangan alam. Dari sini, Islam mengajarkan pentingnya menjaga air sebagai anugerah yang harus dipelihara dengan adil untuk memastikan kesejahteraan semua makhluk hidup di bumi.

Sejalan dengan ajaran Al-Qur’an, terdapat hadis yang menegaskan bahwa air adalah milik bersama dan tidak boleh dimonopoli. Rasulullah SAW bersabda:

“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menekankan bahwa air adalah salah satu sumber daya yang harus diakses oleh semua orang, tanpa ada pihak yang berhak untuk menguasai atau memperjualbelikannya secara eksklusif.

Upaya Islam dalam Menolak Gerakan Privatisasi Air

Islam memandang air sebagai hak publik yang harus dikelola demi kesejahteraan semua makhluk. Privatisasi air yang menguntungkan segelintir pihak bertentangan dengan prinsip keadilan dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu ada upaya nyata untuk menolak segala bentuk privatisasi yang merugikan masyarakat luas. Sekali lagi, air adalah karunia Tuhan yang tidak boleh dimonopoli atau diperdagangkan demi kepentingan pribadi.

Ada beberapa upaya yang bisa diambil, di antaranya adalah:

  1. Membentuk gerakan sosial. Upaya ini dimaksudkan memperjuangkan akses air bersih bagi semua orang, serta mendorong perubahan kebijakan yang melindungi hak publik atas sumber daya ini. Sebagaimana pesan dalam hadis bahwa kita umat Islam harus bersekutu atas air.
  2. Mendorong adanya fatwa ulama atas larangan kebijakan privatisasi air. Upaya ini memperkuat landasan moral dan hukum bagi umat Islam dalam menolak segala bentuk monopoli sumber daya air. Langkah ini juga membantu memperkuat solidaritas dalam gerakan menolak privatisasi, sehingga suara masyarakat semakin kuat dan terorganisir.
  3. Memanfaatkan tradisi wakaf dalam pengelolaan air. Gerakan mengelola air melalui wakaf dapat dijadikan sebagai gerakan remunisipalisasi (mengembalikan barang publik yang diprivatisasi menjadi barang publik kembali). Wakaf memungkinkan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan dan bebas dari komersialisasi.
  4. Menghadirkan pendidikan dalam menciptakan kesadaran mengenai air. Pendidikan dapat membangun kesadaran di kalangan masyarakat tentang bahaya privatisasi air dan pentingnya melindungi hak atas air.

Dengan kombinasi gerakan sosial, fatwa, wakaf, dan pendidikan, Islam menyediakan solusi yang kuat untuk menolak gerakan privatisasi air dan memastikan akses yang adil bagi semua.[]

rumah kitab

Merebut Tafsir: Berdamai dengan Hadis

Rabu malam, 1 September 2021, saya hadir dan menjadi salah satu dari  yang pengayu bagya atas terbitnya buku Dr. Faqih Abdul Kodir “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” (Afkaruna.id-2021).

Acara ini luar biasa meriah.  Jumlah peserta  yang “ngezoom” mendekati 1000 orang.  Para pembicaranya tak kalah seru. Ada pengasuh ngaji KGI Dr. Nur Rofiah, pengasuh ngaji Ihya – kyai Ulil Abshar Abdalla, ada anggota DPR- Dr. Nihayatul Wafiroh, dosen UIN Jogja Dr. Inayah Rohmaniyah, ahli pendidikan Evy Ghazali MA, pelaku seni stand up comedy yang membuat peserta ger-geran, Sakdiyah Makruf, dan tentu saja kyai Husein dengan kesaksiannya sejak Faqih baca Juz-Amma hingga saat ini, serta penulisnya sendiri, Faqih.

Buku ini berisi sejumlah kajian hadis untuk-tema-tema yang subyeknya perempuan. Ini merupakan upaya Faqih untuk men“dekonstruksi” cara pandang pembaca hadis dengan sebuah tawaran metodologis yang dinamai “Qira’ah Mubadalah”.  Sederhananya ini adalah sebuah konsep yang menawarkan cara baca kritis dengan menggunakan konsep kesalingan atau hubungan timbal balik. Intinya, memastikan bahwa setiap subyek hadis yang merujuk kepada manusia maka itu berarti berlaku bagi lelaki dan perempuan meskipun secara literal obyeknya perempuan saja atau lelaki saja. Kira-kira, jika perempuan dianggap fitnah, lelaki pun sama saja, sumber fitnah!

Sebagaimana sering dikeluhkan Faqih, dalam amatannya, banyak aktivis feminis muslimah yang “menghindar” atau bahkan “menolak” menggunakan hadis sebagai rujukan dalam melakukan upaya pemberdayaan perempuan meskipun menggunakan argumentasi keagamaan. Umumnya kami langsung merujuk Al Qur’an atau turun ke tataran lebih praktis ke metodologi penafsirannya yang diterapkan dalam sistem hukum seperti dalam hukum keluarga Islam.

Amatan itu ada benarnya. Namun bisakah dibayangkan betapa terbelahnya jiwa kaum perempuan Muslim tatkala berhadapan dengan kontradiksi-kontradiksi terkait hadis-hadis tentang mereka.

Sebagai Muslimah, dan melalui pengalaman tumbuh kembang dalam tradisi yang sebegitu rupa memulikan Nabi, hati siapa yang tak tergetar setiap saat melantunkan kidung shalawat tentang betapa tingginya ahlak Nabi kepada perempuan.  Dalam serpihan-serpihan kisah yang kerap ada di garis tepi (tidak mainstream meskipun kualitas hadisnya bisa sahih), kita membaca bagaimana Sang Cahaya Rembulan itu menimang dan mengasihi anak-anak perempuan, mengiyakan, menunjukkan jalan, memuji di hadapan sahabat yang lelaki, atau menguatkan untuk setiap keputusan kaum perempuan yang bertanya soal hidup dan penghidupan mereka; mencari ilmu, mencari nafkah, berhaji, menerima dan menolak pinangan, berkeluarga dan merawatnya, menolak pemukulan dan pemaksaan kawin. Oooo betapa rindunya  kami padamu ya Rasul…

Namun mayoritas hadis-hadis tentang perempuan yang kami baca seakan Nabi tak menyayangi kami. Sudah patuh pun  masih tetap dihukum kurang iman, kami dianggap penyebab fitnah (kekacauan), tubuh perempuan sepenuhnya aurat (seolah tubuhnya merebarkan bau busuk hingga harus ditutup rapat), kerja kerasnya akan sia-sia jika tak seizin dan atas ridha suami, harus selalu sedia bersetubuh kapanpun dan dimanapun suami mau, menyediakan pecut untuk suami dan berhak untuk memukulnya jika suami merasa tak berkenan, ridha suami adalah ridha Allah. Bahkan telah menjilati nanah suami pun belum tentu diterima amal ibadahnya tanpa ada keridhaan suami. Semua itu dinisbatkan kepada  ujaran atau ajaran dari Nabi.  Wahai Nabi kami… begitukah?

Dalam perumpamaan yang tak sebanding, tapi sekedar untuk imajinasi, ini seperti zaman DOM di Aceh, mereka diminta cinta mati NKRI namun perlakuan tentara dan “Jakarta”  kepada orang Aceh sedemikian buruknya hingga mati pun tanpa arti. Tak beda dengan tuntutan kepada orang Papua untuk setia tanpa syarat kepada NKRI tapi perlakuan kepada mereka tak menunjukkan kecintaan yang sebaliknya  kepada Papua. Betapa terbelahnya jiwa mereka. Hanya ingatan kepada cita-cita luhur negeri ini yang terus menguatkan cinta mereka kepada Indonesia.

Faqih menawarkan sebuah jalan yaitu Mubadalah-relasi timbal balik. Jelas ini sebuah terobosan baru dan penting meskipun tentu tidak gampang. Ini karena  dalam stuktur- struktur relasi gender yang timpang, posisi salah satu pihak sedemikian tak seimbang dan tak sebandingnya. Salah satu pihak dianggap punya kendali atas yang lain, mendapatkan posisi yang diuntung oleh struktur dan kultur. Sementara pihak yang lain memiliki beban permanen yang lebih berat  dan khusus (reproduksi biologis) dan beban kultral (peran gender) yang seolah permanen.  Tanpa ada upaya untuk mengakui peran dan beban itu dan menaikannya agar seimbang  dan setara maka syarat untuk terjadinya relasi yang mubadalah akan tetap sulit.

Namun seperti yang disampaikan Faqih, bukan menjadi kewajiban konsep mubadalah untuk mengatasinya. Ini harus menjadi upaya kolektif agar  terjadi  kesederajat  equality dan equity  sehingga  hak-hak perempuan setara  agar terjadi keadilan yang penuh (istilah Nur Rofiah- hakiki). Mereka   sama-sama  berhak menerima maslahah dari kehadiran agama dan derivasinya dalam bentuk peradaban, kebudayaan, aturan hukum dan seterusnya.  Selamat ya Faqih # Lies Marcoes 3 September 2021.

Dalil Gus Ulil: Kisah kecil tentang Ibrahim ibn Thahman

Oleh Ulil Abshar Abdalla
.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat besar, Ibn ‘Abbas (w. 68 H), mengisahkan tentang Kanjeng Nabi yang memiliki kebiasaan meng-qashar salat saat dalam perjalanan. Hadis ini termuat dalam Sahih Bukhari, nomor 1056. Cara Imam Bukhari (w. 256 H) meriwayatkan hadis ini unik, tidak seperti biasanya. Ia menulis: “Dan Ibrahim ibn Thahman berkata…” (Wa qala; bukan “haddatsana” atau “akhbarana” seperti biasanya).
.
Ini adalah salah satu contoh dari “mu’allaqat al-Bukhari”, yakni hadis-hadis yang diriwayatkan secara “mu’allaq” oleh Imam Bukhari; yaitu, ada satu, dua atau lebih nama rawi yang tidak disebutkan di awal sanad secara berturut-turut.
.
Keterangan selingan: pada umumnya, hadis mu’allaq dianggap lemah dan karena itu harus ditolak (mardud). Ia tak memenuhi syarat penting dalam hadis yang sahih atau valid, yaitu “ittishal al-sanad”, yakni, sanad yang bersambung, tanpa putus, dari awal sampai akhir sanad, yaitu Kanjeng Nabi.
.
Tentu saja, status “ditolak” ini tidak berlaku untuk semua hadis mu’allaq. Jika hadis seperti ini dijumpai dalam Sahih Bukhari atau Sahih Muslim, statusnya tetap sahih atau valid. Jika sebuah hadis di-ta’liq oleh al-Bukhari, artinya ada sejumlah nama rawi yang tidak ia sebut di awal sanad, pastilah rawi-rawi itu adalah orang-orang yang bisa dipercaya, walau namanya tidak disebutkan secara eksplisit. Ini tentu saja karena nama besar Imam Bukhari sebagai “garansi” kesahihan hadis.
.
Saking banyaknya jumlah hadis mu’allaq dalam Sahih Bukhari (ada sekitar 1300an), seorang ulama hadis besar dari Kairo, Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 1449 M), menulis kitab penting: “Taghliq al-Ta’liq” (تغليق التعليق). Kitab ini bertujuan untuk membela kedudukan Sahih Bukhari sebagai kitab koleksi hadis yang tak diragukan otoritasnya. Melalui kitabnya itu, Ibn Hajar mencoba memastikan kesahihan hadis-hadis mu’allaq yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Oleh Ibn Hajar, semua hadis mu’allaq dalam koleksi itu di-washal-kan, yakni, sanad-sanad yang “bolong” disambungkan lagi.
.
Kembali kepada hadis riwayat Ibn ‘Abbas tadi. Sebagaimana sudah saya tulis di atas, dalam rangkaian sanad hadis ini terdapat seorang rawi bernama Ibrahim ibn Thahman (w. 163 H), seorang rawi hadis asal Khurasan, provinsi tempat kelahiran Imam al-Ghazali. Provinsi ini berada di bagian timur Iran.
.
Sosok Ibrahim ibn Thahman ini, jika kita telaah dalam literatur thabaqat (biographical dictionaries), amatlah interesan. Ia adalah salah seorang ulama yang paling awal (abad ke-2 Hijriyah) menolak dengan keras pandangan sebuah sekte bernama Jahmiyyah. Inilah sekte yang menjadi pendahulu sekte terkenal bernama Mu’tazilah.
Salah satu ciri aqidah kelompok Jahmiyyah adalah: mereka cenderung menolak sifat-sifat Tuhan yang bernada antropomorfis (serupa manusia; misalnya, penggambaran di Qur’an tentang Tuhan yang memiliki tangan). Kelompok ini berpandangan, tidak mungkin Tuhan memiliki sifat-sifat yang serupa manusia. Jika ada sifat-sifat yang menyarankan “tasybih” atau serupa manusia di Qur’an, ia harus di-ta’wil, ditafsir begitu rupa sehingga kesan antropomorfistik-nya bisa dihindarkan.
.
Ibrahim ibn Thahman juga dianggap cenderung mengikuti pandangan sekte Murji’ah yang memiliki akidah penting: bahwa seorang beriman yang melakukan dosa besar, tidak otomatis menjadi kafir. Sekte Murji’ah paling anti pada tindakan “takfir”, mengkafir-kafir kan kelompok yang berbeda. Ini berbeda secara kontras dengan kelompok Khawarij yang salah satu hobinya adalah mengkafirkan golongan yang berbeda.
.
Informasi lain mengenai Ibrahim ibn Thahman kita jumpai dalam “Siyar A’lam al-Nubala'”, sebuah kitab penting dalam genre thabaqat karya Imam al-Dzahabi (w. 1348 M). Di sana disebutkan kisah kecil berikut ini. Suatu hari, Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), imam besar pendiri mazhab Hanbali itu, sedang sakit dan rebahan di kursi (muttaki’an). Tiba-tiba salah seorang muridnya menyebut nama Ibrahim ibn Thahman.
.
Demi mendengar nama itu, Imam Ahmad mendadak “njenggirat”, bangkit dari rebahannya, dan duduk secara formal, seraya berkata: “Tak selayaknya jika nama seorang yang saleh disebut, engkau rebahan.”
Inilah cara umat Islam di masa lampau menghormati orang-orang yang memiliki ilmu. Mendengar nama seorang ulama disebut, mereka akan menaruh hormat setinggi-tingginya, antara lain dengan menampakkan bahasa tubuh yang menandakan penghormatan; bukan “celelekan”.
.
Sekian.