Pos

Meneladani Kehidupan Paus Fransiskus (Bagian Pertama)

Kita akan mengerti

Betapa rapuhnya hidup

Kita akan kerahkan segenap empati

Bagi mereka yang masih bersama kita dan mereka yang telah pergi

(Alexis Valdes, Esperanza [2020])

 

Setelah mendengar berita mangkatnya pemimpin tertinggi Gereja Katolik, aku langsung menonton kembali film “The Two Popes”. Ini kali keduaku menonton film tersebut. Bukan tanpa alasan, film itu menjadi kacamataku dalam melihat sosok Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus.

Sebagai seorang Muslim, aku lahir dari tradisi yang jauh dari mengagumi sosok Paus. Meski demikian, dalam perjalanan intelektual di Yogyakarta, aku banyak berdialog dengan umat Katolik, para frater dan berkesempatan mengunjungi Seminari (semacam pesantren). Dari situ juga perkenalanku dengan tradisi Katolik bermula.

Film itu menggambarkan dua sosok Paus yang hidup sezaman tetapi mempunyai pandangan yang cukup kontras. Satu cukup teguh memegang tradisi atau biasa disebut konservatif dan Paus Fransiskus mewakili sosok yang mereformasi tradisi dari dalam dengan semangat progresif. Meski berbeda, keduanya sama dalam memahami iman Kristiani yang teguh.

Jorge Mario Bergoglio, nama lahir Paus Fransiskus, berasal dari Buenos Aires, Argentina. Di masa remaja, sebelum memutuskan menjadi pelayan Tuhan, ia sempat galau dan hendak menikah. Dalam perjalanan spiritualnya, ia diteguhkan pilihan untuk hidup selibat sebagai pastor. Kisah ini, menurut Kardinal Ignatius Suharyo adalah bagian dari pengalaman spiritual Paus yang membuatnya memilih jalan pelayanan.

Hal ini menarik untuk direnungi lebih dalam. Perjuangan beliau dalam menyuarakan keadilan dan kemanusiaan tidak lahir dari spirit sekularisme sebagaimana banyak digaungkan oleh reformis. Kegelisahan beliau berasal dari perjumpaannya dengan Tuhan. Ia bergerak sesuai bisikan Roh Kudus yang diyakini menuntun ke jalan pelayanan yang jauh dari sorotan dunia.

Selain pengalaman spiritual, kesederhanaan dan konsistensinya membela kaum papa juga lahir dari pengalaman hidupnya yang menyaksikan konflik berdarah. Salah satu konflik yang paling menonjol adalah “Perang Kotor” (Guerra Sucia). Sebuah periode represi brutal oleh rezim militer Argentina terhadap oposisi politik.

Semua yang terindikasi memberontak pada pemerintah akan disingkirkan, termasuk dalam hal ini gereja. Sebagian besar pastor yang hidup saat itu memilih jalan teguh untuk berjuang bersama rakyat melawan kediktatoran. Bergoglio yang kala itu menjadi pastor muda berada di persimpangan jalan.

Saat itu, ia memilih ‘berkompromi’ dengan pemerintah dan itu menjadi titik awal melihat kelompok yang termarjinalkan. Di depan matanya, ia melihat teman-temannya diculik dan dipenjara. Ia hanya bisa diam seraya membujuk pimpinan militer untuk menyudahi pemberangusan. Nyatanya, suaranya tak digubris. Pahit, luka mendalam yang dia rasakan. Tetapi, mulai saat itu dia berkomitmen untuk hidup bersama mereka yang terkucilkan. Ia mewartakan pesan Kristus ke daerah-daerah terpencil, tertawa dan bersedih bersama umat.

Dari kisah kecil Paus Fransiskus tersebut, kita diingatkan untuk tidak diam melawan penindasan. Beberapa jam sebelum wafat, dalam khutbahnya di hadapan umat Katolik merayakan Paskah, Paus menekankan keberpihakannya pada Gaza dan penghentian agresi militer Israel. Dia sosok yang konsisten bersuara, bukan diam duduk manis di singgasana.

Perjalanan hidup Paus memberikan pesan untuk tidak melarikan diri dari masalah, hadapi sampai selesai. Dalam salah satu dialog, ia menyebutkan, “Dosa itu luka, bukan noda. Karenanya perlu dipulihkan”. Ia memilih jalan pulih dengan pulang meneladani Kristus. Hidup sederhana dan bersahaja. Sejak awal pelantikannya setelah terpilih menggantikan Paus Benediktus XVI yang mundur, Paus Fransiskus menolak kemegahan. Ia tanggalkan pakaian kebesaran, sepatu yang mewah, ia kenakan pakaian putih, zucchetto putih penutup kepala dan cincin kepausan dari perak—yang biasanya terbuat dari emas.

Ketika beliau berkunjung ke Indonesia, September 2024 silam, ia menggunakan kendaraan Toyota Kijang Innova Zenix untuk perjalanan biasa dan Pindad Maung MV3 yang dimodifikasi untuk acara terbuka. Mobil yang beliau gunakan setara dengan mobil yang biasa digunakan masyarakat sipil pada umumnya. Tidak mencerminkan mobil kenegaraan yang mewah dengan harga milyaran.

Kepemimpinan Paus Fransiskus sejak tahun 2013 membawa harapan dan mimpi baru bagi umat Katolik dan peradaban dunia pada umumnya. Di tengah hegemoni, kerakusan dan kemegahan para pemimpin dunia, pemimpin negara Vatikan ini memilih jalan sunyi. Meski berada pada top level sebagai tokoh agama, Paus telah banyak bergumul dengan tantangan yang dihadapi oleh dunia.

Setidaknya hal tersebut dapat dilihat dari wejangan Paus Fransiskus yang kemudian dibukukan dalam versi bahasa Inggris berjudul “Let Us Dream: The Path to A Better Future: Pope Francis in Conversation with Austen Ivereigh.” Buku ini adalah bukti bahwa tokoh agama tak melulu hanya berdiri di mimbar untuk berceramah. Pemuka agama juga harus berdiri di garda terdepan melihat ketidakadilan dan kerusakan yang kian mewabah.

“Sekian lama kita terbiasa beranggapan bahwa kita bisa menjadi sehat dalam dunia yang sakit. Namun, krisis ini telah membuat kita sadar, betapa pentingnya mengupayakan dunia yang sehat”, tegas Paus.

Pandemi covid-19 yang kemarin melanda dunia, ditambah penjajahan Israel terhadap Palestina, membuka mata bahwa dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Ada krisis kemanusiaan, konflik dan peperangan di berbagai wilayah. Ada ketimpangan sosial, kemiskinan yang melanda banyak insan, di tengah menumpuknya kekayaan pada segelintir orang. Hal yang tak kalah mengkhawatirkan adalah krisis lingkungan, bumi yang ditempati saat ini sudah tercemar oleh virus keserakahan yang dilakukan dengan dalih pembangunan.

Dengan beragam krisis tersebut, kehadiran Paus Fransiskus seolah memanggil kita untuk berefleksi. Dalam satu khutbah, Paus mengutip kisah Lazarus si miskin dan tetangganya si kaya yang ada dalam Injil Lukas 16: 19-31. Kisah Lazarus dan orang kaya tersebut sebenarnya adalah potret dari kondisi masyarakat sekarang. Gambaran ketidakpedulian kita pada orang lain, “che me ne frega” kata orang Italia, atau dalam bahasa anak muda saat ini, “itu sih deritamu”. Kita melihat orang lain dengan penuh ketidakpedulian dan tanpa empati.

Sesekali mungkin ada rasa iba dengan orang miskin, para pejuang rupiah yang rela mengecat seluruh tubuhnya di persimpangan jalan, atau mereka yang seharian hidup dalam kurungan boneka demi mendapat perhatian para pengendara. Namun, kita hanya bisa mengucap “kasihan” tanpa ada bantuan yang diberikan. Seraya berlindung pada pendapat bahwa “kemiskinan itu adalah urusan orang lain, selama bukan kita yang mengalaminya.”

Terlebih dalam kondisi saat ini, ada banyak sosok Lazarus yang lahir di tengah menguatnya sikap individualisme dan hedonisme. Karenanya Paus membawa kita untuk melihat kisah-kisah orang “pinggiran” tersebut. “Ketika tidak ada orang yang bersalah, pada saat itulah semua manusia bersalah” nasihat Paus dalam khutbahnya. Ketika tidak ada orang yang mau mengambil jalan, membenahi kerusakan lingkungan, krisis moral, dan sebagainya, pada saat itulah semua menanggung akibatnya.

Ketika kita berbicara seputar harapan untuk masa depan, maka harapan tersebut ada pada orang-orang yang tersingkir oleh sistem. Tanpa merangkul dan mengajak mereka, tidak ada masa depan yang cerah. Untuk dapat merumuskan masa depan, Paus menyampaikan tiga hal yang harus dilakukan, yaitu melihat, memilih dan bertindak. Pertama, kita harus melihat realitas bahwa dunia sedang sakit. Dalam rapat para Uskup Amerika Latin di kompleks tempat suci Aparecida, Brasil, pada Mei 2007, para uskup dari Brasil dan negara lain bersikeras memasukkan pembahasan tentang hutan Amazon dalam dokumen itu. Bagi Paus yang saat itu bertugas menyusun draf dokumen rapat, hal itu berlebihan.

Namun, seiring berjalannya waktu, perjumpaan, dialog dengan berbagai tokoh dan melihat langsung kerusakan lingkungan yang terjadi, beliau pun sadar. Ini adalah titik balik Paus dalam melakukan pertobatan ekologis. Laksana malam hari yang gelap, kemudian mentari membawa cahaya terang benderang. Dalam Al-Quran, digambarkan dengan sebutan min al-zhulumaat ila al-nuur.

Setelah melihat realitas, kemudian kita masuk pada tahapan kedua, saatnya memilih. Untuk dapat menentukan pilihan, kita butuh kesadaran sekaligus refleksi hening. Mengambil jeda untuk melihat segala realitas yang ada dan menimbang langkah apa yang akan dipilih. Paus memberikan satu framework, yaitu kesadaran bahwa kita dikasihi Allah, dipanggil untuk menjadi satu komunitas dalam pelayanan dan solidaritas. Nah, untuk bisa dikasihi Allah, maka kita harus membuka hati nurani. Dalam konteks yang lebih luas, sebagai umat beriman, kita dapat menjadikan pengalaman iman personal bergaung dalam kehidupan sosial. Keimanan kita perlu bukti dengan membantu mereka yang tersakiti dan mengoyak hati nurani.

Hati nurani yang terkungkung akan sulit memperlakukan orang lain dengan belas kasih, sebab ia sendiri menolak belas kasih itu. Rumi menegaskan, “Katupkan kedua mata agar kau bisa melihat dengan mata yang lain.” Makna dari “mata yang lain” itu adalah hati nurani yang telah dipenuhi dengan kasih sayang. Jika hati telah dipenuhi dengan kasih, maka kita pun akan memandang orang dengan penuh welas asih.

Kata sinode yang dikenal dalam gereja, berasal dari bahasa Yunani, syn-odos yang berarti berjalan bersama. Hal ini menjadi manifestasi dari langkah ketiga yaitu bertindak. Dalam konteks kepemimpinan Paus, banyak terobosan yang beliau lakukan. Misalnya melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, menghukum berat pelaku kekerasan seksual dalam internal gereja, membenahi keuangan Bank Vatikan yang menjadi corong korupsi, hingga mengambil tindakan pertobatan ekologis terhadap kerusakan alam yang terjadi dengan mengeluarkan ensiklik Laudato Si’.

Upaya ini merupakan sebuah terobosan di saat panggung agama belum banyak yang membicarakan lingkungan. Paus pun mengajak kita untuk tidak sebatas melihat dari luar, tetapi terjun masuk melihat orang-orang yang kesulitan secara lebih dekat. Beliau menegaskan:

“Masalahnya bukanlah memberi makan orang miskin, memberi pakaian bagi yang telanjang, atau melawat orang sakit, melainkan mengakui bahwa orang miskin, telanjang, sakit, para tahanan dan tuna wisma memiliki martabat untuk duduk bersama di meja kita, merasa betah berada di tengah-tengah kita, merasa sebagai bagian dari keluarga. Inilah tanda bahwa Kerajaan Surga ada di tengah-tengah kita.”

Bahkan lebih tegas Paus memberikan kritik pada gereja yang tidak bersahabat dengan kaum papa dengan istilah, “skandal”. Kata beliau, “Selama gereja dijadikan tempat pengharapan kekayaan, Yesus tak akan ada di sana”. Kritik yang sama dapat diberikan kepada masjid, dan tempat ibadah lainnya yang enggan menyapa orang yang tidak berdaya, justru memperkaya penampilannya semata.

Sosok Paus Fransiskus ini menjadi penegasan bagi kita bahwa iman tak sebatas keyakinan, tetapi ia harus diwujudkan dalam tindakan. Iman juga harus berpihak pada mereka yang terpinggirkan, baik manusia yang kehilangan potensi kehidupan maupun alam yang kian tergerus demi pundi-pundi kekayaan. Hanya dengan itu, kita dapat merancang masa depan, melanjutkan semangat juang Paus yang telah purna menghadap Tuhan. Wallahu a’lam bish showwab.

Bagaimana para perempuan menjadi pelaku teror dan membawa anak?

Oleh L

Serangan bom bunuh diri di Surabaya oleh keluarga: ayah, ibu, dan melibatkan anak-anak di bawah umur, menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. Kini perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku, tulis Lies Marcoes.

“Saya yang menguatkan suami untuk berjihad dengan ikut ISIS di Suriah. Saya bilang ‘jangan takut soal Umi dan anak-anak, rezeki Allah yang atur’. Saya bilang ke suami ‘Izinkan Umi dan anak-anak mencium bau surga melalui Abi, semoga Abi selamat. Tapi kalau tidak, saya ikhlas, saya bersyukur karena dengan suami menjadi syahid, saya dan anak-anak akan terbawa ke surga”.

Ditemui peneliti Center for the Middle East and Global Peace Studies UIN Jakarta, dalam suatu rapat akbar organisasi di Jakarta Barat dua tahun lalu, perempuan separuh baya ini dengan sangat tenang menjelaskan cara berpikirnya tentang jihad dan pengorbanan perempuan.

Menurutnya lelaki kadang-kadang “kurang kuat iman” untuk ikut berjuang karena memikirkan urusan dunia. Urusan dunia dimaksud adalah perasaan berat meninggalkan istri dan anak-anak sementara ia mati sendirian di medan perang.

Dalam testimoni di atas, perempuan meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. Tentu saja peran itu penting tetapi mereka sendiri belum atau tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Belakangan, seperti dalam kasus calon bom panci yang melibatkan perempuan Dian Yulia Novi, orang mulai menimbang peran perempuan dalam gerakan radikal teroris. Namun berbeda dengan yang baru saja terjadi di Surabaya (13/5 dan 14/5).

Jika kita hubungan testimoni di atas dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, melibatkan empat anak mereka, dua remaja lelaki, dan dua anak perempuan di bawah umur, kelihatannya telah terjadi perubahan besar dalam pelibatan keluarga dalam aksi teror.

Jika sebelumnya, sebagaimana tergambar dalam percakapan awal di atas, perempuan hanya menjadi pihak pendorong, sementara dalam kasus Dian Yilia ia menjadi pelaku aktif namun sendirian dan keburu ditangkap sebelum melancarkan serangan bom, dalam kasus terakhir perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak-anak mereka untuk menjadi bagian dari serangan maut itu.

Kita bisa saja membuat hipotesa, prakarsa melancarkan aksi bom bunuh diri ini kemungkinan datang dari sang suami, Dita Oepriarto mengingat ia adalah salah satu tokoh organisasi Jemaah Anshorut Daulah (JAD). Namun jika sang istri keberatan atau menolak pandangan dan prakarsa suaminya, ceritanya niscaya akan berbeda.

Atas peristiwa itu, menghitung peran dan pengaruh ibu (perempuan) dalam gerakan radikal tak bisa lagi diabaikan. Dalam pendekatan keamanan, peran itu telah dikenali namun sering dianggap kecil, dibandingkan dengan perhatian kepada peran lelaki sebagai pelaku teror. Kajian yang telah melihat keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal nampaknya harus menjadi referensi utama.

Dalam tulisan saya di Indonesia at Melborne (26 November 2015) “Why do women join radical groups” saya menjelaskan tesis keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris.

Pertama, perempuan adalah kelompok yang pada dasarnya memiliki keinginan, untuk tidak dikatakan punya agenda, untuk ikut terlibat dalam apa yang diyakini sebagai perjuangan melawan kezaliman dan kemunkaran kepada Allah. Ini berkat kegiatan mereka sebagai peserta aktif pengajian-pengajian di kelompok-kelompok radikal itu. Mereka menjadi ‘penerjemah’ langsung dari konsep jihad dalam teori dan diubah menjadi praktik.

Namun dalam dunia radikalisme terdapat pemilahan peran secara gender di mana ‘jihad qital’/jihad kabir (maju ke medan tempur- jihad besar) hanya pantas dilakukan oleh lelaki karena watak peperangan yang dianggap hanya cocok untuk dunia lelaki. Dengan dasar peran itu, mereka menempatkan diri sebagai pendorong dan penguat iman suami.

Kedua, dalam konsep kaum radikal terdapat dua tingkatan jihad yaitu jihad kecil dan jihad besar.

Jihad besar merupakan puncak dari pengorbanan seorang manusia dengan pergi ke medan tempur dan mati sebagai syuhada, martir. Namun, karena terdapat pemilahan peran secara gender, otomatis hanya lelaki yang punya tiket maju ke medan tempur, sementara istri hanya kebagian jihad kecil, seperti menyiapkan suami atau anak lelaki maju ke medan tempur.

Jihad kecil lainnya adalah mempunyai anak sebanyak-banyaknya, terutama anak lelaki- jundi- yang kelak siap menjadi jundullah -tentara Tuhan. Dalam percakapan antar mereka, memiliki jundi merupakan sebuah kebanggaan, “sudah berapa jundi ukhti”- sudah berapa calon tentara Tuhan yang kamu miliki”?

Ketiga, sebagaimana umumnya dalam organisasi keagamaan, secara umum peran perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya tidak utama dan bukan sentral. Namun peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk korban jiwa dan raga.

Pengakuan peran ini merupakan salah satu kunci penting dalam mengenali keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Dorongan untuk menjadi terkenal kesalehannya, atau keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apatah lagi untuk ikut berjihad.

Dalam perkembangannya, menjalani jihad kecil sebagai penopang dalam berjihad tak terlalu diminati, utamanya oleh kalangan perempuan muda yang merasa punya agenda untuk ikut berjuang dengan caranya.

Dan seperti kita saksikan, di sejumlah negara, perempuan muda menghilang dari keluarga dengan alasan yang mengejutkan. Mereka meninggalkan rumah untuk bergabung dengan kelompok teroris dengan ideologi agama, seperti ISIS atau menikah dengan lelaki yang menjadi bagian dari kelompok itu.

Jika tidak ikut berjihad mereka punya cara sendiri untuk melakukannya di negara mereka sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hasna Aitboulahcen, perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Saint- Denis Perancis beberapa tahun lalu. Sebelumnya Hasna tidak dikenal sebagai sebagai perempuan alim, malah sebaliknya ia dianggap perempuan “bebas”. Namun entah bagaimana setelah berkenalan dengan seseorang yag mengajaknya bertaubat dan ‘berhijrah,’ ia kemudian dikenali jadi sangat salih, mengenakan hijab, rajin beribadah, dan hanya butuh satu bulan baginya untuk kemudian tewas bersama bom yang ia ledakkan sediri.

Hasna diajak seseorang namun ia tak mengajak siapa-siapa. Namun, lihatlah apa yang terjadi kepada sebuah keluarga Indonesia, seorang suami, istri, termasuk balita, bayi dan seorang perempuan hamil, menyelinap keluar dari kelompok tur mereka di Turki dan menyeberang ke Suriah di bulan Maret 2015.

Pakar terorisme Indonesia Sidney Jones mengatakan bahwa penelitiannya telah mengidentifikasi sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 tahun berada di Suriah, sebagian merasa terjebak oleh ajakan untuk berjihad sebagian lain memang berkesadaran penuh menjadi bagian dari ISIS.

Dari fenomena bom Surabaya, agaknya, analisis soal keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal tak bisa lagi dilihat sekedar catatan kaki. Terlebih karena keterlibatan itu tak lagi bersifat individual sebagai hasrat untuk diakui dalam kelompok radikal sebagai perempuan pemberani, melainkan karena peran tradisonalanya sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan nyata untuk melibatkan suami dan anggota keluarga sebagai pelaku teror dan kekerasan.

Perhatian kepada perempuan tak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pendamping dan pendukung radikalisme melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan.

 

Pernah dimuat di bbc.com, 14 Mei 2018

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44106870

Bagaimana para perempuan menjadi pelaku teror dan membawa anak?

Serangan bom bunuh diri di Surabaya oleh keluarga: ayah, ibu, dan melibatkan anak-anak di bawah umur, menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. Kini perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku, tulis Lies Marcoes.

“Saya yang menguatkan suami untuk berjihad dengan ikut ISIS di Suriah. Saya bilang ‘jangan takut soal Umi dan anak-anak, rezeki Allah yang atur’. Saya bilang ke suami ‘Izinkan Umi dan anak-anak mencium bau surga melalui Abi, semoga Abi selamat. Tapi kalau tidak, saya ikhlas, saya bersyukur karena dengan suami menjadi syahid, saya dan anak-anak akan terbawa ke surga”.

Ditemui peneliti Center for the Middle East and Global Peace Studies UIN Jakarta, dalam suatu rapat akbar organisasi di Jakarta Barat dua tahun lalu, perempuan separuh baya ini dengan sangat tenang menjelaskan cara berpikirnya tentang jihad dan pengorbanan perempuan.

Menurutnya lelaki kadang-kadang “kurang kuat iman” untuk ikut berjuang karena memikirkan urusan dunia. Urusan dunia dimaksud adalah perasaan berat meninggalkan istri dan anak-anak sementara ia mati sendirian di medan perang.

Dalam testimoni di atas, perempuan meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. Tentu saja peran itu penting tetapi mereka sendiri belum atau tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Belakangan, seperti dalam kasus calon bom panci yang melibatkan perempuan Dian Yulia Novi, orang mulai menimbang peran perempuan dalam gerakan radikal teroris. Namun berbeda dengan yang baru saja terjadi di Surabaya (13/5 dan 14/5).

Jika kita hubungan testimoni di atas dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, melibatkan empat anak mereka, dua remaja lelaki, dan dua anak perempuan di bawah umur, kelihatannya telah terjadi perubahan besar dalam pelibatan keluarga dalam aksi teror.

Jika sebelumnya, sebagaimana tergambar dalam percakapan awal di atas, perempuan hanya menjadi pihak pendorong, sementara dalam kasus Dian Yilia ia menjadi pelaku aktif namun sendirian dan keburu ditangkap sebelum melancarkan serangan bom, dalam kasus terakhir perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak-anak mereka untuk menjadi bagian dari serangan maut itu.

Kita bisa saja membuat hipotesa, prakarsa melancarkan aksi bom bunuh diri ini kemungkinan datang dari sang suami, Dita Oepriarto mengingat ia adalah salah satu tokoh organisasi Jemaah Anshorut Daulah (JAD). Namun jika sang istri keberatan atau menolak pandangan dan prakarsa suaminya, ceritanya niscaya akan berbeda.

Atas peristiwa itu, menghitung peran dan pengaruh ibu (perempuan) dalam gerakan radikal tak bisa lagi diabaikan. Dalam pendekatan keamanan, peran itu telah dikenali namun sering dianggap kecil, dibandingkan dengan perhatian kepada peran lelaki sebagai pelaku teror. Kajian yang telah melihat keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal nampaknya harus menjadi referensi utama.

Dalam tulisan saya di Indonesia at Melborne (26 November 2015) “Why do women join radical groups” saya menjelaskan tesis keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris.

Pertama, perempuan adalah kelompok yang pada dasarnya memiliki keinginan, untuk tidak dikatakan punya agenda, untuk ikut terlibat dalam apa yang diyakini sebagai perjuangan melawan kezaliman dan kemunkaran kepada Allah. Ini berkat kegiatan mereka sebagai peserta aktif pengajian-pengajian di kelompok-kelompok radikal itu. Mereka menjadi ‘penerjemah’ langsung dari konsep jihad dalam teori dan diubah menjadi praktik.

Namun dalam dunia radikalisme terdapat pemilahan peran secara gender di mana ‘jihad qital’/jihad kabir (maju ke medan tempur- jihad besar) hanya pantas dilakukan oleh lelaki karena watak peperangan yang dianggap hanya cocok untuk dunia lelaki. Dengan dasar peran itu, mereka menempatkan diri sebagai pendorong dan penguat iman suami.

Kedua, dalam konsep kaum radikal terdapat dua tingkatan jihad yaitu jihad kecil dan jihad besar.

Jihad besar merupakan puncak dari pengorbanan seorang manusia dengan pergi ke medan tempur dan mati sebagai syuhada, martir. Namun, karena terdapat pemilahan peran secara gender, otomatis hanya lelaki yang punya tiket maju ke medan tempur, sementara istri hanya kebagian jihad kecil, seperti menyiapkan suami atau anak lelaki maju ke medan tempur.

Jihad kecil lainnya adalah mempunyai anak sebanyak-banyaknya, terutama anak lelaki- jundi- yang kelak siap menjadi jundullah -tentara Tuhan. Dalam percakapan antar mereka, memiliki jundi merupakan sebuah kebanggaan, “sudah berapa jundi ukhti”- sudah berapa calon tentara Tuhan yang kamu miliki”?

Ketiga, sebagaimana umumnya dalam organisasi keagamaan, secara umum peran perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya tidak utama dan bukan sentral. Namun peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk korban jiwa dan raga.

Pengakuan peran ini merupakan salah satu kunci penting dalam mengenali keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Dorongan untuk menjadi terkenal kesalehannya, atau keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apatah lagi untuk ikut berjihad.

Dalam perkembangannya, menjalani jihad kecil sebagai penopang dalam berjihad tak terlalu diminati, utamanya oleh kalangan perempuan muda yang merasa punya agenda untuk ikut berjuang dengan caranya.

Dan seperti kita saksikan, di sejumlah negara, perempuan muda menghilang dari keluarga dengan alasan yang mengejutkan. Mereka meninggalkan rumah untuk bergabung dengan kelompok teroris dengan ideologi agama, seperti ISIS atau menikah dengan lelaki yang menjadi bagian dari kelompok itu.

Jika tidak ikut berjihad mereka punya cara sendiri untuk melakukannya di negara mereka sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hasna Aitboulahcen, perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Saint- Denis Perancis beberapa tahun lalu. Sebelumnya Hasna tidak dikenal sebagai sebagai perempuan alim, malah sebaliknya ia dianggap perempuan “bebas”. Namun entah bagaimana setelah berkenalan dengan seseorang yag mengajaknya bertaubat dan ‘berhijrah,’ ia kemudian dikenali jadi sangat salih, mengenakan hijab, rajin beribadah, dan hanya butuh satu bulan baginya untuk kemudian tewas bersama bom yang ia ledakkan sediri.

Hasna diajak seseorang namun ia tak mengajak siapa-siapa. Namun, lihatlah apa yang terjadi kepada sebuah keluarga Indonesia, seorang suami, istri, termasuk balita, bayi dan seorang perempuan hamil, menyelinap keluar dari kelompok tur mereka di Turki dan menyeberang ke Suriah di bulan Maret 2015.

Pakar terorisme Indonesia Sidney Jones mengatakan bahwa penelitiannya telah mengidentifikasi sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 tahun berada di Suriah, sebagian merasa terjebak oleh ajakan untuk berjihad sebagian lain memang berkesadaran penuh menjadi bagian dari ISIS.

Dari fenomena bom Surabaya, agaknya, analisis soal keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal tak bisa lagi dilihat sekedar catatan kaki. Terlebih karena keterlibatan itu tak lagi bersifat individual sebagai hasrat untuk diakui dalam kelompok radikal sebagai perempuan pemberani, melainkan karena peran tradisonalanya sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan nyata untuk melibatkan suami dan anggota keluarga sebagai pelaku teror dan kekerasan.

Perhatian kepada perempuan tak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pendamping dan pendukung radikalisme melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44106870