Pos

Lies Marcoes Pejuang Islam dan Gender

Dewasa Itu Aqil Baligh Bukan Hanya Baligh. Kalimat tersebut merupakan kalimat yang disampaikan oleh seorang Lies Marcoes. Dirinya merupakan kelahiran Ciamis, Jawa Barat tepatnya pada 17 Februari 1958. Lies Marcoes adalah seorang ahli dalam kajian Islam dan gender.

Lies Marcoes menempuh pendidikannya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dengan mengambil fokus studi perbandingan agama. Ketika Lies lulus dari universitas tersebut dirinya melanjutkan studi masternya dengan studi yang sama sekali berbeda. Lies mengambil jurusan antropologi kesehatan di Universitas Amsterdam (Belanda) .

Setelah Lies lulus dan kembali ke Indonesia dirinya masih setia dengan dunia aktivisme nya yang telah ditekuni selama studi di Jakarta. Dirinya menjadi seorang aktivis feminis muslim indonesia yang menekuni bidang antropologi medis. Lies juga tercatat aktif menjabat sebagai direktur Yayasan Rumah Kita Bersama atau biasa disingkat dengan Rumah Kitab.

Lies Marcoes pada perjalanan selanjutnya juga memiliki peran yang sangat penting di dalam mempromosikan kesetaraan Gender di indonesia. Dirinya membantu memberikan jembatan antara muslim dan feminis sekuler yang selama ini terdapat semacam jurang dalam di antara keduanya.

Lies juga aktif mendorong seluruh feminis untuk dapat bekerjasama dengan islam dalam mempromosikan kesetaraan gender. Melalui berbagai usahanya selama ini dirinya telah memberikan banyak kontribusi dalam perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan perempuan dalam islam. Usaha ini dilakukannya dengan menjadi fasilitator untuk berbagai kegiatan di berbagai daerah. Dalam hal ini dirinya terkenal merupakan seorang fasilitator yang handal.

Banyak pemikiran Lies yang dipengaruhi oleh gurunya yaitu prof. Harun nasution. Gurunya tersebut telah mengajarkan dirinya banyak hal khususnya dalam hal berpikir bebas dan kritis serta memahami dan menyadari bahwa sebenarnya islam dapat dipahami dari berbagai perspektif yang berbeda. Bahkan hal itu dianjurkan di dalam agama tersebut, karena keberbedaan adalah dipandang sebagai sebuah rahmat.

Selain itu Lies juga aktif dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pesantren. Dirinya melahirkan divisi fiqh al-nisa di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sekaligus menjadi ketua di bidang tersebut. Perhimpunan ini adalah yang menjadi cikal bakal rahima yang saat ini dikelolanya.

Kemudian Lies juga pernah terlibat di The Asia Foundation (TAF) serta aktif menjadi konsultan independen di berbagai lembaga internasional. Selain itu melalui lembaga tersebut Lies juga terlibat aktif serta konsisten dalam melakukan penelitian, menjadi narasumber dan penasihat berbagai program seputar isu kesehatan reproduksi, keluarga berencana di berbagai komunitas muslim di berbagai negara di Asia.

Lies selain aktif di berbagai kegiatan sosial juga aktif menulis. Salah satu buku yang ditulisnya adalah berjudul Merebut Tafsir. Buku tersebut berisi tentang bagaimana kehidupan laki-laki dan perempuan dijalankan di masyarakat serta bagaimana budaya patriarki di legitimasi dan juga di hegemoni oleh kekuatan tak terlihat.

Kekuatan tak terlihat tersebut bahkan dapat berbentuk tafsir dari teks suci yang telah dipegang oleh kaum pemenang seperti halnya sejarah yang ditafsirkan oleh para pemenang. Bahkan dalam buku tersebut Lies mengatakan bahwa terkadang seseorang terus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Mereka membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya.[ab101]

 

Sumber: akubaca.com

rumah kitab

Merebut Tafsir: Nawal dan Perempuan di Titik Nol!

Innalillahi wa inna ilaihi Raajiun. Selamat Jalan Nawal El Saadawi. Rest in Love dear Nawaal.
Nawal El Saadawi adalah orang pertama yang menggedor kesadaran feminis saya.

Melalui novelnya “Perempuan di Titik Nol” , yang saya terima sebagai hadiah dari suami saya, Ismed Natsir, saya baca lumat, dan berulang ulang. Sering saya merasa, saya ingin terselip dalam kisah itu menjadi bagian dari perjuangan hidup Firdausi.

Nawal mengisahkan tentang gambaran derita semesta perempuan Muslim dalam tradisi Islam di Mesir melalui sosok Firdausi: ini tentang cinta, hasrat yang alami ketika Firdausi remaja bertemu seorang pemuda Mohammedin di kebun dan berlompatan bebas di atas menara kincir air. Ia mulai merasakan hasrat keperempuanannya yang indah di sana. Tapi ia tak tahu dari mana kegembiraan itu membuncah karena tak satupun perempuan di dunia remajanya mengisahkan rasa itu. Ia begitu bahagia.

Lalu Ibunya mulai memingitnya, ia tak lagi boleh bertemu lelaki di kebun ketika ia telah menstruasi. Kebebasan remajanya dirampas seketika, dan kehidupannya perlahan dihancurkan oleh tafsir patriarki yang berusaha terus ia lawan.

Ini tentang gambaran cara lelaki memaknai tentang seksualitas, ketundukan, kepatuhan, serta ragam wujud penindasan dan perlawanan yang rumit dari kisah Firdausi sejak remaja hingga di penjara karena membunuh germonya. Ia dijual oleh perempuan yang semula disangkanya akan melindunginya di tepian Sungai Nil.

Dari kisah Firdausi saya merasakan perihnya sesetan pisau dalam praktek sunat perempuan, perkawinan paksa dengan sang Syeikh tua bangka yang hanya menggenggam tasbih dan tongkat untuk menggebuk Firdausi untuk apapun yang membuat Sang Seikh tak berkenan. Ia lari setelah mukanya berdarah-darah, tapi masuk ke dunia pelacuran.

Ia sebetulnya pernah punya harapan. Sang paman yang pernah membawanya ke Kairo dia angankan dapat memberi kebebasan melalui pendidikan. Tapi kaum perempuan disekitarnya- ibunya, bibinya, majikannya, germo (pertamanya) tak sudi melepaskan Firdausi menjadi jenis perempuan lain yang beda dari nasib mereka- memanggul adat dan tradisi serta tafsir patriarki.

Gelagak perlawanan Firdausi telah terlunaskan ketika pisau ia tancapkan di dada lelaki germo yang akan memperkosanya. Dan, di penjara tiap pagi ia lundahi surat kabar yang memuat berita para pejabat atau tokoh-tokoh yang disanjung masyarakat. Orang menyebutnya ia gila, tapi semua tahu bara perlawanan Firdausi adalah kemenangannya !
Selamat Jalan Nawal Jan.

# Lies Marcoes, 22 Maret 2021.

Hak Perempuan: Dalih Pamungkas Bernama Syariah

Reformasi hukum demi melindungi perempuan di negara muslim sering dijegal dengan alasan Syariah Islam. Namun politisasi agama demi merawat tradisi patriarkat itu kian ditolak, termasuk dari kalangan ulama Fiqh.

 

Nasib perempuan di Mauritania adalah sederet panjang tanda tanya. Ketika pemerintah mengusulkan rancangan legislasi perlindungan perempuan, untuk kesekian kali parlemen menolak mengesahkannya.

Padahal RUU tersebut bisa membantu “mengikis prasangka dan sikap diskriminatif terhadap perempuan dan remaja putri,“ begitu bunyi salah satu bagian naskah yang disusun pemerintah.

Pengesahan UU Perlindungan Perempuan termasuk dimotori oleh Menteri Kehakiman Haimouda Ould Ramdane yang menyebut tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai “kejahatan.“ Menurut naskah RUU tersebut, korban pelecehan seksual kelak bisa mendakwa pelaku di pengadilan.

Pada 2018 silam pemerintah gagal meyakinkan parlemen buat meloloskan legislasi tersebut. Kelompok oposisi mengritik kesetaraan hak bagi perempuan bertentangan dengan Syariah Islam. Kini pemerintah menyusun rancangan baru untuk melunakkan sikap partai-partai konservatif.

Kontroversi seputar hak perempuan di bawah bayang-bayang Fiqh Islam juga terjadi di negara muslim lain. Di Indonesia misalnya, Undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan (RUU-PKS) dituduh melegalkan zina.

Padahal cekcok ideologi seperti itu diyakini akan kian menyudutkan perempuan. Akibatnya legislasi yang awalnya diniatkan untuk membantu, malah justru berdampak sebaliknya.

Lobi politik dari langit 

Diskursus seputar hak perempuan banyak dicampuri oleh “lobi agama” yang berusaha menggalang dukungan politik, keluh Saad Eddin al-Hilali, Guru Besar Perbandingan Hukum di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Termasuk ke dalam “lobi agama“ adalah “ulama tua yang muncul di media untuk mempengaruhi opini publik, tanpa mengindahkan mereka yang berpandangan lain dan terlepas dari apakah pendapat mereka sejalan dengan ajaran agama atau tidak,“ kata dia.

Dengan kata lain, kaum oposan menggunakan Syariah Islam sebagai alat untuk meredam upaya memperkuat hak perempuan. Siapapun yang menentang akan mudah terseret ke dalam tuduhan melawan perintah Tuhan.

“Seakan pendapatnya datang dari Allah“ 

Al-Hilali geram menyimak lobi kaum konservatif. “Kita harus mencegah, bahwa setiap individu bisa berlaku seakan-akan pendapatnya langsung datang dari Allah,“ tukas dia.

“Pada dasarnya setiap fatwa Fiqh bisa mengandung kebenaran atau kekeliruan, bahkan jika ia dikeluarkan oleh level tertinggi sekalipun.“

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

 

Hal serupa diungkapkan Marwa Sharafeldin. Menurut guru besar ilmu hukum di Universitas Harvard itu, praktik menggunakan dalih “bertentangan dengan ajaran agama“ buat menolak sebuah undang-undang yang melindungi perempuan, tidak bisa diterima.

Tuduhan ini hanya memperkuat pandangan Islamofobia, bahwa Islam ikut mendukung kekerasan terhadap perempuan. Terkadang ada yang sengaja memicu bimbang antara legislasi hukum dan agama untuk mencapai sasaran politik lain, kata Sharafeldin.

“Dengan cara itu sejumlah perwakilan Islam Politik berusaha mencari untung di atas nasib perempuan.“

Minimnya perlindungan hukum 

Proses legislasi yang terlunta-lunta turut memicu dampak negatif pada nasib perempuan. Di Mauritania misalnya, konstitusi belum mendefinisikan atau mengkriminalisasi kekerasan seksual secara layak, tulis organisasi HAM Human Rights Watch dalam sebuah studinya.

Dan karena hukum pidana tidak mendefinisikan secara gamblang praktik pemerkosaan atau serangan seksual lain, justru korban sendiri yang sering mendapati diri menjadi kejaran aparat.

“Jika perempuan tidak mampu meyakinkan lembaga kehakiman, bahwa hubungan seksual tidak dilakukan secara sukarela, maka si pendakwa bisa berubah menjadi yang terdakwa,” tulis HRW.

Pun di Mesir perdebatan tentang hak perempuan berulangkali meruak di gedung parlemen. Sejak beberapa bulan terakhir wakil rakyat di Kairo sudah membahas rancangan Undang-undang Pencatatan Sipil. Terutama partai-partai konservatif menuduh RUU tersebut lebih mengutamakan perempuan ketimbang laki-laki, sesuatu yang dianggap bertentangan dengan agama dan tradisi.

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Oleh Azza Soliman, aktivis HAM dan pendiri LSM “Pusat Bantuan Hukum Perempuan Mesir,” praktik mencampurkan agama dalam pembahasan hak sipil perempuan dianggap tidak bermanfaat, “kalau saya melibatkan diri dalam pembahasan itu, saya kan tidak melakukannya atas dasar Syariah,” kata dia kepada DW, “melainkan merujuk pada penderitaan perempuan.”

Menurutnya defisit perundang-undangan berdampak secara langsung terhadap kehidupan perempuan. “Undang-undang Pernikahan misalnya mengakibatkan proses perceraian memakan waktu bertahun-tahun. Hal serupa terjadi dalam proses hukum yang melibatkan hak perempuan, kebebasan menggunakan uang atau hak menjenguk anak setelah perceraian.”

Terutama proses persidangan kekerasan terhadap perempuan berlangsung terlalu lambat, keluh Soliman.

Dia terutama menyayangkan perilaku politisi konservatif yang hampir selalu menggunakan Syariah Islam sebagai “argumen tandingan“ dalam pembahasan hak perempuan atau keluarga.

Tradisi kuno seperti konsep “harga diri laki-laki” dan keluarganya seringkali disamarkan dengan jubah agama. “Kalau yang dibahas adalah isu lain seperti ekonomi atau kriminalitas, Syariah kan juga tidak digunakan untuk menolak amandemen perundang-undangan.“

rzn/vlz

 

Sumber: https://www.dw.com/id/hak-perempuan-dalih-pamungkas-bernama-syariah/a-53586265

rumah kitab

Apakah Aisyah Seorang Feminis?

Belakangan ini ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?

Aisyah r.a. adalah perawi (yang meriwayatkan) hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Sebagai istri Nabi, ia memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya, baik sebagai perempuan atau sebagai istri.

Di antara sekian banyak hadis-hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah, kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan, dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas  perannya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir pada abad ke-7, dan Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara, dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu 13 abad sebelumnya.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya), atau feminisme (cara pandang/filsafat/ideologinya), atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti-kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya bisa dianggap kebebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti-agama serta anti-keluarga.

Faktanya, feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki).

Feminisme melihat secara kritis kemapanan hubungan-hubungan itu, yang di dalamnya dapat ada upaya melanggengkan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal secara kritis hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan-hubungan personal (di dunia privat) atau hubungan sosial, politik (di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tidak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam akidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum (fikih, utamanya dalam rumpun fikih keluarga/perdata—ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti-keluarga. Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja?

Feminisme menyangkut aksi

Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan kritis mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan karena dia perempuan sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia atau mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut separuh feminis.

Dikatakan baru separuh feminis sebab, berbeda dari “isme” lainnya, feminisme adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang selalu mendialektikakannya dengan aksi untuk perubahan guna mengakhiri penindasan.

Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir atau bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan aksi untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis—bertanya-tanya, berpikir, membangun, dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan aksi, inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme”, feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai warga negara. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya, feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara, aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum, dan lain-lain yang berfungsi mengatur atau meregulasi. Masalahnya,  dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Kaitan dengan kolonialisme

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme.

Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa, namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali.

Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan.

Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak pangreh praja (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda. Dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya, perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk pendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: Mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut mengaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, baru pada tahun 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut mengaji kitab di luar baca Al-Quran.

Berkat Kartini, kita semua kaum perempuan secara historis mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk aksi, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti Dewi Sartika dan Rohana Koedoes. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari perjuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara membacanya adalah, “Apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam?”. Sebab di eranya, feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam pasca-kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab, dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam.

Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Makkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim, mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti Al-Quran/ tafsir, hadis, dan dari kodifikasi hukum Islam (fikih ). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam tadi yang mereka sebut Islam sebagai world view.

Ada pun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan teks yang dibaca dan ditafsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme, apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada metodologi (manhaj) dalam mendekati rujukan atau teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis.

Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa. Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep keberpihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang ahistoris. Kenyataannya, banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah.

 

Lies Marcoes, 5 Mei 2020

rumah kitab

Merebut Tafsir: Feminiskah Aisyah?

Oleh Lies Marcoes

Belakangan ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis?
Aisyah r.a., adalah perawi hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah. Aisyah adalah istri Nabi dan karenanya memiliki legitimasi sebagai saksi tentang perilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya baik sebagai perempuan atau sebagai istri. Di antara sekian banyak hadis-hadis yang sanadnya melalui Aisyah, tentu kita dapat mencari tahu soal perilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas “peran”nya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir abad ke 7, Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu di abad ke 7.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya) atau feminisme ( cara pandang/ filsafat/ ideologinya) atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya, bisa dianggap bebas-bebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti agama serta anti keluarga.

Nyatanya feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki). Sebab feminisme melihat SECARA KRITIS kemapanan hubungan-hubungan itu yang didalamya DAPAT mengandung pelanggengan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal SECARA KRITIS hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan -hubungan personal ( di dunia privat) atau hubungan sosial, politik ( di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tak sedikit hubungan-hubungan itu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam aqidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum ( fiqh utamanya dalam rumpun fiqh keluarga/perdata – ahwal asy syahsiyah).

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti keluarga.

Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja? Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan KRITIS, mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan KARENA DIA PEREMPUAN sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia/ mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut SEPARUH feminis.

Dikatakan baru separuh feminis, sebab, berbeda dari “isme” yang lain, FEMINISME adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang SELALU mendialektikakannya dengan AKSI untuk perubahan guna MENGAKHIRI penindasan. Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir /bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan AKSI untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis – bertanya-tanya, berpikir, membangun dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan AKSI inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme” feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai WARGA NEGARA. Pemikiran dan aksi feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara; aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum dan lain-lain yang berfungsi mengatur/meregulasi. Masalahnya dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme. Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaimana di Eropa namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali. Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialisme dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan. Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak “pangreh praja” (birokrat).

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda: dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalnya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk berpendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut ngaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, hanya baru 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut ngaji kitab di luar baca Al Qurian.

Berkat RA Kartini, kita semua kaum perempuan SECARA HISTORIS mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk AKSI, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti R.Dewi Sartika, Rohana Koedoes dll. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari pejuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah r.a.? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara bacanya adalah “apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam”?. Sebab di eranya feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam paska kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam. Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Mekkah dan Madinah.

Bagi kaum feminis Muslim mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti al Qur’an / tafsir, hadis dan dari kodifikasi hukum Islam (fiqh). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam seperti Al Qur’an / tafsir, hadis dan kodifikasi hukum Islam yang mereka sebut Islam sebagai worldview. Adapun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad Saw sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan TEKS yang dibaca dan ditarfsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan Hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme; apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada METODOLOGI (manhaj) dalam mendekati rujukan/ teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah r.a. adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis. Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa, Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah. Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep kepemihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Dengan pengertian itu, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang a-historis. Kenyataannya banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah r.a.

Lies Marcoes,5 Mei 2020.

Peran Penting Kaum Feminis Muslim

Oleh: Ulil Abshar Abdalla, MA.

SEKARANG ini nyaris mustahil mempertahankan tafsir tradisional mengenai relasi gender dengan hanya menjadikan kitab suci sebagai legitimasinya. Justru kalau kita tidak melakukan pembacaan ulang, maka kita akan tampak seperti orang dari sejarah masa lampau yang lahir kembali di era sekarang. Lain soal kalau kita misalnya ingin melakukan proyek politik untuk melawan modernitas dengan menciptakan pola kehidupan baru berdasarkan ajaran agama dari abad 7 – 8 M, karena ada juga kelompok-kelompok Islam yang sengaja menjadikan konsep-konsep yang patriarkhis seperti itu sebagai landasan untuk membangun komunitas baru yang mereka jadikan sebagai alat perlawanan terhadap modernitas. Jadi, tradisi digunakan sebagai alat untuk melawan modernitas. Ini adalah semacam the weaponization of tradition atau menjadikan tradisi sebagai senjata untuk melawan modernitas yang banyak dilakukan oleh kaum fundamentalis. Sebagaimana kita tahu bahwa kelompok fundamentalis menjadikan konsep-konsep tradisional seperti soal perkawinan anak, poligami, aurat, dan lain sebagainya sebagai senjata melawan modernitas yang mereka anggap sudah terlalu kebablasan.

Kita lihat aspirasi peradaban sebagian besar umat Muslim di dunia saat ini adalah bagaimana antara al-turâts (tradisi) dan al-hadâtsah (modernitas) atau antara al-ashâlah dan al-mu’âsharah itu bisa berjalan bersamaan, bagaimana antara “kita menjadi bagian dari dunia modern yang laju perkembangannya sangat cepat” dengan “kita mengjangkarkan diri kepada tradisi yang otentik” bisa koeksis. Berbeda dengan kaum fundamentalis di mana aspirasi peradaban mereka membenturkan antara al-turâts dan al-hadâtsah atau antara al-ashâlah dan al-mu’âsharah.

Kiranya opsi yang kedua lebih masuk akal ketimbang membenturkan antara tradisi dan modernitas. Karena kalau membenturkan, maka yang akan muncul adalah ketegangan terus-menerus di dalam kehidupan sosial. Inilah yang menyebabkan opsi kaum fundamentalis di mana-mana selalu menghasilkan suasana kehidupan yang penuh dengan ketegangan. Dari sisi bahasa, misalnya, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa yang penuh dengan kebencian dan agresi sehingga menciptakan suasana sosial yang sama sekali tidak menyenangkan, selain juga polarisasi. Maka opsi yang lebih masuk akal adalah bagaimana melihat zaman sekarang dengan zaman masa lampau bisa bertemu dan bisa didamaikan hari ini. Karena itu upaya-upaya pembacaan ulang dari kaum feminis muslim menjadi bagian dari gerakan global untuk melakukan penelaahan terhadap tradisi Islam, terutama yang terkait dengan isu spesifik yaitu isu gender relation (relasi gender).

Harus diakui bahwa konsep keadilan dalam Islam merupakan konsep yang sangat vital dan harus dimaknai dalam dimensinya yang luas. Keadilan bukan hanya dalam pengertian keadilan politik atau ekonomi, tetapi juga keadilan dalam isu yang spesifik yaitu keadilan gender. Maka upaya penelaahan ulang sebagaimana dilakukan di dalam buku ini tidak akan ada habis-habisnya. Wilayahnya akan terus terbuka karena tantangannya tidak pernah berhenti, khususnya tantangan yang datang dari kaum fundamentalis dan kaum radikal. Di samping itu modernisasi sosial-kultural yang berlangsung di masyarakat juga tidak bisa distop.

Situasi-situasi di dalam dunia modern sekarang ini menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang paradoks. Kalau kita tidak terjun untuk memberikan interpretasi yang tepat, paradoks di dalam modernitas bisa dijadikan alat oleh kaum fundamentalis untuk membenarkan proyek politik mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap dunia modern dengan cara-cara yang bermasalah karena menimbulkan konflik-konflik di dalam kehidupan sosial yang riil.

Corak-corak kehidupan baru yang ditawarkan oleh modernitas itu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dengan tradisi-tradisi yang kita peluk selama ini. Kalau ini tidak diselesaikan, lama-lama itu bisa menjadi bom waktu. Bagaimana mendamaikan antara konsep keluarga yang lama di dalam komunitas Muslim yang basisnya adalah QS. al-Nisa`: 34 dengan tuntutan-tuntutan pembagian peran baru di dalam masyarakat modern. Ini adalah kontradiksi, dan kontradiksi semacam ini banyak sekali. Kalau ini tidak direkonsiliasikan dengan pembacaan baru tentu akan sangat berbahaya.

Kalau kita tidak melakukan pembacaan ulang, maka pilihannya ada dua, dan dua-duanya tidak ideal. Pertama, kita meninggalkan agama sama sekali. Ini adalah salah satu pilihan yang ditempuh oleh sebagian orang, “Apa gunanya agama di dalam dunia modern seperti sekarang ini? Kita tidak butuh agama, karena modernitas sudah memberikan seluruh perangkat konseptual yang kita perlukan untuk hidup saat ini. Makanya kita tidak membutuhkan agama atau tradisi.” Kedua, kita meninggalkan modenitas. “Apa pentingnya modernitas? Kita sudah punya sistem kehidupan sendiri yang berasal dari wahya dan itu lebih superior daripada modernitas.”

Kedua pilihan itu sama sekali tidak ideal dan tidak menyenangkan karena akibatnya memaksa orang untuk menempuh pilihan ather or, ini atau itu, memaksa orang untuk memilih salah satu: meninggalkan tradisi atau meninggalkan modernitas, padahal kedua-duanya kita butuhkan. Makanya buku-buku semacam ini sangat penting karena masyarakat Muslim yang hidup di dunia modern membutuhkan peta konseptual baru dalam navigating atau di dalam menjalani kehidupan baru sekarang ini.

Mungkin ada semacam tuduhan bahwa upaya yang kita lakukan hanyalah pembenaran saja terhadap modernitas dengan menggunakan dalil agama—atau hanya mencari-cari akal saja atau hîlah fiqhîyyah melegitimasi kehidupan saat ini. Tentu saja tidak! Ini bukan hîlah atau sekedar melegitimasi kehidupan modern dengan agama, tetapi ini adalah kebutuhan riil yang dihadapi masyarakat. Masyarakat berhadapan dengan situasi riil di mana mereka harus menata hubungan baru antara laki-laki dan perempuan atau suami dan istri.

Opsi kaum fundamentalis yang ingin membawa kita ke dalam dunia abad ke-7 Masehi, misalnya, itu akan menimbulkan kesulitan yang luar biasa. Sementara opsi kaum yang pro modernitas secara total dengan menafikan agama itu juga akan menimbulkan masalah besar karena memaksa orang untuk meninggalkan agama. Jadi, tidak ada lain kecuali menempuh jalan tengah dengan memadukan kedua-duanya, agama dan modernitas.

Tetapi memadukan kedua-duanya tentu saja tidak mudah, karena kita harus mempunyai kemampuan membaca tradisi di dalam konteks baru dan sekaligus membaca konteks baru di dalam konteks tradisi. Kalau kita meminjam istilahnya Fazlur Rahman kita harus melakukan “gerak ganda”, gerak dari belakang maju ke depan dan dari depan mundur ke belakang. Kalau sekedar maju ke depan saja (meninggalkan agama/tradisi) atau mundur ke belakang saja (meninggalkan modernitas), itu mudah sekali, tidak membutuhkan kerja intelektual-konseptual yang rumit. Justru yang sulit adalah bagaimana melakukan “gerak ganda” atau maju ke depan dan mundur ke belakang secara bersamaan tanpa menimbulkan konflik. Makanya jangan meng-underestimate kerja-kerja pembacaan ulang sebagaimana yang tertuang di dalam buku ini, karena kerja-kerja semacam itu tidaklah mudah.

Kerja-kerja pembacaan ulang bisa juga menimbulkan ketidakpercayaan dari dua pihak, yaitu kaum fundamentalis yang menolak modernitas secara total dan kaum modernis yang menolak agama secara total. Kaum fundamentalis akan menganggapnya sebagai upaya yang menggunakan agama untuk menjustifikasi modernitas, sementara kaum modernis akan menganggapnya sebagai upaya yang memaksa-maksakan agama supaya relevan dengan modernitas. “Ah, itu hanya akal-akalan kaum liberal-progresif untuk menjadikan agama tetap hidup saat ini, padahal sudah saatnya agama itu mati,” misalnya begitu. Jadi, dua kelompok itu bisa menuduh kerja-kerja pembacaan ulang sebagai upaya yang tidak akan pernah berhasil.

Namun di dalam kehidupan riil yang terjadi justru berkebalikan dari apa yang dikatakan oleh dua kelompok tersebut. Bahwa, suka atau tidak suka, mayoritas kaum beragama melakukan penafsiran ulang terhadap tradisi dan juga terhadap kehidupan yang mereka alami sekarang ini. Jadi, mereka tidak meninggalkan agama dan juga tidak meninggalkan modernitas, sebab mereka memang membutuhkan dua-duanya. Selama ini itulah yang mereka kerjakan dalam berbagai bentuknya, mulai dari penerimaan terhadap negara modern atau negara-bangsa, penerimaan terhadap institusi keuangan modern, penerimaan terhadap sistem sekolah modern, penerimaan terhadap konsep demokrasi-Pemilu, dan seterusnya.

Semua itu menunjukkan adanya upaya dari kaum beragama untuk mengambil jalan tengah. Suka atau tidak suka opsi jalan tengah itu sudah berkerja dari sejak dulu sampai sekarang. Bahkan bisa dikatakan opsi jalan tengah itu, atau al-jam’ bayna al-turâts wa al-hadâtsah atau al-jam’ bayna al-ashâlah wa al-mu’âsharah sudah dikerjakan sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad Saw., yang kemudian pada zaman sahabat, zaman tabi’in, zaman tabi’ al-tabi’in, sampai ke zaman keemasan peradaban Islam. Kenapa dikatakan demikian? Karena Kanjeng Nabi Saw. sendiri ketika mengenalkan konsep-konsep baru dalam Islam itu tidak menolak sama sekali keberadaan institusi-institusi peradaban yang sudah ada pada zamannya selama tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam. Demikian juga para sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan seterusnya.

Ketika para ulama Muslim mengadopsi ilmu-ilmu dari Yunani dan kemudian mencoba untuk mendamaikannya dengan akidah Islam itu sesungguhnya adalah upaya mencari opsi jalan tengah. Tetapi yang menarik sejak zaman dulu kelompok yang disebut dengan Khawarij selalu ada hingga sekarang. Apa itu kelompok Khawarij? Yaitu kelompok yang ingin mencari jalan mudah dengan menempuh opsi yang sangat sederhana. Di sini Khawarij bisa digunakan dalam dua pengertian sekaligus, yaitu orang yang ingin menempuh opsi maju ke depan saja atau mundur ke belakang saja.

Di dalam sejarah Islam opsi yang dipilih oleh kelompok Khawarij itu selalu tidak berhasil, selalu kalah, karena tidak realistis. Memang sangat mudah, dan selalu memunculkan persepsi bahwa opsi yang mereka tempuh itu tampak lebih Islami daripada orang yang menempuh jalan tengah. Tetapi sejatinya itu tidak masuk akal di dalam kerangka kehidupan riil. Jadi, kajian-kajian baru yang kita lakukan sebetulnya merupakan upaya dengan semangat meneruskan semangat peradaban yang sudah ada sejak zaman klasik hingga zaman sekarang. Karena sejak dulu umat Muslim memang menempuh jalan tengah semacam ini. Artinya, apa yang dilakukan di dalam buku ini bukanlah sesuatu yang menyimpang dari trajectory peradaban Islam.

Setiap negara Muslim mempunyai policy yang berbeda-beda terkait masalah perundang-undangan. Ada negara yang mengadopsi presentasi yang besar dari syariat Islam dalam perundang-undangan modern. Ada juga negara yang mengadopsi syariat Islam tetapi dengan reinterpretasi yang radikal, seperti yang terjadi di Maroko dan Tunisia. Terutama di Tunisia di mana poligami pernah dilarang dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena tafsir yang progresif soal poligami sudah pernah dikemukakan oleh para aktivis dan pemikir Muslim sejak awal abad ke-20 M, di antaranya oleh Thahir al-Haddad melalui buku karyanya “Imra’atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’”. Thahir al-Haddad menulis buku ini di tahun 1930-an tentang keharusan menafsir ulang konsep-konsep dalam hukum keluarga, misalnya soal wilâyah, qiwâm ah, poligami, dan lain sebagainya.

Meskipun berbeda, tetapi intinya adalah bahwa ketika memasuki era modern atau era pasca-kolonial atau setelah merdeka negara-negara Muslim berhadapan dengan situasi yang dilematis. Di satu sisi mereka mewarisi perundang-undangan yang berasal dari fikih tradisional, tetapi di sisi yang lain mereka berhadapan dengan fakta bahwa ada hukum positif modern yang jauh lebih efektif di dalam mengatur kehidupan modern, terutama di dalam sektor-sektor yang berkaitan dengan muamalah.

Mereka mewarisi rezim perundang-undangan modern yang berasal dari era kolonial yang tidak bisa dicampakkan begitu. Rezim perundang-undangan modern ini berasal dari tradisi Eropa yang jauh lebih bisa menjawab tantangan-tantangan modern dan itu tidak bisa diberikan oleh fikih tradisional. Tetapi mereka juga tidak bisa membuang tradisi fikih. Di sini terdapat problem antara al-turâts dan al-hadâtsah atau antara al-ashâlah dan al-mu’âsharah dalam sektor perundang-undangan.

Umumnya negara-negara Muslim—sebagian besar—menempuh opsi jalan tengah. Mereka tidak membuang warisan perundang-undangan modern seperti yang dilakukan oleh ISIS dan Taliban, dan juga tidak membuang warisan perundang-undangan yang berasal dari agama lalu menjadi negara sekuler murni seperti di Barat dan Eropa. Jadi, mereka menempuh opsi jalan tengah.

Indonesia juga menempuh opsi yang sama, yaitu opsi jalan tengah. Di sini kita tidak hanya mengenal Peradilan Agama (PA) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi juga mengenal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang yang dibuat oleh parlemen dan tidak seluruhnya didasarkan kepada tradisi fikih. Melakukan pemfikihan total terhadap institusi peradilan modern itu tidak mungkin, dan mengabaikan fikih secara total juga tidak masuk akal. Makanya yang terjadi adalah kompromi yang melahirkan jalan tengah.

Negara punya otoritas untuk mengeksekusi undang-undang. Tetapi negara berani mengeksekusi suatu undang-undang atau mengadopsi konvensi internasional mengenai isu-isu HAM, gender, dan lain sebagainya itu karena adanya lapisan progresif di kalangan umat Muslim yang mendukung tindakan negara dari sudut argumen keagamaan. Kalau tidak ada lapisan progresif di kalangan umat Muslim sendiri yang memberikan legitimasi teologis terhadap policy negara, negara akan mengalami kesulitan untuk mengadopsi konvensi atau undang-undang modern misalnya soal penghapusan kekekerasan terhadap perempuan. Maka peran para tokoh seperti Thahir al-Haddad, Rifa’at Rafi’ al-Thahthawi, Qasim Amin, Nawal al-Sa’dawi, KH. Masdar F. Mas’udi, KH. Husein Mohammad, Musdah Mulia, Lies Marcoes, dan tokoh-tokoh lain yang disebut sebagai feminis muslim itu sangat penting. Tanpa keberadaan mereka negara akan merasa ketakutan untuk menempuh suatu opsi legal yang tidak populer karena berlawanan dengan aspirasi masyarakat Muslim.

Salah satu kasus yang perlu disebut adalah kasus pembahasan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974 yang menimbulkan resistensi luar biasa dari kalangan umat Muslim. Saat itu di Indonesia belum ada lapisan para pemikir progresif Muslim seperti sekarang yang memberikan dukungan kepada upaya pemerintah. Ketika itu upaya pemerintah malah dianggap sebagai upaya westernisasi dan sekularisasi. Karena belum ada kelompok-kelompok civil society yang memberikan dukungan. Akibatnya, Undang-Undang itu tetap lolos tetapi dengan pemangkasan luar biasa di sana-sini. Jadi, dukungan kultural dari dalam masyarakat sendiri terhadap kebijakan pemerintah menyangkut perundang-undangan itu sangat penting dan tidak bisa diabaikan.

Keberadaan para feminis muslim seperti Thahir al-Haddad dan lain sebagainya memang tidak langsung bisa mengubah keadaan. Tetapi pemikiran-pemikiran mereka yang semula dianggap sebagai pemikiran-pemikiran ideo-sinkretik, kelihatan janggal dan tidak populer, tetapi secara perlahan-lahan karena tuntutan konteks sosial, akhirnya pemikiran-pemikiran semacam itu menyebar ke dalam masyarakat. Ini sekaligus merupakan kabar gembira atau motivasi bagi para pemikir muslim agar tidak putus asa karena melihat gagasan-gagasan mereka ditolak oleh sebagian besar masyarakat pada suatu zaman. Karena penolakan pada suatu momen tertentu tidak berarti bahwa gagasan itu akan mati seketika. Gagasan itu tetap hidup dan secara perlahan ketika konteks berubah akan menemukan bumi semai baru. Amin al-Khuli pernah mengatakan bahwa “seringkali sebuah pemikiran yang bermula sebagai heresy (harthaqah) atau gagasan yang menyimpang sehingga dimusuhi oleh ortodoksi, tetapi karena perkembangan waktu pemikiran itu justru berubah menjadi ortodoksi.” Gagasan yang semula dianggap aneh dan dikucilkan kemudian menjadi mazhab dominan pada suatu masa.[]

Tahar Haddad (Arabic: الطاهر الحداد‎; 1899 – December 1935) was a Tunisian author, scholar and reformer.

Image source: https://en.wikipedia.org/wiki/Tahar_Haddad