Pos

Perempuan Tak Harus Selalu di Ruang Publik untuk Dianggap Berdaya: Sebuah Refleksi Decolonial Feminism

Perjumpaan saya dengan istilah decolonial feminism muncul saat saya mengikuti sebuah konferensi internasional yang menghadirkan para pakar dari bidang Islamic Studies. Istilah tersebut terasa begitu baru bagi saya. “Hah? Decolonial digabungkan dengan kata feminism? What’s that?” pikir saya waktu itu.

Saya menatap layar presentasi yang menampilkan nama Saba Mahmood dan karyanya yang populer, Politics of Piety. Dari pemikiran Mahmood, hal yang paling membekas bagi saya adalah pandangannya bahwa tidak semua perempuan yang memilih hidup religius sedang tertindas. Kadang, justru di situlah letak kebebasan mereka. Bagi saya, itu adalah perspektif yang sangat menarik. Kenapa?

Selama ini, narasi yang beredar dari gerakan feminisme sering kali dipahami secara tunggal. Bahwa menjadi perempuan merdeka berarti harus berperan di ruang publik, berani bersuara, harus bekerja, memiliki gelar pendidikan tinggi, dan sederet keharusan lainnya. Serangkaian ekspektasi yang sudah menjadi standar universal tentang bagaimana perempuan seharusnya hidup dengan berdaya.

Namun, setelah dipikir kembali, saya mulai merasa bahwa pola tuntutan semacam itu bisa menjadi bentuk pengerdilan baru di era ini, hanya saja dengan wajah yang berbeda. Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, misalnya, sering kali dianggap kurang ambisius atau belum sadar gender. Toh, kesadarankan bukan sesuatu yang bisa diukur dari luar? Bukankah setiap perempuan punya jalannya sendiri untuk memahami makna hidupnya?

Di titik inilah saya menemukan relevansi istilah decolonial feminism, sebuah pendekatan yang mengajak kita membongkar kembali cara berpikir yang diwariskan oleh kolonialisme dan dominasi Barat. Termasuk dalam cara kita memahami feminisme, atau, kalau kamu kurang setuju dengan kata feminisme, bisa kita ubah jadi “keadilan gender.”

Perspektif apa yang ditawarkan oleh Saba Mahmood?

Di ruang kelas, dosen kami juga merekomendasikan karya Saba Mahmood tersebut. Bukunya menjadi salah satu bacaan wajib yang harus dikaji terlebih dahulu sebelum kelas dimulai.

Saba Mahmood, seorang antropolog asal Pakistan yang meneliti gerakan perempuan Muslim di Mesir, lewat karya intelektualnya Politics of Piety, menawarkan makna yang berbeda tentang kebebasan. Baginya, kebebasan tidak selalu berarti menolak atau menentang tradisi dan agama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Muslim di Mesir yang memilih hidup religius dan taat melakukannya bukan karena paksaan, mereka memilihnya dengan kesadaran yang lahir dari keyakinan mereka sendiri.

Mahmood menolak asumsi feminisme liberal yang menganggap bahwa semua perempuan pasti ingin dibebaskan dalam pengertian sekuler dan individualis. Dalam bukunya, Mahmood juga menekankan bahwa agensi atau kemampuan seseorang untuk bertindak secara sadar, bisa hadir dalam bentuk yang tidak selalu terlihat memberontak.

Misalnya, seorang perempuan yang memilih bercadar dan berhijrah, bisa jadi sedang menapaki perjalanan spiritualnya sendiri. Alih-alih melihat pilihan itu sebagai bentuk kepatuhan pada patriarki, kita bisa memahaminya sebagai wujud pencarian makna dan kedekatan dengan keyakinan yang ia pegang. Dalam pandangan ini, kebebasan justru hadir ketika seseorang mampu menemukan dirinya, bahkan di dalam norma keyakinan yang dianggap membatasi.

Kritik terhadap Feminisme yang “kebarat-baratan”

Dalam refleksi ini, saya tidak sedang menolak feminisme. Justru, saya sangat menghargainya. Gerakan ini telah membuka banyak ruang bagi perempuan untuk bersuara dan mengikhtiarkan hak-haknya. Tanpa perjuangan para feminis, mungkin perempuan saat ini masih belum memiliki hak untuk berdemokarsi dan mengikuti pemilu.

Tanpa ada tokoh feminis di Indonesia, mungkin saat ini perempuan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan tinggi. Banyak hal yang dulu mustahil kini terasa wajar, karena ada sosok-sosok berani yang dulu menembus batas untuk memperjuangkan hak perempuan.

Di sisi lain, sebagian arus feminisme (terutama yang berakar dari kerangka Barat), sering kali gagal memahami konteks lokal dan spiritual masyarakat lain. Saya menyadari bahwa gagasan tentang kebebasan individu yang sering digaungkan oleh feminisme Barat terkadang bergerak terlalu jauh, seolah semua pilihan pribadi harus diterima oleh masyarakat tanpa batas.

Di balik slogan kebebasan, ada kecenderungan untuk menormalisasi segala bentuk ekspresi, termasuk orientasi seksual, tanpa mempertimbangkan konteks nilai serta ajaran agama yang dianut oleh banyak masyarakat non-Barat. Dalam kerangka Islam, misalnya, terdapat koridor moral dan spiritual yang menjadi pedoman hidup. Bagi seorang Muslim, mematuhi koridor tersebut merupakan bentuk kebebasan yang paling hakiki, sebuah kebebasan untuk tetap taat pada ajaran yang diyakini benar.

Beban Baru Perempuan Modern

Saya masih sering menjumpai komentar di media sosial yang seolah menghakimi pilihan hidup perempuan: “Sekolah tinggi-tinggi kok ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga, sayang banget sama title-nya.” Wahai netizen yang budiman, mengapa nilai diri perempuan harus diukur dari pencapaian publik dan prestasi karier? Banyak perempuan justru menemukan semangat hidupnya saat mengasuh anak, karena dari tangan ibu yang terdidiklah, generasi emas bangsa lahir dan tumbuh.

Tanpa disadari, pola pikir tersebut justru menempatkan perempuan dalam tekanan baru. Sebuah beban untuk selalu menyesuaikan diri dengan standar ideal yang diciptakan oleh feminisme versi tertentu.

Perempuan yang memilih fokus pada rumah tangga tidak lebih rendah daripada perempuan yang aktif di ranah publik. Begitu pula sebaliknya. Selama keputusan itu diambil dengan kesadaran, cinta, dan tanpa paksaan, maka di sanalah kebebasan hadir.

Menurut saya, setiap perempuan punya ruang pilihannya masing-masing. Ada yang menemukan kekuatannya di rumah, ada pula yang menemukannya di ruang publik. Setiap pilihan hadir dengan konsekuensinya tersendiri, dan perempuan yang berdaya adalah mereka yang mampu membaca risiko dan menyiapkan langkah untuk menghadapinya.

Decolonial feminism mengajak kita untuk keluar dari jebakan berpikir biner, yang menganggap hanya ada satu bentuk kebebasan yang sah. Pendekatan ini menuntut kita agar supaya tidak lupa memahami konteks, pengalaman, dan nilai-nilai lokal yang membentuk makna berdaya bagi setiap perempuan.

So, yuk belajar untuk tidak menyeragamkan pilihan perempuan.

Frieda’s Case dan Kontroversi Aborsi di Indonesia: Membaca dari Kacamata Feminisme

Film Frieda’s Case (di sini) bukan sekadar karya seni sinematik, melainkan juga ruang kontemplasi tentang bagaimana tubuh perempuan diperebutkan oleh hukum, moralitas, dan politik. Mengangkat kisah seorang perempuan yang mengalami kehamilan akibat perkosaan, film ini menggugat konstruksi sosial dan hukum yang sering kali lebih fokus mengatur tubuh perempuan dibanding memberi perlindungan.

Dari perspektif feminisme, Frieda’s Case adalah potret ketidakadilan berlapis. Perempuan korban tidak hanya mengalami trauma akibat kekerasan seksual, tetapi juga dipaksa menanggung stigma, beban hukum, dan pilihan mustahil yang sering kali lebih menyakitkan daripada kejadian itu sendiri. Feminisme (di sini) telah lama mengkritisi bagaimana tubuh perempuan dijadikan medan pertempuran moral. Dalam Frieda’s Case, kita dapat melihat bagaimana keputusan perempuan atas tubuhnya sendiri menjadi sesuatu yang “diperdebatkan” oleh orang lain –dokter, aparat, bahkan keluarga.

Pertanyaannya, siapa yang seharusnya memiliki otoritas atas tubuh Frieda? Jawaban feminis jelas: dirinya sendiri. Namun realitas sosial dan hukum kerap berkata lain.

Kontroversi Regulasi Aborsi di Indonesia

Film Frieda’s Case memperlihatkan bagaimana tubuh korban perkosaan direduksi menjadi objek moralitas negara. Aborsi bukan lagi soal pemulihan trauma, melainkan soal kepatuhan hukum. Di sinilah terlihat bagaimana patriarki bekerja: mengatur tubuh perempuan seolah-olah mereka tidak mampu mengambil keputusan sendiri.

Kontroversi seputar Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 (di sini) tentang Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menunjukkan bagaimana kebijakan negara masih menempatkan perempuan dalam posisi dilematis terkait hak atas tubuhnya, terutama dalam kasus aborsi akibat pemerkosaan.

Ketentuan aborsi dalam PP No.28/2024 sebenarnya dimaksudkan sebagai jalan tengah: aborsi legal dalam kondisi darurat medis dan korban perkosaan. Namun, ketentuan bahwa hanya polisi yang dapat memberikan “legitimasi” terhadap status korban menuai kontroversi. Faktanya, banyak korban yang enggan melapor ke polisi karena takut tidak dipercaya, dipermalukan, atau justru mengalami viktimisasi ulang.

Komnas Perempuan (di sini) mengkritik bagaimana syarat administrasi yang rumit seperti ini kerapkali semakin menyulitkan akses korban terhadap layanan aborsi aman. Pada akhirnya, alih-alih dilindungi, korban justru berujung pada aborsi tidak aman, yang besar relevansinya dengan risiko kesehatan dan keselamatan jiwa.

Aktivis HAM menilai aturan ini problematis dan merupakan bentuk regresi terhadap hak reproduksi perempuan, karena: 1) Membebani korban: Alih-alih dipermudah, korban dipaksa melalui proses hukum yang panjang dan melelahkan; 2) Mengabaikan realitas sosial: Banyak korban perkosaan memilih diam karena takut stigma, atau tidak percaya pada aparat; dan 3) Meningkatkan risiko aborsi tidak aman: Ketika jalur legal dipersempit, korban bisa beralih ke praktik ilegal yang membahayakan nyawa.

Sejumlah pihak kini mendesak agar regulasi ini direvisi. Namun sampai artikel ini ditulis, belum ada sinyal kuat dari pemerintah untuk melakukan perubahan. Artinya, jalan terjal bagi korban masih panjang.

Feminisme sebagai Kacamata Kritis

Konsep reproductive justice (di sini) yang berkembang dalam feminisme kulit hitam Amerika menawarkan lensa penting. Bagi Loretta Ross dan aktivis lainnya, keadilan reproduksi bukan hanya soal akses aborsi, tetapi juga hak perempuan untuk:

  1. Memutuskan kapan dan apakah ingin punya anak,
  2. Memiliki anak dalam kondisi yang aman, dan
  3. Membesarkan anak dalam lingkungan yang layak.

Dari kacamata ini, jelas bahwa regulasi di Indonesia belum berpihak pada korban. Negara masih sibuk menjaga moralitas, tapi lupa pada esensi: memberikan ruang aman bagi perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri. Aturan baru menunjukkan bahwa hak reproduksi perempuan masih dipandang sebagai ancaman, bukan hak yang sah.

Relevansi “Frieda’s Case” di Indonesia Hari Ini

Menonton Frieda’s Case dalam konteks Indonesia hari ini terasa seperti bercermin. Film ini bukan hanya tentang Frieda sebagai individu, melainkan juga tentang ribuan perempuan lain yang mengalami dilema serupa: terjebak di antara trauma, stigma, dan regulasi yang tidak berpihak. Dalam diskursus feminisme, film ini dapat dibaca sebagai call to action. Ia menuntut kita untuk bertanya:

  • Apakah hukum kita sungguh-sungguh berpihak pada korban?
  • Mengapa suara perempuan seringkali diragukan dan harus divalidasi oleh pihak ketiga?
  • Apakah negara masih menempatkan tubuh perempuan sebagai objek kontrol, bukan subjek yang berdaulat?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan arah perjuangan hak reproduksi perempuan di Indonesia.

Dari Layar ke Ruang Publik

Frieda’s Case menunjukkan betapa pentingnya seni dan film sebagai medium advokasi. Ia mengguncang kesadaran, memprovokasi perdebatan, dan membuka ruang bagi perspektif feminis untuk masuk ke ruang publik.

Di sisi lain, kontroversi PP No. 28/2024 memperlihatkan bahwa perjuangan feminis di Indonesia masih panjang. Tubuh perempuan masih diperlakukan sebagai objek moral dan hukum, bukan sebagai ruang otonom yang penuh martabat.

Di tengah situasi ini, feminisme menawarkan pandangan yang tegas: korban berhak mendapatkan perlindungan, akses pada layanan kesehatan yang aman, dan kebebasan menentukan nasib reproduksinya tanpa intervensi yang merugikan.

Film seperti Frieda’s Case penting bukan hanya untuk dilihat, tetapi juga untuk dijadikan inspirasi dalam mendorong perubahan regulasi yang lebih adil gender. Karena pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya tentang Frieda atau perempuan mana pun, melainkan tentang apakah kita, sebagai masyarakat, sungguh menghormati hak asasi setiap manusia atas tubuhnya sendiri.

Maulid Nabi sebagai Jalan Menemukan Kesetaraan Gender yang Sejati

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momen penuh makna, bukan hanya sebagai ritual keagamaan semata, namun juga sebagai refleksi mendalam atas nilai-nilai universal yang diwariskan Rasulullah.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan kontemporer mengenai isu gender, maulid bisa menjadi titik tolak untuk menemukan kembali hakikat kesetaraan gender dalam Islam. Isu ini sering disalahpahami, sehingga ada yang menolaknya dengan alasan bertentangan dengan tradisi, dan ada pula yang memaksakannya dengan pendekatan yang seragam tanpa melihat konteks nilai Islam.

Padahal, jika kita merujuk pada jejak Nabi, kesetaraan gender bukan gagasan baru, melainkan ruh dari risalah yang dibawanya.

Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan kesetaraan eksistensial antara laki-laki dan perempuan. Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً

yang artinya: “Barang siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka Kami pasti akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97).

Ayat ini menekankan bahwa ukuran utama di sisi Allah adalah amal saleh dan keimanan, bukan jenis kelamin. Rasulullah SAW juga menegaskan hal ini dalam hadits “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” Hadis ini memperlihatkan bahwa kualitas seorang Muslim diukur dari bagaimana ia memperlakukan perempuan, bukan dari jabatan, harta, atau status sosial.

Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dalam Iyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harus dilandasi mu‘āsyarah bi al-ma‘rūf (pergaulan yang baik) sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 19).

Al-Ghazali menekankan bahwa keharmonisan rumah tangga dan masyarakat lahir dari sikap adil, penuh kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Sementara itu, Ibn ‘Asyur, ulama besar Tunisia yang dikenal dengan pendekatan maqāid al-sharī‘ah, menambahkan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga martabat manusia tanpa membedakan gender. Dari sini, kita melihat bahwa tradisi ulama klasik sudah memberi ruang luas bagi pemahaman kesetaraan, meskipun istilah “gender” belum digunakan.

Dalam kajian kontemporer, banyak penelitian internasional menggarisbawahi bahwa Islam sebenarnya memiliki landasan kuat bagi kesetaraan gender. Studi dalam Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society menunjukkan bahwa pendekatan maqāidī exegesis atau tafsir berbasis tujuan syariat mampu mengoreksi bias patriarkal dalam penafsiran klasik dan menekankan keadilan serta kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan.

Artikel lain dalam Jurnal Common (2022) mencatat bahwa identitas Muslim sering dijadikan alasan untuk mempertahankan patriarki, padahal teks-teks normatif Islam mendukung peran aktif perempuan dalam ruang publik. Temuan ini mengingatkan kita bahwa problem sesungguhnya bukan pada teks, melainkan pada penafsiran dan praktik sosial yang membelenggunya.

Jika kita menengok ke Indonesia, realitas sosial memberi gambaran yang kompleks. Di satu sisi, banyak perempuan Indonesia telah mencapai posisi penting—anggota DPR, rektor, bahkan menteri. Namun di sisi lain, masih banyak kasus diskriminasi dan kekerasan berbasis gender yang memprihatinkan. Data Komnas Perempuan (2023) mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender di ranah domestik.

Perdebatan mengenai RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun menunjukkan masih kuatnya resistensi patriarki. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya dipahami sebagai bagian dari ajaran Islam, melainkan masih dipandang sebagai agenda luar yang perlu dicurigai.

Menariknya, pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam tradisional di Indonesia memberikan kontribusi penting dalam merumuskan paradigma kesetaraan yang khas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejumlah pesantren, khususnya yang dipimpin oleh nyai dan berorientasi pada pemberdayaan perempuan, berhasil mengembangkan kurikulum yang lebih ramah gender.

Di beberapa pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, para santri perempuan didorong untuk terlibat dalam diskusi tafsir Al-Qur’an yang menekankan aspek keadilan gender, bahkan dilibatkan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Model ini membuktikan bahwa pesantren tidak hanya mereproduksi budaya patriarkal, tetapi juga dapat menjadi lokomotif perubahan menuju pemahaman kesetaraan gender yang lebih Islami dan kontekstual.

Spirit Maulid Nabi dalam hal ini sejalan dengan praktik pesantren yaitu melahirkan generasi yang mampu meneladani Nabi dalam memperlakukan perempuan dengan adil, penuh kasih, dan bermartabat. Nabi membangun masyarakat Madinah dengan partisipasi perempuan secara aktif. Di antaranya adalah keterlibatan Khadijah sebagai partner bisnis, Aisyah sebagai guru besar hadis dan tafsir, Ummu Salamah berperan dalam politik, dan banyak sahabiyah lain yang menjadi inspirasi. Semua itu menunjukkan bahwa Maulid tidak sekadar perayaan simbolis, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali teladan hidup yang inklusif.

Refleksi dari Maulid Nabi harus diarahkan pada pencarian kesetaraan gender yang sejati, yaitu kesetaraan yang berangkat dari nilai keimanan, keadilan, dan kemaslahatan, bukan dari ideologi sekuler yang menafikan agama, atau dari tradisi patriarkal yang mengkerangkeng perempuan. Kesetaraan gender sejati adalah kesetaraan yang membebaskan. Artinya membebaskan perempuan dari diskriminasi, membebaskan laki-laki dari tekanan maskulinitas semu, dan membebaskan masyarakat dari struktur sosial yang timpang.

Dalam bahasa Ibn Qayyim al-Jauziyyah dikatakan “Al-Syarī‘ah kulluhā ‘adl, wa ramah, wa malaah, wa ikmah” (Syariat seluruhnya adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan kebijaksanaan.) Dengan kerangka inilah kita perlu membaca ulang isu gender dalam Islam.

Akhirnya, Maulid Nabi seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperkuat kesadaran bahwa Islam adalah agama yang menempatkan manusia dalam kesetaraan derajat. Dari keluarga, pesantren, hingga negara, semua lini bisa menjadikan momen ini sebagai titik tolak untuk membangun peradaban yang lebih adil dan bermartabat.

Kesetaraan gender bukanlah agenda asing, melainkan bagian dari warisan Nabi yang perlu terus dirawat. Dalam cahaya Maulid, kita menemukan jalan untuk meneguhkan makna kesetaraan yang sejati: kesetaraan yang berakar pada iman, dijalankan dengan kasih sayang, dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.

Keadilan Gender di Balik Kuota Politik: Dari Simbol ke Substansi

Seorang caleg perempuan muda dari sebuah kabupaten bercerita tentang pengalamannya. Ia diminta partainya maju pada pemilu legislatif, tapi ditempatkan di nomor urut yang jelas-jelas sulit menang. Ketika bertanya alasannya, pengurus partai menjawab singkat: “Yang penting ada perempuan.”

Kalimat itu menunjukkan persoalan mendasar yang dihadapi perempuan dalam politik kita. Kehadiran mereka kerap dijadikan pemanis daftar, bukan aktor yang betul-betul diberi ruang. Padahal, secara formal, aturan sudah ada: partai politik diwajibkan mencalonkan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif. Namun, realitas politik sering jauh berbeda dari semangat regulasi.

Kuota: Awal, Bukan Akhir

Kuota perempuan memang sebuah capaian. Tanpa aturan ini, jumlah perempuan di parlemen kemungkinan lebih kecil lagi. Kuota membuka pintu masuk agar perempuan punya kesempatan yang lebih setara. Tetapi, pintu masuk tidak sama dengan ruang berdaya.

Praktiknya, perempuan yang masuk ke arena politik sering menghadapi jalan terjal. Dari sisi finansial, mereka kalah modal dengan caleg laki-laki. Dari sisi jaringan, perempuan kerap dianggap “pendatang baru” yang tidak punya basis massa kuat. Belum lagi beban ganda: urusan domestik dan publik harus dijalankan bersamaan.

Di titik inilah terlihat bahwa kuota bukan solusi tunggal. Ia hanya instrumen awal. Keadilan gender baru tercapai jika keterlibatan perempuan tidak berhenti pada angka, melainkan hadir dalam kualitas pengambilan keputusan.

Politik yang Masih Maskulin

Masalah utama terletak pada kultur politik kita yang maskulin. Politik identik dengan pertarungan keras, penuh intrik, dan berbiaya tinggi. Budaya ini bukan hanya menyulitkan perempuan, tetapi juga banyak laki-laki yang jujur dan kritis.

Sementara itu, perempuan yang berhasil masuk ke lembaga politik masih sering dipandang sebelah mata. Suaranya dianggap pelengkap, bukan penentu. Bahkan tidak jarang, mereka ditekan agar mengikuti garis besar partai yang dikuasai elit laki-laki.

Padahal, bukankah demokrasi seharusnya berarti ruang yang terbuka bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin?

Perspektif Islam: Musyawarah yang Adil

Dalam Islam, prinsip musyawarah (syura) menuntut keterlibatan semua pihak. Musyawarah yang sehat hanya mungkin bila setiap orang bisa berbicara setara. Jika perempuan hadir hanya sebagai simbol, tanpa ruang bicara, maka musyawarah kehilangan maknanya.

Sejarah Islam mencatat peran penting perempuan dalam ranah publik. Dalam peristiwa Bai’at Aqabah, misalnya, perempuan ikut berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW. Banyak ulama perempuan di era klasik menjadi rujukan ilmu dan fatwa. Fakta ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan bukanlah hal asing dalam tradisi Islam, melainkan bagian integral darinya.

Oleh karena itu, politik inklusif sejatinya selaras dengan nilai-nilai Islam: menghargai martabat manusia, mendengar suara semua pihak, dan menegakkan keadilan.

Dari Simbol ke Substansi

Jika kuota hanya diperlakukan sebagai syarat administratif, maka yang terjadi hanyalah politik simbolik. Perempuan hadir di daftar caleg, tapi absen dalam pengambilan keputusan. Demokrasi menjadi pincang karena separuh penduduk tidak terwakili secara bermakna.

Perubahan yang dibutuhkan bukan sekadar menambah jumlah, melainkan membongkar struktur. Partai politik harus memberi ruang strategis bagi perempuan untuk memimpin, bukan sekadar mengisi slot. Media harus berhenti menilai perempuan dari penampilan fisiknya, dan mulai menyoroti gagasannya. Masyarakat harus belajar bahwa kepemimpinan bukan monopoli laki-laki.

Keadilan gender dalam politik pada akhirnya bukan hanya untuk perempuan. Demokrasi yang adil gender berarti demokrasi yang lebih sehat bagi semua. Politik yang memberi ruang bagi perempuan cenderung lebih memperhatikan isu-isu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial—isu yang sering terabaikan dalam politik maskulin yang hanya bicara kekuasaan.

Kisah caleg perempuan muda tadi hanyalah satu dari sekian banyak cerita yang menggambarkan problem kuota di Indonesia. Aturan ada, tetapi praktik sering timpang. Kuota hanyalah awal perjalanan. Yang kita butuhkan adalah transformasi budaya politik: dari eksklusif menuju inklusif, dari simbol menuju substansi.

Perempuan bukan “pemanis daftar”. Mereka adalah pemegang amanah rakyat yang punya hak, kapasitas, dan gagasan untuk membangun bangsa. Selama suara mereka masih dikesampingkan, perjuangan keadilan gender belumlah selesai.

Dari Firdaus ke Pabrik: Representasi Women’s Agency dan Realitas Buruh Perempuan Masa Kini

Membaca Firdaus, Membaca Diri Kita

Novel Women at Point Zero karya Nawal El Saadawi adalah salah satu karya sastra feminis paling kuat yang pernah ditulis. Bukan hanya karena Nawal El Saadawi menulisnya dengan keberanian yang jarang dimiliki penulis perempuan pada masanya, tetapi juga karena novel ini adalah representasi kenyataan pahit bagi perempuan–dulu maupun sekarang, di era mana pun, sering dipaksa berjuang untuk hak paling mendasar–mengatur hidupnya sendiri.

Mengambil latar di Mesir, dan ditulis pada tahun 1973. Novel ini menceritakan kisah perempuan Mesir bernama Firdaus yang mengalami eksploitasi, kekerasan, dan pengkhianatan oleh sistem patriarki.[1] Namun, di balik semua itu, Firdaus menghadirkan sesuatu yang jarang kita temukan dalam narasi perempuan korban: agency–kesadaran diri untuk memilih, meskipun pilihan itu datang dengan konsekuensi yang tragis. Firdaus menolak menjadi objek pasif, bahkan ketika dunia menuntutnya begitu. Ia memilih untuk tidak patuh terhadap norma yang mengekangnya, dan melalui itu ia memperlihatkan betapa pentingnya ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan hidupnya sendiri.

Agency dalam Ruang yang Terbatas: Membaca dengan Simone de Beauvoir

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) menyebut perempuan sering ditempatkan sebagai “the Other”–posisi yang selalu bergantung pada laki-laki. Firdaus jelas adalah representasi dari “yang lain” ini: tubuh dan kebebasannya dianggap milik orang lain.

Dalam perspektif feminisme, agency ini bisa dibaca melalui lensa feminisme eksistensialis, ketika perempuan bukan sekadar memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, tetapi juga melakukan sebuah perlawanan terhadap struktur yang menindas.[2] Firdaus, misalnya, memilih jalan prostitusi bukan karena ia menyerah, melainkan karena itu memberinya kuasa atas tubuhnya sendiri.

Ironisnya, titik kala ia merasa memiliki kendali justru muncul ketika ia menjalani profesi yang di mata masyarakat dianggap “hina” tetapi justru memberinya otonomi finansial, ruang memilih, bahkan menentukan harga. Bagi Firdaus, ini lebih membebaskan dibanding pernikahan yang mengurungnya.

Inilah yang sering disalahpahami orang: agency tidak selalu berarti bebas sepenuhnya dari sistem penindasan. Kadang ia hadir dalam bentuk pilihan yang terbatas, memilih jalan yang mungkin buruk, tetapi tetap yang paling memungkinkan untuk bertahan hidup. Dalam feminisme, ini disebut situated agency: kemampuan bertindak di dalam batas-batas yang ada.[3]

Puncak perlawanan Firdaus terjadi ketika ia menolak kembali diperas dan dikontrol oleh laki-laki yang mengaku “melindunginya”. Keputusannya membunuh seorang germo bukan sekadar kemarahan, tetapi deklarasi bahwa tubuh dan hidupnya bukan milik siapa pun.

Relevansi dengan Kondisi Perempuan Masa Kini

Membaca Firdaus berarti membaca kondisi perempuan hari ini. Meski terdapat perbedaan konteks sosial, struktur penindasan yang dialami perempuan masa kini tidak jauh berbeda: diskriminasi, upah rendah, kekerasan berbasis gender, hingga keterbatasan akses untuk menentukan jalan hidup.

Banyak perempuan di Indonesia yang terjebak dalam pekerjaan rentan dari buruh migran sampai pekerja informal karena kurangnya akses pendidikan dan kesempatan kerja layak. Jika Firdaus menemukan ruang kebebasannya dalam prostitusi, yang meskipun penuh paradoks–maka banyak perempuan masa kini menemukan agency mereka di ruang kerja yang juga penuh keterbatasan, misalnya pabrik.

Buruh pabrik, perempuan terutama, menghadapi tekanan struktural: upah rendah, jam kerja panjang, aturan perusahaan yang ketat, bahkan ancaman PHK ketika bersuara.[4] Pada permukaan, mereka tampak sebagai korban eksploitasi kapitalisme dan patriarki sekaligus.

Melalui Survei Kelayakan Kerja 2023 oleh Program Makin Terang bersama beberapa Serikat Buruh di 100 pabrik Tekstil, Garmen, Sepatu, dan Alas Kaki (TGSL) di 5 wilayah: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta yang melibatkan 3.065 responden. Hasilnya, 27 dari 2.951 responden menyatakan bahwa pabrik tidak memberlakukan upah yang setara antara pekerja perempuan dan laki-laki pada jenis pekerjaan yang sama.[5]

Jika dilihat lebih dekat, para buruh perempuan tidak benar-benar pasif. Sama seperti Firdaus, mereka menggunakan celah-celah kecil untuk bertahan dan mengontrol hidup mereka. Ada yang mengatur strategi menabung dari gaji minim untuk menyekolahkan anak, ada yang bergabung dalam serikat pekerja meski tahu risikonya, ada pula yang diam-diam melakukan perlawanan simbolik, misalnya memperlambat ritme kerja ketika beban terlalu berat.

Inilah yang disebut Saba Mahmood sebagai situated agency, yaitu daya bertindak yang lahir di tengah keterbatasan, bukan kebebasan penuh. Buruh perempuan itu mungkin tidak bisa mengubah sistem upah, tapi mereka bisa memilih bagaimana mengelola penghasilan kecilnya. Mereka mungkin tidak bisa melawan manajemen secara frontal, tapi mereka bisa membangun solidaritas dengan rekan-rekan kerja.

Di sinilah feminisme menjadi relevan karena mengingatkan kita bahwa agency perempuan tidak bisa dilepaskan dari struktur yang mengitarinya. Buruh harian lepas mungkin berdaya di ruang tertentu, tetapi tetap terikat pada sistem ekonomi-politik yang tidak adil. Sama seperti Firdaus yang bisa mengklaim tubuhnya, tetapi tetap hidup dalam kerangka patriarki yang lebih besar. Keduanya menunjukkan bahwa agency perempuan bukan hanya soal melawan sistem secara total, tapi juga soal kemampuan “mengakali” struktur yang menindas, agar mereka tetap bisa hidup dengan martabat.

Lebih jauh, pengalaman buruh pabrik juga memperlihatkan bagaimana patriarki dan kapitalisme sering bergandengan tangan dalam mengeksploitasi perempuan. Dalam hal ini, feminisme Marxis bisa membantu membaca bagaimana perempuan dijadikan tenaga kerja murah karena posisinya yang dianggap “tambahan” dalam ekonomi keluarga.[6] Padahal, dari beberapa penelitian, kita tahu justru upah buruh perempuan sering menjadi penopang utama ekonomi keluarga.

Feminisme memberi kita lensa untuk memahami bahwa perubahan tidak cukup datang dari keberanian individu saja, tetapi harus ada transformasi struktural: kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil, pengakuan kerja domestik, perlindungan sosial yang memadai, dan perubahan budaya yang menghargai perempuan sebagai subjek penuh, bukan sekadar pelengkap.

Dari Firdaus ke Buruh Harian Lepas

Novel Women at Point Zero menutup kisahnya dengan kematian Firdaus. Namun, pesan yang ditinggalkan tidak pernah mati: agency perempuan adalah hak, bukan pengecualian. Kisah Firdaus adalah peringatan bahwa ketika sistem menutup semua ruang bagi perempuan, maka perempuan akan mencari cara sendiri.

Novel ini relevan karena ia tidak menawarkan akhir bahagia, dan itulah realitas banyak perempuan. inilah yang seharusnya menjadi tugas kita bersama: memastikan bahwa agency perempuan tidak lagi hadir sebagai perlawanan tragis, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang adil, setara, dan manusiawi.

 

[1] Wilany, E. (2017). Feminism analysis in the novel “Woman at Point Zero”. ANGLO-SAXON: Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, 8(1), 115-121.

[2] Butler, J. (1986). Sex and gender in Simone de Beauvoir’s Second Sex. Yale French Studies, (72), 35-49.

[3] Peter, F. (2003). Gender and the foundations of social choice: The role of situated agency. Feminist economics, 9(2-3), 13-32.

[4] Hasil wawancara dengan BHL

[5] Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan]. (2023, 18 September). Siaran pers: Komnas Perempuan tentang peringatan Hari Kesetaraan Upah Internasional: “Negara harus menjamin penghapusan eksploitasi gender terkait upah di dunia kerja” [Siaran pers]. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peringatan-hari-kesetaraan-upah-internasional

[6] Sulastri, A., & Rochmansyah, B. N. (2024). Eksploitasi Perempuan pada Puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta Karya WS Rendra dengan Pendekatan Feminisme Marxis. Literature Research Journal, 2(1), 96-109.

Kiai Feminis (Bagian 3)

Pemikiran Buya Husein tentang keadilan gender berangkat dari pandangan teologis tentang kesetaraan dalam penciptaan dan kedudukan di hadapan Allah. Buya Husein menginterpretasikan QS. An-Nisa: 1 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari diri yang satu (nafs wahidah) sebagai sebuah deklarasi kesetaraan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari sumber yang sama dan tidak ada perbedaan dalam urusan kemanusiaan.

Lebih lanjut, QS. Al-Ahzab: 35 menjadi rujukan untuk mempertegas bahwa pahala dan kedudukan spiritual bagi laki-laki dan perempuan adalah sama. Penilaian ketakwaan tidak didasarkan pada gender, yang secara tegas membantah anggapan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam  pendidikan, pekerjaan maupun kepemimpinan. Buya Husein menekankan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Beliau mengkritik pembatasan kesempatan pendidikan bagi perempuan sebagai hal yang tidak logis dan bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau juga mendukung reformasi kurikulum pendidikan Islam agar lebih inklusif, menciptakan generasi yang menghargai hak individu tanpa memandang gender.

Begitu juga dalam hal pekerjaan. Menurut Buya Husein, Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja selama pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat. Beliau mencontohkan Khadijah binti Khuwalid, istri Nabi Muhammad SAW, sebagai pengusaha sukses di masanya. QS. An-Nahl: 97 mendukung pandangan ini, di mana Islam menghargai setara amal saleh laki-laki dan perempuan, termasuk dalam bekerja, yang harus berdasarkan pilihan, bukan paksaan.

Buya Husein berpandangan bahwa perempuan memiliki kemampuan dan keahlian yang sama dengan laki-laki, sehingga memungkinkan mereka untuk menjadi pemimpin. Beliau berpendapat bahwa tidak ada larangan tekstual maupun kontekstual yang tegas bagi perempuan untuk memimpin. Beliau bahkan mendukung perempuan menjadi imam salat, mengkritik alasan “khauful fitnah” (kekhawatiran akan godaan) yang sering disematkan pada perempuan. Baginya, kriteria imam adalah kapabilitas dan kemampuan, bukan jenis kelamin.

Reinterpretasi Hukum Keluarga

Buya Husein secara tegas menyatakan bahwa Islam tidak membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Beliau mereinterpretasi frasa “wadhribūhunna” dalam QS. An-Nisa: 34, yang secara tradisional diartikan sebagai “pukullah mereka.”

Beliau menafsirkan dharaba tidak hanya memiliki satu makna, dan dalam konteks ini, mengartikan “wadhribūhunna” sebagai “penyelesaian melalui pengadilan” atau “rujuk ke pengadilan”. Kekerasan terhadap perempuan, dalam pandangannya, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan sama sekali tidak Islami, meskipun pelakunya mencoba menggunakan legitimasi agama.

Reinterpretasi frasa “wadhribūhunna” ini merupakan pergeseran paradigma yang radikal dari pemahaman tradisional yang literal, yang secara historis sering digunakan untuk membenarkan kekerasan dalam rumah tangga di komunitas Muslim. Dengan mengalihkan makna dharaba dari pemukulan fisik ke jalur hukum, Buya Husein secara efektif menghilangkan legitimasi agama untuk kekerasan dalam perkawinan.

Langkah ini bukan sekadar penafsiran linguistik, melainkan sebuah tindakan etis dan hukum yang mendalam, menyelaraskan teks Al-Qur’an dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia universal dan nilai keadilan Islam yang lebih luas. Ini menyediakan alat teologis yang kuat untuk mengadvokasi anti-KDRT dalam masyarakat Muslim.

Salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah poligami. Dalam masalah poligami Buya Husein berpendapat bahwa poligami bukanlah praktik yang diinisiasi oleh Islam, melainkan tradisi patriarkis pra-Islam yang ingin diubah atau dieliminasi secara bertahap oleh Al-Qur’an.

Meskipun diizinkan, beliau memperketat syarat keadilan, terutama keadilan mental-psikologis, yang menurutnya sangat sulit diwujudkan oleh seorang laki-laki kepada istri-istrinya. Beliau melihat monogami sebagai puncak kehendak Allah SWT yang harus terus diperjuangkan.

Begitu juga tentang pembagian harta waris. Ayat-ayat warisan yang mengatur bagian 2:1 untuk pria dan wanita dianggap sebagai ayat mutashâbihât (dapat diinterpretasikan) yang relevan dengan konteks masyarakat Arab saat itu, di mana perempuan tidak memiliki hak waris sama sekali.

Buya Husein berpendapat bahwa seiring perkembangan peran perempuan di era modern, di mana banyak perempuan juga menjadi pencari nafkah utama, porsi warisan perlu direformasi dan disesuaikan dengan realitas sosial budaya kontemporer. Pendekatan hermeneutika feminis, historis, dan sosiologis digunakan untuk reinterpretasi ini.

Pendekatan Buya Husein terhadap poligami dan warisan bukanlah tentang pelarangan total, tetapi tentang reformasi bertahap yang strategis. Dengan membuat syarat poligami menjadi hampir tidak mungkin dipenuhi (terutama keadilan mental-psikologis), beliau secara efektif “menutup pintu secara perlahan” terhadap praktik tersebut.

Demikian pula, dengan merekontekstualisasi ayat-ayat warisan, beliau membuka kemungkinan untuk distribusi yang lebih adil dalam masyarakat kontemporer tanpa secara langsung menghapus teks. Ini mencerminkan strategi reformis yang pragmatis, bekerja dalam kerangka keagamaan yang ada untuk mencapai hasil yang progresif. Pendekatan inkremental ini sangat penting untuk mencapai reformasi dalam praktik-praktik keagamaan yang sudah mengakar kuat.

Pemikiran progresif dan kritis Buya Husein telah memberikan kontribusi signifikan dalam mereformasi pemahaman masyarakat tentang Islam di Indonesia, khususnya terkait kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Beliau telah memengaruhi pengembangan hukum keluarga di Indonesia, termasuk melalui kontribusinya pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karyanya yang terkenal, “Fiqh Perempuan,” telah menjadi referensi penting bagi aktivis perempuan dan sulit dibantah karena landasan argumennya yang kuat dan berbasis pada tradisi keilmuan Islam.

Pengakuan akademis atas pemikirannya semakin mengukuhkan posisinya. Pemberian gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Walisongo Semarang pada tahun 2019 merupakan pengakuan atas keberhasilannya dalam membedah interpretasi terkait keadilan sosial, khususnya gender. Ini menunjukkan bahwa pemikirannya diterima dan dihargai dalam lingkungan akademis Islam, memberikan legitimasi tambahan bagi gerakan keadilan gender.

Relevansi pemikiran Buya Husein di era kontemporer sangat tinggi. Pendekatan tafsirnya yang dinamis dan kontekstual menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya. Pemikirannya mengarah pada pemahaman hukum keluarga yang lebih inklusif, progresif, humanis, dan kontekstual, yang adaptif terhadap dinamika masyarakat modern.

Beliau menjadi teladan bagi ulama laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, membuktikan bahwa feminisme bukanlah gerakan yang eksklusif bagi perempuan atau semata-mata sekuler, melainkan dapat berakar kuat dalam tradisi keagamaan Islam itu sendiri.

Mengubah Cara Pandang untuk Menghentikan Kekerasan Seksual pada Anak

Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungan domestik, termasuk di dalam keluarga maupun lembaga berbasis agama, kembali memicu keprihatinan publik. Apalagi dengan munculnya Grup Facebook “Fantasi Sedarah”, semakin menegaskan bahwa rumah yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak justru kerap menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.

Hal tersebut disampaikan oleh salah satu narasumber Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm dalam webinar bertajuk “Ketika Rumah Tak Lagi Aman: Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga” yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB, pada Kamis, 12 Juni 2025.

Ulama perempuan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu menekankan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya persoalan individu pelaku atau kelemahan sistem hukum. Melainkan juga terkait erat dengan cara pandang kolektif masyarakat terhadap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.

“Agama seharusnya menjadi pelindung, bukan pembenaran atas kekerasan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ketika tafsir agama mereka salahgunakan untuk melegitimasi relasi kuasa yang timpang,” ujar Dr. Nur Rofiah dalam paparan daringnya.

Ia menyampaikan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di ruang domestik, seperti oleh ayah terhadap anak kandung, atau oleh tokoh agama terhadap santri, harus kita pahami sebagai hasil dari pola pikir warisan yang masih hidup dalam alam bawah sadar masyarakat.

“Dalam sejarah peradaban, perempuan kerap dianggap sebagai harta milik laki-laki. Baik sebagai anak, istri, atau saudara. Cara pandang ini bukan sekadar sejarah, tapi masih terus memengaruhi tindakan kita hari ini, bahkan dilakukan oleh orang-orang berpendidikan tinggi, bergelar doktor, atau tokoh agama,” lanjutnya.

Akar Kekerasan

Nyai Nur Rofiah menjelaskan bahwa alam bawah sadar manusia, yang dibentuk oleh pengalaman, nilai, dan warisan budaya serta agama, memiliki pengaruh besar dalam tindakan sadar. “Sebanyak 88-95% perilaku manusia terpengaruhi oleh alam bawah sadar. Itu sebabnya kita perlu menyentuh akar persoalan yaitu cara pandang terhadap kemanusiaan,” tegasnya.

Menurutnya, selama masyarakat masih memandang perempuan hanya sebagai objek, terutama objek seksual atau mesin reproduksi. Maka sampai kapanpun kekerasan akan terus mengakar. Pandangan ini, kata dia, akan melahirkan generasi baru yang menganggap relasi tidak setara sebagai hal lumrah.

“Bahkan dalam inses atau hubungan seksual dengan anak kandung itu dianggap biasa oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu, al-Qur’an turun dengan tegas mengharamkan praktik-praktik itu. Tapi mengapa sampai hari ini inses masih terjadi? Karena cara pandang itu belum betul-betul bergeser,” ungkapnya.

Ia mengajak peserta webinar untuk merenungkan kembali bagaimana seharusnya agama berperan. Nyai Nur Rofiah menekankan bahwa dalam Islam, setiap manusia, termasuk anak-anak, memiliki status dan mandat yang sama yaitu sebagai khalifah di bumi dan hamba Allah.

“Itu berarti semua manusia adalah subjek penuh, bukan objek, apalagi milik orang lain,” katanya.

Pendidikan dan Tafsir Agama Perlu Direformulasi

Dosen Pasca Sarjana PTIQ itu menyoroti bagaimana tafsir agama kerap dipakai untuk membenarkan kekerasan, padahal semestinya digunakan untuk membela korban dan mencegah terjadinya kezaliman.

Ia mengutip salah satu hadis yang sering digunakan dalam perspektif KUPI, yakni perintah Nabi Muhammad Saw. untuk menolong saudara, baik yang menjadi korban maupun pelaku kezaliman.

“Cara menolong pelaku adalah dengan mencegah dan menghentikan tindakannya. Ini sejalan dengan prinsip mencegah kemudaratan dalam Islam,” terang Nyai Nur Rofiah.

Karena itu, menurutnya, pendidikan agama pun harus kita perbarui, karena tidak cukup hanya menghafal hukum atau dalil. Tapi juga perlu membangun cara berpikir yang adil dan manusiawi.

Dengan begitu, ia pun menegaskan pentingnya kehadiran ulama perempuan, seperti dalam gerakan KUPI, yang menawarkan perspektif keberpihakan terhadap korban dengan basis kemanusiaan.

“Ulama perempuan bukan berarti hanya perempuan secara biologis. Siapa pun, laki-laki atau perempuan, yang memiliki perspektif keadilan bagi perempuan dan anak, bisa menjadi bagian dari ulama perempuan. Kita butuh gerakan kolektif,” jelasnya, menyebut nama-nama seperti Kiai Husein Muhammad dan Kiai Faqih yang juga tergabung dalam gerakan KUPI.

Ubah Pola Asuh

Lebih jauh, Nyai Nur Rofiah juga mengajak peserta untuk memulai perubahan dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Ia mengkritisi cara masyarakat memuji anak perempuan yang terlalu berfokus pada penampilan fisik.

“Anak perempuan sering kali dipuji karena cantik. Ini bisa membentuk pemahaman bahwa nilai dirinya hanya terletak pada wajah. Padahal seharusnya anak dipuji karena perilaku baiknya, semangat belajarnya, atau tanggung jawabnya. Itu yang akan membentuk kepercayaan diri yang sehat,” sarannya.

Ia juga menekankan pentingnya membangun pemahaman bahwa manusia bukan hanya makhluk fisik. Tetapi juga makhluk intelektual dan spiritual. “Islam memuliakan manusia karena akalnya dan hatinya. Karena itu, puncak dari keislaman adalah akhlak yang mulia,” tambahnya.

Mengakhiri paparannya, Nyai Nur Rofiah menegaskan bahwa upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Menurutnya, hukum, budaya, dan pendidikan memang penting, tetapi semuanya harus terintegrasi dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap kemanusiaan.

“Kita harus membangun peradaban yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai manusia seutuhnya. Yaitu subjek yang memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah keburukan. Inilah spirit Islam sebagai rahmat bagi semesta,” tukasnya.

Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di sini

 

 

Lies Marcoes Pejuang Islam dan Gender

Dewasa Itu Aqil Baligh Bukan Hanya Baligh. Kalimat tersebut merupakan kalimat yang disampaikan oleh seorang Lies Marcoes. Dirinya merupakan kelahiran Ciamis, Jawa Barat tepatnya pada 17 Februari 1958. Lies Marcoes adalah seorang ahli dalam kajian Islam dan gender.

Lies Marcoes menempuh pendidikannya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dengan mengambil fokus studi perbandingan agama. Ketika Lies lulus dari universitas tersebut dirinya melanjutkan studi masternya dengan studi yang sama sekali berbeda. Lies mengambil jurusan antropologi kesehatan di Universitas Amsterdam (Belanda) .

Setelah Lies lulus dan kembali ke Indonesia dirinya masih setia dengan dunia aktivisme nya yang telah ditekuni selama studi di Jakarta. Dirinya menjadi seorang aktivis feminis muslim indonesia yang menekuni bidang antropologi medis. Lies juga tercatat aktif menjabat sebagai direktur Yayasan Rumah Kita Bersama atau biasa disingkat dengan Rumah Kitab.

Lies Marcoes pada perjalanan selanjutnya juga memiliki peran yang sangat penting di dalam mempromosikan kesetaraan Gender di indonesia. Dirinya membantu memberikan jembatan antara muslim dan feminis sekuler yang selama ini terdapat semacam jurang dalam di antara keduanya.

Lies juga aktif mendorong seluruh feminis untuk dapat bekerjasama dengan islam dalam mempromosikan kesetaraan gender. Melalui berbagai usahanya selama ini dirinya telah memberikan banyak kontribusi dalam perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan perempuan dalam islam. Usaha ini dilakukannya dengan menjadi fasilitator untuk berbagai kegiatan di berbagai daerah. Dalam hal ini dirinya terkenal merupakan seorang fasilitator yang handal.

Banyak pemikiran Lies yang dipengaruhi oleh gurunya yaitu prof. Harun nasution. Gurunya tersebut telah mengajarkan dirinya banyak hal khususnya dalam hal berpikir bebas dan kritis serta memahami dan menyadari bahwa sebenarnya islam dapat dipahami dari berbagai perspektif yang berbeda. Bahkan hal itu dianjurkan di dalam agama tersebut, karena keberbedaan adalah dipandang sebagai sebuah rahmat.

Selain itu Lies juga aktif dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pesantren. Dirinya melahirkan divisi fiqh al-nisa di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) sekaligus menjadi ketua di bidang tersebut. Perhimpunan ini adalah yang menjadi cikal bakal rahima yang saat ini dikelolanya.

Kemudian Lies juga pernah terlibat di The Asia Foundation (TAF) serta aktif menjadi konsultan independen di berbagai lembaga internasional. Selain itu melalui lembaga tersebut Lies juga terlibat aktif serta konsisten dalam melakukan penelitian, menjadi narasumber dan penasihat berbagai program seputar isu kesehatan reproduksi, keluarga berencana di berbagai komunitas muslim di berbagai negara di Asia.

Lies selain aktif di berbagai kegiatan sosial juga aktif menulis. Salah satu buku yang ditulisnya adalah berjudul Merebut Tafsir. Buku tersebut berisi tentang bagaimana kehidupan laki-laki dan perempuan dijalankan di masyarakat serta bagaimana budaya patriarki di legitimasi dan juga di hegemoni oleh kekuatan tak terlihat.

Kekuatan tak terlihat tersebut bahkan dapat berbentuk tafsir dari teks suci yang telah dipegang oleh kaum pemenang seperti halnya sejarah yang ditafsirkan oleh para pemenang. Bahkan dalam buku tersebut Lies mengatakan bahwa terkadang seseorang terus mencoba memperlakukan tafsir sebagaimana kaum patriakh memperlakukan teks. Mereka membaca teks sesuai tafsir dan kepentingannya.[ab101]

 

Sumber: akubaca.com

rumah kitab

Merebut Tafsir: Nawal dan Perempuan di Titik Nol!

Innalillahi wa inna ilaihi Raajiun. Selamat Jalan Nawal El Saadawi. Rest in Love dear Nawaal.
Nawal El Saadawi adalah orang pertama yang menggedor kesadaran feminis saya.

Melalui novelnya “Perempuan di Titik Nol” , yang saya terima sebagai hadiah dari suami saya, Ismed Natsir, saya baca lumat, dan berulang ulang. Sering saya merasa, saya ingin terselip dalam kisah itu menjadi bagian dari perjuangan hidup Firdausi.

Nawal mengisahkan tentang gambaran derita semesta perempuan Muslim dalam tradisi Islam di Mesir melalui sosok Firdausi: ini tentang cinta, hasrat yang alami ketika Firdausi remaja bertemu seorang pemuda Mohammedin di kebun dan berlompatan bebas di atas menara kincir air. Ia mulai merasakan hasrat keperempuanannya yang indah di sana. Tapi ia tak tahu dari mana kegembiraan itu membuncah karena tak satupun perempuan di dunia remajanya mengisahkan rasa itu. Ia begitu bahagia.

Lalu Ibunya mulai memingitnya, ia tak lagi boleh bertemu lelaki di kebun ketika ia telah menstruasi. Kebebasan remajanya dirampas seketika, dan kehidupannya perlahan dihancurkan oleh tafsir patriarki yang berusaha terus ia lawan.

Ini tentang gambaran cara lelaki memaknai tentang seksualitas, ketundukan, kepatuhan, serta ragam wujud penindasan dan perlawanan yang rumit dari kisah Firdausi sejak remaja hingga di penjara karena membunuh germonya. Ia dijual oleh perempuan yang semula disangkanya akan melindunginya di tepian Sungai Nil.

Dari kisah Firdausi saya merasakan perihnya sesetan pisau dalam praktek sunat perempuan, perkawinan paksa dengan sang Syeikh tua bangka yang hanya menggenggam tasbih dan tongkat untuk menggebuk Firdausi untuk apapun yang membuat Sang Seikh tak berkenan. Ia lari setelah mukanya berdarah-darah, tapi masuk ke dunia pelacuran.

Ia sebetulnya pernah punya harapan. Sang paman yang pernah membawanya ke Kairo dia angankan dapat memberi kebebasan melalui pendidikan. Tapi kaum perempuan disekitarnya- ibunya, bibinya, majikannya, germo (pertamanya) tak sudi melepaskan Firdausi menjadi jenis perempuan lain yang beda dari nasib mereka- memanggul adat dan tradisi serta tafsir patriarki.

Gelagak perlawanan Firdausi telah terlunaskan ketika pisau ia tancapkan di dada lelaki germo yang akan memperkosanya. Dan, di penjara tiap pagi ia lundahi surat kabar yang memuat berita para pejabat atau tokoh-tokoh yang disanjung masyarakat. Orang menyebutnya ia gila, tapi semua tahu bara perlawanan Firdausi adalah kemenangannya !
Selamat Jalan Nawal Jan.

# Lies Marcoes, 22 Maret 2021.

Hak Perempuan: Dalih Pamungkas Bernama Syariah

Reformasi hukum demi melindungi perempuan di negara muslim sering dijegal dengan alasan Syariah Islam. Namun politisasi agama demi merawat tradisi patriarkat itu kian ditolak, termasuk dari kalangan ulama Fiqh.

 

Nasib perempuan di Mauritania adalah sederet panjang tanda tanya. Ketika pemerintah mengusulkan rancangan legislasi perlindungan perempuan, untuk kesekian kali parlemen menolak mengesahkannya.

Padahal RUU tersebut bisa membantu “mengikis prasangka dan sikap diskriminatif terhadap perempuan dan remaja putri,“ begitu bunyi salah satu bagian naskah yang disusun pemerintah.

Pengesahan UU Perlindungan Perempuan termasuk dimotori oleh Menteri Kehakiman Haimouda Ould Ramdane yang menyebut tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai “kejahatan.“ Menurut naskah RUU tersebut, korban pelecehan seksual kelak bisa mendakwa pelaku di pengadilan.

Pada 2018 silam pemerintah gagal meyakinkan parlemen buat meloloskan legislasi tersebut. Kelompok oposisi mengritik kesetaraan hak bagi perempuan bertentangan dengan Syariah Islam. Kini pemerintah menyusun rancangan baru untuk melunakkan sikap partai-partai konservatif.

Kontroversi seputar hak perempuan di bawah bayang-bayang Fiqh Islam juga terjadi di negara muslim lain. Di Indonesia misalnya, Undang-undang Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan (RUU-PKS) dituduh melegalkan zina.

Padahal cekcok ideologi seperti itu diyakini akan kian menyudutkan perempuan. Akibatnya legislasi yang awalnya diniatkan untuk membantu, malah justru berdampak sebaliknya.

Lobi politik dari langit 

Diskursus seputar hak perempuan banyak dicampuri oleh “lobi agama” yang berusaha menggalang dukungan politik, keluh Saad Eddin al-Hilali, Guru Besar Perbandingan Hukum di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Termasuk ke dalam “lobi agama“ adalah “ulama tua yang muncul di media untuk mempengaruhi opini publik, tanpa mengindahkan mereka yang berpandangan lain dan terlepas dari apakah pendapat mereka sejalan dengan ajaran agama atau tidak,“ kata dia.

Dengan kata lain, kaum oposan menggunakan Syariah Islam sebagai alat untuk meredam upaya memperkuat hak perempuan. Siapapun yang menentang akan mudah terseret ke dalam tuduhan melawan perintah Tuhan.

“Seakan pendapatnya datang dari Allah“ 

Al-Hilali geram menyimak lobi kaum konservatif. “Kita harus mencegah, bahwa setiap individu bisa berlaku seakan-akan pendapatnya langsung datang dari Allah,“ tukas dia.

“Pada dasarnya setiap fatwa Fiqh bisa mengandung kebenaran atau kekeliruan, bahkan jika ia dikeluarkan oleh level tertinggi sekalipun.“

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

Mauritania termasuk negara yang marak praktik sunat perempuan. Namun legislasi yang dibuat untuk melindungi perempuan berulangkali dijegal partai-partai konservatif di parlemen.

 

Hal serupa diungkapkan Marwa Sharafeldin. Menurut guru besar ilmu hukum di Universitas Harvard itu, praktik menggunakan dalih “bertentangan dengan ajaran agama“ buat menolak sebuah undang-undang yang melindungi perempuan, tidak bisa diterima.

Tuduhan ini hanya memperkuat pandangan Islamofobia, bahwa Islam ikut mendukung kekerasan terhadap perempuan. Terkadang ada yang sengaja memicu bimbang antara legislasi hukum dan agama untuk mencapai sasaran politik lain, kata Sharafeldin.

“Dengan cara itu sejumlah perwakilan Islam Politik berusaha mencari untung di atas nasib perempuan.“

Minimnya perlindungan hukum 

Proses legislasi yang terlunta-lunta turut memicu dampak negatif pada nasib perempuan. Di Mauritania misalnya, konstitusi belum mendefinisikan atau mengkriminalisasi kekerasan seksual secara layak, tulis organisasi HAM Human Rights Watch dalam sebuah studinya.

Dan karena hukum pidana tidak mendefinisikan secara gamblang praktik pemerkosaan atau serangan seksual lain, justru korban sendiri yang sering mendapati diri menjadi kejaran aparat.

“Jika perempuan tidak mampu meyakinkan lembaga kehakiman, bahwa hubungan seksual tidak dilakukan secara sukarela, maka si pendakwa bisa berubah menjadi yang terdakwa,” tulis HRW.

Pun di Mesir perdebatan tentang hak perempuan berulangkali meruak di gedung parlemen. Sejak beberapa bulan terakhir wakil rakyat di Kairo sudah membahas rancangan Undang-undang Pencatatan Sipil. Terutama partai-partai konservatif menuduh RUU tersebut lebih mengutamakan perempuan ketimbang laki-laki, sesuatu yang dianggap bertentangan dengan agama dan tradisi.

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Azza Soliman, aktivis HAM Mesir

Oleh Azza Soliman, aktivis HAM dan pendiri LSM “Pusat Bantuan Hukum Perempuan Mesir,” praktik mencampurkan agama dalam pembahasan hak sipil perempuan dianggap tidak bermanfaat, “kalau saya melibatkan diri dalam pembahasan itu, saya kan tidak melakukannya atas dasar Syariah,” kata dia kepada DW, “melainkan merujuk pada penderitaan perempuan.”

Menurutnya defisit perundang-undangan berdampak secara langsung terhadap kehidupan perempuan. “Undang-undang Pernikahan misalnya mengakibatkan proses perceraian memakan waktu bertahun-tahun. Hal serupa terjadi dalam proses hukum yang melibatkan hak perempuan, kebebasan menggunakan uang atau hak menjenguk anak setelah perceraian.”

Terutama proses persidangan kekerasan terhadap perempuan berlangsung terlalu lambat, keluh Soliman.

Dia terutama menyayangkan perilaku politisi konservatif yang hampir selalu menggunakan Syariah Islam sebagai “argumen tandingan“ dalam pembahasan hak perempuan atau keluarga.

Tradisi kuno seperti konsep “harga diri laki-laki” dan keluarganya seringkali disamarkan dengan jubah agama. “Kalau yang dibahas adalah isu lain seperti ekonomi atau kriminalitas, Syariah kan juga tidak digunakan untuk menolak amandemen perundang-undangan.“

rzn/vlz

 

Sumber: https://www.dw.com/id/hak-perempuan-dalih-pamungkas-bernama-syariah/a-53586265