Perempuan Tak Harus Selalu di Ruang Publik untuk Dianggap Berdaya: Sebuah Refleksi Decolonial Feminism
Perjumpaan saya dengan istilah decolonial feminism muncul saat saya mengikuti sebuah konferensi internasional yang menghadirkan para pakar dari bidang Islamic Studies. Istilah tersebut terasa begitu baru bagi saya. “Hah? Decolonial digabungkan dengan kata feminism? What’s that?” pikir saya waktu itu.
Saya menatap layar presentasi yang menampilkan nama Saba Mahmood dan karyanya yang populer, Politics of Piety. Dari pemikiran Mahmood, hal yang paling membekas bagi saya adalah pandangannya bahwa tidak semua perempuan yang memilih hidup religius sedang tertindas. Kadang, justru di situlah letak kebebasan mereka. Bagi saya, itu adalah perspektif yang sangat menarik. Kenapa?
Selama ini, narasi yang beredar dari gerakan feminisme sering kali dipahami secara tunggal. Bahwa menjadi perempuan merdeka berarti harus berperan di ruang publik, berani bersuara, harus bekerja, memiliki gelar pendidikan tinggi, dan sederet keharusan lainnya. Serangkaian ekspektasi yang sudah menjadi standar universal tentang bagaimana perempuan seharusnya hidup dengan berdaya.
Namun, setelah dipikir kembali, saya mulai merasa bahwa pola tuntutan semacam itu bisa menjadi bentuk pengerdilan baru di era ini, hanya saja dengan wajah yang berbeda. Perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, misalnya, sering kali dianggap kurang ambisius atau belum sadar gender. Toh, kesadarankan bukan sesuatu yang bisa diukur dari luar? Bukankah setiap perempuan punya jalannya sendiri untuk memahami makna hidupnya?
Di titik inilah saya menemukan relevansi istilah decolonial feminism, sebuah pendekatan yang mengajak kita membongkar kembali cara berpikir yang diwariskan oleh kolonialisme dan dominasi Barat. Termasuk dalam cara kita memahami feminisme, atau, kalau kamu kurang setuju dengan kata feminisme, bisa kita ubah jadi “keadilan gender.”
Perspektif apa yang ditawarkan oleh Saba Mahmood?
Di ruang kelas, dosen kami juga merekomendasikan karya Saba Mahmood tersebut. Bukunya menjadi salah satu bacaan wajib yang harus dikaji terlebih dahulu sebelum kelas dimulai.
Saba Mahmood, seorang antropolog asal Pakistan yang meneliti gerakan perempuan Muslim di Mesir, lewat karya intelektualnya Politics of Piety, menawarkan makna yang berbeda tentang kebebasan. Baginya, kebebasan tidak selalu berarti menolak atau menentang tradisi dan agama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Muslim di Mesir yang memilih hidup religius dan taat melakukannya bukan karena paksaan, mereka memilihnya dengan kesadaran yang lahir dari keyakinan mereka sendiri.
Mahmood menolak asumsi feminisme liberal yang menganggap bahwa semua perempuan pasti ingin dibebaskan dalam pengertian sekuler dan individualis. Dalam bukunya, Mahmood juga menekankan bahwa agensi atau kemampuan seseorang untuk bertindak secara sadar, bisa hadir dalam bentuk yang tidak selalu terlihat memberontak.
Misalnya, seorang perempuan yang memilih bercadar dan berhijrah, bisa jadi sedang menapaki perjalanan spiritualnya sendiri. Alih-alih melihat pilihan itu sebagai bentuk kepatuhan pada patriarki, kita bisa memahaminya sebagai wujud pencarian makna dan kedekatan dengan keyakinan yang ia pegang. Dalam pandangan ini, kebebasan justru hadir ketika seseorang mampu menemukan dirinya, bahkan di dalam norma keyakinan yang dianggap membatasi.
Kritik terhadap Feminisme yang “kebarat-baratan”
Dalam refleksi ini, saya tidak sedang menolak feminisme. Justru, saya sangat menghargainya. Gerakan ini telah membuka banyak ruang bagi perempuan untuk bersuara dan mengikhtiarkan hak-haknya. Tanpa perjuangan para feminis, mungkin perempuan saat ini masih belum memiliki hak untuk berdemokarsi dan mengikuti pemilu.
Tanpa ada tokoh feminis di Indonesia, mungkin saat ini perempuan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan tinggi. Banyak hal yang dulu mustahil kini terasa wajar, karena ada sosok-sosok berani yang dulu menembus batas untuk memperjuangkan hak perempuan.
Di sisi lain, sebagian arus feminisme (terutama yang berakar dari kerangka Barat), sering kali gagal memahami konteks lokal dan spiritual masyarakat lain. Saya menyadari bahwa gagasan tentang kebebasan individu yang sering digaungkan oleh feminisme Barat terkadang bergerak terlalu jauh, seolah semua pilihan pribadi harus diterima oleh masyarakat tanpa batas.
Di balik slogan kebebasan, ada kecenderungan untuk menormalisasi segala bentuk ekspresi, termasuk orientasi seksual, tanpa mempertimbangkan konteks nilai serta ajaran agama yang dianut oleh banyak masyarakat non-Barat. Dalam kerangka Islam, misalnya, terdapat koridor moral dan spiritual yang menjadi pedoman hidup. Bagi seorang Muslim, mematuhi koridor tersebut merupakan bentuk kebebasan yang paling hakiki, sebuah kebebasan untuk tetap taat pada ajaran yang diyakini benar.
Beban Baru Perempuan Modern
Saya masih sering menjumpai komentar di media sosial yang seolah menghakimi pilihan hidup perempuan: “Sekolah tinggi-tinggi kok ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga, sayang banget sama title-nya.” Wahai netizen yang budiman, mengapa nilai diri perempuan harus diukur dari pencapaian publik dan prestasi karier? Banyak perempuan justru menemukan semangat hidupnya saat mengasuh anak, karena dari tangan ibu yang terdidiklah, generasi emas bangsa lahir dan tumbuh.
Tanpa disadari, pola pikir tersebut justru menempatkan perempuan dalam tekanan baru. Sebuah beban untuk selalu menyesuaikan diri dengan standar ideal yang diciptakan oleh feminisme versi tertentu.
Perempuan yang memilih fokus pada rumah tangga tidak lebih rendah daripada perempuan yang aktif di ranah publik. Begitu pula sebaliknya. Selama keputusan itu diambil dengan kesadaran, cinta, dan tanpa paksaan, maka di sanalah kebebasan hadir.
Menurut saya, setiap perempuan punya ruang pilihannya masing-masing. Ada yang menemukan kekuatannya di rumah, ada pula yang menemukannya di ruang publik. Setiap pilihan hadir dengan konsekuensinya tersendiri, dan perempuan yang berdaya adalah mereka yang mampu membaca risiko dan menyiapkan langkah untuk menghadapinya.
Decolonial feminism mengajak kita untuk keluar dari jebakan berpikir biner, yang menganggap hanya ada satu bentuk kebebasan yang sah. Pendekatan ini menuntut kita agar supaya tidak lupa memahami konteks, pengalaman, dan nilai-nilai lokal yang membentuk makna berdaya bagi setiap perempuan.
So, yuk belajar untuk tidak menyeragamkan pilihan perempuan.












