Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Fitnah, Fitrah, dan Kekerasan Berbasis Gender

Oleh Lies Marcoes
.
Hari ini, 21 Oktober 2020, Rumah KitaB mempresentasikan penelitiannya tentang fundamentalisme (dalam) Islam dan dampaknya kepada kekerasan berbasis gender. Penelitian satu tahun di lima kota ini menyajikan temuan yang layak timbang untuk merumuskan penanganan kekerasan ekstrem di Indonesia. Empat pertanyaan diajukan dalam penelitian etnografi feminis ini: pandangan tentang perempuan, sosialisasi ajaran, dampak, dan resiliensinya.
Fundamentalisme dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai paham atau ideologi yang apapun jenis kelompoknya telah memperlakukan teks secara literal dan karenanya pandangannya merasa paling otentik, otoritatif, dan paling benar. Atas dasar itu, watak ideologinya menjadi anti keragaman. Klaim atas otentisitas kebenarannya mengancam secara fisik, non-fisik atau simbolik kepada pihak lain yang berbeda. Ini disebabkan oleh ajaran tentang al walâ’ wal barâ’, sebuah sikap loyal kepada kelompoknya dan melepaskan diri dari keterikatan kepada pihak lain di luar kelompoknya. Konsep itu melahirkan sikap eksklusif, intoleran, dan dapat membenarkan kekerasan untuk memaksakan pandangannya.
.
Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang kekerasan ekstrem. Selama ini konsep itu didominasi oleh cara pandang maskulin patriarki yang menguncinya ke dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa, kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
.
Penelitian ini mencatat kekerasan atas keamanan insani perempuan ini juga mengancam pilar-pilar yang selama ini menjadi penyangga kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran yang peduli pada keragaman sebagai warisan tak ternilai dari Islam Indonesia yang moderat/ wasathiyah.
.
Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama soal apa dan siapa perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan terus menerus ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik menjadi lantaran instabilitas moral yang (dapat) merusak tatanan sosial bahkan ekonomi. Untuk mengatasi hal itu, perempuan karenanya musti tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai dan batasi hadirnya di ruang publik baik secara langsung maupun simbolik.
.
“Iman mah kuat, ini si“amin” yang tak kuat. Keluhan personal seorang guru- pemilik si “amin” itu segera menjadi landasan keluarnya regulasi yang kewajiban murid dan guru perempuan (muslimah) memakai jilbab. Ini terjadi di sebuah SMA Negeri di salah satu lokasi penelitian ini. Namun hal sejenis dalam upaya menormalisasikan konsep perempuan sebagai fitnah dapat ditemukan di kelembagaan mana saja hingga perempuan sendiri merasa “salah tempat”.
.
“Setiap kali mau berangkat kerja, rasanya seperti mau ke tempat maksiat, sejak di jalan, di pabrik sampai pulang saya terus ikhtilat [bercampur dengan bukan muhrim]”. Keluhan seorang buruh perempuan yang telah berpakaian rapat ini akhirnya berujung pada “pilihan” mundur dari dunia kerja.
.
Kedua, ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional seperti ceramah:
“Biar nangis darah, Bu, fitrah wanita mah tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki, pertama wanita tak bisa sempurna ibadahnya karena ditakdirkan haid, nifas, perempuan suka ghibah (gosip), suka riya (pamer) suka tabarruj (dandan); kedua Allah sudah mengunci, sudah menetapkan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.
.
Ceramah lain di tempat lain begini ujarnya:
“Allah telah menetapkan kepala keluarga itu laki-laki, pencari nafkah itu laki-laki. Bagi yang tidak ada suami, yang jomblo, sama saja. Mereka tanggungan Bapaknya, atau walinya […] Namun Barat telah mengubahnya [..] Wanita sekarang ikut mengejar karier, anak dan rumah ditinggal. Laki-laki kehilangan martabatnya. Aturan Allah laki-laki memimpin, jelas itu, tapi ikut-ikutan [Barat], perempuan jadi manajer, jadi direktur, laki-laki jadi bawahan, hasilnya apa? Ketika ada pelecehan, minta Undang-Undang KDRT, UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kan lucu…, kalian yang tak nutup aurat, kalian yang nggak mau di rumah, pas kena resikonya kalian nyalahin laki-laki”.
.
Sepintas ungkapan itu masuk akal. Terutama bagi mereka yang meyakini bahwa ruang publik sepenuhnya milik lelaki didasarkan kepada teks yang menyatakan lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun ceramah serupa yang disuguhkan sebagai keyakinan kebenaran dan bukan sekedar pendapat, dapat merontokkan harapan perempuan untuk layak di ruang publik sekaligus membenarkan ruang publik memang tak aman bagi mereka.
Sosialisasi dan normalisasi ajaran perempuan sebagai fitnah ini gencar bukan main. Ini dilakukan melalui ragam platform sosial media serta kampanye kreatif lainnya. Dalam 13 minggu, peneliti di suatu wilayah, misalnya peneliti mencatat ada 23 flyer yang menyebarkan ajakan perempuan berhijrah.
.
Ketiga, ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus setiap hari itu mampu membobol mental mereka. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai suluh neraka. Pengecualiannya adalah jika mereka pasrah ikhlas pada apapun yang didapat dari suami sebagai imamnya.
.
Benar, suami adalah pencari nafkah, itu wajib. Tapi kalau ibu-ibu ikhlas atas apapun pemberian suami, tidak ngomel, tidak melawan, tidak maido (mencela), jannah menanti ibu dari mananpun pintu masuknya”.
.
Namun pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa kuasa atas modal dan pasar.
“Mau jilbab Dewi Sandra, atau hijab Umi Pipik, atau Peggy Melati Sukma Umi jual, dulu juga jual kerudung bordir model Ibu Gus Dur, tapi sekarang nggak laku lagi, lagian kan nggak syar’i, pakai kerudung tapi leher kelihatan, mana bisa, makanya nggak laku saya juga nggak jual lagi.”
“Aurat perempuan ya aurat, mau bayi mau dewasa, barangnya itu-itu juga. Laki-laki banyak juga yang kegoda lihat aurat bayi perempuan. Jadi bukan asal jualan, kita jualan untuk dakwah, menghindari setan masuk ke pikiran, biar nggak terjadi zina, minimal ndak zina mata.”
.
Adopsi terhadap pandangan serupa ini juga nggak recehan. Mengikuti keyakinan bahwa tempat terbaik perempuan adalah di rumah, para subyek penelitian ”menerima” pembatasan ruang gerak ekonomi dan sosialnya. Sebagian besar, terutama kaum pendatang, seperti para pekerja urban, mengalami keterputusan dengan akar tradisinya karena ajaran [baru] yang mereka ikuti telah memutus mewajibkan untuk seluruh keterhubungan mereka dengan kampung (tradisi beragama, tradisi budaya, cara berpakaian, cara berkeluarga dan cara bersilaturahmi) dengan alasan untuk menghindari perbuatan dosa besar dari bid’ah. Hal ini memunculkan ketergantungan mereka kepada kelompok-kelompok barunya di kota yang diikat oleh keyakinan-keyakinan baru mereka dalam ragam kelompok seperti salafi. Seorang mantan buruh di Bekasi mengurai kegelisahannya.
“Kadang saya kangen pulang ke Jawa (xx), tapi di kampung tidak ada yang pakai hijab begini, Ibu saya karena belum paham juga tidak setuju saya pakai baju ini. Maklum ibu saya petani. Lebaran tahun lalu tersiksa rasanya karena banyak yang nggak ngaji sunah. Wara wiri tetangga saudara-saudara naik motor kreditan, isi rumah mebel baru kreditan. Padahal itu semuanya hasil riba, haram. Badan saya rasanya panas.”
.
Namun penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan meskipun tidak/ belum membentuk agensi. Paling jauh berupa adaptasi terhadap perubahan- perubahan itu, atau perlawanan tanpa kekuatan pengorganisasian dan apalagi sikap kritis. Sebagian bahkan ”melawan” karena tak punya kesanggupan untuk ikut hijrah akibat kemiskinananya.
.
Demikianlah kekerasan ekstrem yang terpetakan dalam penelitian itu. Ini hanya dapat bisa dibaca dengan kaca mata yang peka dan sanggup membaca bagaimana perempuan dibentuk dan didefinisikan. Sistem patriarki telah melanggengkan kuasa laki-laki terhadap perempuan melalui kontrol, dan kepemilikan yang distrukturkan oleh ideologi dan sistem keyakinan. Padahal kontrol, kuasa, dan kepemilikan itu sangat rentan memunculkan kekerasan; fisik non-fisik serta hal-hal yang diakibatkan oleh sistem dominasi dan struktur yang menghasilkan ketidaksetaraan.
Situasi ini semakin gayeng karena pasar dan modal ikut melanggengkannya melalui konsep barang dan jasa serba syar’i. Namun, sikap negara yang seolah menarik jarak dari campur tangan terhadap masuk dan berkembangnya pandangan ekstrem serupa ini, telah melanggengkan kekerasan terhadap perempuan melalui hegemoni nilai-nilai patriarki yang terkandung dalam tafsir dan praktik keagamaan fundamentalis.
.
Hal ini jelas tak bisa terus berlangsung. Karenanya, penelitian ini merekomendasikan hal-hal yang seyogyanya dilakukan negara, masyarakat sipil, pelaku usaha utamanya para pendukung Islam moderat Indonesia secara lebih luas. Mewujudkan human security yang komprehensif dengan menggunakan perspektif gender yang mengharuskan tersedianya sistem perlindungan (protection) sekaligus pemberdayaan (empowerment) akibat cuci otak fitnah dan fitrah.
.
[] #Lies Marcoes 21102020

Tinjuan Psikologis, Kenapa Perempuan Terjerumus Ekstremisme?

Banyak perempuan tidak sadar ia ikut terjebak atau turut serta ekstremisme

Nurdiani Latifah

 

Keterlibatan Perempuan dalam faham ekstremisme adalah fakta yang terjadi belakangan ini. Puncaknya ketika perempuan menjadi pengantin dengan melibatkan anak sebuah dalam teror bom di Surabaya pada 2018. Keterlibatan perempuan pada kasus terorisme tercatat sejak lama. Masih ingat dengan Bahrun Naim, dalang dari serangan Jakarta 2016. Beberapa bulan yang lalu kepolisian sempat memperoleh percakapan dan instruksi Bahrun Naim lewat aplikasi telegram, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari.

Di sisi lain, Indonesia telah didera gejala populisme kanan : religiusitas kerakyatan yang memiliki semangat untuk kembali ke akar, juga hubungan Tuhan-insan tanpa perantara. Faham radikalisme ini, bertolak dari hal tersebut. Di mana dengan karakterisme tak lagi menggubris para alite keagamaan. Pemikiran itu dibawa oleh Bahrun Naim yang menjadi mantan anggota HTI. Dengan digaetnya dua orang perempuan, isu kesetaraan gender telah masuk dalam kelompok radikalis atau ekstremis keagamaan. Bahrun Naim menjadi memerdaya perempuan pertama di Indonesia. Di mana dokrinasi tentang Islamic State sebagai cara untuk memerdayai perempuan. Cerita semacam tersebut perlu dikupas lebih jauh dari dari kacamata gender.

Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu pemahaman gender yang perlu dibangun pertama adalah gender bukan jenis kelamin, dua hal tersebut harus dibedakan pandangannya. Gender dan jenis kelamin ini masuk ke arah kontruksi soal yang memiliki sifat antara feminim dan maskulin.

Dalam budaya Indonesia khususnya dalam penelitian lintas budaya masyarakat Indonesia pada dasarnya lebih menganut budaya feminim. Dengan kata lainnya, masyatakat Indonesia lebih menganut keharmonisan, kekeluargaan. Sementara itu, ketidaksetaraan gender berkaitan dengan ketimpangan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang tercermin dari dominasi kekuasan yang dimiliki oleh laki-laki. Di mana masyarakat cenderung bersifat patriarki karena masyarakat di dominasi oleh laki-laki sehingga cara pikir masyarakat diwarnai oleh cara pikir laki-laki.

Terdapat anggapan umum tentang prilaku laki-laki dan perempuan dengan contoh laki-laki assertif sedangkan perempuan baik hati, Namun, ternyata tidak semua seperti itu. Terdapat hal-hal yang dilakukukan oleh perempuan, namun dilakukan juga oleh laki-laki. Begitupun sebaliknya. Pengetahuan perempuan dibangun oleh pengalaman hidup sehari-hari. Termasuk dalam hal fisik, sosial, kebutuhan dan diri sendiri.

Terkait dengan kebutuhan perempuan, hal ini didasari kebutuhan perempuan menjadi perhatian masyarakat. Kehidupan perempuan dalam konteks sosial merupakan tumpeng tindih atau keterpaduan antara apa yang menjadi pribadi dan bagaimana masyarakat melihat dirinya. Hal ini berdasarkan dengan norma sosial dan relasi gender yang ada di masyarakat. Perempuan dapat masuk ke dalam segara kontek kehidupan, di antaranya teknologi, ekonomi, kesehatan, kesejahteraan, politik dan hukum.

Pada ranah perempuan, adanya keterikatan antara ibu dan anak perempuan mengakibatkan adanya pengindentikan perempuan sebagai ibu. Padahal tidak setiap perempuan menjadi ibu. Sementara dalam budaya Indonesia, terdapat 3 pengertian perempuan menjadi seorang ibu. Di antaranya, status biologis, status sosial dan makna simbolik dari perkataan ibu. Pada kasus lainnya, seperti pada anak laki-laki meskipun dengan ibunya, namun karena struktur tubuhnya berbeda, maka diharapkan anak laki-laki memiliki kedekatan dan keterikatan dengan ayahnya. Namun, ketidakhadiran figur ayah, menjadikan anak laki-laki diharuskan membentuk dan mengembangkan identitasnya sendiri.

Ibu memiliki kuasa yang besar (social power), hal itu menjadikan perempuan mempunyai nilai symbol yang sangat besar berada di alam bawah sadar. Implikasinya dari seorang perempuan yang menjadi ibu, adanya love and hate relationship dengan anak perempuannya. Hal ini didasari dengan ambisi seorang ibu kepada anak perempuannya. Sedangkan pada relasi sosial/kerja, perempuan memiliki kekuatan yang terletak pada daya pengaruh kuasa yang dapat mempengaruhi suasana kerja

Faktor-faktor yang biasa mempengaruhi perempuan saat mengambil keputusan di antaranya resiko yang melekat, perbedaan cara pandang dan solidaritas sesama perempuan. Sebab, perempuan lebih komunal. Contoh lainnya pada bidang politik adalah perempuan memiliki kemampuan dalam mempengaruhi keputusan politik.

Hal sederhananya terlihat ketika seorang suami meminta masukan dari seorang istri dalam mengambil sebuah keputusan. Sedangkan di dalam keluarga, pemikiran seorang selalu berkaitan bagaimana cara mempertahankan hidup. Hal ini juga dapat mempengaruhi seorang ibu dapat mengikutsertaan anaknya dalam mengakhiri hidup.

Konsep kehidupan bukan hanya yang sedang terjadi saat ini, namun menurut kelompok agamis lebih mengarah pada kehidupan di akhirat. Maka kematian bukan dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan dan enyelesaikan masalah terorisme haruslah memperlajari tentang psiko-teologi. Karena, teologi yang ada di kontruksi terus menerus. Ada 2 ide yakni narasi keketasan dan psiko-terorisme.

Perempuan memiliki kemungkinan yang besar untuk menjadi pelaku terorisme, namun karena kurangnya izin dari suami menjadikan jumlah pelaku teror perempuan tidak sebanyak pelaku laki-laki.  Pada hubungan relasi sosial/kerja, perempuan memiliki kekuatan yang terletak pada daya pengaruh kuasa yang dapat mempengaruhi suasana kerja.

*Analisis ini hasil kerja sama Islami.co & Rumah KitaB*

 

Sumber: https://islami.co/tinjuan-psikologis-kenapa-perempuan-terjerumus-ekstremisme/

Peran Perempuan dalam Counter Violent Extremism (CVE)

Keterlibatan perempuan dalam Counter-Violent Extremism (CVE) sebagai preventer atau pencegah paham radikalisme dan esktermisme semakin terlihat. Salah satu peran perempuan yang sering dikampanyekan adalah ibu.

Unaesah Rahmah

 

Keterlibatan perempuan dalam Counter-Violent Extremism (CVE) sebagai preventer atau pencegah paham radikalisme dan esktermisme semakin terlihat. Salah satu peran perempuan yang sering dikampanyekan adalah ibu.

Ada dua alasan mengapa ibu memegang peranan penting di dalam CVE; pertama, Ibu dianggap memiliki pengaruh yang besar terhadap keluarga dan komunitas mereka. Hal ini karena perempuan diyakini memberikan perhatian yang lebih besar terhadap keluarga dibandingkan laki-laki. Sehingga, keterlibatan para ibu di dalam CVE juga diharapkan akan mengajarkan mengajarkan anak-anak mereka mengenai toleransi, moderasi dan nilai-nilai demokrasi.

Kedua, Edit Schlaffer, ketua Women without Borders di Australia, mengungkapkan bahwa Ibu seringkali disalahkan ketika suami atau anak-anak mereka terlibat di dalam aksi terorisme. Mereka dianggap gagal dalam mendeteksi proses radikalisasi yang terjadi pada keluarga mereka. Hal inilah yang mendorong Schlaffer untuk mendirikan Mother’s School untuk melatih para ibu dalam masalah parenting skill, self-confidence, dan isu seputar violent extremism (VE). Sehingga para ibu ini kemudian menjadi sosok yang memiliki kepercayaan diri dan menjadi tempat berkonsultasi bagi anak-anak mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga memang memegang peranan penting dalam mendeteksi proses radikalisasi yang terjadi pada anggota keluarga.

Selain memberdayakan peranan Ibu, program CVE juga dianggap akan berjalan dengan baik jika menerapkan pemberdayaan perempuan. Sebagai contoh, penelitian Krista London Couture pada 2014 menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan yang terjadi di Bangladesh dan Moroko memberikan dampak positif terhadap penurunan angkat VE di kedua negara tersebut. Moroko, sejak tahun 2005, sudah melatih perempuan untuk menjadi penceramah dalam moderasi beragama.

Sedangkan Bangladesh, memberikan kesempatan kerja dan pendidikan yang lebih luas kepada perempuan. Couture berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender merupakan hal yang penting untuk menciptakan perdamaian dan menjaga keberlangsungannya. Pemberdayaan perempuan pada level sosial, politik dan ekonomi akan meningkatkan kualitas hidup mereja dan menjadikan mereka untuk berfikir lebih jauh dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar merela. Ketika perempuan lebih terberdayakan, maka ia akan mampu memiliki peran dalam peacebuilding.

Kritik

Meski perempuan telah sering dilibatkan dalam CVE, ada beberapa kritik yang perlu dijadikan bahan renungan untuk menciptakan program CVE yang lebih baik. Pertama, beberapa peneliti mengkritik dasar yang digunakan untuk melibatkan perempuan dalam CVE, yakni keyakinan bahwa perempuan merupakan makhluk lembut dan terlahir dengan sifat damai dan tenang. Argumen ini dianggap tidak tepat karena bisa mengantarkan kepada kesimpulan bahwa perempuan merupakan solusi paling tepat terhadap VE, karena mereka memang dasarnya sudah lembut dan damai.

Padahal kalau kita lihat kejadian dalam beberapa tahun terakhir, perempuan juga menjadi pelaku aksi teror dan juga terlibat didalam beberapa kegiatan kelompok terorisme. Anggapan tersebut menyebabkan adanya bias yang tidak melihat potensi keterlibatan perempuan sebagai aktor atau supporter dalam kelompok ekstremisme. Selain itu, anggapan seperti itu juga tidak tepat karena mereduksi agensi, kemampuan, keahlian dan ketertarikan perempuan dalam CVE. Keberhasilan perempuan dalam CVE akan dilihat sebagai sesuatu yang wajar karena perempuan memang dari sononya sudah punya sifat cinta damai dan toleransi. Padahal perempuan juga mengalami proses belajar dan mencurahkan keahlian mereka ketika terlibat sebagai agen perdamaian atau aktor dalam CVE.

Kedua, kritik lainnya juga dilayangkan adalah adanya penekanan yang terlalu besar pada peran perempuan sebagai istri dan ibu dalam CVE. Walaupun hal ini memang membawa dampak yang baik, tetapi dominasi peran ibu yang besar menghilangkan peran-peran perempuan lain dalam CVE. Padahal ada banyak peran yang bisa dilakukan oleh perempuan selain menjadi seorang ibu, seperti pemimpin agama, psikologis, guru, politisi, PNS, atau lainnya yang memberikan pengaruh bukan hanya kepada keluarga, tetapi komunitas yang lebih luas.

Ketiga, keterlibatan perempuan seringkali menjadikan program CVE terlihat jadi otomatis sensitive gender. Hal ini karena biasanya perempuan dalam CVE akan diharapkan untuk bicara soal CVE dan perempuan. Padahal mengadopsi perspektif gender dalam CVE lebih dari sekedar membicarakan peran perempuan atau laki-laki dalam terorisme. Analisa gender dibutuhkan dalam program CVE untuk memahami bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki potensi untuk menjadi korban, pelaku dan agen perdamaian; memahami bahwa motivasi antara perempuan dan laki-laki dalam kelompok terorisme dan ekstremisme berbeda karena peran gender mereka, latar belakang, kelas sosial dan lainnya. Sehingga program CVE yang ada diharapkan lebih mampu menyasar dan memperhatikan konteks dan situasi dari target atau partisipan program CVE.

Pelibatan perempuan dalam CVE itu penting, tetapi program CVE juga perlu mengadopsi perspektif gender untuk menganalisa faktor-faktor seseorang teradikalisasi, sebelum menciptakan program CVE.

Sumber Bacaan:

Eleanor Gordon dan Jacqui True, “Gender Stereotyped or Gender Responsive?: Hidden Threats and Missed Opportunities to Prevent and Counter Violent Extremism in Indonesia and Bangladesh,” The RUSI Journal, 164:4, 74-91, September 2019

Emily Winterbotham, “Do Mothers Know Best? How Assumptions Harm CVE”Tony Blair Institute for Global Change, 17 September 2018

Krista London Couture, “National Counterterrorism Center, A Gendered Approach to Countering Violent Extremism Lessons Learned from Women in Peacebuilding and Conflict Prevention Applied Successfully in Bangladesh and Morocco”, Centre for 21st Security and Intelligence, Policy Paper, 17 July 2014

Sumber: https://islami.co/peran-perempuan-dalam-counter-violent-extremism-cve/

Fatwa Kelompok Ekstremis dalam Pelibatan Perempuan dalam Jihad

Pendapat tokoh atau fatwa yang dikeluarkan oleh kelompok ekstremis memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam memberikan motivasi ataupun justifikasi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya.

Unaesah Rahmah

Pendapat tokoh atau fatwa yang dikeluarkan oleh kelompok ekstremis memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam memberikan motivasi ataupun justifikasi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya. Sebagai contoh, terjadinya peningkatan serangan terror dengan menggunakan senjata tajam seperti pisau dapur, pedang dan golok di Indonesia diakibatkan karena adanya fatwa yang disebarkan oleh para pendukung ISIS di media sosial dan grup Telegram. V. Arianti (2018) mencatat 14 serangan dengan senjata tajam oleh kelompok terror dalam kurun waktu 2014 hingga 2018. Beberapa fatwa yang dikutip dan disebarkan oleh para pendukung ISIS adalah tulisan  Abu Abdillah Al-Muhajir’s yang berjudul “Disyari’atkannya Ightiyalat Terhadap Kafir Harbi,” pesan Abu Muhammad Al-Adnani yang menyuruh para pendukung ISIS untuk menggunakan pisau dapur dalam menyerang, dan juga Bahrun Naim yang mempromosikan taktik penusukan dan pemenggalan (V.Arianti, 2018).

Apakah hal serupa juga terjadi dalam pelibatan perempuan dalam jihad? Apakah fatwa berpengaruh terhadap keputusan para perempuan untuk melakukan aksi terror seperti melakukan bom bunuh diri dan berperang menjadi kombatan? Jika melihat fatwa yang telah dikeluarkan oleh al-Qaeda atau ISIS, hampir tidak ada yang memberikan fatwa secara jelas dan tegas menyeru perempuan untuk terlibat di dalam jihad qital – yakni jihad dalam artian berperang dan mengangkat senjataNelly Lahoud berpendapat bahwa hanya al-Zarqawi yang pernah secara jelas menyerukan perempuan untuk berjihad mengangkat senjata bersama para laki-laki. Selainnya, walalupun menyerukan jihad qital bagi perempuan, mereka tetap menegaskan bahwa peran utama perempuan adalah untuk diam di rumah, menjaga dan mengurus suami dan anak.

Beberapa Fatwa terkait Pelibatan Perempuan dalam Jihad

Seruan agar perempuan terlibat di dalam jihad qital biasanya dimasukkan di dalam kerangka jihad defensive atau self-defense. Perempuan hanya diperbolehkan untuk berperang jika 1) musuh sudah masuk dan mengepung wilayah mereka, 2) kekuatan laki-laki sudah tidak memadai untuk mengalahkan musuh, dan 3) turunnya fatwa yang memperbolehkan perempuan untuk melakukan jihad qital.

Beberapa tokoh dari kelompok militan yang pernah menyebutkan kebolehan perempuan untuk terlibat di dalam jihad qital adalah ‘Abdullah ‘Azzam yang mengutip pendapat Abd al-Salam al-Faraj. Ia menyatakan bahwa jihad defensive adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat lain adalah ‘Abd al-Qadir bin ‘Abd al’Aziz (Sayyid Imam al-Sharif) yang berpendapat bahwa perempuan harus diberikan pelatihan militer, tetapi hanya dalam lingkup untuk menjaga diri (self-defense) melawan musuh Islam.

Abu Mus’ab al-Zarqawi, tokoh yang paling sering dirujuk sebagai pemberi fatwa kebolehan perempuan berperang, menyatakan, “Ketika perang pecah, jika kalian (para lelaki Muslim) tidak akan menjadi pentempur dalam perang ini, maka berikanlah jalan bagi perempuan untuk berperang. Demi Allah, laki-laki telah kehilangan kejantanan mereka.” Namun jika disimak lebih teliti, sebenarnya pernyataan Zarqawi bukanlah ditujukan untuk mengajak perempuan berperang, melainkan untuk laki-laki. Ucapannya bertujuan untuk mempermalukan laki-laki yang tidak berperang sebagai pengecut dan tidak punya kejantanan. Hal serupa juga sering dilakukan oleh kelompok teroris di Indonesia. Sebagai contoh, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menyebarkan foto tiga istri anggota mereka yang menenteng senjata di sosial media. Tujuannya adalah mempermalukan laki-laki dengan mengatakan bahwa karena tidak ada laki-laki, maka perempuan sampai menenteng senjata dan berperang di Poso.

Jika dipahami lebih lanjut, syarat pertama dan kedua dalam jihad defensive tidak sesuai dengan tindakan yang dipilih oleh ISIS. Pasalnya ISIS lebih memilih untuk mengajak laki-laki dari negara lain masuk ke Suriah dan Irak pada awal 2014 daripada menyerukan perempuan di wilayah mereka untuk berperang. Jika memang keadaan sudah sangat mendesak, sehingga umat Muslim dari negara lain harus membantu “daulah Islamiyah” ala ISIS, mengapa perempuan tidak pernah dilibatkan? Hal ini menunjukan kecacatan dalam definisi jihad defensive ISIS. Selain itu, anjuran jihad defensive ini tidak khusus ditujukkan bagi perempuan saja, karena anak-anak juga termasuk di dalamnya.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kelompok ekstremis biasanya berbeda pendapat soal keterlibatan perempuan sebagai kombatan dalam perang. Namun, perempuan diperbolehkan menjadi pelaku bom bunuh diri. Perbedaan ini terjadi karena jika perempuan menjadi kombatan, maka akan dimungkinkan terjadinya percampuran dengan laki-laki, sementara dalam hal bom bunuh diri tidak.

Dalam hal bom bunuh diri, perempuan bisa diajari dan diantar ke lokasi oleh ayah, saudara laki-laki atau suami mereka. Seperti kasus Dian Yuli Novi yang menikahi Nur Solikhin dengan tujuan agar pertemuan dan perbincangan mereka soal bom bunuh diri menjadi “halal.” Namun, jika dilihat lebih lanjut, target serangan bom bunuh diri Dian adalah Pasukan Pengaman Presiden, yang pada umumnya adalah laki-laki. Dian juga diinstruksikan untuk mendekati target jika hendak melakukan bom bunuh diri. Bukankah hal tersebut sama saja terjadinya percampuran antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram?

Pelibatan perempuan dalam kelompok ekstremis lebih didorong oleh alasan strategis mereka, terutama ketika mereka terdesak. Banyak tulisan mengungkapkan bahwa semenjak ISIS mulai kehilangan wilayahnya, maka mereka mengeluarkan fatwa-fatwa lewat majalah An-Naba (2016), Rumiyah (2017) dan video yang diliris oleh al-Hayat Media Centre (2018) yang menyerukan perempuan untuk melakukan jihad qital. Walaupun lagi-lagi penekanan terhadap peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu tetap ada.

Fatwa dan Pelibatan Perempuan di Indonesia

Melihat kasus keterlibatan tiga istri kelompok MIT sebagai kombatan, mereka memilih peran tersebut karena suruhan dari suami mereka. Tidak terdengar jika mereka mengutip fatwa dari ideolog-ideolog kelompok ekstremis. Begitu juga dalam kasus Ika Puspita Sari, dia berkeinginan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri karena terinspirasi oleh kejadian-kejadian bom dibandingkan oleh fatwa khusus tentang pelibatan perempuan.

Meski begitu, di Indonesia, kasus Dian Yuli menunjukkan bahwa dia melakukan penafsiran sendiri terhadap lingkungannya dan fatwa kelompok esktremis. Dia berpendapat bahwa para laki-laki di Indonesia sudah tidak lagi mengangkat senjata melawan musuh, sehingga dia ingin menjadi pelaku bom bunuh diri. Dian membuat keputusan itu sebelum ISIS mengeluarkan seruan terkait pelibatan perempuan dalam jihad qital. Dengan demikian, fatwa bukanlah satu-satunya faktor yang melatarbelakangi keinginan perempuan untuk terlibat dalam aksi terror. Seperti yang dituliskan dalam laporan IPAC (Januari 2017), bahwa banyak para pendukung perempuan ISIS di Indonesia yang menunjukan keinginan mereka untuk melakukan aksi terror setelah melihat aksi terror Paris pada 2015, yang diduga melibatkan perempuan.

Sumber:

Aqwam Fiazmi Hanifan, “Dogma ISIS kepada Pengikut Perempuan: Lisensi untuk Membunuh,” Tirto.id, April 10, 2019

 Charlie Winter dan Devorah Margolin, “The Mujahidat Dilemma: Female Combatnats and the Islamic State,” Combating Terrorism Centre, August 2017, Vo. 10, Issue 7

Nelly Lahoud, “Can Women Be Soldiers of the Islamic State?,” Survival, 2017, Vol. 59, Issue.1, hal. 61-78

 Nelly Lahoud, “The Neglected Sex: The Jihadis’ Exclusion of Women From Jihad,” Terrorism and Political Violence, 2014, Vol. 26, Issue 5, hal.780-802

Sumber: https://islami.co/fatwa-kelompok-ekstremis-dalam-pelibatan-perempuan-dalam-jihad/

Proyek Pencegahan Ekstremisme, Convey Indonesia, Menyelenggarakan Acara Convey Day 2020

Dalam rangka merayakan 3 tahun perjalanan Convey Indonesia, UNDP Indonesia dan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah menyelenggarakan acara Convey Day 2020 dengan mengusung tema  “Be Inspiring, Be Tolerant” di Djakarta Ballroom Theater Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin 17/20.

Convey Indonesia adalah proyek perdamaian dan pencegahan ekstremisme kekerasan di Indonesia dengan berbasis pada potensi pendidikan agama untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan publik terhadap intoleransi, radikalisme dan ekstremisme kekerasan.

Pidato pertama disampaikan Christoph Bahuet selaku koordinator UNDP Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia telah menginspirasi bangsa lain dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika nya.

“Indonesia dengan Pancasila dan  Bhineka Tunggal Ika, telah menginspirasi bangsa lain tentang nilai toleransi di dalam kehidupan yang multikultural untuk tetap rukun saling menghormati satu sama lain” ungkapnya.

Meskipun begitu dari SURVEY NASIONAL “API DALAM SEKAM” Convey Indonesia, generasi muda adalah kelompok paling rentan terhadap infiltrasi paham radikalisme dan ekstremisme. Celah masuknya begitu beragam, baik dari pemahaman agama yang masih rendah, internet, lingkungan pertemanan, psikologis dan bahkan sekolah. (PPIM UIN Jakarta,2017)

Christoph Bahuet menambahkan, Convey dalam 3 tahun terakhir melakukan penelitian intolerasi dan diskriminasi di lingkungan pendidikan Indonesia. Penyebaran nilai-nilai Islam moderat termasuk bagian dari kampanye Convey.

Acara yang dihadiri oleh beberapa pembicara yang menyampaikan kesamaan visi dan misi dalam menciptakan perdamaian ini antara lain Peace Generation Irfan Amale, Pakar dan Praktisi Pendidikan Indonesia Najeela Shihab, Staff Khusus Presiden Ayu Kartika Dewi, dan Komika Pandji Pragiwaksono, serta penyanyi Glenn Fredly.

Pimpinan Tim Convey, Jamhari Makruf dalam pidatonya menyampaikan gerakan Convey adalah gerakan sosial untuk anak muda yang memiliki peran untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.

“Anak muda miliki peran penting dalam menjembatani kerukunan bangsa ini. Ada dua kunci untuk kesuksesannya, pertama buka pikiran dan kedua jaga etika sosial”

Acara ini dihadiri sekitar 400 orang yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan negara sahabat, penggerak LSM dan komunitas, akademisi dan pendidik, serta generasi milenial.

Beberapa tujuan dasar dari Convey Day ini adalah pertama, untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengetahuan berbasis data (Evidence-based knowledge). Kedua, membangun generasi milenial yang kritis terbuka dan empatik terhadap kebinekaan dalam konteks kewargaan dan kebangsaan. Ketiga, untuk memperkuat kolaborasi antar pelbagai pemangku kepentingan untuk membangun Indonesia yang damai dan harmonis.

Pentingnya pembaharuan dan penggunaan data basis riset oleh organisasi mahasiswa di setiap program yang akan di kerjakan disampaikan Yunita Faela Nisa selaku perwakilan PPIM UIN Jakarta.

“Program-program organisasi kemahasiswaan biasanya ikut berdasarkan program tahun sebelumnya, sedangkan fakta di lapangan mungkin berubah, maka perlunya di setiap program tersebut untuk bersandar pada data atau riset terbaru”. [Fay]