Pos

Pemimpin Tanpa Nurani: Kritik Fikih Siyasah atas Elite Politik

Gelombang unjuk rasa yang memadati kawasan Senayan hingga Palmerah pada pekan terakhir Agustus memperlihatkan satu hal telanjang: jurang nurani antara warga dan wakilnya. Di jalanan, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Seorang ojol, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis. Semua itu terjadi hanya beberapa hari setelah seorang anggota DPR menanggapi seruan “bubarkan DPR” dengan menyebutnya “mental orang tolol sedunia”. Fakta-fakta keras ini bukan sekadar polemik, melainkan cermin etika kekuasaan kita hari ini.

Dalam fikih siyasah, ada kaidah yang menjadi tonggak moral sekaligus metodologis:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“Kebijakan pemimpin atas rakyat harus tergantung pada maslahat.”

Mari mengelaborasi kaidah itu kata demi kata, sebagaimana tradisi syarḥ dalam literatur klasik. Tasharruf berarti tindakan administratif, pengelolaan, atau keputusan yang menghasilkan akibat hukum, bukan sekadar opini. Imam di sini bukan hanya kepala negara; setiap pemegang otoritas (menteri, ketua lembaga, sampai kepala satuan) masuk dalam cakupannya sebagaimana perluasan makna imamah dalam karya-karya siyasah.

Ar-ra‘iyyah menunjuk subjek yang dilayani yaitu “rakyat” yang dalam akar katanya (ra‘a) berarti menjaga, mengasuh, dan melindungi; Lisanul ‘Arab menegaskan nuansa pemeliharaan (hifdh). Manuthun berarti “terikat/tergantung/terpasang pada”; sebuah keputusan dinilai sahih bila benar-benar “tergantung” pada maslahat, bukan pada selera, gengsi, atau kalkulasi elektoral.

Mashlahah adalah orientasi maslahat yang terukur, ia harus dapat diuji dengan kaidah ushul dan maqāṣid. Al-Ghazali dalam al-Mustashfa mendefinisikan maslahat adalah menjaga tujuan syariat, dan tujuan syariat bagi manusia ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Di level ushul alfiqh, maslahat sendiri bukan ruang kosong. Asy-Syathibi menegaskan hirarki maslahat: dlaruriyyat (mendasar), hajiyyat (kebutuhan), dan tahsiniyyat (kelayakan/estetika). Penguasa wajib mengutamakan yang dlaruriyyat sebagai contoh keselamatan jiwa, akses pendidikan, kesehatan, pangan, baru kemudian yang hajiyyat dan tahsiniyyat. Dengan skema ini, setiap kebijakan dinilai apakah ia menjaga lima pokok utama (al-kulliyyat al-khams) atau justru bertentangan?

Kaidah di atas juga memiliki landasan normatif dalam karya-karya siyasah. Ibn Taymiyyah mengingatkan bahwa menjalankan kekuasaan untuk kemaslahatan rakyat merupakan (salah satu) kewajiban agama yang paling besar. Tanpanya, baik agama maupun tatanan dunia tidak dapat tegak. Hal ini tercantum dalam as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah.

Lebih problematik lagi adalah respons komunikasi sebagian elite. Pernyataan salah seorang anggota DPR yang menyebut para pengkritik sebagai “orang tolol sedunia” bukan sekadar kekhilafan retoris. Itu sinyal kegagalan memahami posisi ra‘iyyah sebagai pihak yang harusnya dilindungi. Kalimat itu merendahkan kehormatan warga (hifdh al-‘irdl) dan memperlebar jurang ketidakpercayaan.

Apa konsekuensinya bila pemimpin tidak mengikuti kaidah ini? Jika pemimpin tidak lagi bertindak atas dasar maslahat, maka terjadi delegitimasi syar‘i: kehilangan dasar fiqhiyyah karena tidak lagi manuth (terikat) pada maslahat.

Al-Aiji berkata dalam al-Mawaqif:

وَلِلْأُمَّةِ خَلْعُ الْإِمَامِ وَعَزْلُهُ بِسَبَبٍ يُوْجِبُهُ، وَإِنْ أَدَّى خَلْعُهُ إِلَى الْفِتْنَةِ احْتَمَلَ أَدْنَى الْمَضَرَّتَيْنِ

“Umat berhak untuk mencopot dan menurunkan imam karena alasan yang mengharuskannya. Jika pencopotannya menyebabkan masalah baru, maka dipilih yang paling ringan dari dua bahaya itu.”

Dalam Syarh al-Maqashid disebutkan:

مِنَ الْأَسْبَابِ الْمُتَّفَقِ عَلَى حَلِّ عَقْدِ الْإِمَامَةِ بِهَا: مَا يَزُوْلُ بِهِ مَقْصُوْدُ الْإِمَامَةِ

“Di antara sebab yang disepakati untuk membatalkan kontrak kepemimpinan ialah: hilangnya tujuan kepemimpinan.”

Dengan demikian, secara fiqhiyyah, kondisi elite politik yang terus-menerus gagal menjaga maslahat publik termasuk ke dalam sabab syar‘i untuk dicopot.

Dalam al-Asybah wa an-Nadhair, As-Suyuthi menukil Al-Mawardi yang menyebutkan,  “Pemimpin dilarang mengangkat orang fasik sebagai imam shalat, meskipun menjadi makmumnya tetap sah namun makruh. Pemimpin diharuskan menjaga kemaslahatan, dan tidak ada kemaslahatan dalam membawa masyarakat ke arah perbuatan makruh.” Kebijakan yang mengarah kepada makruh saja dilarang, apalagi jika pemimpin membawa masyarakat ke arah bahaya, seperti ketidakadilan dan ketimpangan.

Pejabat yang berulang-ulang melahirkan kebijakan atau ucapan yang mencederai maslahat publik layak dievaluasi untuk mundur atau diturunkan, baik melalui mekanisme etik internal, hak angket, atau proses konstitusional. Ini sejalan dengan doktrin ‘azl dalam siyasah yang menjelaskan bahwa wilayah (jabatan) adalah amanah yang boleh dicabut demi maslahat umum.

Kita menyaksikan hingga muak betapa lambatnya DPR dalam mengesahkan RUU yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Kelambanan itu terjadi karena tidak adanya niat untuk memberikan maslahat pada masyarakat, terutama kelompok marjinal.

Pada akhirnya, kaidah “tasarruf al-imam ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bi al-mashlahah” adalah kompas dalam menjadi pemimpin. Ketika fakta-fakta di lapangan mulai dari ucapan yang merendahkan warga hingga kebijakan yang memantik korban menunjukkan jurang yang kian menganga, maka fikih menuntun pada kesimpulan etis: pemimpin yang mengabaikan maslahat publik telah kehilangan nurani kekuasaannya.

Jika tidak sanggup lagi memegang amanah tersebut, alangkah baiknya turun dari jabatan sesegera mungkin. Ini bukan desakan emosi, melainkan konsekuensi logis dari sebuah kaidah yang sejak lama diletakkan ulama untuk melindungi rakyat dari tasharruf yang menyimpang.

Air Mata Ibu Affan Ojol Dilindas Polisi dan Luka Perempuan Indonesia

“Anak saya tidak ada, Pak,” tangis Ibu Herlina, Ibu kandung Affan Kurniawan.

Tangisan seorang ibu tidak pernah bisa ditawar. Di rumah sederhana di gang sempit Menteng, Jakarta Pusat, suara isak Bu Erlina—ibu dari almarhum Affan Kurniawan—menjadi saksi betapa rapuhnya nyawa rakyat kecil di negeri ini. Tubuh Affan terbujur kaku, tertutup kain jarik, setelah dilindas kendaraan taktis Brimob dalam demonstrasi 28 Agustus 2025.

Affan masih berumur 21 tahun. Dia memiliki masa depan panjang. Namun semua itu direnggut oleh kebiadaban polisi. Affan memang bukanlah tokoh besar yang namanya dikenal banyak orang. Dia hanyalah anak muda sederhana yang sehari-hari mengais rezeki sebagai pengemudi ojek online. Lahir dari keluarga serba terbatas, tapi dia tumbuh menjadi tulang punggung keluarga.

Hidup keluarga Affan tidak berlimpah. Tapi ada kebahagiaan kecil yang lahir dari kehangatan keluarga. Dan Affan, dengan segala kerajinannya, adalah penopang utama kehidupan itu.

Kini, semua itu sirna. Tubuh muda yang seharusnya masih penuh harapan, dipaksa terhenti di tengah jalan karena besi raksasa yang melaju tanpa peduli menabrak tubuh Affan. Tubuh Affan ringsek akibat ulah kebodohan polisi.

Kesedihan Seorang Ibu

Bagi seorang ibu, kehilangan anak adalah kehilangan separuh hidup. Ibu Erlina bukan hanya kehilangan anak sulungnya, ia kehilangan teman bercerita, penopang keluarga, dan masa depan yang dia semogakan. Tangisannya di depan jenazah Affan adalah jeritan perempuan Indonesia yang selama ini sering kali harus menanggung duka akibat kekerasan yang dilakukan aparat negara.

Kita tidak bisa membayangkan betapa beratnya seorang ibu ketika tubuh anak yang ia rawat sejak dalam kandungan, yang ia jaga dengan doa di setiap malam, kini terbujur kaku akibat kekerasan negara yang seharusnya melindunginya. Sebuah barakuda yang seharusnya menjaga keamanan justru merenggut nyawa rakyat kecil.

Dalam setiap helai rambut anaknya, seorang ibu menitipkan harapan. Dalam setiap peluh kerja keras seorang anak, seorang ibu merasakan kebanggaan. Tetapi ketika semua itu hilang seketika akibat dilindas aparat negara, duka itu tidak lagi hanya milik Erlina seorang, melainkan duka kolektif bangsa ini.

Luka Perempuan Indonesia

Kisah Bu Erlina bukanlah kisah pertama. Sejarah bangsa ini penuh dengan cerita perempuan yang harus menanggung kehilangan karena negara gagal melindungi rakyatnya.

Kita ingat ibu-ibu yang kehilangan anaknya dalam peristiwa 1965. Mereka bertahun-tahun mencari tanpa pernah tahu di mana jasad anak-anak mereka. Kita juga masih mengingat jeritan ibu-ibu mahasiswa 1998 yang anaknya ditembak ketika memperjuangkan demokrasi. Di Aceh, Papua, dan berbagai daerah konflik, perempuan menjadi saksi bisu hilangnya suami dan anak-anak mereka, tanpa kejelasan, tanpa keadilan.

Kini, nama Affan menambah daftar panjang korban yang membuat perempuan Indonesia kembali dipaksa menanggung luka. Lagi-lagi, air mata perempuan menjadi saksi bisu kegagalan negara.

Permintaan Maaf yang Tidak Menyembuhkan

Kapolri, pejabat negara, hingga Istana memang sudah menyampaikan permintaan maaf. Mereka tegap di depan pers. Tetapi apakah permintaan maaf cukup untuk mengeringkan air mata seorang ibu yang kehilangan anak? Apakah ucapan belasungkawa mampu menggantikan kehidupan yang direnggut begitu saja?

Permintaan maaf tanpa keadilan hanyalah formalitas. Dan formalitas tidak pernah bisa menggantikan luka dan nyawa.

Karena itu, hukum harus ditegakkan. Memberikan daftar nama pelaku ke Pers bukan sekadar untuk menenangkan massa, tapi untuk mengembalikan martabat seorang ibu yang anaknya diperlakukan seakan nyawanya tidak berharga. Negara tidak boleh lagi hanya menutup tragedi dengan kata-kata manis seperti yang terjadi di Kanjuruhan Malang, sementara perempuan harus menanggung luka sepanjang hidupnya.

Dan jerit tangis ibu Affan adalah tangisan ibu bangsa Indonesia.

Air mata Bu Erlina adalah air mata bangsa ini. Jeritannya adalah jeritan kita semua. Sebab kehilangan anak akibat kekerasan negara bukan hanya tragedi pribadi, melainkan kegagalan kolektif kita menjaga kemanusiaan.

Kita perlu mendengar suara ibu-ibu seperti Erlina. Suara mereka adalah suara kebenaran yang paling jujur, suara yang lahir dari luka, bukan dari kepentingan politik. Ketika seorang ibu mengatakan bahwa anaknya direnggut secara tidak adil, maka sejatinya bangsa benar-benar tidak menghargai nyawa manusia.

Negara punya kewajiban untuk memastikan peristiwa seperti ini tidak terulang. Kita meminta tujuh anggota Brimob harus dihukum seberat-beratnya. Kendaraan taktis yang merenggut nyawa Affan harus menjadi bukti betapa nyawa rakyat kecil bisa hancur di bawah besi aparat.

Luka yang Mengikat Kita Semua

Ketika Affan dikuburkan di TPU Karet Bivak, bukan hanya tanah yang menutup jasadnya. Ada pula harapan-harapan yang terkubur: harapan seorang ibu melihat anaknya menikah, harapan seorang adik memiliki panutan, harapan keluarga kecil untuk keluar dari jerat kemiskinan. Semua terkubur bersama Affan.

Namun, luka ini tidak boleh kita biarkan terkubur. Luka ini harus menjadi pengingat bagi bangsa bahwa air mata seorang ibu adalah peringatan paling keras. Jika negara kembali abai, jika aparat kembali brutal, maka jeritan ibu-ibu akan terus menghantui perjalanan kita sebagai bangsa.

Air mata Bu Erlina adalah simbol dari setiap perempuan Indonesia yang pernah kehilangan: kehilangan anak, kehilangan suami, kehilangan saudara bahkan kehilangan masa depan. Dan selama keadilan belum ditegakkan, selama nyawa rakyat kecil masih bisa diperlakukan seakan tidak berharga, air mata itu akan terus mengalir.

Kita berhutang kepada Affan, kepada ibunya, dan kepada semua perempuan yang pernah kehilangan karena negara gagal melindungi rakyatnya. Hutang itu bernama keadilan. Dan keadilan hanya bisa ditegakkan ketika kita berani menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Lahul fatikhah, Affan.

Revolusi dan Solidaritas

Hari ini menjadi sejarah baru bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Setelah demo akbar yang dilakukan oleh masyarakat Pati mencoba menurunkan bupati bersambut oleh anggota DPRD dengan menggunakan hak angket membentuk Pansus Pemakzulan Bupati (baca di sini).

Berbagai lini masa mengangkat tajuk “revolusi dimulai dari Pati.” Fenomena ini memang potret lokal yang bisa disorot secara nasional. Kemarahan massa di Pati adalah akumulasi dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang kian nyata. Ketika rakyat sedang berjuang untuk hidup, pejabat justru hidup nyaman dengan gelimangan harta dari pajak rakyat.

Apa itu revolusi? Secara bahasa berasal dari kata “to revolve” yang berarti kembali lagi atau berulang kembali. Nah, menariknya, istilah ini pertama kali digunakan dalam dunia sains. Revolusi adalah ketetapan dalam perubahan, pengulangan terus-menerus yang menjadikan akhir sekaligus awal. Ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula.

Dari makna ini, satu substansi dasar dari revolusi adalah kesinambungan dalam daur ulang (unbroken continuity). Revolusi adalah siklus kehidupan yang berputar sesuai dengan zamannya. Namun, makna itu berubah seiring dengan perubahan paradigma saintifik. Tahun 1953, Copernicus menulis buku berjudul “De Revolutionibus Orbium Coelestium” yang mempunyai terobosan mendasar.

Dalam karyanya, secara radikal ia mengubah keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta (geosentrisme) menjadi matahari sebagai pusat tata surya (heliosentrisme). Upaya tersebut dicatat sejarah sebagai Revolusi Copernican. Hari ini, pandangan Copernicus tersebut sudah menjadi common sense dalam sains. Perubahan ini juga membuat pergeseran paradigma dalam memahami istilah revolusi. Jika dahulu revolusi dipahami sebagai siklus ketersambungan tradisi yang berputar, maka kini kata yang sama dipahami keterputusan dalam kesinambungan (break in continuity).

Artinya, revolusi adalah perubahan mendasar yang menandakan perbedaannya dari gagasan masa lalu.

Paradigma ini juga yang digunakan dalam wacana sosial-politik. Meski demikian, revolusi masih bernada damai, jauh dari teror. Hingga meletuslah Revolusi Prancis tahun 1789 yang mengubah mindset revolusi menjadi sebentuk upaya kekerasan untuk mencapai perubahan. Makin mendapatkan tempatnya ketika revolusi digunakan oleh gerakan komunis untuk mengubah tatanan dunia yang cenderung kapitalis. Dari sejarah singkat penggunaan istilah revolusi tersebut, ada tiga poin penting yang dapat menjadi pelajaran kemanusiaan.

Pertama, revolusi berkaitan dengan nilai mendasar yang hendak diubah. Makin kuat nilai itu menghunjam dalam kesadaran sosial, kian hebat gerakan revolusi yang bisa dihasilkan. Negara ini pernah mengalaminya. Tahun 1998 menandai semangat perubahan yang mendasar. Ketika masyarakat sudah jenuh dengan praktik korupsi dan nepotisme yang mengakar bersanding dengan sikap otoritarianisme sang pimpinan.

Puluhan tahun rakyat ditindas dengan asas ketundukan. Nilai keadilan dan kesetaraan pun kian dirindukan. Sama seperti yang terjadi di Pati hari ini. Ketika rakyat sudah muak dengan akrobat politik pejabat yang nir-empati, di situlah semangat revolusi bergema.

Perubahan adalah keniscayaan. Meski perubahan itu terjadi, sebenarnya tak ada perubahan yang berangkat dari nol. Di situlah tradisi masa lalu akan bermain. Ini poin kedua dari hakikat revolusi.

Perubahan berangkat dan berawal dari sejarah. Manusia seharusnya mengambil pelajaran dari masa lalu untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ketika perubahan itu terjadi hanya berganti sosok, sementara kelakuannya sama, maka belumlah terjadi revolusi. Hakikat revolusi adalah perubahan yang mendasar. Mengganti struktur yang bobrok dengan nilai keluhuran yang mengakar. Pun revolusi tidak selalu mencabut tradisi, yang diubah adalah yang buruk, sementara yang baik terus dipertahankan. Bahkan revolusi juga bisa mengembangkan satu praktik yang sudah ada.

Inilah yang digunakan oleh Hassan Hanafi dalam buku “Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah”, dari akidah ke revolusi. Hassan Hanafi mengajak umat beragama untuk memahami teologi tidak sebatas ketuhanan, tetapi juga keadilan.

Ia mengkritik pelajaran ilmu kalam yang sebatas mendebatkan atribut keilahian. Ia juga memperluas kajian akidah pada gerakan revolusi. Ajaran agama seharusnya menjadi semangat pembebasan pada kelompok yang tertindas. Apa yang dilakukan oleh Hassan Hanafi, dan banyak filsuf lainnya, adalah revolusi yang bersifat paradigmatik atau yang disebut oleh Thomas Kuhn dengan istilah shifting paradigm. Idealnya, berangkat dari paradigma menghasilkan revolusi tindakan: perubahan nilai sosial, ekonomi, politik.

Ketiga, untuk melakukan perubahan tersebut, dibutuhkan waktu. Bisa cepat atau lambat. Kata kunci revolusi bukan pada sifatnya yang cepat, tetapi nilai dan sistem yang diubah. Makin mendasar, kian kuat revolusi mengakar. Semua itu adalah potret revolusi sosial dalam skala nasional maupun regional. Namun, sebelum mencapai gejolak komunal, revolusi harus mengakar dalam jiwa individual. Dari gerakan personal menuju tuntutan sosial. Makin banyak orang yang gelisah dan marah dengan keadaan, kian tersulutlah gerakan perubahan.

Selain soal revolusi, apa yang dilakukan oleh warga Pati adalah contoh konkret solidaritas sosial. Mereka bekerja sama, saling membantu dan mendukung untuk melakukan aksi. Ada yang membantu dana, tenaga dan kekuatan media. Solidaritas adalah pupuk untuk memperbesar gerakan revolusi.

Karenanya, dari masyarakat Pati kita belajar untuk terus merawat keresahan. Sikap apatis dan cuek bukan lagi jalan untuk mempertahankan kehidupan. Justru meningkatnya rasa cuek dan abai masyarakat akan membuat pejabat kian mudah mempermainkan kebijakan.

Bagi mereka yang hari ini diberikan amanah untuk memimpin, fenomena di Pati perlu menjadi alarm keras. Ketika mereka tak becus menjabat, rakyat bisa turun menggugat, bersatu dalam solidaritas yang kuat.

 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini

Demonstrasi Pati: Luka Mendalam di Bulan Kemerdekaan

Agustus selalu identik dengan semangat kemerdekaan. Setiap sudut kota dihiasi bendera merah putih, lagu-lagu nasional berkumandang, dan masyarakat disibukkan dengan perayaan. Namun, di balik euforia itu, sebagian warga mengalami realitas yang jauh dari kata merdeka.

Pada 13 Agustus 2025, ribuan warga Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Demonstrasi ini menjadi sorotan nasional dan viral di media sosial, tetapi di balik itu, kelompok marginal merasakan luka yang lebih mendalam daripada sekadar kerusuhan jalanan.

Data dari Polda Jawa Tengah mencatat 34 orang mengalami luka-luka selama aksi, meski isu adanya korban tewas segera dibantah. Angka ini mungkin terlihat sebagai catatan statistik, tetapi bagi kelompok perempuan, penyandang disabilitas, dan warga miskin, pengalaman menghadapi ketidakadilan jauh lebih kompleks. Mereka bukan hanya menghadapi risiko fisik di jalanan, tetapi juga realitas sosial yang membatasi akses terhadap hak dasar, kesempatan ekonomi, dan perlindungan hukum.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah 2024, sekitar 15 persen perempuan di wilayah tersebut mengalami kesulitan akses pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi. Sementara itu, penyandang disabilitas menghadapi tantangan ganda: keterbatasan fisik dan minimnya perhatian kebijakan publik terhadap kebutuhan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas di Indonesia sering mengalami diskriminasi ganda, baik secara sosial maupun politik, sehingga akses mereka terhadap partisipasi demokrasi terbatas (Ruslin, Alamsyah, & Wulandari, 2024).

Demonstrasi di Pati, meskipun sah secara hukum, memperlihatkan paradoks kemerdekaan ini. Mereka yang memiliki akses transportasi, informasi, dan waktu lebih luang mampu hadir dan menyuarakan tuntutannya, sedangkan kelompok marginal seringkali tersisih.

Selain itu, demo ini menyoroti kesenjangan dalam representasi dan partisipasi sosial. Perempuan dan penyandang disabilitas, yang seharusnya menjadi bagian integral dari proses demokrasi, sering tidak terlihat dalam pengambilan keputusan. Aspirasi mereka jarang dipertimbangkan dalam kebijakan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan formal belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam kemerdekaan substantif, di mana setiap warga negara dapat merasakan haknya secara setara (Rahakbauw & Salakory, 2017).

Kebijakan publik yang tidak inklusif terhadap kelompok marginal mencerminkan ketimpangan struktural yang lebih luas. Dalam konteks masyarakat adat, buku Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat menekankan bahwa budaya dan tradisi sering memperburuk eksklusi sosial terhadap perempuan penyandang disabilitas (Sasmitha & Zubaedah, 2017).

Mereka menghadapi hambatan ganda: diskriminasi berdasarkan gender dan keterbatasan fisik, yang membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi penuh dalam proses sosial maupun politik. Dalam konteks demonstrasi, hal ini membuat kelompok marginal sulit menyuarakan hak-haknya, meski aspirasi mereka sama sahnya dengan warga lainnya.

Lebih jauh, demonstrasi Pati juga menjadi cermin bagaimana media dan opini publik membentuk persepsi tentang legitimasi aksi. Media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, namun sering kali narasi yang dominan menekankan kerusuhan, massa, atau konflik dengan aparat, sementara pengalaman kelompok marginal nyaris hilang.

Ketidakmerataan representasi ini menambah luka psikologis, karena aspirasi dan hak mereka tidak diakui secara serius oleh publik maupun pembuat kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak hanya soal hak formal, tetapi juga soal pengakuan dan representasi yang adil dalam ruang publik.

Konteks ini membuka ruang refleksi yang lebih luas menjelang Hari Kemerdekaan. Merdeka bukan sekadar hak formal yang tercatat dalam undang-undang. Merdeka berarti setiap warga negara dapat menikmati hak dasar secara setara, akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan hukum. Demonstrasi publik, kebijakan pemerintah, dan peran media sosial harus menjadi sarana untuk memperkuat keadilan dan inklusi, bukan justru memperdalam ketimpangan. Jika hak-hak kelompok marginal tetap diabaikan, perayaan kemerdekaan hanya menjadi simbol kosong tanpa makna substansial bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.

Fenomena di Pati menunjukkan bahwa luka mendalam di bulan kemerdekaan bukan sekadar luka fisik akibat demonstrasi. Lebih dari itu, ini adalah luka sosial, politik, dan psikologis bagi mereka yang selama ini tidak memiliki akses setara dalam kehidupan bernegara.

Kemerdekaan nasional harus diterjemahkan ke dalam pengalaman nyata yang inklusif, di mana suara marginal didengar, hak-hak mereka dihormati, dan kesetaraan benar-benar dijalankan. Hanya dengan demikian, kemerdekaan tidak lagi menjadi simbol semu, melainkan pengalaman yang dirasakan oleh seluruh warga, tanpa terkecuali.

Selain itu, perlunya reformasi kebijakan publik yang inklusif menjadi semakin jelas. Setiap keputusan pemerintah, mulai dari pajak hingga alokasi fasilitas publik, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok marginal. Perempuan penyandang disabilitas, misalnya, sering kali menghadapi hambatan akses fisik dan sosial yang membuat mereka sulit ikut serta dalam proses sosial maupun politik. Buku Sasmitha & Zubaedah (2017) menggarisbawahi bahwa kelompok ini membutuhkan perlindungan tambahan agar kesetaraan substantif dapat tercapai, bukan sekadar formalitas hukum.

Lebih jauh lagi, pendidikan publik tentang inklusi sosial dan kesetaraan gender menjadi penting untuk membangun budaya demokrasi yang benar-benar merata. Ketimpangan akses pendidikan dan informasi memperkuat siklus marginalisasi. Jika kelompok marginal tidak memiliki ruang untuk didengar, demokrasi itu sendiri menjadi cacat. Demonstrasi Pati, meski berhasil menarik perhatian media, tetap menyisakan pertanyaan besar: seberapa jauh suara kelompok yang paling rentan didengar dan diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan?

Akhirnya, luka mendalam di bulan kemerdekaan harus dipahami sebagai refleksi nyata dari ketimpangan sosial yang masih terjadi. Demonstrasi bukan sekadar aksi jalanan, tetapi panggilan bagi pemerintah dan masyarakat untuk menegakkan keadilan sosial, inklusi, dan kesetaraan. Kemerdekaan sejati baru akan tercapai ketika semua warga, terutama yang selama ini marginal, benar-benar merasakan haknya, tanpa terkecuali. Dengan demikian, perayaan kemerdekaan bukan hanya simbol nasional, tetapi juga cerminan keadilan yang nyata di tengah masyarakat.

 

Referensi

BPS Jawa Tengah. (2024). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Tahun 2024 Provinsi Jawa Tengah. https://jateng.bps.go.id

Ruslin, I. T., Alamsyah, A., & Wulandari, N. (2024). Sosialisasi politik pada perempuan disabilitas: Suatu perspektif collaborative governance. Vox Populi: Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 7(2), 109–127. https://tes-ojs.uin-alauddin.ac.id/index.php/voxpopuli/article/download/52502/21146

Rahakbauw, N., & Salakory, D. M. (2017). Perlindungan sosial bagi perempuan disabilitas: Studi di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maluku. Aristo: Jurnal Sosial dan Humaniora, 6(1), 145–163. https://www.researchgate.net/publication/322017224

Sasmitha, T., & Zubaedah, A. (2017). Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat. Lembaga SAPDA.