Pos

Bangkitnya Jihadis Perempuan

Atas nama jihad dan khilafah, perempuan memutuskan jadi martir. Faktor pendorongnya mulai dari ideologi sampai urusan dapur.

tirto.id – Ledakan bom menimpa tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) pagi. Sejauh ini, menurut data Polda Jawa Timur, insiden tersebut menewaskan 14 orang dan 43 orang luka-luka.

Jumlah korban tersebut merupakan angka total dari tiga lokasi terjadinya ledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan GPPS Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno.

Kapolri Tito Karnavian menyatakan pelaku aksi terorisme di Surabaya merupakan satu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan empat orang anak (dua laki-laki, dua perempuan).

“Tim sudah bisa mengidentifikasi pelaku. Pelaku diduga satu keluarga yang melakukan serangan. Seperti di Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno yang menggunakan mobil Avanza diduga adalah bapaknya bernama Dita Prianto,” sebut Kapolri di Rumah Sakit Bhayangkara Mapolda Jawa Timur.

Ditambahkan oleh Kapolri, Dita Prianto terlebih dahulu menurunkan istri yang bernama beserta dua anak perempuan bernama Fadila Sari (12) dan Pamela Riskita (9), di dekat GKI yang terletak di Jalan Diponegoro.

Sedangkan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela adalah dua orang laki-laki yang diduga juga anak Dita Prianto bernama Yusuf Fadil (18 tahun) dan Firman Halim (16 tahun).

Dita Prianto, meletakkan bom di dalam mobilnya, kemudian menabrakkan mobilnya ke Gereja Pantekosta. Lalu, ledakan di GKI Jalan Diponegoro dilakukan oleh istri Dita bersama dua orang anak perempuannya yang membawa bom di pinggang ketiganya.

Aksi keluarga ini disinyalir kuat tak lepas dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang merupakan pendukung utama ISIS di Indonesia pimpinan Aman Abdurahman.

Perempuan dalam Pusaran Teror

Keterlibatan perempuan dalam ledakan di tiga gereja Surabaya menambah daftar kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia. Pada 2016, misalnya, Densus 88 menangkap perempuan bernama Dian Yulia Novi yang berencana melancarkan aksi teror.

Dian hendak meledakkan diri di Istana Kepresidenan Indonesia sebagai bentuk “jalan jihadnya akan agama.” Ia terpapar doktrin ekstremisme secara daring dan kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Negara Islam (ISIS) di bawah komando Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang kerap mengklaim mewakili ISIS di Indonesia.

Sebagaimana dikisahkan dalam laporan TIME berjudul “ISIS Unveiled: The Story Behind Indonesia’s First Female Suicide Bomber,” Dian mulanya adalah pekerja migran di Singapura. Ia pindah ke Taiwan dan bekerja di panti jompo. Di tempat barunya, Dian memperoleh gaji tinggi kendati jam kerjanya kadang tak manusiawi. Bosnya juga toleran dengan penampilan Dian yang sehari-harinya memakai niqab.

Di tengah-tengah pekerjaannya, Dian ternyata juga aktif memantau akun-akun penyebar semangat jihad, dan menjalin komunikasi bersama orang-orang berideologi ekstremis. “Aku ingin tahu tentang beberapa akun yang kerap posting soal jihad. Jadi, aku stalking mereka dan seringkali mengirim pesan. Beberapa dari mereka ada yang menjawab pesanku, ada juga yang tidak,” akunya.

 

Aktivitas daring Dian untuk menemukan makna “jihad” kian intensif sampai akhirnya ia berkenalan dengan simpatisan ISIS dari Indonesia bernama Nur Solihin—yang direkrut dan jadi anak didik Bahrun Naim.

Keduanya lantas berkomunikasi lewat Telegram yang sudah dienskripsi. Tak lama kemudian, Dian dan Solihin memutuskan menikah dan menjadi pasangan pelaku bom bunuh diri. Pernikahan mereka, aku Dian, “bukan karena kekhalifahan tetapi didorong semangat berjihad.”

Mereka pun langsung merencanakan aksi teror. Sasaran yang dituju: Istana Kepresidenan. Jika aksi mereka berhasil, Dian akan berstatus “pelaku bom bunuh diri perempuan pertama di Indonesia.” Beruntung aksi tersebut dapat digagalkan. Polisi sukses meringkus mereka di Bekasi, Jawa Barat.

“Dalam Islam, pria dan perempuan [memang] berbeda,” katanya kepada TIME dalam wawancara di penjara Kelapa Dua, Depok. “Tapi, sekarang, jihad adalah wajib bagi semua Muslim, seperti halnya ketika kita berdoa. Setiap orang harus melakukan jihad.”

Ia menekankan bahwa jika laki-laki saja bisa mengobarkan jihad, perempuan juga bisa melakukan hal yang sama.

 

Selang beberapa waktu usai Dian ditangkap, polisi kembali meringkus perempuan lain bernama Ika Puspitasari yang berencana meledakkan diri di Bali pada malam tahun baru 2016. Ika, yang juga mantan pekerja migran di Hong Kong, ditangkap Densus 88 di Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo saat sedang mempersiapkan kegiatan Maulid Nabi.

Ihwal fenomena ini, Direktur Pelaksana Yayasan Prasasti Perdamaian, Siti Darojatul, mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi teror digunakan untuk “membangkitkan semangat jihadis laki-laki.”

“ISIS memanfaatkan perempuan sebab mereka ingin menunjukkan kepada para laki-laki, jika perempuan saja bisa dan berani melakukan jihad, bagaimana dengan kalian?” jelasnya.

“Mungkin ada banyak ‘Dian Yulia Novi’ yang tersebar di seluruh Indonesia. Kami tidak tahu cara mendekati mereka karena kebanyakan dari mereka tidak termasuk kelompok mana pun.”

Sementara itu, Solahudin peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, menjelaskan keterlibatan perempuan dalam terorisme merupakan hal baru di Indonesia. Pihak yang mempeloporinya, menurut Solahudin, adalah Bahrun Naim, pemimpin militan ISIS di Indonesia.

Senada dengan Siti, Solahudin yang juga menyusun buku Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia (2017), menyatakan bahwa Bahrun Naim mengajak perempuan untuk melakukan aksi “jihad” karena tidak banyak laki-laki yang mau.

 

Infografik Jihadis garis keras perempuan

Peran Penting Perempuan

Keterlibatan perempuan dalam ledakan bom bunuh diri di Surabaya seperti hendak menegaskan bahwa mereka (perempuan) semakin punya peran penting dalam gerakan ekstremisme dan aksi terorisme di Indonesia.

Laporan berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” (PDF, 2017) yang dipublikasikan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperlihatkan peran perempuan dalam gerakan ekstremisme-terorisme di Indonesia terus berkembang selama kurun waktu empat dekade terakhir.

Sidney Jones, Direktur IPAC, dalam wawancaranya bersama Tempo, pernah menyatakan perempuan tak lagi melihat dirinya “sebagai sekadar istri, ibu, atau ustazah, melainkan juga sebagai kombatan.”

Laporannya IPAC membagi empat jenis perempuan ekstremis di Indonesia. Masing-masing dari mereka punya tugas dan kerja seperti mengelola forum percakapan daring, mengumpulkan dana, merekrut anggota, sampai menjadi tandem pasangan pelaku bom bunuh diri.

Empat kategori tersebut antara lain pekerja migran yang mencari uang di Hong Kong, Taiwan, sampai Timur Tengah. Mereka yang masuk dalam kategori ini, seperti halnya Ika dan Dian, dianggap punya kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa asing yang baik untuk menjalin kontak dengan jaringan global.

Selanjutnya perempuan yang bergabung ISIS bersama keluarga mereka. Lalu, ada pula kategori perempuan yang tujuannya berangkat ke Suriah tapi malah diringkus di Turki dan dikembalikan ke Indonesia. Terakhir, perempuan yang berada di bawah komando kelompok radikal-militan lokal macam Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah.

Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama Foundation, dalam “Why do Indonesian Women Join Radical Groups?” menjelaskan ada dua konteks yang menyertai keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia.

 

Pertama, tulis Lies, para perempuan ini percaya pada gagasan kekhilafahan; baik sebagai kewajiban atau syariat dan sebagai solusi-jawaban atas kesenjangan sosial-ekonomi. Banyak dari mereka yang bergabung dengan kelompok teroris karena mereka peduli isu-isu tentang ketidaksetaraan, penderitaan, dan ketidakadilan, di samping juga merasa kecewa terhadap pemerintah yang dinilai tak mampu mengentaskan kemiskinan.

Namun, alih-alih mengambil jalur politik, para perempuan ini malah bergabung dengan kelompok teroris yang percaya semua masalah di atas dapat diselesaikan dengan kekerasan.

Kedua, ialah tentang pandangan masyarakat—terutama Muslim konservatif—yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Didorong perlakuan semacam itu, para perempuan ini lalu beralih ke kelompok radikal-fundamentalis yang mereka nilai “menjunjung kesetaraan” serta “mengakui kontribusi perempuan dalam upaya mewujudkan khilafah di dunia.”

Padahal kenyataannya, kelompok radikal-fundamentalis pun sangat patriarkis. Mereka mereduksi dan menyempitkan makna jihad berdasarkan gender. Laki-laki dengan tugasnya berperang di medan pertempuran. Sementara jihad perempuan dimaknai sebatas hanya melahirkan anak yang kelak dianggap jadi “prajurit Tuhan” serta melayani kebutuhan (fisik & non-fisik) para pria di kelompok tersebut.

Namun, karena gerakan radikal-fundamentalis memberi pemahaman idelogis kepada perempuan bahwa apa yang mereka lakukan adalah “jalan perjuangan untuk Tuhan,” maka perempuan ini tak sedikitpun berkeluh kesah. Melahirkan anak hingga melayani kebutuhan biologis para pria pun dianggap sebagai “jalan jihad” dan mereka bangga melakukannya.

Lewat “Probabilitas Teroris Perempuan di Indonesia” (2010) yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Endy Saputro menyatakan pemerintah tak boleh menutup mata akan latarbelakang persoalan yang menyebabkan perempuan bergabung dengan kelompok teroris.

Kesenjangan ekonomi, kemiskinan, serta lapangan pekerjaan yang sedikit harus diperhatikan dengan betul. Cara yang ditempuh bisa macam-macam. Mulai dari pelatihan sampai penyediaan program untuk menopang perekonomian keluarga mereka. Meskipun dalam kasus bom gereja di Surabaya, yang melibatkan Puji Kuswati, persoalan latar ekonomi jadi tak relevan lagi.

Jika tidak, bukan tidak mungkin, para perempuan—terlebih yang suaminya meninggal karena bom bunuh diri—bakal memilih untuk menyusul sang suami dengan cara serupa.

Penanganan terorisme memang butuh waktu yang lama dan kesabaran. Terorisme adalah perkara yang kompleks dengan banyak faktor pemicu. Mulai dari negara, ideologi, sampai urusan dapur. Pemerintah dan pihak terkait terus diharapkan untuk menempuh langkah-langkah yang jeli dan terukur agar perilaku biadab yang menghabisi manusia-manusia tak berdosa ini tak terulang di kemudian hari.

Sumber: https://tirto.id/bangkitnya-jihadis-perempuan-cKnp
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf

Menalar Peran Teroris Perempuan di Balik Bom Bunuh Diri Surabaya

KOMPAS.com – Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya kemarin menunjukkan perempuan berperan aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku, menurut Lies Marcoes, Pemerhati isu gender dan radikalisme, Rumah Kita Bersama.
“Saya yang menguatkan suami untuk berjihad dengan ikut ISIS di Suriah. Saya bilang ‘jangan takut soal Umi dan anak-anak, rezeki Allah yang atur’. Saya bilang ke suami ‘Izinkan Umi dan anak-anak mencium bau surga melalui Abi, semoga Abi selamat. Tapi kalau tidak, saya ikhlas, saya bersyukur karena dengan suami menjadi syahid, saya dan anak-anak akan terbawa ke surga”.
Ditemui peneliti Center for the Middle East and Global Peace Studies UIN Jakarta, dalam suatu rapat akbar organisasi di Jakarta Barat dua tahun lalu, perempuan separuh baya ini dengan sangat tenang menjelaskan cara berpikirnya tentang jihad dan pengorbanan perempuan. Menurutnya lelaki kadang “kurang kuat iman” untuk ikut berjuang karena memikirkan urusan dunia. Urusan dunia yang dimaksud yakni perasaan berat meninggalkan istri dan anak-anak, sementara ia mati sendirian di medan perang.

Dalam testimoni di atas, perempuan meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. Tentu saja peran itu penting tetapi mereka sendiri belum atau tidak terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Belakangan, seperti dalam kasus calon bom panci yang melibatkan perempuan Dian Yulia Novi, orang mulai menimbang peran perempuan dalam gerakan radikal teroris.
Namun berbeda dengan yang baru saja terjadi di Surabaya (13/5/2018 dan 14/5/2018). Jika kita hubungkan testimoni di atas dengan peristiwa bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, melibatkan empat anak mereka (dua remaja lelaki dan dua anak perempuan di bawah umur), kelihatannya telah terjadi perubahan besar dalam pelibatan keluarga dalam aksi teror.
Seperti tertera dalam kutipan di atas, perempuan berperan sebagai pendorong. Sementara dalam kasus Dian Yilia ia menjadi pelaku aktif namun sedirian dan keburu ditangkap sebelum melancarkan serangan bom. Ini berarti perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak-anak mereka untuk terlibat dalam serangan maut itu. Kita bisa saja membuat hipotesa, prakarsa melancarkan aksi bom bunuh diri ini kemungkinan datang dari sang suami, Dita Oepriarto mengingat ia adalah salah satu tokoh organisasi Jemaah Anshorut Daulah (JAD).
Namun jika sang istri keberatan atau menolak pandangan dan prakarsa suaminya, ceritanya akan berbeda. Atas peristiwa itu, menghitung peran dan pengaruh ibu (perempuan) dalam gerakan radikal tak bisa lagi diabaikan. Dalam pendekatan keamanan, peran itu telah dikenali namun sering dianggap kecil, dibandingkan dengan perhatian kepada peran lelaki sebagai pelaku teror. Kajian yang telah melihat keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal nampaknya harus menjadi referensi utama.

Alasan perempuan terlibat dalam aksi radikal
Dalam tulisan saya di Indonesia at Melborne (26 November 2015) “Why do women joint radical groups” saya menjelaskan tesis keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris.

Pertama, perempuan adalah kelompok yang memiliki keinginan, untuk tidak dikatakan punya agenda, untuk ikut terlibat dalam apa yang diyakini sebagai perjuangan melawan kezaliman dan kemunkaran kepada Allah. Ini berkat kegiatan mereka seagai peserta aktif pengajian di kelompok-kelompok radikal itu. Mereka menjadi ‘penerjemah’ langsung dari konsep jihad dalam teori dan diubah menjadi praktik.
Namun dalam dunia radikalisme terdapat pemilahan peran secara gender di mana ‘jihad qital’/jihad kabir (maju ke medan tempur- jihad besar) hanya pantas dilakukan oleh lelaki karena watak peperangan yang dianggap hanya cocok untuk dunia lelaki. Dengan dasar peran itu, mereka menempatkan diri sebagai pendorong dan penguat iman suami.
Kedua, dalam konsep kaum radikal terdapat dua tingkatan jihad yaitu jihad kecil dan jihad besar. Jihad besar merupakan pucak dari pengorbanan seorang manusia dengan pergi ke medan tempur dan mati sebagai syuhada, martir.
Namun, karena terdapat pemilahan peran secara gender, otomatis hanya lelaki yang punya tiket maju ke medan tempur, sementara istri hanya kebagian jihad kecil, seperti menyiapkan suami atau anak lelaki maju ke medan tempur. Jihad kecil lainnya adalah mempunyai anak sebanyak-banyaknya, terutama anak lelaki- jundi- yang kelak siap menjadi jundullah -tentara Tuhan. Dalam percakapan antar mereka, memiliki jundi merupakan sebuah kebanggaan, “sudah berapa jundi ukhti”- sudah berapa calon tentara Tuhan yang kamu miliki”?
Ketiga, sebagaimana umumnya dalam organisasi keagamaan, secara umum peran perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya tidak utama dan bukan sentral. Namun peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk korban jiwa dan raga. Pengakuan peran ini merupakan salah satu kunci penting dalam mengenali keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Dorongan untuk menjadi terkenal kesalehannya, atau keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apatah lagi untuk ikut berjihad. Dalam perkembangannya, menjalani jihad kecil sebagai penopang dalam berjihad tak terlalu diminati, utamanya oleh kalangan perempuan muda yang merasa punya agenda untuk ikut berjuang dengan caranya.

Dan seperti kita saksikan, di sejumlah negara, perempuan muda menghilang dari keluarga dengan alasan yang mengejutkan. Mereka meninggalkan rumah untuk bergabung dengan kelompok teroris dengan ideologi agama, seperti ISIS atau menikah dengan lelaki yang menjadi bagian dari kelompok itu. Jika tidak ikut berjihad mereka punya cara sediri untuk melakukannya di negara mereka sendiri.
Hal ini bisa dilihat dalam kasus Hasna Aitboulahcen, perempuan pertama pelaku bom bunuh diri di Saint- Denis Perancis beberapa tahun lalu. Sebelumnya Hasna tidak dikenal sebagai sebagai perempuan alim, malah sebaliknya ia dianggap perempuan “bebas”. Namun entah bagaimana setelah berkenalan dengan seseorang yag mengajaknya bertaubat dan ‘berhijrah,’ ia kemudian dikenali jadi sangat salih, mengenakan hijab, rajin beribadah, dan hanya butuh satu bulan baginya untuk kemudian tewas bersama bom yang ia ledakkan sediri. Hasna diajak seseorang namun ia tak mengajak siapa-siapa.
Namun, lihatlan apa yang terjadi kepada sebuah keluarga Indonesia, seorang suami, istri, termasuk balita, bayi dan seorang perempuan hamil, menyelinap keluar dari kelompok tur mereka di Turki dan menyeberang ke Suriah di bulan Maret 2015. Pakar terorisme Indonesia Sidney Jones mengatakan bahwa penelitiannya telah mengidentifikasi sekitar 40 perempuan Indonesia dan 100 anak-anak di bawah 15 tahun berada di Suriah, sebagian merasa terjebak oleh ajakan untuk berjihad sebagian lain memang berkesadaran penuh menjadi bagian dari ISIS.
Keterlibatan perempuan dalam bom Surabaya
Dari fenomena bom Surabaya, agaknya, analisis soal keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal tak bisa lagi dilihat sekedar catatan kaki. Terlebih karena keterlibatan itu tak lagi bersifat individual sebagai hasrat untuk diakui dalam kelompok radikal sebagai perempuan pemberani, melainkan karena peran tradisonalnya sebagai istri dan ibu yang memiliki kekuatan nyata untuk melibatkan suami dan anggota keluarga sebagai pelaku teror dan kekerasan.
Perhatian kepada perempuan tak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pedamping dan pendukung radikalisme melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. Mereka tak sekadar memiliki impian untuk mencium bau surga melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menalar Peran Teroris Perempuan di Balik Bom Bunuh Diri Surabaya”, https://sains.kompas.com/read/2018/05/14/175700923/menalar-peran-teroris-perempuan-di-balik-bom-bunuh-diri-surabaya.

Editor : Gloria Setyvani Putri

Perempuan dan anak mulai ambil peran jadi pelaku utama aksi teror di Indonesia

Tiga keluarga terlibat dalam aksi teror di Jawa Timur dalam dua hari pada pekan ini. Pelibatan istri dan anak-anak dibawah umur dalam aksi bom bunuh diri menjadi modus baru dan semakin memperkuat peran perempuan dalam aksi terorisme.

Pemerhati isu gender dan radikalisme, Lies Marcoes, memandang fenomena bom Surabaya yang melibatkan satu keluarga: suami, istri dan anak-anaknya membuktikan peran perempuan dalam gerakan radikal tak lagi bersifat individual, melainkan sebagai pelaku utama yang memiliki kekuatan untuk melibatkan anaknya sebagai pelaku teror dan kekerasan.

“Mereka tak sekadar memiliki impian untuk ‘mencium bau surga’ melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan,” ujar Lies Marcoes.

Memang, pelibatan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri bukan kali pertama. Namun, Kapolri Jenderal Tito mengungkapkan ini untuk pertama kalinya anak di bawah umur menjadi pelaku bom bunuh diri.

“Ini baru pertama kali di Indonesia, anak umur sembilan dan 12 tahun, dilengkapi dengan bom pinggang dan kemudian melakuan bunuh diri,” ujar Tito dalam konferensi pers yang digelar Senin (14/05) pagi.

Pernyataan Tito merujuk pada aksi satu keluarga yang melakukan aksi teror bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, sehari sebelumnya.

Terduga pelaku, Dita melibatkan istrinya serta empat orang anaknya -dua di antaranya dua bocah perempuan berusia sembilan dan 12 tahun, menjadi pengebom bunuh diri di gereja Santa Maria Tak Bercela, gereja Pantekosta dan gereja GKI Diponegoro.

Semuanya mati seketika.

Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur

 

Malam harinya, terjadi ledakan di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur, yang juga melibatkan satu keluarga. Sang kepala keluarga, Anton, sedang memegang alat pemicu bom saat polisi mendatangi unit kamar mereka.

Dia ditembak mati petugas, sementara istri dan seorang anaknya tewas terlebih dulu akibat ledakan.

Tiga anaknya yang lain ditemukan polisi dalam kondisi selamat dan dirawat di RS Siti Khodijah.

Sidoarjo

 

Keesokan harinya, Seorang bocah perempuan berdiri sempoyongan di dekat bom yang baru saja meledak di Mapolrestabes Surabaya pada sekitar pukul 09:00 WIB.

Bocah berusia delapan tahun ini adalah anak dari pelaku bom bunuh diri yang terpental dari sepeda motor yang dikendarai orang tuanya.

Sementara empat anggota keluarga dari bocah itu tewas seketika.

 

Polrestabes Surabaya

 

Pengamat Terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, menyebut pelibatan langsung anak-anak dalam aksi jihad dilakukan untuk ‘mengecoh’ aparat keamanan.

“Baru sekarang ini anak-anak dibawa langsung untuk dilibatkkan dalam perang, dalam serangan untuk mengecoh atau pun mengalihkan perhatian dari orang-orang,” tutur Al Chaidar.

Dengan begitu, mereka menjadi lebih mudah untuk masuk ke lokasi yang menjadi target bom bunuh diri mereka.

 

Penelitian yang dilakukan Institute for Policy of Conflict (IPAC) tahun lalu menunjukkan perempuan Indonesia mulai mengambil peran dalam tindak ekstrimisme dan radikalisme, bahkan beberapa dari mereka ingin menjadi pembom bunuh diri.

Fenomena itu muncul setelah dua perempuan ditangkap pada Desember 2016 karena diduga berafiliasi dengan Negara Islam (ISIS) dan bersedia menjadi pelaku bom bunuh diri.

Mereka adalah Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari – kedunya adalah mantan buruh migran di luar negeri.

dian

 

Dian disiapkan menjadi pembom bunuh diri di sekitar Istana Kepresidenan, sedangkan Ika dilaporkan akan melakukan aksi bom bunuh diri di Bali. Namun, keduanya keburu ditangkap polisi meski urung melakukan aksinya.

Selain itu, polisi juga menangkap Tutin Sugiarti, seorang penjual obat-obatan herbal dan terapis pengobatan Islam, diduga memfasilitasi perkenalan Dian dengan pimpinan sel ISIS.

Arinda Putri Maharani – istri pertama Muhammad Nur Solihin, tersangka otak pelaku bom panci yang menurut polisi disiapkan untuk diledakkan Dian – istri kedua Solihin, juga ditangkap.

 

Tito Karnavian

 

Tetapi rencana meledakkan bom bunuh diri gagal dilaksanakan karena polisi lebih dulu membongkar rencana mereka dengan melakukan penangkapan dalam penggerebekan di kawasan Bekasi, Jawa Barat.

Menurut peneliti IPAC, Nava Niraniyah, penangkapan empat perempuan itu memberikan gambaran yang berbeda terkait peran wanita dalam gerakan radikalisme.

Jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI) melarang perempuan ikut berperang karena kelompok ini lebih mengedepankan perempuan sebagai ibu dan pendamping pria di medan perang.

“ISIS lebih mudah memberikan misi-misi umum, dan perempuan bisa lebih menyatakan aspirasinya di sosial media. ISIS melihat ini sebagai peluang karena perempuan sulit untuk dicurigai aparat,” tulis Nava dalam laporannya.

 

Gereja

 

Pengamat Terorisme Noor Huda menyebut pelibatan keluarga dalam aksi jihad ini sebagai ‘pendekatan yang super baru’.

“Memang [rasa] kekeluargaan ini yang menjaga mereka menjadi kuat,” cetusnya.

Bahwa satu keluarga saling mendukung dalam aksi terorisme, sudah acap kali dilakukan. Misalnya, dalam aksi teror bom Bali I yang dilakukan oleh kakak beradik Amrozi, Mukhlas dan Ali Imron

“Amrozi yang survei, Mukhlas yang menjadi panglima dan Ali Imron yang mengeksekusi. Tapi mereka tidak melakukannya dengan melibatkan perempuan dan anak,” jelas Noor Huda.

 

bom Bali I

 

Aksi teror sporadis yang terjadi di Jawa Timur yang masing-masing dilakukan oleh satu keluarga beserta anak-anak mereka yang masih dibawah umur, membuat Lies Marcoes memandang telah terjadi perubahan besar dalam pelibatan keluarga dalam aksi teror.

“Melibatkan anak-anak di bawah umur, menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. Kini perempuan menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak untuk menjadi pelaku,” ujar Lies.

Namun, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menganggap pelibatan langsung anak dibawah umur dalam aksi jihad tidak serta merta membuktikan bocah dibawah umur ini terdoktrinasi orang tuanya.

“Terkait dengan apakah anaknya terindoktrinasi atau tidak, butuh pendalaman lebih jauh. Dengan begitu maka kita bisa mendapatkan informasi yang akurat apakah anak ini melakukan keterlibatan aktif atau hanya dibawa [oleh orang tuanya],” jelas Susanto.

 

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44022494