Pos

PENGALAMAN RAMADHAN DI KAMPUNG

Oleh Dr. (HC). KH. As’ad Sa’id Ali

[Mantan Wakil Ketua Badan Intelejen Negara (BIN)]

 

“Yang jelas, ketika bulan Ramadhan tiba saya merasa senang sekali. Karena yang ada dalam bayangan saya, termasuk anak-anak kecil yang sebaya dengan saya, Ramadhan identik dengan keramaian. Dari dulu sampai sekarang suasana kampung di bulan Ramadhan menjadi lebih ramai dari biasanya. Ekonomi menjadi hidup. Kalau dalam bahasa sekarang, konsumsi menjadi semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari menu berbuka.”

 

 

Suasana Ramadhan

Saya dilahirkan dalam kondisi kampung yang sangat memprihatinkan. Fasilitas untuk memenuhi hajat sehari-hari sangat tidak memadai. Kakus saja jarang ada yang punya. Kalau orang mau buang ‘air besar’, orang kampung biasanya datang ke kali atau ke kebun. Karena waktu saya kecil memang banyak tanah yang tidak dikelola. Sehingga orang bebas buang ‘air besar’ tanpa ada yang menegur. Berbeda dengan sekarang, di mana tidak ada sejengkal pun tanah yang tidak dikelola. Tetapi kalau di dalam rumah saya, sejak sebelum saya lahir sudah ada yang namanya kakus. Bagi ayah saya, kakus adalah salah satu syarat kebersihan dan kesucian, khususnya dalam menjalankan ibadah shalat.

Terkait dengan pengalaman berpuasa, sejauh yang saya ingat, saya mulai berpuasa sejak umur 5 tahun, meskipun tidak penuh 30 hari. Saya baru bisa berpuasa penuh ketika saya berumur 10 tahun. Saya akan merasa sangat malu kalau tidak berpuasa penuh pada usia tersebut. Ibu selalu mengawasi saya dengan sangat ketat, karena beliau adalah seorang guru ngaji. Demikian juga ayah, yang secara detail mengamati tingkah laku saya saban hari di bulan Ramadhan. Sebagai orangtua keduanya bertanggungjawab dalam hal pendidikan anak-anaknya, terutama pendidikan keagamaan.

Ayah boleh sangat detail dan keras mengawasi saya, anaknya. Tetapi terhadap orang lain beliau cenderung bersikap longgar. Saya ingat, beliau dulu mempunyai pabrik pembuatan gula Jawa yang bahannya berasal dari perasan tebu. Untuk itu, beliau juga menanam tebu di sebuah lahan sawah yang telah dibelinya. Dengan ini, beliau bisa memberikan pekerjaan kepada para tetangga dan mengurangi angka pengangguran di kampungnya. Sebagian pekerja menangani produksi gula Jawa, sementara sebagian lainnya mengurusi perkebunan tebu. Ketika memasuki bulan Ramadhan, dan pada saat itu kebetulan sedang memasuki musim panen, para pekerja di kebun tebu dengan penuh semangat tetap bekerja menebang tebu di siang hari. Pekerjaan menebang tebu ini tentu saja banyak menguras tenaga mereka sehingga membuat mereka merasa letih dan akhirnya tidak berpuasa; mereka makan dan minum seperti biasanya pada saat bekerja.

Ayah saya bukannya tidak tahu, beliau jelas-jelas melihat mereka makan dan minum. Tetapi anehnya beliau membiarkannya saja. Karena merasa ada kejanggalan, saya pun memberanikan diri bertanya kepada beliau, “Ayah, maaf sebelumnya. Kenapa ayah membiarkan para pekerja itu tidak berpuasa? Bukannya puasa itu merupakan kewajiban?” Beliau menjawab, “Mereka itu sedang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri mereka di rumah. Ini juga merupakan kewajiban, karena menyangkut hajat dan kebutuhan keluarga mereka. Kalau dipaksakan berpuasa, dipastikan mereka tidak akan kuat saat bekerja. Dan kalau mereka tidak bekerja, mereka dan keluarga mereka tidak akan bisa makan. Jadi, biarkan saja mereka tetap bekerja meskipun tidak berpuasa. Tuhan Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya.” Demikianlah pandangan bijak dari ayah menyikapi nasib para pekerja di bulan Ramadhan.

Di kampung saya, menjelang Ramadhan ada tradisi memotong rambut (sampai gundul). Hal ini salah satunya adalah untuk mensucikan diri menyambut datangnya bulan penuh berkah itu. Saya sendiri pernah sekali potong rambut menjelang Ramadhan, namun pada tahun-tahun berikutnya ayah melarang saya melakukan itu. Alasannya karena proses pertumbuhannya memakan waktu yang sangat lama.

Di masa saya kecil dulu, ketika bulan Ramadhan semua sekolah diliburkan, mulai dari SD bahkan SMP. Salah satu pertimbangannya barangkali karena puasa itu berat, sehingga memerlukan pengurangan aktivitas. Namun, tidak berarti karena sekolah diliburkan saya lantas hanya berdiam diri di rumah tanpa kegiatan apapun. Pada bulan Ramadhan ayah selalu membawa saya ke Pondok Pesantren Salafiyah Kajen, pesantren milik saudara kandungnya, KH. Baidhawi Siradj, untuk bersilaturrahim.

Di sore hari, sehabis shalat Ashar, saya dulu bersama teman-teman sering kelayapan sampai ke Menara Kudus dengan berjalan kaki. Untuk sampai ke sana kami harus menempuh jarak sekitar 7 km selama kurang lebih 2 jam. Kami biasanya jalan-jalan ke pasar atau ke tempat-tempat yang menurut kami merupakan pusat keramaian.

Yang jelas, ketika bulan Ramadhan tiba, saya merasa senang sekali. Karena yang ada dalam bayangan saya, termasuk anak-anak kecil yang sebaya dengan saya, Ramadhan identik dengan keramaian. Dari dulu sampai sekarang suasa kampung di bulan Ramadhan menjadi lebih ramai dari biasanya. Ekonomi menjadi hidup. Kalau dalam bahasa sekarang, konsumsi menjadi semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari menu berbuka.

Untuk santapan buka, pastinya lebih banyak dan lebih variatif daripada di hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Setahun penuh orang-orang mengumpulkan uang seolah hanya untuk menyambut datangnya bulan suci itu. Momen puasa hanya sekali dalam setahun, makanya mereka menginginkan dalam momen itu sesuatu yang lebih daripada biasanya—keluar dari rutinitas sehingga dalam soal makanan pun harus berbeda. Kalau dalam keluarga saya, untuk makanan buka biasanya ada kurma, kue-kue, nasi, sayur asem, dan sop kebo (kerbau). Sebelum makan nasi terlebih dahulu kami makan kurma dan kue, juga meminum teh atau kopi. Kemudian shalat Maghrib, baru setelah itu makan nasi, sayur asem atau sop kebo.

Ada pertanyaan, kenapa di Kudus itu hanya ada sop kebo, bukan sop sapi? Karena masyarakat Muslim di Kudus masih memegang teguh tradisi tidak memotong sapi saat Idul Adha. Hal itu sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu ketika Sunan Kudus mengeluarkan fatwa kepada keluarga dan pengikutnya agar tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Sebab pada masa itu, mayoritas penduduk Kudus merupakan penganut Hindu. Umat Hindu meyakini sapi disucikan para dewa.

Sunan Kudus mengeluarkan fatwa itu untuk menghargai kepercayaan agama lain. Pada masa itu, sapi-sapi hanya diletakkan di sekitar masjid dan tidak ada yang disembelih. Sebagai gantinya, hanya kebo dan kambing yang dijadikan hewan kurban. Dengan cara tersebut, warga Hindu tidak merasa terhina dan tetap dihargai kepercayaannya. Pendekatan Sunan Kudus ini ternyata cukup efektif. Buktinya banyak penganut Hindu yang kemudian datang ke masjid untuk menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Bahkan banyak di antara mereka yang akhirnya memeluk Islam. Sebenarnya tidak ada larangan untuk menyembelih sapi dalam Islam sehingga sah-sah saja bagi warga Kudus untuk menyembelihnya. Namun warga Kudus tampaknya masih mengikuti fatwa Sunan Kudus. Bahkan, sejumlah perusahaan dan intansi pemerintahan juga menghindari menyembelih sapi.

Kemudian, sehubungan dengan tradisi lain di bulan Ramadhan, yang membuat Ramadhan berbeda menurut saya adalah shalat Tarawih. Sejak kecil, saya shalat Tarawih seperti yang dilakukan masyarakat NU pada umumnya, 20 rakarat ditambah shalat Witir 3 rakaat. Saya pernah mengikuti shalat Tarawih di sebuah masjid dengan hanya 8 rakaat, tetapi saya merasa tidak nyaman. Karena terlalu banyak ceramahnya, dan momennya memang banyak yang tidak pas. Sehingga membuat saya merasa bosan. Akhirnya, ketika waktu ceramah tiba saya langsung pulang dan melanjutkan shalat di rumah. Sampai sekarang saya masih konsisten dengan yang 20 rakaat. Hanya saja, kalau saya kebetulan melaksanakan shalat Tarawih di rumah, bacaan asesorisnya saya hilangkan. Seperti bacaan “fadhl-an min Allâh Ta’âla wa ni’mah”, itu saya ganti dengan shalawat.

Saya pernah berada di Saudi dan Damaskus, dan saya lebih memilih mengikuti shalat Tarawih yang 20 rakaat. Di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi saya lihat 20 rakaat. Kalau yang di luar dua masjid besar itu memang kebanyakan yang 8 rakaat. Begitupun di Suriah, saya lihat tidak ada yang 8 rakaat. Meskipun ada, tetapi itu tidak umum.

Saat saya masih kecil dulu, yang saya ingat, imam shalat Tarawih membaca surat-surat al-Qur`an cepat sekali. Tetapi memang berbeda-beda di setiap masjid. Seperti di Masjid Kudus, itu tidak cepat. Bahkan ada juga yang seperti di Masjid al-Haram yang bacaan al-Qur`annya sampai 1 juz. Tentu saja peminatnya sangat sedikit. Jadi, menurut saya, yang paling enak itu adalah yang tengah-tengah.

Sehabis shalat Tarawih ada kegiatan ngaji tadarus. Setelah itu saya tidak pulang ke rumah. Saya lebih nyaman tidur di masjid bersama teman-teman. Sewaktu masih di SD dan SMP, di bulan Ramadhan, kalau malam saya memang suka sekali tidur di masjid. Sekitar jam 12, ditandai dengan pemukulan bedug, kami mulai mengaji lagi secara bergilir dengan dipandu oleh seorang senior. Misalnya, kalau ngaji surat al-Baqarah berarti jam 12, kalau ngaji surat Ali ‘Imran berarti jam 1, dan seterusnya sampai waktu sahur. Jadi, kalau ada orang yang kebetulan lewat di depan masjid dan mendengar kami mengaji surat Ali ‘Imran, maka orang itu akan langsung tahu bahwa waktu itu masih jam 1. Hampir secara keseluruhan di wilayah Kudus dan Jepara dulu tradisinya seperti itu. Bagi anak-anak seperti saya, itu menjadi kesenangan tersendiri.

Kemudian sekitar jam 2 malam kami membaca tarkhiman untuk membangunkan para penduduk agar tidak telat sahur. Tarkhiman itu diawali dengan membaca shalawat. Waktu itu, karena belum ada pengeras suara (speaker), tarkhiman dilakukan di atas menara yang terbuat dari puluhan bambu besar yang disusun sedemikian rupa yang tingginya bahkan mencapai 25 meter, lebih tinggi dari masjid. Setiap orang dari kami, bila sudah mendapat giliran mengaji, akan naik ke puncak menara melalui tangga yang juga terbuat dari bambu. Seusai tarkhiman, kami kemudian berjalan keliling kampung menabuh kentongan. Dalam konteks ini, secara tidak langsung mereka telah menunjukkan salah satu jenis kesenian Islam.

Demikianlah suasana Ramadhan di kampung, di mana agama banyak memberikan wadah kepada kultur yang ada. Misalnya, mengaji berdasarkan jam; ngaji surat al-Baqarah berarti jam 12, kalau ngaji surat Ali ‘Imran berarti jam 1, dan seterusnya. Demikian juga tradisi menabuh kentongan untuk membangunkan para penduduk supaya sahurnya tidak telat.

Namun kemudian, setelah teknologi semakin canggih, tradisi seperti itu menjadi hilang. Dulu, sekitar tahun 70-an, saat itu saya mungkin masih di SMA, ketika baru ada pengeras suara, bacaan shalat Tarawih dan pujian-pujiannya diperdengarkan keluar. Bahkan ketika shalat Jum’at pun, bacaan shalat imam diperdengarkan keluar. Tetapi kalau sekarang, terutama di kota-kota besar, tidak lagi seperti itu.

Dulu, sehabis pulang sekolah anak-anak biasanya lebih suka ke masjid. Sekarang hampir setiap hari orang berada di depan televisi. Keberadaan televisi saat ini tidak hanya membawa dampak terhadap orang-orang awam, tetapi juga terhadap para kiyai. Dalam hal ini setidaknya ada dua yang bisa dilihat. Pertama, pendisiplinan waktu. Misalnya, seorang kiyai diminta untuk mengisi acara haul. Karena di televisi sudah diprogram jam sekian, maka sang kiyai tidak boleh terlambat. Kedua, kiyai harus banyak belajar. Kalau dulu, seorang kiyai biasa mengisi acara di tempat yang berbeda-beda. Dan dia hanya membahas hal-hal yang sama di tempat-tempat yang didatanginya.

Namun sekarang keadaannya sudah tidak seperti itu lagi. Kita banyak menemukan seorang kiyai kadang hanya diminta mengisi acara di sebuah stasiun televisi. Setiap malam dia mengisi acara di situ. Sehingga yang dibahas tentu tidak lagi satu tema tertentu, akan tetapi memerlukan perluasan materi, dia yang harus banyak membaca buku. Artinya dia akan menciptakan keterbukaan berpikir. Kalau dalam istilah Gus Dur namanya kosmopolitanisme Islam. Maksudnya keterbukaan terhadap budaya-budaya lain; dia akan membaca banyak tentang budaya-budaya lain, sehingga itu akan menjadi ramuan dalam menyampaikan ceramahnya. Sebutlah, misalnya, dalam pembahasan tentang masalah air. Biasanya kalau di pesantren dia tahunya hanya air musta’mal, najis dll. Tetapi dengan banyak membaca, dia akan tahu banyak tentang air, tidak hanya sekedar air musta’mal. Dengan demikian dia akan membuka jendela wawasan dan banyak hal yang akan dia peroleh.

 

Tradisi Bagi-bagi Makanan

Pada malam tanggal 15, ada kegiatan khataman al-Qur`an di masjid. Jadi, pelaksanaan khataman bukan di malam Nuzul al-Qur`an (malam tanggal 17), akan tetapi pada saat bulan purnama saja sesuai dengan budaya atau tradisi sebelumnya. Selain khataman al-Qur`an juga ada pembagian makanan. Di antara menunya—biasanya—adalah opor ayam atau makanan rasulan (ayam yang masih utuh, kemudian diopor dan dikasih santan). Semua orang menyukai ini, karena sambelnya memang enak.

Kemudian pada malam Nuzulul Qur`an ada lagi pembagian makanan. Dan itu biasanya lebih banyak. Kemudian setelah tanggal 20, setiap malam ganjil pasti ada pembagian makanan dengan maksud untuk menyambut Lailatul Qadar. Biasanya para pemberi makanan ditentukan; kalau di malam-malam biasa dari masyarakat umum asalkan punya duit. Tetapi kalau di malam-malam ganjil setelah tanggal 20, itu biasanya dari Mbah Modin, kemudian Jogoboyo, dan terakhir biasanya dari Pak Lurah.

Saya melihat, dulu orang-orang di kampung saya—tahun 1962-1963—yang umumnya terbelit kemiskinan, ketemu nasi adalah hal yang sangat menyenangkan. Bagi mereka nasi adalah barang mewah. Bahkan, mereka rela antri dan berebut untuk mendapatkan makanan tersebut. Artinya, tradisi bagi-bagi makanan di masjid menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Apalagi anak-anak, mereka datang ke masjid, di samping niat untuk berjama’ah Tarawih, mereka juga mengincar makanan yang dibagikan setelah itu. Tradisi bagi-bagi makanan sehabis shalat Tarawih, utamanya di malam-malam ganjil, sampai sekarang masih ada. Meskipun zaman sudah sangat maju dan menawarkan hal-hal yang membawa dampak menjauhkan kita dari agama, tetapi orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap religiusitas masih ada, bahkan banyak.

 

Idul Fitri

Ketika Idul Fitri, dalam keluarga saya tidak ada tradisi sungkeman seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya. Dari dulu ayah saya memang tidak pernah mau. Beliau maunya hanya salaman saja. Ibu saya juga begitu. Sehabis shalat Idul Fitri, sepulangnya dari masjid, ibu dan ayah duduk di kursi, kemudian saya dan saudara angkat saya (yang juga masih putra Pak De saya)—waktu itu saudara kandung saya, Khairul Anam, sudah meninggal—salaman sambil cium tangan.

Saya lahir ketika bapak berumur 44 tahun. Ketika saya berumur 6 tahun, beliau sudah berumur 50 tahun. Karena bapak saya dianggap sebagai orangtua, maka banyak orang-orang ke rumah. Kemudian di hari berikutnya, di hari kedua ayah mengajak kami sekeluarga untuk mengunjungi kakak-kakaknya. Habis itu baru kami ziarah ke kuburan.

Untuk hari Raya Idul Fitri, kita makanannya biasa-biasa saja, yang disertai dengan banyak kue. Ketupat juga tidak ada di hari itu. Kami sekeluarga biasanya datang ke rumah-rumah tetangga untuk bermaafan, dan juga ke rumah-rumah keluarga. Sehari setelah hari raya kedua orangtua saya biasanya akan langsung berpuasa lagi selama 6 hari sampai Hari Raya Ketupat. Dalam keluarga saya, puasa Syawal 6 hari tidak pernah ditinggalkan. Nah, di Hari Raya Ketupat itulah akan banyak makanan khas seperti ketupat, dll.

Khusus orang-orang yang punya ternak, di kampung saya, mereka biasanya makan di perempatan jalan sambil berdoa. Jadi mereka mengundang seorang kiyai untuk memimpin ritual seperti tahlil atau hanya sekedar berdoa bersama mereka. Setelah itu mereka makan bareng-bareng. Tetapi tempatnya tidak melulu di perempatan jalan. Mereka pindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi. Kadang di pinggiran sawah, kadang di tempat pemandian hewan, kadang juga di pertigaan jalan. Adapun yang tidak punya hewan ternak mereka biasanya mereka jalan-jalan ke Bulusan, kemudian ke Jepara, ke Juwana, atau ke pinggir laut untuk berpesiar.

Itu adalah sebentuk pemujaan dari para pemilik hewan ternak sebagai ekspresi rasa syukur kepada Tuhan. Sungguh merupakan kesalahan sangat besar jika hal itu disebut sebagai singkretisme Islam—seperti yang banyak dikatakan oleh para orientalis Barat. Yang benar, dalam konteks ini, adalah bahwa hukum agama mewadahi kultur lokal. Agama datang ke suatu tempat yang di situ sudah terdapat kultur yang jauh-jauh sebelumnya telah ada. Kemudian kultur tersebut diserap oleh agama. Wujudnya tetap, tetapi subtansinya sarat dengan nilai-nilai agama.

Kalau dilihat dari sejarah, tradisi pemujaan itu memang sudah ada sejak berabad-abad yang silam. Saat itu, menurut cerita, para petani dan pemilik hewan ternak memberikan sesajen kepada Dewi Sri (Dewi Kesuburan). Oleh Islam tradisi ini kemudian diserap, tetapi sesajennya tidak dibuang begitu seperti pada masa sebelumnya, melainkan untuk dimakan sendiri. Makanya tidak ada unsur kemubadziran di situ. Doanya juga dengan doa-doa yang sesuai dengan ajaran Islam, yang dimulai dari tahlil, kemudian ada tahmid dan pujian-pujian lainnya untuk mengharap keridhaan Allah. Jadi, kalau sekarang ada orang yang membid’ahkannya, menurut saya itu salah kaprah. Kalau acara makannya, itu juga tidak bisa dibid’ahkan, karena itu sebetulnya adalah tradisi, bukan agama.

Selain itu, ada juga tradisi Nyekar, yang biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan. Tetapi kalau ayah saya bisa kapan saja. Menurut beliau, berdoa untuk para leluhur bisa dilakukan kapan saja. Dan beliau, biasanya, setiap kali melewati makam Mbah pasti akan langsung melakukan ziarah. Lokasi makam Mbah dari rumah saya berjarak sekitar 3 km.

Sebelum bulan Ramadhan kami sekeluarga melakukannya. Kemudian sebelum Hari Raya Idul Fitri kami juga melakukannya. Kami biasanya membawa bunga untuk ditaburkan di kuburan. Yang kami baca ketika berziarah ke makam Mbah biasanya surat al-Fatihah, al-Ikhlas dan al-Nas. Itu saja yang dibaca. Atau kadang kalau di bulan Syawal kami membaca surat Yasin.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”