Pos

Islam, Demokrasi, dan Hak-hak Warga

SEBAGAI negara berpenduduk mayoritas Muslim, perdebatan mengenai kesesuaian demokrasi dengan Islam tidak pernah usai di Indonesia. Mungkinkah mendamaikan Islam dan demokrasi? Bisakah seorang Muslim juga menjadi demokratis? Bisakah umat Muslim melakukan ritual keagamaan sepenuhnya di bawah sistem demokrasi? Sistem seperti apa yang dibayangkan Islam? Adakah sistem pemerintahan di dalam Islam? Apa yang dimaksud dengan “sistem Islam”? Ini dan banyak pertanyaan lain muncul menghiasi percakapan tentang hubungan Islam dan demokrasi.

Merujuk pada teks utama (al-Qur`an dan sunnah), Islam sebenarnya tidak membayangkan pembentukan negara teokratis (berdasarkan sistem pemerintahan agama), juga tidak memaksakan suatu jenis pemerintahan tertentu terhadap negara. Dalam hal ini, melihat nilai-nilai luhur yang dibawa, demokrasi sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, atau sebaliknya.

Untuk saat ini, demokrasi dan sistem republik adalah bentuk pemerintahan terbaik yang dapat menjamin umat Muslim dan umat-umat lainnya menjalankan ritual keagamaan dan mempertahankan keyakinan mereka. Demikian pula, prinsip-prinsip umum Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, juga tidak bertentangan dengan apa yang Islam akui tentang pemerintahan yang sah.

Islam memandang individu sebagai elemen utamanya, dan dengan demikian pengalaman keimanan dan keyakinan seseorang adalah prioritas utama dalam Islam; sebagian besar ajaran al-Qur`an berhubungan dengan praktik-praktik individu muslim mengenai Islam. Selain itu, tidak ada bentuk pemerintahan yang ditetapkan secara tekstual (baik di dalam al-Qur`an dan hadits) oleh Islam, dan segala macam administrasi pemerintahan ditentukan berdasarkan kebutuhan serta tuntutan kondisi waktu dan zaman. Dan pengalaman manusia saat ini mengungkapkan bahwa pemerintahan demokratis dan Republik sebagai pemerintahan yang paling tepat.

Al-Qur`an adalah petunjuk dan pedoman yang mengajarkan kita bagaimana menjalankan ritual keagamaan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, Islam dan umat Muslim tidak memiliki masalah dengan konstitusi modern, selama konstitusi itu demokratis dan menjamin kebebasan umat Muslim untuk menjalankan ritual keagamaannya.

Tidak sedikit orang yang berbicara tentang Islam dan demokrasi mengklaim bahwa mereka berbicara atas nama agama dengan pemahaman bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat didamaikan. Persepsi ketidakcocokan timbal balik antara Islam dan demokrasi ini meluas ke masyarakat yang juga menuntut ditegakkannya demokrasi. Argumen yang dikemukakan didasarkan pada gagasan bahwa agama Islam berpijak pada aturan Tuhan, sedangkan demokrasi didasarkan pada pendapat dan perspektif manusia, sehingga keduanya saling bertolak belakang. Di sini, demokrasi telah menjadi korban dari perbandingan dangkal antara Islam dan demokrasi.

Ungkapan “kedaulatan adalah milik rakyat” tidak berarti bahwa kedaulatan diambil dari Tuhan dan diberikan kepada manusia. Sebaliknya, ungkapan ini berarti bahwa kedaulatan diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia; yang berarti bahwa kedaulatan telah dirampas dari para penindas/diktator/tiran dan diberikan kepada anggota masyarakat. Hingga taraf tertentu, era al-Khulafa` al-Rasyidin dalam Islam mengilustrasikan penerapan karakter demokratis ini terkait dengan demokrasi.

Dari sudut pandang kosmis, tidak diragukan lagi bahwa Tuhan berdaulat atas seluruh alam semesta; di mana ide dan gagasan manusia selalu tunduk pada aturan dan kekuasaan Tuhan. Namun, ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki kemauan, keinginan, atau pilihan; manusia bebas dalam pilihannya dan dalam kehidupan pribadinya, juga menikmati kebebasan memilih dan dipilih sehubungan dengan tindakan sosial dan politiknya.

Berbagai negara di dunia melakukan beberapa jenis pemilihan untuk memilih legislator dan eksekutif, dan tidak ada cara tunggal untuk melakukan pemilihan. Fakta ini terjadi bahkan di era kenabian, semasa Nabi Muhammad Saw., dan selama masa pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidin. Pemilihan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq ra., berbeda dengan pemilihan khalifah kedua, Umar ibn al-Khaththab ra., berbeda dengan pemilihan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan ra., dan berbeda dengan pemilihan khalifah keempat, Ali ibn Abi Thalib ra.. Tidak ada yang mengetahui cara yang benar untuk memilih dan dipilih kecuali Tuhan.

Kalau dilihat, Abu Bakr al-Shiddiq ra. dipilih oleh rakyat banyak, sedangkan Umar ibn al-Khaththab ra. terpilih setelah Abu Bakr al-Shiddiq ra. menominasikannya untuk mengisi posisi khalifah. Kemudian Utsman ibn Affan ra. terpilih setelah Umar ibn al-Khaththab ra. mengacu pada Tim Sepuluh. Beberapa kelompok menentang pemilihan Ali ibn Abi Thalib ra., dan pemerintahan lain kemudian didirikan di Damaskus ketika ada kesempatan oleh Muawiyah. Selama era Bani Umayyah, kekuasaan pemerintahan mulai diwariskan dari ayah ke anak laki-laki, dan praktik ini berlanjut hingga pemerintahan Dinasti Utsmaniyah.

Era al-Khulafa` al-Rasyidin sebenarnya merupakan era demokrasi yang tidak diakui. Empat khalifah, yang merupakan pemimpin negara Islam besar di masa lalu itu, perlu mendapatkan persetujuan rakyat untuk pemilihan mereka memangku jabatan khalifah. Begitulah cara Abu Bakr al-Shiddiq menjadi khalifah pertama bagi umat Muslim setelah Nabi Saw.; tiga khalifah berikutnya menduduki posisi ini dengan persetujuan masyarakat, dan ini adalah inti dari demokrasi. Peralihan jabatan khalifah dari ayah ke anak laki-laki, seperti yang terjadi dalam sistem keluarga yang berkuasa, bukanlah hal yang dibenarkan oleh Islam. Namun, sistem dinasti ini muncul dalam sejarah Islam dan hampir tidak mewakili semangat sebenarnya dari sistem pemerintahan Islam.

Demokrasi adalah aturan rakyat, dan merupakan bentuk mendalam dari ‘republik’, bahkan jiwa republik itu sendiri, dan dimensi paling manusiawi dari republik. Untuk alasan ini, sampai taraf tertentu, demokrasi selalu ada di masa lalu meskipun tidak disebut demikian. Kita bahkan dapat berbicara tentang republik dan keberadaan demokrasi tanpa nama selama periode al-Khulafa` al-Rasyidin. Periode ini mencerminkan pola pemerintahan Islam yang sesungguhnya.

Bahkan, kalau kita melihat undang-undang Dinasti Utsmaniyah, secara garis besar, banyak orang menilai era Utsmaniyah sebagai era sekularisme; sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dasar yang terkait dengan keyakinan dan ibadah, inovasi-inovasi baru dilakukan dalam menerapkan undang-undang dan peraturan, yang tidak ada teks eksplisitnya di dalam al-Qur`an, sunnah, dan sumber-sumber utama syariat. Seiring berjalannya waktu, dan dengan munculnya persoalan-persoalan baru, dalam suatu situasi di mana tidak ada teks yang jelas dan tegas, maka undang-undang dan peraturan baru dikeluarkan dengan pertimbangan tidak bertentangan dengan sumber-sumber tersebut.

Islam adalah agama ilahi dan surgawi, sedangkan demokrasi adalah bentuk pemerintahan dan administrasi yang dilakukan oleh manusia. Tujuan utama agama adalah berhubungan dengan tema-tema universal seperti iman, pengabdian kepada Tuhan, pengetahuan tentang Tuhan, dan berbuat kebaikan dan kebajikan. Al-Qur`an, di dalam ratusan ayatnya, mengajak manusia untuk beriman dan menyembah Allah Swt., mengajak manusia untuk memperdalam dan memantapkan keimanan serta ketakwaan mereka kepada Allah dengan cara yang memungkinkan mereka mencapai kesadaran akan konsep ihsan. “Keyakinan, keimanan, dan amal saleh” adalah salah satu topik yang sangat ditekankan oleh al-Qur`an. Al-Qur`an berulang kali mengingatkan manusia mengenai perlunya menjaga hubungan dekat dengan Allah Swt., menyembah-Nya dan bertindak seolah-olah mereka melihat-Nya (menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu).

Mendefinisikan Islam dengan cara ini dapat memainkan peran penting di dunia Islam dengan memperkuat dan memperkokoh bentuk-bentuk demokrasi lokal dan memperluas cakupannya dengan cara yang membantu manusia memahami hubungan antara dunia material dan spiritual. Dengan begitu kita dapat yakin bahwa Islam akan memperkaya dan memperkuat konsep demokrasi dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan mendalam manusia seperti kepuasan dan keyakinan spiritual, yang hanya dapat dicapai melalui mengingat Allah.

Prinsip dan bentuk pemerintahan yang menjadi dasar demokrasi adalah sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti; prinsip-prinsip syûrâ (musyawarah), kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat dan kritik, kebebasan berkeyakinan, perlindungan hak-hak individu dan minoritas, kebebasan masyarakat dalam memilih individu yang akan memerintah mereka, pertanggungjawaban penguasa atas tindakan dan perilaku mereka, larangan penindasan mayoritas terhadap minoritas dan seterusnya dapat diambil sebagai contoh nilai dan prinsip yang dianut oleh Islam dan demokrasi. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili menyatakan,

 

وحرية الفكر تستتبع حرية الرأي والنقد والقول، وذلك واضح من مبدأ الإسلام في تكوين الشخصية الذاتية، والحض على صراحة القول، والأمر بالمعروف، وعدم إقرار المنكر، والجهر بالحق دون خشية من أحد أو مخافة لومة لائم، فلا يكون النقد حقاً فقط، وإنما هو واجب ديني أحياناً في ضوء مفاهيم الإسلام، وضرورة الحفاظ على أحكامه

“Dan kebebasan berpikir mengiringi kebebasan berpendapat, mengkritik dan berbicara, yang itu jelas merupakan bagian dari prinsip Islam dalam membentuk kepribadian, juga desakan untuk berbicara lantang, amar ma’ruf, tidak mengakui kemungkaran, berani menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut terhadap seseorang atau takut terhadap celaan pencela. Kritik bukan hanya hak, tetapi terkadang lebih merupakan kewajiban agama dalam konsep Islam, dan kebutuhan untuk mempertahankan ketentuan-ketentuannya.”

 

Demokrasi menyediakan ruang yang cocok bagi umat manusia untuk memenuhi kebutuhan akhirat mereka, baik mereka yang beriman atau tidak. Seperti membuka jalan untuk melaksanakan shalat, puasa, dan pergi ke gereja, pure, atau tempat-tempat ibadah lainnya menurut agamanya masing-masing. Jika tidak, itu akan menjadi sistem yang hanya beroperasi menurut keinginan sebagian orang. Dengan tersedianya ruang ini, maka setiap orang akan menemukan tempat untuk dirinya sendiri di dalamnya.

Di negara di mana umat Muslim di suatu negara bebas menjalankan ritual keagamaan mereka, bisa mendirikan lembaga keagamaan mereka tanpa hambatan, mampu mengindoktrinasi nilai-nilai agama mereka kepada anak-anak mereka dan orang-orang yang ingin mempelajarinya, mereka memiliki kebebasan penuh untuk berekspresi, mereka dapat terlibat dalam perdebatan publik, dan menyampaikan tuntutan agama mereka dalam kerangka hukum dan demokrasi, maka kebutuhan untuk mendirikan negara agama menjadi tidak perlu.

Islam—sebagai agama—adalah seperangkat prinsip dan praktik yang berlandaskan wahyu ilahi, dan membimbing manusia menuju kebaikan tertinggi melalui kehendak bebas mereka, dan menunjukkan kepada mereka bagaimana berusaha menjadikan diri mereka pribadi yang sempurna. Setiap orang dapat menjalankan keyakinan dan ibadah mereka secara bebas di negara demokrasi.

Sepanjang sejarah, kebebasan berkeyakinan dan beribadah telah menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi penganut agama apa pun. Seringkali, orang harus menyembunyikan doanya karena takut disiksa atau bahkan dibunuh jika terlihat sedang melakukan ritual keagamaan. Di negara demokrasi, kebebasan beribadah dilindungi sebagai hak asasi manusia.

Kalau kekuatan suatu negara dikendalikan secara paksa dan warga dipaksa untuk menganut satu agama tertentu, ini akan membuat mereka menjadi hipokrit. Mereka melihat kekuatan di dalam negaranya dan berpura-pura menjalankan ajaran agama yang dimaksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tetapi begitu mereka bepergian ke luar negeri, mereka menikmati kehidupan yang bertentangan dengan agama di negaranya, maka di negara seperti itu rasa hormat terhadap hukum akan melemah dan kemunafikan serta riya` menyebar.

Di negara demokrasi, pemilihan bebas diadakan sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia universal dan kebebasan. Semua orang dapat mengekspresikan pilihan mereka dengan memberikan suara mereka dalam pemilihan, menyampaikan tuntutan mereka kepada perwakilan mereka sepenuhnya secara bebas dan menggunakan hak demokrasi lain yang tersedia bagi mereka. Mereka dapat melakukannya secara individu atau kolektif dengan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi masyarakat sipil.

Oleh karena itu, memandang Islam tidak sesuai dengan demokrasi dan sebaliknya adalah keliru; dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang cocok dan sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam, baik dalam hal kemungkinan para penguasa dimintai pertanggungjawaban kepada rakyat maupun dalam hal ketidakselarasan dengan tirani, yang didefinisikan Islam sebagai bentuk pemerintahan yang tidak adil. Dalam hal ini, Islam dapat dengan mudah selaras dengan hak asasi manusia, pemilihan umum yang demokratis, akuntabilitas, supremasi hukum, dan prinsip-prinsip dasar lainnya.

Mengatakan bahwa “tidak ada alternatif selain demokrasi” mungkin tidak ideal, tetapi demokrasi adalah sistem terbaik yang tersedia untuk saat ini. Sebagian kelompok bisa jadi keberatan dengan perkataan ini, tetapi ada banyak penggunaan, penerapan dan ragam bentuk demokrasi, dan kita dapat mengatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang ideal untuk saat ini.

Suatu negara yang menjamin dan melindungi kebebasan, seperti kebebasan hidup, kebebasan berekspresi, kebebasan memiliki harta benda, kebebasan berkeluarga, dan kebebasan berkeyakinan, serta tidak membatasi kebebasan dan hak-hak individu kecuali dalam situasi luar biasa seperti perang; di mana minoritas diperlakukan sebagai warga negara yang punya hak sama tanpa diskriminasi, dan memungkinkan orang untuk dengan bebas mendiskusikan dan menyampaikan pandangan pribadi, sosial dan politik mereka, maka itu adalah negara yang sesuai dengan spirit Islam. Kalau orang dapat dengan bebas mengekspresikan keyakinan dan pendapat mereka, tentu mereka akan menghargai agama mereka, melakukan tugas dan ritual keagamaan mereka, dan menikmati kebebasan mereka seperti membeli properti secara bebas, dan umat Muslim atau penganut agama lain tidak seharusnya mengubah sistem ini.

Jika Islam adalah agama keyakinan, ibadah dan moral, maka tidak ada seorang pun di negara mana pun yang dapat menolak demokrasi. Namun, mengabaikan sistem ini dan menjadikan Islam tampak hanya sebagai salah satu bentuk pemerintahan, itu tidak lain karena salah memahami Islam, dan, dengan demikian, merepresentasikan dan melambangkan posisi dan proyek politik tertentu. Maksudnya, Islam perlu dihadirkan ke segmen masyarakat yang lebih luas sebagai fenomena yang sangat terkait dengan keyakinan, penerapan praktis, dan moralitas.

Setiap Muslim harus bertindak sesuai dengan etika Islam, baik dalam dimensi sipil dan kemasyarakatan, atau dalam urusan publik dan bidang pemerintahan. Artinya, mereka harus mematuhi nilai-nilai moral Islam di manapun berada. Pencurian, penyuapan, korupsi, penjarahan, pekerjaan ilegal, fitnah, dan degradasi moral adalah dosa dan merupakan hal-hal yang tidak sah dalam semua konteks. Dosa-dosa ini tidak dapat dilakukan untuk tujuan apa pun, baik politik atau lainnya. Selain itu, dosa-dosa ini dianggap sebagai kejahatan bahkan dalam kerangka standar yang diakui secara internasional. Dan jika individu kehilangan integritas moralnya dalam aspek ini, maka perannya dalam urusan publik atau politik menjadi sia-sia.[]

Akidah Dulu, Baru Syariat

DALAM beberapa dekade terakhir—di tengah berbagai persoalan yang mendera kondisi sosial umat Muslim—solusi alternatif yang didengung-dengungkan adalah upaya penerapan syariat sebagai hukum yuridis formal. Syariat Islam ditengarai sebagai satu-satunya obat ampuh bagi penyakit yang didera umat saat ini. Namun gagasan ini tidak serta-merta disambut “mesra”. Ada dinamika yang mempertanyakan proses penerapan ini. Bagian mana yang ingin diterapkan, hukuman fisiknya ataukah yang lain? Apakah dengan sekedar menerapkan syariat lantas permasalahan menjadi selesai? Serta berbagai macam problematika lain yang membuka mata kita, betapa tidak mudahnya penerapan gagasan tersebut. Dinamika ini diharapkan dapat membuat konstruksi gagasan ini menjadi semakin matang dan sempurna.

Di sini kita akan kembali melihat bangunan interaksi yang telah terbentuk antara syariat—yang hanya dibatasi dan diartikan sebagai hukum yuridis formal—dengan akidah sebagai ajaran pokok agama. Kita, sekali lagi, berusaha membongkar hubungan interaksi ini. Baik akidah maupun syariat kita letakkan sebagai komponen-komponen yang berdiri secara mandiri.

Di sini kita akan menjawab pertanyaan: Apa yang terlebih dulu dibangun oleh agama, akidah atau syariat? Kapan syariat—dalam bentuknya sebagai hukum jusrisprudensial—itu muncul? Apa peran syariat dalam konstruksi ajaran agama?

Kita tidak perlu meragukan bahwa agama datang pertama kali untuk mengajarkan manusia menyembah apa yang patut disembah, konsep Zat yang disembah, serta ritualitas penyembahan yang “efisien”. Singkatnya, ajaran pertama agama yang diturunkan melalui wahyu adalah ajaran pokok; akidah. Konstruksi ide yang mengajarkan keberadaan, keesaan dan kekuasaan Tuhan, tidak lain adalah sebagai “pembenaran” dan petunjuk bagi manusia yang telah terlena dalam konstruksi ide-ide ketuhanan yang berbeda, mulai dari pengingkaran wujud Tuhan hingga penyekutuan terhadap-Nya. Ajaran tauhid inilah yang ingin ditanamkan dan dikondisikan dalam pola kehidupan sosial pada saat itu.

Retorika al-Qur`an yang “indah” mampu menghilangkan “dahaga-seni” bangsa Arab sekaligus memuaskan nalar logika manusiawi, yang berakhir dengan kepasrahan (baca: keislaman) dan kepercayaan (baca: iman). Inilah kondisi yang diinginkan dan dicita-citakan oleh agama. Maka ayat-ayat awal, yang notabene turun di Makkah, cenderung berisi ajaran-ajaran sebagai pemupuk dan penguat upaya penanaman akidah tersebut.

Ketika tauhid sebagai landasan pokok agama ini telah stabil, yang ditandai dengan adanya tempat pemukiman yang permanen bagi umat Muslim saat itu, yaitu Madinah, maka hukum formal yang menjaga keutuhan stabilitas kondisi ini tak pelak lagi menjadi sebuah kebutuhan mutlak. Inilah titik awal persandingan syariat sebagai konstruksi normatif hukum formal dengan bangunan akidah. Fungsi hukum ini adalah melindungi keutuhan masyarakat tauhid pada seluruh dimensi kehidupan yang berkaitan dengannya. Stabilitas dan kemapanan yang telah terbentuk merupakan persyaratan awal yang harus ada sebelum penerapan hukum formal.

Pada tataran ini, motivasi dasar penerapan hukum syariat dalam individu adalah karena kekokohan akidahnya, sebuah penerimaan yang berlandaskan pada sebuah kesadaran. Tidak heran jika kita dapatkan pada masa awal kelahiran Islam terdapat banyak umat Muslim yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang ditetapkan, bergegas mendatangi Nabi untuk meminta dihukum, sesuai apa yang ditentukan oleh syariat. Bukan syariat formal yang mengejar para pelanggar, melainkan para pelanggarlah yang menyadari kesalahannya dan mendesak datang agar ia dihukum. Indahnya, karena hukum yuridis formal ini diadakan untuk menjaga stabilitas tauhid dalam komunitas sosial, maka pelaksanaan hukuman tidak menjadi kaku dan keras, namun begitu elastis mengikuti kondisi kontekstual yang dihadapi oleh sang pelaku. Hingga terkadang sebuah hukuman tidak mutlak harus dilakukan sebagaimana ketetapan awal.

Inilah letak peran dan cara syariat menjaga keutuhan stabilitas agama tauhid, yang berarti menjaga stabilitas masyarakat tauhid, menjaga akidah yang berarti agama. Saat ini kita tidak lagi menjadikan hubungan yang terbentuk antara akidah dan syariat sebagai sebuah hubungan piramidal-prioritatif sebagaimana awal mula kemunculannya, namun melangkah ke dalam sebentuk interaksi komplementer. Inilah kondisi ideal dinamika akidah dan syariat. Kondisi yang pernah terjadi secara nyata dalam realitas kehidupan Muslim awal. Bisa jadi batasan masa ini sangat sempit, tidak melebihi masa pemerintahan al-Khulafâ’ al-Râsyidîn yang empat. Bahkan bisa jadi tidak sampai genap masa keempatnya.

Namun saat ini, di mana kondisi yang terjadi telah sama sekali jauh berbeda, chaos, ketimpangan sosial, dekadensi moral, dan keterbelakangan menjadi identitas akut umat Muslim. Suatu kenyataan yang membuat banyak sekali orang begitu keukeuh untuk menerapkan syariat Islam bagi para pelanggar atau pelaku maksiat agar mereka tahu betapa tegas dan kejamnya Islam terhadap para pelanggar, tanpa terlebih dahulu mau melihat bangunan dasar pokok akidah yang ada dalam tatanan masyarakat.

Hal ini menunjukkan kelalaian untuk melihat, menganalisa, mengadopsi dan belajar dari sejarah masa lalu. Fenomena nyata yang telah dicontohkan dalam sejarah seharusnya dapat dijadikan sebagai justifikasi legitimatif ke arah pengambilan pola-pola penyikapan yang perlu diwacanakan dan dilaksanakan dalam kehidupan kontemporer.

Belajar dari sejarah, ada sesuatu yang terlebih dahulu harus kita bangun secara kokoh sebelum penegakan dan penerapan syariat, dengan pengertian hukum yuridis formal, dalam masyarakat Muslim. Sesuatu itu adalah bangunan akidahnya. Jika bangunan ini kokoh maka tanpa ada hukum formal, kemaksiatan, baik pelanggaran terhadap ajaran dan ketentuan agama (dimensi ibadah) maupun yang berarti perampasan hak, penindasan, penjajahan, korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai macam kejahatan lainnya (dimensi amaliyah) tidak akan pernah terjadi. Karena pelaku maksiat tidak berlari dari hukum, namun datang dengan berderai air mata memohon untuk dihukum. Bisa jadi utopis, tetapi logis!

Makna-makna keagamaan yang mendalam seperti inilah yang terkadang kurang atau tidak disadari urgensinya dalam upaya penerapan syariat sebagai sebuah hukum resmi. Pemaksaan terkadang hanya akan menyebabkan timbulnya reaksi laten yang justru membahayakan eksistensi agama sebagai bagian pokok yang ingin dijaga oleh syariat. Karena wajah agama yang ditampilkan tidak lagi agama dalam nuansa kebenaran dan kedamaiannya, melainkan wajah bengis yang membuat takut orang yang memandangnya.

Yang dapat kita simpulkan di sini adalah, bahwa penanaman dan penguatan akidah dan dasar-dasar keyakinan harus menjadi landasan awal atau langkah pertama sebelum penerapan syariat. Terjadinya kekacauan, dekadensi moral, pelanggaran, perampasan hak dan segala bentuk kejahatan agama tidak dapat dipandang karena tidak diterapkannya hukum Islam dalam masyarakat Muslim, tetapi lebih tepat dikatakan karena hilangnya penghayatan makna-makna ajaran Tuhan sebagai dasar pokok beragama dari jiwa umat Muslim. Dari sini, pemaknaan penegakan syariat harus terlebih dahulu diartikulasikan sebagai penegakan akidah yang merupakan dasar pokok dan syarat kondisional yang absolut dan mutlak ada sebelum penerapan syariat Islam sebagai hukum formal.[]

Politik dalam Khazanah Islam

POLITIK makna asalnya (dalam bahasa Yunani) adalah “mengatur kota”. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “warga” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan. Pada pendapat warga itulah terlahir sebuah legitimasi atau pengakuan atas sebuah kewenangan dari seseorang yang kemudian dikenal dengan konsep pemimpin.

Dalam sejarah peradaban, makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini tentang negara. Makna sebuah negara modern tentu lebih besar daripada sebuah “kota”, lebih kompleks bersamaan dengan fungsi-fungsi yang lebih luas. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita meletakkan negara pada posisi “kota” sebagaimana definisi di atas, dan karenanya kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.

Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya mengenai masalah-masalah kenegaraan (menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat), dan masalah-masalah kehidupan kebangsaan (kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik, tradisi kebudayaan).

Di antara fungsi kenegaraan sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, menjamin hak dan kebebasan, mewujudkan keadilan, dan mencanangkan kemajuan bagi para warganya. Fungsi lainnya adalah menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya, hingga menjaga keamanan dan perdamaian dunia.

Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, maka politik jelas mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan orang banyak. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara, baik dari rasa takut maupun dari segala kekurangan. Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam berbicara, menyatakan pikiran dan pendapat dan kebebasan berserikat maupun berkumpul secara damai yang tentu saja perlu dijamin dalam aturan bernegara itu sendiri. Sementara dari sisi lain, kebebasan dari segala kekurangan (freedom from want) dimaksudkan agar menjamin kesetaraan dan kesejahteraan warga yang tentu saja merupakan kepentingan serta tujuan dari mengapa manusia membentuk negara.

Di masa klasik Islam, makna dari otoritas politik kerap dimanifestasikan dalam bentuk negara “khilafah”. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Apakah sesederhana penjelasan umum yang demikian? Bagaimana sebenarnya?

Di sini kita perlu membahas masalah khilafah. Masalah ini akan mengalihkan perhatian kita pada masalah-masalah tentang akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah memantik suatu upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Syaikh Ali Abdur Raziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam.

Jika kita bicara tentang kekuasaan mengatur (rule) dan otoritas (authority), maka setidaknya terdapat empat istilah yang perlu diselidiki. Istilah pertama adalah al-imâm atau “leader”, yang secara definitif seringkali berarti seseorang yang memimpin umat Muslim dalam shalat dengan menghadap Ka’bah atau bisa dikatakan bahwa al-imâm adalah pemimpin rohani. Istilah kedua adalah “al-khalîfah” atau “successor”, yang berarti pemimpin umat Muslim yang menggantikan posisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. setelah wafat. Adapun istilah yang ketiga yaitu al-amîr atau “command” bisa diartikan sebagai pemegang komando dan biasanya dikenal dalam keadaan tertentu, misalnya perang. Sedangkan istilah yang keempat adalah al-sulthân, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi.

Keempat istilah ini tak bisa disamaratakan sebagai konsep yang lahir dari sejarah Islam, apalagi jika dikatakan berasal dari al-Qur`an. Itu adalah dua konteks yang harus dibedakan agar kita memahaminya secara adil. Keempat istilah di atas juga berbeda antara satu sama lain, meski seringkali dipahami secara saling tumpang tindih. Dua istilah pertama biasanya diartikan mengandung tanggungjawab-tanggungjawab spiritual, sedangkan dua istilah yang kedua lebih bersifat non-spiritual atau bisa diartikan sebagai menjalankan kekuasaan atau kewenangan yang diperoleh dari pemberian legitimasi dan jalan kekuatan serta berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut.

Meski dengan ini kita dapat melihat perbedaan antara al-imâmah (kepemimpinan) maupun al-khilâfah (kekhalifahah) dengan al-sulthânah (kesultanan, kerajaan), dalam sejarah pun kita menemukan penggunaan seluruh istilah itu kerap bercampur aduk dan bertumpang tindih. Istilah al-imâmah bisa ditemukan dalam kisah Nabi Saw. dan tertuang dalam rujukan fikih. Di masa Nabi Muhammad Saw, seorang imam bisa memimpin ibadah agama atau kegiatan spiritual sekaligus memimpin komunitasnya. Setelah Nabi Saw wafat istilah al-khilâfah lebih disoroti guna merujuk kepemimpinan Abu Bakar dan para sahabat yang menggantikan peran kepemimpinan Nabi Saw (successor).

Demikian pula istilah al-amr yang terkenal di masa Umar ibn al-Khatthab. Al-Qur`an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan. Itulah sebabnya Umar ibn al-Khatthab menyebut dirinya Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) yang juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib).

Masing-masing kekhalifahan berlangsung selama periode yang bervariasi. Dari periode yang tersingkat hanya 2 tahun di bawah Abu Bakar al-Shiddiq, lalu 10 tahun di bawah Umar ibn Khattab lalu berakhir dengan pembunuhannya, 12 tahun di bawah Ustman ibn Affan yang juga dibunuh, dan sekitar 3-5 tahun di bawah Ali ibn Abi Thalib yang juga berakhir dibunuh. Keseluruhan dinamika kekhalifahan mereka memperlihatkan adanya tarik menarik kekuasaan yang keras sehingga diwarnai dengan pembunuhan politik (political assassination).

Dalam perkembangan peradaban di kemudian hari, setelah satu generasi dari wafatnya Nabi Saw., kepemimpinan oleh seorang khilafah menjadi warisan turun-temurun sejak awal masa pemerintahan Umawiyah pada tahun 660 M. Dinamika pertarungan kekuasaan di masa-masa kemudian pun tidak jauh berbeda dengan masa kekhalifahan. Istilah kekuasaan berbasis khalifah kemudian menjadi bercampur aduk dengan model kepemimpinan seorang kaisar di Persia atau Roma yang dalam sejarahnya juga diwarnai konflik-konflik politik dan menelan korban. Salah satu sebabnya adalah kepemimpinan yang otoriter, baik dalam bentuk pemerintahan berbasis khalifah maupun kaisar atau kesultanan. Bentuk suatu pemerintahan dan praktik kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan tersebut menjadi hal yang paradoks. Kisah sejarah para sultan Turki yang mengklaim dirinya sebagai pewaris khilafah juga turut membuat pengertian atas konsep al-imâmah, al-khilâfah, al-sulthânah, dan al-amr semakin dapat disalahartikan.

Dalam sejarah, dari keempat konsep yang disebutkan di atas, al-khilâfah adalah konsep yang paling sering diperbincangkan, diikuti, sekaligus disalahartikan. Para khalifah dan para ahli fikih berpijak pada sebuah perspektif—meskipun secara implisit—yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam tampak hanya tertarik kepada masalah kepemimpinan sang khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat. Kecenderungan ini juga terjadi dalam sejarah kekuasaan yang berbasis non-kekhilafahan.

Selama sejarah kekhilafahan Islam penerapan politik selalu saja bisa bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Kecenderungan ini terlihat pada sepanjang sejarah kekuasaan maupun kepemimpinan di bawah kesultanan dan kekaisaran di masa lalu dan pada era kekuasaan politik modern di bawah konsep republik maupun demokrasi. Keadilan, harta, dan otoritas keagamaan seringkali menjadi milik pribadi seorang pemimpin, serta ditafsirkan secara sepihak oleh sang pemimpin, atau menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya. Di titik inilah kita perlu secara adil menempatkan ambiguitas konsep kepemimpinan dari istilah al-imâmah, al-khilâfah, al-sulthânah, dan al-amr.

Dengan pemahaman yang salah terhadap sejarah peradaban Islam, agama dan al-Qur`an serta pandangan-pandangan tradisional dan imajinasi yang belum tentu terjadi di kehidupan Nabi berikut para shahabat, praktik atas konsep khilafah seringkali kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umawiyah, Abbasiyah dan para pendukung Ali ibn Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Nabi Saw. Sehingga khilafah hanya dikuasai oleh politik dinasti, yaitu kabilah Quraisy selama sembilan abad, yang memang sulit dipungkiri dimulai dari al-Khulafa` al-Rasyidin, kemudian dinasti Umawiyah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.

Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, konsep dan praktik atas konsep itu menjadi semakin rumit ketika banyak orang kemudian memahaminya sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syariat Allah. Benar-benar menjadi semakin rumit ketika di masa lalu, praktik kekuasaan politik berbasis dinasti dan kesukuan sangat kuat sehingga pada suatu masa kekuasaan kekhilafahan, orang-orang non-Arab—lebih tepatnya orang-orang non-Quraisy Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan.

Pandangan fikih klasik sering menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap umat Muslim tidak dibenarkan. Padahal, paling tidak menurut sunnah, sebenarnya khilafah bukanlah sebuah sistem keagamaan. Perubahannya menjadi sistem keagamaan telah terjadi pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Hal ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma’shûm (terpelihara dari dosa) dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Sifat kekuasaan yang pragmatis dalam pemerintahan Islam, yang secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu yaitu Quraisy, dan secara khusus pada keluarga Nabi Saw., juga mendorong para khalifah ketika itu memerangi negara-negara lain guna melindungi hak-hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.

Kendati tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan kerap berdalih untuk menyebarkan Islam, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.

Meskipun non-Muslim tidak mendapat tekanan di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak sipil politik atau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan. Akibatnya, sebagian warga yang tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus, dan banyak dari mereka—setelah masuk Islam—mengaku-ngaku Nabi dengan tujuan mendapatkan ketenaran dan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.

Dalam skala ekstrim, banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaan, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar apa yang mereka tafsirkan sebagai Islam. Mereka melarang pendidikan yang dianggap tak sesuai Islam, mereka lebih suka model pendidikan yang terkontrol dan tidak menimbulkan ancaman bagi kepentingan status quo kekuasaan. Akibatnya adalah terjadi kebodohan dan kemunduran politik yang besar dari peradaban Islam. Kekuasaan yang membatasi hak-hak dan kebebasan warga negara meskipun Muslim, dan sekalipun hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur`an dan beberapa hadis Nabi, tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih yang dekat dengan kekuasaan ketika itu.

Demikianlah kita melihat bagaimana konsep dan praktik atas otoritas politik berbentuk negara khilafah tampak bertentangan dengan al-Qur`an yang mengajarkan keadilan sosial, hak-hak dan kebebasan asasi manusia, hingga tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan catatan bahwa prinsip-prinsip dasar dari konsep ideal manusia atas kekuasaan, sebagai contoh dalam hal ini kekhilafahan memang banyak diambil dari ajaran agama seperti al-Qur`an. Di titik ini, ajaran “hukma illâ Allâh”, yang dari sini muncul konsep “hâkimiyyatullâh” seringkali diulang-ulang oleh para khalifah—setelah masa-masa al-Khulafa` al-Rasyidin. Hal ini kemudian menimbulkan kesan keidentikan antara konsep kekhilafahan dengan perintah al-Qur`an. Dalam masa terjadinya penyimpangan kekuasaan—kekhilafahan sekalipun—ajaran-ajaran agama memang sering dijadikan topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kezhaliman-kezhaliman mereka terhadap rakyat.

Padahal kata “al-hukm” di dalam al-Qur`an tidak bermakna otoritas politik (al-sulthah al-siyâsîyyah), atau makna sistem kekuasaan monolitik yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “hukma illâ Allâh” (tiada hukum kecuali Allah) dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, dan al-Qur`an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul pada masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad petengahan. Dan yang terpenting ialah bahwa kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur`an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [QS. al-Nisa`: 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [QS. al-Zumar: 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [QS. al-Syu’ara`: 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.

Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya, apapun itu bentuk negara, tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik disalahgunakan, atau dijadikan senjata ampuh untuk memeras dan menindas rakyat serta berbuat kerusakan di muka bumi melalui eksploitasi sumber daya alam yang hanya diperuntukkan bagi keuntungan segelintir elite penguasa dan para pebisnis yang mendapat perlindungan mereka. Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, pemaksaan atau penundukan rakyat untuk kepentingan para penguasa dan segelintir orang yang kaya-raya, tetapi pembebasan dari rasa takut (liberation from fear) dan pembebasan dari segala kekurangan (liberation from want), sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai dan dalam kemuliaan martabatnya sebagai manusia (al-karamah al-insânîyyah). Tujuan dari sebuah sistem politik bukan mengubah manusia menjadi makhluk pemangsa atau alat pemuas nafsu penundukan, tetapi antara lain untuk mencapai keselamatan jiwa, hak hidup dan kehormatan manusia (hifzh al-nafs wa al-‘irdh), hingga menjaga akal pikiran (al-‘aql) sehingga tidak akan terjadi keterbelakangan, artinya bahwa sebenarnya tujuan daripada sistem politik adalah kebebasan dan keadilan, sebagaimana diajarkan di dalam al-Qur`an.[]