Islam, Demokrasi, dan Hak-hak Warga
SEBAGAI negara berpenduduk mayoritas Muslim, perdebatan mengenai kesesuaian demokrasi dengan Islam tidak pernah usai di Indonesia. Mungkinkah mendamaikan Islam dan demokrasi? Bisakah seorang Muslim juga menjadi demokratis? Bisakah umat Muslim melakukan ritual keagamaan sepenuhnya di bawah sistem demokrasi? Sistem seperti apa yang dibayangkan Islam? Adakah sistem pemerintahan di dalam Islam? Apa yang dimaksud dengan “sistem Islam”? Ini dan banyak pertanyaan lain muncul menghiasi percakapan tentang hubungan Islam dan demokrasi.
Merujuk pada teks utama (al-Qur`an dan sunnah), Islam sebenarnya tidak membayangkan pembentukan negara teokratis (berdasarkan sistem pemerintahan agama), juga tidak memaksakan suatu jenis pemerintahan tertentu terhadap negara. Dalam hal ini, melihat nilai-nilai luhur yang dibawa, demokrasi sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, atau sebaliknya.
Untuk saat ini, demokrasi dan sistem republik adalah bentuk pemerintahan terbaik yang dapat menjamin umat Muslim dan umat-umat lainnya menjalankan ritual keagamaan dan mempertahankan keyakinan mereka. Demikian pula, prinsip-prinsip umum Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, juga tidak bertentangan dengan apa yang Islam akui tentang pemerintahan yang sah.
Islam memandang individu sebagai elemen utamanya, dan dengan demikian pengalaman keimanan dan keyakinan seseorang adalah prioritas utama dalam Islam; sebagian besar ajaran al-Qur`an berhubungan dengan praktik-praktik individu muslim mengenai Islam. Selain itu, tidak ada bentuk pemerintahan yang ditetapkan secara tekstual (baik di dalam al-Qur`an dan hadits) oleh Islam, dan segala macam administrasi pemerintahan ditentukan berdasarkan kebutuhan serta tuntutan kondisi waktu dan zaman. Dan pengalaman manusia saat ini mengungkapkan bahwa pemerintahan demokratis dan Republik sebagai pemerintahan yang paling tepat.
Al-Qur`an adalah petunjuk dan pedoman yang mengajarkan kita bagaimana menjalankan ritual keagamaan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, Islam dan umat Muslim tidak memiliki masalah dengan konstitusi modern, selama konstitusi itu demokratis dan menjamin kebebasan umat Muslim untuk menjalankan ritual keagamaannya.
Tidak sedikit orang yang berbicara tentang Islam dan demokrasi mengklaim bahwa mereka berbicara atas nama agama dengan pemahaman bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat didamaikan. Persepsi ketidakcocokan timbal balik antara Islam dan demokrasi ini meluas ke masyarakat yang juga menuntut ditegakkannya demokrasi. Argumen yang dikemukakan didasarkan pada gagasan bahwa agama Islam berpijak pada aturan Tuhan, sedangkan demokrasi didasarkan pada pendapat dan perspektif manusia, sehingga keduanya saling bertolak belakang. Di sini, demokrasi telah menjadi korban dari perbandingan dangkal antara Islam dan demokrasi.
Ungkapan “kedaulatan adalah milik rakyat” tidak berarti bahwa kedaulatan diambil dari Tuhan dan diberikan kepada manusia. Sebaliknya, ungkapan ini berarti bahwa kedaulatan diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia; yang berarti bahwa kedaulatan telah dirampas dari para penindas/diktator/tiran dan diberikan kepada anggota masyarakat. Hingga taraf tertentu, era al-Khulafa` al-Rasyidin dalam Islam mengilustrasikan penerapan karakter demokratis ini terkait dengan demokrasi.
Dari sudut pandang kosmis, tidak diragukan lagi bahwa Tuhan berdaulat atas seluruh alam semesta; di mana ide dan gagasan manusia selalu tunduk pada aturan dan kekuasaan Tuhan. Namun, ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki kemauan, keinginan, atau pilihan; manusia bebas dalam pilihannya dan dalam kehidupan pribadinya, juga menikmati kebebasan memilih dan dipilih sehubungan dengan tindakan sosial dan politiknya.
Berbagai negara di dunia melakukan beberapa jenis pemilihan untuk memilih legislator dan eksekutif, dan tidak ada cara tunggal untuk melakukan pemilihan. Fakta ini terjadi bahkan di era kenabian, semasa Nabi Muhammad Saw., dan selama masa pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidin. Pemilihan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq ra., berbeda dengan pemilihan khalifah kedua, Umar ibn al-Khaththab ra., berbeda dengan pemilihan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan ra., dan berbeda dengan pemilihan khalifah keempat, Ali ibn Abi Thalib ra.. Tidak ada yang mengetahui cara yang benar untuk memilih dan dipilih kecuali Tuhan.
Kalau dilihat, Abu Bakr al-Shiddiq ra. dipilih oleh rakyat banyak, sedangkan Umar ibn al-Khaththab ra. terpilih setelah Abu Bakr al-Shiddiq ra. menominasikannya untuk mengisi posisi khalifah. Kemudian Utsman ibn Affan ra. terpilih setelah Umar ibn al-Khaththab ra. mengacu pada Tim Sepuluh. Beberapa kelompok menentang pemilihan Ali ibn Abi Thalib ra., dan pemerintahan lain kemudian didirikan di Damaskus ketika ada kesempatan oleh Muawiyah. Selama era Bani Umayyah, kekuasaan pemerintahan mulai diwariskan dari ayah ke anak laki-laki, dan praktik ini berlanjut hingga pemerintahan Dinasti Utsmaniyah.
Era al-Khulafa` al-Rasyidin sebenarnya merupakan era demokrasi yang tidak diakui. Empat khalifah, yang merupakan pemimpin negara Islam besar di masa lalu itu, perlu mendapatkan persetujuan rakyat untuk pemilihan mereka memangku jabatan khalifah. Begitulah cara Abu Bakr al-Shiddiq menjadi khalifah pertama bagi umat Muslim setelah Nabi Saw.; tiga khalifah berikutnya menduduki posisi ini dengan persetujuan masyarakat, dan ini adalah inti dari demokrasi. Peralihan jabatan khalifah dari ayah ke anak laki-laki, seperti yang terjadi dalam sistem keluarga yang berkuasa, bukanlah hal yang dibenarkan oleh Islam. Namun, sistem dinasti ini muncul dalam sejarah Islam dan hampir tidak mewakili semangat sebenarnya dari sistem pemerintahan Islam.
Demokrasi adalah aturan rakyat, dan merupakan bentuk mendalam dari ‘republik’, bahkan jiwa republik itu sendiri, dan dimensi paling manusiawi dari republik. Untuk alasan ini, sampai taraf tertentu, demokrasi selalu ada di masa lalu meskipun tidak disebut demikian. Kita bahkan dapat berbicara tentang republik dan keberadaan demokrasi tanpa nama selama periode al-Khulafa` al-Rasyidin. Periode ini mencerminkan pola pemerintahan Islam yang sesungguhnya.
Bahkan, kalau kita melihat undang-undang Dinasti Utsmaniyah, secara garis besar, banyak orang menilai era Utsmaniyah sebagai era sekularisme; sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dasar yang terkait dengan keyakinan dan ibadah, inovasi-inovasi baru dilakukan dalam menerapkan undang-undang dan peraturan, yang tidak ada teks eksplisitnya di dalam al-Qur`an, sunnah, dan sumber-sumber utama syariat. Seiring berjalannya waktu, dan dengan munculnya persoalan-persoalan baru, dalam suatu situasi di mana tidak ada teks yang jelas dan tegas, maka undang-undang dan peraturan baru dikeluarkan dengan pertimbangan tidak bertentangan dengan sumber-sumber tersebut.
Islam adalah agama ilahi dan surgawi, sedangkan demokrasi adalah bentuk pemerintahan dan administrasi yang dilakukan oleh manusia. Tujuan utama agama adalah berhubungan dengan tema-tema universal seperti iman, pengabdian kepada Tuhan, pengetahuan tentang Tuhan, dan berbuat kebaikan dan kebajikan. Al-Qur`an, di dalam ratusan ayatnya, mengajak manusia untuk beriman dan menyembah Allah Swt., mengajak manusia untuk memperdalam dan memantapkan keimanan serta ketakwaan mereka kepada Allah dengan cara yang memungkinkan mereka mencapai kesadaran akan konsep ihsan. “Keyakinan, keimanan, dan amal saleh” adalah salah satu topik yang sangat ditekankan oleh al-Qur`an. Al-Qur`an berulang kali mengingatkan manusia mengenai perlunya menjaga hubungan dekat dengan Allah Swt., menyembah-Nya dan bertindak seolah-olah mereka melihat-Nya (menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu).
Mendefinisikan Islam dengan cara ini dapat memainkan peran penting di dunia Islam dengan memperkuat dan memperkokoh bentuk-bentuk demokrasi lokal dan memperluas cakupannya dengan cara yang membantu manusia memahami hubungan antara dunia material dan spiritual. Dengan begitu kita dapat yakin bahwa Islam akan memperkaya dan memperkuat konsep demokrasi dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan mendalam manusia seperti kepuasan dan keyakinan spiritual, yang hanya dapat dicapai melalui mengingat Allah.
Prinsip dan bentuk pemerintahan yang menjadi dasar demokrasi adalah sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti; prinsip-prinsip syûrâ (musyawarah), kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat dan kritik, kebebasan berkeyakinan, perlindungan hak-hak individu dan minoritas, kebebasan masyarakat dalam memilih individu yang akan memerintah mereka, pertanggungjawaban penguasa atas tindakan dan perilaku mereka, larangan penindasan mayoritas terhadap minoritas dan seterusnya dapat diambil sebagai contoh nilai dan prinsip yang dianut oleh Islam dan demokrasi. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili menyatakan,
وحرية الفكر تستتبع حرية الرأي والنقد والقول، وذلك واضح من مبدأ الإسلام في تكوين الشخصية الذاتية، والحض على صراحة القول، والأمر بالمعروف، وعدم إقرار المنكر، والجهر بالحق دون خشية من أحد أو مخافة لومة لائم، فلا يكون النقد حقاً فقط، وإنما هو واجب ديني أحياناً في ضوء مفاهيم الإسلام، وضرورة الحفاظ على أحكامه
“Dan kebebasan berpikir mengiringi kebebasan berpendapat, mengkritik dan berbicara, yang itu jelas merupakan bagian dari prinsip Islam dalam membentuk kepribadian, juga desakan untuk berbicara lantang, amar ma’ruf, tidak mengakui kemungkaran, berani menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut terhadap seseorang atau takut terhadap celaan pencela. Kritik bukan hanya hak, tetapi terkadang lebih merupakan kewajiban agama dalam konsep Islam, dan kebutuhan untuk mempertahankan ketentuan-ketentuannya.”
Demokrasi menyediakan ruang yang cocok bagi umat manusia untuk memenuhi kebutuhan akhirat mereka, baik mereka yang beriman atau tidak. Seperti membuka jalan untuk melaksanakan shalat, puasa, dan pergi ke gereja, pure, atau tempat-tempat ibadah lainnya menurut agamanya masing-masing. Jika tidak, itu akan menjadi sistem yang hanya beroperasi menurut keinginan sebagian orang. Dengan tersedianya ruang ini, maka setiap orang akan menemukan tempat untuk dirinya sendiri di dalamnya.
Di negara di mana umat Muslim di suatu negara bebas menjalankan ritual keagamaan mereka, bisa mendirikan lembaga keagamaan mereka tanpa hambatan, mampu mengindoktrinasi nilai-nilai agama mereka kepada anak-anak mereka dan orang-orang yang ingin mempelajarinya, mereka memiliki kebebasan penuh untuk berekspresi, mereka dapat terlibat dalam perdebatan publik, dan menyampaikan tuntutan agama mereka dalam kerangka hukum dan demokrasi, maka kebutuhan untuk mendirikan negara agama menjadi tidak perlu.
Islam—sebagai agama—adalah seperangkat prinsip dan praktik yang berlandaskan wahyu ilahi, dan membimbing manusia menuju kebaikan tertinggi melalui kehendak bebas mereka, dan menunjukkan kepada mereka bagaimana berusaha menjadikan diri mereka pribadi yang sempurna. Setiap orang dapat menjalankan keyakinan dan ibadah mereka secara bebas di negara demokrasi.
Sepanjang sejarah, kebebasan berkeyakinan dan beribadah telah menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi penganut agama apa pun. Seringkali, orang harus menyembunyikan doanya karena takut disiksa atau bahkan dibunuh jika terlihat sedang melakukan ritual keagamaan. Di negara demokrasi, kebebasan beribadah dilindungi sebagai hak asasi manusia.
Kalau kekuatan suatu negara dikendalikan secara paksa dan warga dipaksa untuk menganut satu agama tertentu, ini akan membuat mereka menjadi hipokrit. Mereka melihat kekuatan di dalam negaranya dan berpura-pura menjalankan ajaran agama yang dimaksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tetapi begitu mereka bepergian ke luar negeri, mereka menikmati kehidupan yang bertentangan dengan agama di negaranya, maka di negara seperti itu rasa hormat terhadap hukum akan melemah dan kemunafikan serta riya` menyebar.
Di negara demokrasi, pemilihan bebas diadakan sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia universal dan kebebasan. Semua orang dapat mengekspresikan pilihan mereka dengan memberikan suara mereka dalam pemilihan, menyampaikan tuntutan mereka kepada perwakilan mereka sepenuhnya secara bebas dan menggunakan hak demokrasi lain yang tersedia bagi mereka. Mereka dapat melakukannya secara individu atau kolektif dengan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi masyarakat sipil.
Oleh karena itu, memandang Islam tidak sesuai dengan demokrasi dan sebaliknya adalah keliru; dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang cocok dan sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam, baik dalam hal kemungkinan para penguasa dimintai pertanggungjawaban kepada rakyat maupun dalam hal ketidakselarasan dengan tirani, yang didefinisikan Islam sebagai bentuk pemerintahan yang tidak adil. Dalam hal ini, Islam dapat dengan mudah selaras dengan hak asasi manusia, pemilihan umum yang demokratis, akuntabilitas, supremasi hukum, dan prinsip-prinsip dasar lainnya.
Mengatakan bahwa “tidak ada alternatif selain demokrasi” mungkin tidak ideal, tetapi demokrasi adalah sistem terbaik yang tersedia untuk saat ini. Sebagian kelompok bisa jadi keberatan dengan perkataan ini, tetapi ada banyak penggunaan, penerapan dan ragam bentuk demokrasi, dan kita dapat mengatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang ideal untuk saat ini.
Suatu negara yang menjamin dan melindungi kebebasan, seperti kebebasan hidup, kebebasan berekspresi, kebebasan memiliki harta benda, kebebasan berkeluarga, dan kebebasan berkeyakinan, serta tidak membatasi kebebasan dan hak-hak individu kecuali dalam situasi luar biasa seperti perang; di mana minoritas diperlakukan sebagai warga negara yang punya hak sama tanpa diskriminasi, dan memungkinkan orang untuk dengan bebas mendiskusikan dan menyampaikan pandangan pribadi, sosial dan politik mereka, maka itu adalah negara yang sesuai dengan spirit Islam. Kalau orang dapat dengan bebas mengekspresikan keyakinan dan pendapat mereka, tentu mereka akan menghargai agama mereka, melakukan tugas dan ritual keagamaan mereka, dan menikmati kebebasan mereka seperti membeli properti secara bebas, dan umat Muslim atau penganut agama lain tidak seharusnya mengubah sistem ini.
Jika Islam adalah agama keyakinan, ibadah dan moral, maka tidak ada seorang pun di negara mana pun yang dapat menolak demokrasi. Namun, mengabaikan sistem ini dan menjadikan Islam tampak hanya sebagai salah satu bentuk pemerintahan, itu tidak lain karena salah memahami Islam, dan, dengan demikian, merepresentasikan dan melambangkan posisi dan proyek politik tertentu. Maksudnya, Islam perlu dihadirkan ke segmen masyarakat yang lebih luas sebagai fenomena yang sangat terkait dengan keyakinan, penerapan praktis, dan moralitas.
Setiap Muslim harus bertindak sesuai dengan etika Islam, baik dalam dimensi sipil dan kemasyarakatan, atau dalam urusan publik dan bidang pemerintahan. Artinya, mereka harus mematuhi nilai-nilai moral Islam di manapun berada. Pencurian, penyuapan, korupsi, penjarahan, pekerjaan ilegal, fitnah, dan degradasi moral adalah dosa dan merupakan hal-hal yang tidak sah dalam semua konteks. Dosa-dosa ini tidak dapat dilakukan untuk tujuan apa pun, baik politik atau lainnya. Selain itu, dosa-dosa ini dianggap sebagai kejahatan bahkan dalam kerangka standar yang diakui secara internasional. Dan jika individu kehilangan integritas moralnya dalam aspek ini, maka perannya dalam urusan publik atau politik menjadi sia-sia.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!