Pos

Merebut Tafsir: Meluaskan Ruang Jumpa

Oleh Lies Marcoes

Kamis, 4 April 2019,  Rumah KitaB menyelenggarakan acara RW Layak Anak di Kelurahan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Ini menandai berakhirnya program pendampingan secara “formal” sesuai durasi program pencegahan kawin anak ” BERDAYA” di wilayah urban Jakarta. (Dua wilayah lain di Cirebon dan kota Makassar).
Program BERDAYA tak jatuh dari langit yang tanpa data. Program ini berangkat dari riset RK 2014-2015 bahwa kawin anak di perkotaan merupakan limpahan krisis ekonomi akibat perubahan ekologi dan hilangnya kuasa rakyat atas (kelola dan kepemilikan) tanah di perdesaan. Jadi, selain berdampak langsung di tempat/ di desa dan kepada warga desa, perubahan ruang hidup, politik agraria yang menyempitkan akses dan kuasa warga atas tanah di perdesaan, juga membuncah dan merembes ke kota. Banyak orang tua yang tak lagi sanggup bertahan di desa mencoba peruntungan nasib di kota. Mereka memboyong keluarga berikut anak-anak dan tinggal di wilayah pinggiran, tersembunyi di lipatan-lipatan gedung tinggi dan gemerlap kota. Salah satu wilayah lemparan kegagalan di desa itu adalah Jakarta Utara.

Acara hari ini di selenggarakan persis di mulut gang yang dulu dikenal dengan nama “gang sempit” dekat “gang macan”. Gang sempit terletak sepelemparan batu dari pelabuhan bongkar muat dan pelelangan ikan. Gang sempit pernah dikenal sebagai daerah prostitusi kelas teri, tempat para lelaki pekerja dan anak buah kapal antar pulau membuang hajat birahinya.

Kini, dengan usaha persuasi dari banyak pihak, wilayah itu telah menjadi hunian keluarga daripada lokalisasi. Hari itu, Kamis, 4 April 2019, gang itu akan mengubah peta DKI dengan perubahan nama dari nama “Gang Sempit” menjadi “Gang Berkah”. Meskipun bernuansa agama, saya tak mencium aroma “Islamisasi” sebagai cara untuk menekan wilayah prostitusi itu melainkan adanya kehendak warga, tokoh masyarakat, orang tua terutama ibu, pemerintah dan lembaga-lembaga penghubung antara pemerintah dan warga termasuk RT RW untuk membuat wilayah itu aman bagi tumbuh kembang anak. Mereka telah menentukan pilihan bagi lingkungannya yaitu pilihan untuk membebaskan anak-anak mereka dari praktik-praktik yang mengancam masa depannya yaitu perkawinan “terpaksa” dan narkoba.

Pendampingan selama dua tahun intensif tiap minggu dengan melakukan pengorganisasian yang tidak datang dari ruang hampa melainkan berdasakan pemetaan potensi untuk berubah adalah kunci.
Secara sosiologis ini adalah wilayah yang benar-benar bineka menampakkan wajah Indonesia sejati. Segala suku bisa ditemukan di sini dengan gembolan budayanya masing-masing. Lapangan pekerjaan informal paling mendominasi mengingat latar belakang pendidikan bawaan dari kampung halaman. Demikian juga segala aliran dan organisasai keagamaan ada disini. Di sini pula segala lambang partai berbaris berjejer di tepi jalan sempit penguji kesabaran berlalu lintas agar tetap bisa melaju bersaing dengan meja-meja penjual panganan atau kandang burung dan macam-macam gerobak dorong. Beberapa gambar habib tertempel di rumah-rumah melebihi gambar simbol-simbol negara. Namun hal yang tak ditemukan cukup kuat adalah ruang bersama tanpa sekat. Sekat-sekat labirin yang gampang memunculkan gesekan akibat keragaman itu membutuhkan ruang jumpa.

Strategi Rumah KitaB adalah memperkuat “engagement”, menciptakan ruang perjumpaan yang lebih luas tempat di mana macam-macam orang bisa bertemu. Pertemuan-pertemuan informal dilakukan tanpa mengganggu ruang yang telah ada. Kami “menghindari” pemanfaatan ruang sosial komunitas yang secara nyata telah menciptakan sekat dengan sendirinya seperti majelis taklim. Meski itu juga di ‘masuki’ namun itu tak diutamakan. Hal yang dilakukan dalam kaitannya dengan ruang jumpa internal agama (Islam) adalah mempertemukan tokoh-tokohnya dengan latar belakang NU, Muhammadiyah dan ormas lain untuk berjumpa di isu pencegahan kawin anak.

Ruang jumpa lain ditemukan dalam kegiatan remaja berupa seni tradisional Lenong. Seni drama tradisional yang interaktif antara pemain dan penonton ini, secara simbolik membaurkan sekat-sekat warga. Upaya pencegahan perkawinan anak menemukan bentuk engagement itu di sana.

Siang itu, selain pertunjukan Lenong, disajikan tarian Ronggeng/Cokek Betawi yang syarat simbol percampuran budaya Cina, Betawi, Arab, Bali dan Sunda. Tari Cokek itu menjadi perekat yang kuat yang secara simbolis menggambarkan keragaman itu. Hal yang saya suka, tarian itu tak mereka ubah untuk “tunduk” pada ketentuan yang kini menjangkiti tiap ‘performance” yang berupaya memodifikasi pertunjukkan itu agar tampak lebih santun atau bermoral. Tarian cokek ya cokek, gerakannya bebas, lembut sekaligus bertenaga, sensual tapi tak vulgar.

Hari itu, di bawah tenda merah putih, lebih dari 500 warga tumpah ruah ikut tergelak-gelak menyaksikan drama lenong yang memvisualisasikan pengalaman setempat bagaimana perkawinan anak terjadi dan cara memutus rantai kawin anak itu. Pesannya adalah pelibatan dan kepedulian para pihak dengan menciptakan ruang jumpa. Sebuah ruang imajinasi yang dapat mendesak sekat- sekat pemisahnya yang mematikan sikap peduli dan membangun kepedulian dengan cara baca baru- kawin anak bukan hal yang wajar, karenanya perlu ditawar/dinegosiasikan.[]

 

 

Pemutaran Film “Memecah Kawin Bocah” di Cardno Gathering

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, tanggal 13 Maret 2019, Rumah KitaB mendapatkan undangan dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), salah satu project Cardno, untuk memutar film produksi Rumah KitaB, Memecah Kawin Bocah di ruang K-Hub, AIPJ2.

 

Rumah KitaB diwakili oleh Fadilla Putri selaku Program Manager untuk menjelaskan secara singkat latar belakang film yang ditayangkan. Dari Rumah KitaB hadir pula Achmat Hilmi, Manajer Kajian dan Advokasi, dan Seto Hidayat, Staf Media dan Desain. Dalam kesempatan itu, sekitar 100 peserta hadir, yang terdiri dari staf Cardno, AIPJ2, KIAT, dan project-project Australia Aid lainnya yang berada di bawah naungan Cardno.

 

Pada kesempatan ini, selain Rumah KitaB, juga ditayangkan sebuah video singkat dari KIAT yang bercerita tentang seorang perempuan yang bekerja sebagai mandor pekerjaan proyek infrastruktur. Menurutnya, banyak yang memandang sebelah mata dirinya karena pekerjaan mandor adalah pekerjaan laki-laki. Namun, dia berhasil untuk membalikkan perspektif tersebut.

 

Setelah itu, Rumah KitaB menayangkan film Memecah Kawin Bocah versi pendek, yaitu sekitar 12 menit. Film ini merupakan bagian dari penelitian Rumah KitaB yang berlangsung selama 2 tahun di 5 provinsi di Indonesia. Penelitian ini berusaha untuk meneliti perkawinan anak dari perspektif yang berbeda, yaitu faktor-faktor penyebab dan aktor yang terlibat, dibandingkan melihat dari sisi dampak negatifnya. Film ini juga berupaya untuk memberikan ‘harapan’, bahwa di balik kompleksnya permasalahan, sudah ada upaya-upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah daerah, CSO, maupun lembaga pendidikan untuk mencegah praktik tersebut.

 

Film ini merupakan rangkuman dari hasil temuan penelitian yang sangat kompleks, menghasilkan empat temuan utama. Pertama, perkawinan anak terjadi karena perubahan ruang hidup yang menyebabkan kemiskinan struktural. Kedua, perkawinan anak terjadi karena tidak seimbangnya relasi gender antara perempuan dan laki-laki, yang menyebabkan anak perempuan lebih rentan mengalaminya. Ketiga, perkawinan anak terjadi karena adanya peran dari kelembagaan formal maupun nonformal. Terakhir, perkawinan anak terjadi karena adanya argumentasi-argumentasi keagamaan yang digunakan sebagai justifikasi untuk mengawinkan anak di bawah umur.

 

Setelah film selesai ditayangkan, ada sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Lia Marpaung selaku GEDSI Manager bersama Craig Ewers, AIPJ2 Team Leader dan Fadilla Putri, Program Manager Rumah KitaB.

 

Salah satu pertanyaan menarik yang muncul adalah, apakah sudah ada upaya pencegahan yang dilakukan melalui pendekatan kebudayaan. Program BERDAYA, kerja sama Rumah KitaB dan AIPJ2, merupakan program pencegahan perkawinan anak dengan pendekatan bekerja bersama komunitas, yang terdiri dari tokoh formal dan nonformal, orangtua, dan remaja. Melalui program ini, BERDAYA melakukan penguatan kapasitas para pihak tersebut, salah satunya dengan menyampaikan fikih-fikih alternatif yang berpihak pada anak perempuan. Hal ini merupakan salah satu cara efektif untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap pencegahan perkawinan anak karena Rumah KitaB memiliki kekuatan yang cukup besar dalam pembacaan teks keagamaan menggunakan metode Maqashid Syariah.

 

Setelah sesi tanya jawab selesai, acara ditutup dengan makan siang dan networking.

 

Link film:

Ngobrol Strategi Medsos di acara “Cakap Kamisan” Bersama AIPJ2

Kamis, 7 Februari 2019, Rumah KitaB hadiri “Cakap Kamisan” dengan tema “Ngobrol Bareng MaPPI FHUI, PeaceGen dan Maverick  dengan tema Strategi Medsos untuk LSM dan Komunitas.” Acara diadakan pada pukul 10.00 – 12.00 di K-HUB kantor AIPJ2, Jakarta.

Narawicara acara tersebut adalah Neka Rusyda Supriatna dari MaPPI FHUI, Arijal Hadiyan dari Peace Generation dan Thio Adynata dari Maverick.

Acara ini merupakan sharing kegiatan pelatihan sosial media untuk LSM dan komunitas yang dilakukan Maverick melalui program Catalyst  yang berlangsung akhir tahun 2018. MaPPI FHUI dan PeaceGen adalah  dua di antara kandidat yang terpilih.

MaPPI FHUI sendiri merupakan lembaga kajian dan penelitian di bawah Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Lembaga ini bergerak dalam bidang Penelitian dan Advokasi Peradilan. Isu yang diangkat antara lain kekerasan seksual dan korupsi. Sedangkan PeaceGen merupakan lembaga non pemerintah yang target utamanya adalah pencegahan konflik dengan “12 formula perdamaian” yang mereka miliki.

Dalam Cakap Kamisan ini MaPPI dan PeaceGen berbagi pengalaman sebagai peserta pelatihan untuk  pengoptimalan sosial media oleh Maverick. Selain itu, mereka juga membahas tentang strategi-strategi dan target yang bisa diimplementasikan dalam menarik viewers maupun followers. Tak ada rumus pasti dalam praktik ini karena objektif tiap-tiap lembaga bisa berbeda. Namun hal yang niscaya adalah sepanjang konten dibuat menarik dan konsisten maka viewers dan followers akan terus bertambah. Intinya konten harus dibuat sesuai target reader maupun viewer.

Tantangan dari maintaining sosial media dan website dalam suatu lembaga adalah terbatasnya orang yang menguasai seluk beluk media dan cara membuat konten yang menarik. Hal ini terkait dengan  kenyataan bahwa visualisasi merupakan  kunci  dalam penerjemahan konten. Infografis dan data dengan gambar maupun animasi merupakan konten yang bagus untuk terciptanya engagement. Rekomendasi  atas tantangan  yang bersifat teknis  ini  adalah dengan membuat konten menarik dengan memanfaatkan situs desain grafis online yang bisa diakses secara gratis. Situs tersebut memiliki ribuan foto, grafik, dan font baik gratis maupun berbayar yang bisa diutak-atik sesuai keperluan. Program itu bisa dipakai oleh orang awam sekalipun untuk membuat konten dengan visualisasi menarik.

Berikut adalah beberapa website yang bisa digunakan untuk membuat konten agar lebih menarik:

Selain itu, dengan banyaknya sosial media yang ada ditambah lagi dengan website, kadang pengelolaan sosial media suatu lembaga tidak fokus sehingga konten yang diunggah sama di semua media sosial dan terkesan monoton. Salah satu rekomendasi yang ditawarkan adalah dengan fokus pada satu media sosial saja.

Sosial media memang sudah menjadi hal tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini. Oleh karena itu penggunaan sosial media dalam kampanye maupun menyebarkan informasi sudah menjadi keharusan. Strategi-strategi khusus terkait konten maupun sasaran khalayak menjadi faktor penting karena setiap konten dari setiap lembaga sudah pasti punya target berbeda. [Seto]

SEMINAR NASIONAL BERDAYA: PERAN KELEMBAGAAN FORMAL DAN NON FORMAL DALAM PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK

JAKARTA, 24 APRIL 2018 – Dalam rangka mensosialisasikan Program BERDAYA untuk pencegahan perkawinan anak, Rumah KitaB menyelenggarakan SEMINAR NASIONAL dengan tema “PERAN KELEMBAGAAN FORMAL DAN NON FORMAL DALAM PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK”  bersamaan dengan peringatan HARI KARTINI 2018 di Hotel Crowne Plaza, Jakarta, 24 April 2018.

BERDAYA adalah program Rumah KitaB untuk pemberdayaan perempuan melalui penguatan kapasitas kelembagaan formal dan non formal dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Indonesia  telah berkomitmen untuk melakukan pencegahan perkawinan anak guna memenuhi hak-hak perempuan dan anak serta  mencapai target – target pembangunan kemanusiaan seperti SDGs.

Program BERDAYA  Rumah KitaB bertujuan untuk memberi kontribusi pada upaya penurunan perkawinan anak di Indonesia. Secara lebih khusus, Rumah KitaB bekerja di wilayah urban dan pesisir di  Jakarta Utara, Cirebon dan Makassar. Dalam pelaksanaannya Rumah KitaB mendapat penguatan dari KPPPA, Kementerian Agama, Badan Peradilan Agama serta dukungan teknis dari program kerjasama BAPPENAS dengan Pemerintah Australia melalui program bantuan yang dikelola Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Seminar Nasional BERDAYA ini dihadiri oleh beberapa tamu undangan yang sekaligus memberikan sambutan antara lain Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST, MIDS, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, BAPPENAS; Dina Nurdinawati, S.K.Pm, M.Si, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor; Lenny Rosalin,  MSc. M.Fin, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA); dan Dra.Maria Ulfah Anshor, M. Si, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB

Acara dibuka oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB. Dalam paparannya beliau menjelaskan hasil penelitian Rumah KitaB tentang praktik perkawinan anak di wilayah kerja BERDAYA (Panakkukang, Makassar; Cilincing, Jakarta Utara; Lemahwungkuk, Cirebon; dan Babakan Madang, Bogor). Hasil penelitian memperlihatkan gambaran gunung es persoalan kelembagaan tersamar yang berpengaruh kepada perkawinan anak yang tidak bisa didekati oleh pendekatan legal formal.

Acara tersebut diisi oleh pidato kunci dari Prof. Dr. Arskal Salim, MA, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI dan peneliti Hukum Keluarga di Indonesia.

Dr. Dave Peebles bersama Prof. Dr. Arskal Salim

“Perkawinan usia anak melanggar Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),” tegasnya.

Seminar juga dihadiri oleh Dr. Dave Peebles, Penasehat Menteri untuk Bidang Komunikasi Politik dan Strategis di Kedutaan Besar Australia, Jakarta.

“Praktik kawin anak di Indonesia sangat tinggi, namun Indonesia bukan hanya negara yang memiliki permasalahan kawin anak. Australia pun memiliki permasalahan tersebut. Oleh karena itu Pemerintah Australia sangat mendukung kerjasama pencegahan kawin anak. Hal ini diharapkan menjadi salah satu pembelajaran satu sama lain untuk pencegahan kawin anak,” ungkapnya.

Rumah KitaB juga meluncurkan 3 buku baru yaitu Kawan dan Lawan kawin Anak, Mendobrak Kawin Anak, dan Maqashid al Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Islam.

Buku Kawan dan Lawan Kawin Anak merupakan buku tentang hasil asesmen Program BERDAYA di empat wilayah urban di Indonesia (Jakarta Utara, Bogor, Cirebon, dan Makassar).

Seminar dilanjutkan dengan diskusi panel yang di moderatori oleh Dr. Syafiq Hasyim.

Acara ditutup oleh kesimpulan yang dibawakan oleh Lies Marcoes. Beliau menjelaskan bahwa untuk mencegah kawin anak dibutuhkan upaya-upaya yang konkret karena kawin anak adalah fenomena darurat.

 

Untuk mencapai tujuannya secara optimal, perlu adanya perubahan di tingkat pemimpin/tokoh formal dan non formal, pada orangtua, kalangan remaja (terutama anak perempuan), dan di ranah kebijakan serta norma sosial. Empat aktor/faktor ini – berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Rumah KitaB di  lima provinsi dan dua  kota (terdiri dari sembilan kabupaten/kota) – merupakan elemen yang berpengaruh pada praktik kawin anak. Penurunan praktik dan jumlah kawin anak tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan cara pandang, keyakinan, pengetahuan, sikap dan keberpihakan dari aktor-aktor di atas.

Berikut adalah kesimpulan dari seminar tersebut:

  • Pertama, harus memperkaya data dengan perspektif anak perempuan/perempuan; atau sering disebut perspektif gender.
  • Kedua, harus tercipta terus menerus jaringan kerja, para pihak yang concern pada persoalan ini baik formal maupun non formal.
  • Ketiga, harus membuat bising di semua level dari mulai keluarga, komunitas sampai negara.
  • Keempat, isu kawin anak tidak bisa diisolasi sebagai isu kawin anak semata tapi harus dilihat dari berbagai aspek; aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi dan politik.
  • Kelima, perlu adanya sinkronisasi regulasi/unifikasi hukum agar tidak terjadi dualisme hukum (hukum agama dan hukum negara). Negara kita adalah negara hukum jadi yang harus dipatuhi adalah aturan hukum.
  • Keenam, menghapus praktik tradisi yang basisnya adalah mengancam hak anak perempuan untuk tumbuh dan berkembang.
  • Terakhir, mengawal Perpu untuk penghentian dan pencegahan terutama pasal 7 yang terkait dengan izin untuk menikah. Untuk itu, masalah tentang batas perkawinan harus menggunakan pasal 6 (Batas kawin laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 21 tahun), mengawal Perma terkait dispensasi, mengawal strategi nasional yang akan dicanangkan oleh Bappenas dan melakukan upaya sosialisasi hasil KUPI. [Seto Hidayat]  

Penyusunan Modul Pencegahan Perkawinan Anak Melalui Penguatan Kelembagaan Formal dan Non Formal

AIPJ2, JAKARTA – Program BERDAYA (Pemberdayaan Kelembagaan Formal dan Non Formal) Rumah KitaB menyelenggarakan lokakarya Penyusunan Modul Pencegahan Perkawinan Anak melalui penguatan Kelembagaan Formal dan non Formal pada 17 Januari 2018 di Jakarta. Lokakarya ini didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dengan tujuan untuk mendapatkan masukan atas naskah yang terdiri dari enam modul. Draft modul ini disusun Tim Rumah KitaB dibawah koordinasi Ibu Lies Marcoes dan enam rekan penulis. Sesuai rencana, modul ini akan dipakai oleh fasilitator BERDAYA di 4 wilayah kerja program ini yaitu di Bogor, Cirebon, Jakarta Utara dan Sulawesi Selatan.

PROGRAM BERDAYA: Untuk mengurangi praktik perkawinan anak dengan memberdayakan peran pengambil kebijakan, pemimpin komunitas dan keluarga

Upaya pengurangan praktik perkawinan anak melalui revitalisasi lembaga formal dan non-formal, pemberdayaan peran tokoh masyarakat serta keluarga di daerah perkotaan wilayah Bogor, Cirebon, Makassar, dan Jakarta Utara.

Rumah KitaB bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) mengadakan
workshop pengenalan program dan team up untuk program BERDAYA di hotel Royal Padjadjaran, Bogor, 2-3 Agustus 2017.
Lies Marcoes, penanggungjawab program mengatakan bahwa angka perkawinan anak di Indonesia meningkat. Mengutip data BPS dan UNICEF, satu di antara empat (1: 4) perempuan kawin sebelum mencapai 18 tahun. Salah satu elemen kunci dari praktik ini adalah kelembagaan-kelembagaan yang menjadi pintu masuk berlangsungnya perkawinan anak.

“ Penelitian Rumah Kitab di sembilan daerah menunjukkan, pemimpin formal, non-formal menjadi kunci upaya pencegahan praktik ini, sebab di tangan merekalah perkawinan anak dapat berlangsung atau ditolak” demikian direktur Rumah Kitab menegaskan dalam pembukaan.

 

Dalam workshop tersebut hadir seluruh koordinator lapangan dan asisten mereka yang berjumlah delapan orang. Selain itu materi workshop dikuatkan nara sumber seperti Ir. Dina Nurdinawati, MA dari IPB yang menyajikan hasil survey Rumah KitaB, Rahima, dan UNICEF di Sumenep dan Probolinggo. Survey dengan responden hampir 1000 orang ini melihat perbedaan signifikan di antara kedua wilayah itu terkait praktik kawin anak dan menegaskan pentingnya bekerja dengan para lelaki baik di kelembagaan formal maupun non-formal. Karena ujung tombak dari program ini adalah sosialisasi media, tiga nara sumber untuk isu ini turut bicara; Civita dari Matabiru yang membagi website Jaringan Remaja Sehat yang dikelola Jaringan AKSI dan Rumah Kitab, Mulyani Hasan, wartawan senior dan koordinator program BERDAYA di Sulawesi Selatan dan Mira Renata, program officer pengelolaan Media Komunikasi AIPJ2.

Menyadari bahwa pemilihan lokasi penelitian juga terkait dengan upaya pencegahan radikalisme yang menyasar keluarga dan anak perempuan. Woskhop ini membahas dengan sangat mendalam logika berpikir keterhubungan fundamentalisme dan praktik perkawinan anak. Salah satu tahapan paling penting dalam workshop ini adalah penentuan indikatir perubahan yang dipandu oleh Lia Berliana Marpaung gender spesialis dari AIPJ2 dan Ibu Lies Marcoes dari Rumah KitaB. Dengan menggunakan staregi Gender Analysis Pathway yang dimandatkan Bappenas, Rumah Kitab mendesain indikator dengan menggunakan tangga perubahan Akses Partisipasi Manfaat Kontrol.
Tangga Perubahan ini juga digunakan sebagai parameter yang dapat diukur. Tangga perubahan itu meliputi:

Kecamatan Panakkukang Kedatangan Tamu Dari Australia

MAKASSAR, KORANMAKASSARNEWS.COM — Tidak biasanya kantor kecamatan yang ada di Kota Makassar yang berjumlah 15 ini termasuk Kecamatan Panakkukang, yang dulu hanya menerima tamu dari dari daerah atau kota/kabupaten luar. Namun, kali ini kecamatan Panakkukang Kota Makassar kedatangan tamu dari luar negeri yakni Dr. Sharman Stone, Duta Besar (Dubes) Australia untuk Perempuan dan Anak.

Kedatangan Dubes Dr. Sharman Stone di Kantor Kecamatan Panakkukang disambut hangat oleh warga yang hadir. Adapun maksud kedatangan Dr. Sharman ialah melakukan dialog bersama warga Kecamatan Panakkukang dengan tema “Upaya Pencegahan Kawin Anak di Kecamatan Panakkukang”.

Turut hadir dalam dialog tersebut Wakil Ketua TP PKK Provinsi Sulawesi Selatan Dr. Ir. Hj. A. Majdah M. Zain, M.Si, Ketua TP PKK Kota Makassar Hj. Indira Jusuf Ismail, Kepala Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan Kota Makassar, Tenri Palallo serta selaku tuan rumah Camat Panakkukang Muh. Thahir Rasyid.

Sekilas tentang, Dr. Sharman Stone adalah pejuang dan pembela keadilan dan kesetaraan gender baik di Australia maupun di dunia internasional. Beliau juga mantan politisi Australia yang aktif didunia politik sejak tahun 1996 sampai 2016.

Dialog bersama warga ini merupakan juga merupakan kerjasama Rumah Kitab (Rumah Kita Bersama) dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2). Dengan isu perkawinan anak yang sangat kompleks, menunjukkan pentingnya memperhatikan masalah perkawinan anak di wilayah urban dengan fokus pada peran kelembagaan formal dan non formal.

Rumah Kitab mengembangkan program “Pencegahan Perkawinan Anak Melalui Revitalisasi Lembaga Formal/Non Formal dan Pemberdayaan Peran Tokoh Masyarakat serta Keluarga dan remaja di Kawasan Perkotaan”.

Dengan itu maka diselenggarakanlah dialog tentang upaya pencegahan kawin anak bersama warga Kecamatan Panakkukang. Selain itu Camat Panakkukang Muh. Thahir Rasyid selaku tuan rumah mengatakan pemerintah sangat mendukung dengan adanya kegiatan tersebut dan berharap dapat bermanfaat banyak bagi warga. (**)

 

Sumber: http://koranmakassarnews.com/2017/11/01/hebat-kecamatan-panakkukang-kedatangan-tamu-dari-australia/