RUU Perlindungan Umat Beragama: titik terang bagi kaum minoritas?
Pemerintah sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.
RUU ini akan menjadi panduan pemerintah menyikapi pemeluk agama di luar keenam agama yang telah diakui di undang-undang.
Di Indonesia diperkirakan ada ratusan aliran kepercayaan dan agama lain di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan RUU yang sedang dirancang pada dasarnya untuk memberikan perlindungan kepada umat beragama – untuk memeluk agama dan untuk menjalankan ajaran agama yang dipeluk umat tersebut.
Saat ini, Kementerian Agama masih menerima masukan dari berbagai kalangan bagaimana memperlakukan agama-agama dan aliran kepercayaan yang belum diakui.
“Apakah diluar yang enam (agama) itu perlu ada pengakuan, ini pandangannya masih sangat beragam. Ada yang ingin adanya pengakuan tapi tidak sedikit yang mengatakan negara tidak dalam posisi untuk memberikan pengakuan itu”, kata Menag Lukman.
“Lalu apa kalau tidak mengakui? Recognisi? Atau registrasi, mencatat saja? Ini yang sedang kita dalami.”
Aktivis hak-hak sipil Lies Marcus berpendapat agama-agama dan aliran kepercayaan tersebut harus diakui negara karena menjadi dasar dari hak-hak sosial para penganut agama yang dianggap kaum minoritas.
Hingga kini, yang banyak mendapat masalah dari ketiadaan payung perundangan adalah kepercayaan tradisional seperti Sunda Wiwitan, Parmalim, Kaharingan dan sebagainya.
Beberapa aliran atau paham dalam agama besar pun masih sering menghadapi masalah, seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Agama besar dunia seperti Yahudi juga tidak diakui di Indonesia.
Namun, saat ini kaum Yahudi Indonesia tak terlalu memprioritaskan pengakuan resmi. Dalam menjalankan peribadatan dan upacara agama, mereka melakukannya cukup tertutup, khususnya di Jakarta.
Sementara di Manado, umat Yahudi bisa sedikit lebih leluasa, terutama karena di sana ada sebuah sinagoga, yang sementara ini merupakan satu-satunya di Indonesia.
Tapi bukan berarti mereka tak mendapat masalah.
Seorang pemuka agama Yahudi di Lampung, Rabbi Benjamin Meir Cohen atau yang dikenal dengan Rabbi Ben mengatakan salah satu yang paling menyulitkan bagi mereka adalah ketika ada anggota komunitasnya yang ingin melangsungkan pernikahan.
“Saya mau sertifikat kawin yang saya tanda-tangani ini bisa diterima sebagai lampiran dalam Catatan Sipil. Sehingga kami tidak perlu lagi menggunakan sertifikat agama lain supaya bisa diterima perkawinan Catatan Sipil”, kata Rabbi Ben.
Rabbi Ben menambahkan mereka juga sulit membuat badan hukum walaupun tujuannya baik.
Diskriminasi
“Saya sudah mengajukan melalui notaris kami sebuah paguyuban Perkumpulan Masyarakat Gabungan Yahudi dan Turunan Ibrani Indonesia. Empat notaris mengatakan bahwa dari Departemen Hukum menolak nama kami.”
“Paguyuban ini supaya kami dibina oleh pemerintah… supaya memastikan bahwa langkah-langkah kita sesuai dengan tujuan luhur bangsa Indonesia, sehingga dengan pembinaan ini tidak ada kekhawatiran separatisme, atau rasisme”, Rabbi Ben mengisahkan.
Agama Yahudi memang masih mendapat sentimen negatif di masyarakat akibat pendudukan Israel di Palestina.
Namun dengan RUU ini diharapkan hak semua warga negara Indonesia, termasuk yang menganut agama Yahudi, dapat setara.
Hal senada dikatakan oleh Lies Marcus. Menurutnya, akibat dari kebijakan pengakuan hanya enam agama, banyak diskriminasi bahkan persekusi yang dialami oleh umat lain.
“Mereka tidak diakui akibatnya adalah seluruh hak-hak dasar dia sebagai warga negara menjadi hilang: tidak ber-KTP, tidak bisa menikah, anaknya kemudian dianggap hasil perkawinannya tidak sah, tidak mendapatkan akta kelahiran yang biasa. Begitu aktanya ‘Anak Ibu’ itu sangat potensial mendapatkan diskriminasi kelak”, jelas Lies Marcus.
Karenanya menurut Lies Marcus, pengakuan dan perlindungan atas hak-hak agama dan kepercayaan lain itu harus dijabarkan dalam perundangan.
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/10/161009_indonesia_ruu_perlindungan_umat_beragama