Reportase Pelatihan Tokoh dan Penceramah Agama di Kota Depok
Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) atas dukungan Investing in Women menyelenggarakan pelatihan untuk penguatan kapasitas tokoh agama dan para penceramah untuk membangun narasi hak perempuan bekerja di Kota Depok.
Kegiatan tersebut diselenggarakan secara hybrid (menggabungkan online dan offline) selama tiga hari, 22-24 Juni 2021 di The Margo Hotel, Depok. Menghadirkan 33 peserta terdiri dari 19 perempuan dan 14 laki-laki. 23 peserta hadir secara offline dan 10 lainnya melalui zoom meeting. Metode ini digunakan sebagai pertimbangan dalam pencegahan penularan covid-19 yang sedang melonjak.
Lima fasilitator dari Rumah KitaB hadir secara offline. Narasumber terdiri dari Nani Zulminarni (Pendiri PEKKA), Kiai Ulil Abshar Abdalla (board member Rumah KitaB/Kiai Senior), Dr. Abdul Moqsith Ghozali (MUI Pusat/ Dosen UIN Jakarta), dan Pandu Padmanegara (Communicaption). Lies Marcoes (Direktur Eksekutif) mendampingisecara online untuk memonitor perkembangan pelatihan.
Seperti tema pelatihan, bahwa peserta merupakan para tokoh agama dan penceramah yang memiliki keaktifan dalam menggerakan masyarakat melalui organisasi keagamaan, pesantren, dan majelis taklim di wilayah Depok. Di antara peserta ada yang merangkap sebagai guru, dosen, penyuluh agama, dan perwakilan kaum muda yang memiliki pengaruh dengan basis keagamaan. Usianya berkisar dari 25-60 tahun.
Pelatihan ini menggunakan pendekatan partisipatif. Kegiatan dibuka dengan identifikasi pemahaman tentang bekerja, dan pekerjaan laki-laki dan perempuan dalam persepsi peserta. Identifikasi tersebut menghasilkan konsep bekerja yang terklasifikasi menjadi tiga yaitu, kerja produktif, kerja reproduktif, dan kerja sosial atau komunitas. Kemudian dilanjut dengan peserta memetakan hambatan dalam perempuan bekerja.
Narasumber pertama adalah Kiai Ulil yang membahas tentang kontradiksi antar teks ajaran dan realitas. “bagaimana kita sebagai umat Islam membawa tradisi kemudian bertemu realitas yang berbeda. Kita dipaksa untuk berpikir ulang. Tentu saja semua yang kita jumpai di zaman sekarang disahkan semua, tentu tidak begitu. Kita pasti akan memakai standar moral yang sudah diajarkan dalam keagamaan kita. Tetapi kita berpikir ulang bagaimana melaksanakan ajaran tradisi kita di zaman yang berubah seperti ini”Ungkap Kiai Ulil. Sesi tersebut menjadi jembatan bagi pembahasan metodologi maqashid syariah dengan perspektif gender yang ditawarkan oleh Rumah KitaB untuk memperkuat narasi perempuan bekerja.
Melihat teks ajaran dan realitas, yang tidak berjalan beriringan, direfleksikan dalam pandangan dan pengalaman peserta terkait perempuan bekerja dan hambatannya. Terkonfirmasi melalui sesi panel yang diisi oleh Nani Zulminarni dan Fadilla Putri. Nani membukanya dengan fakta-fakta lapangan terkait perempuan dan pekerjaan sebagaimana temuan organisasi Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Disambung oleh Fadilla yang menyampaikan hasil studi Rumah KitaB mengenai situasi analisis perempuan bekerja. Diskusi tersebut menggarisbawahi bahwa sistem pendukung terkadang luput untuk dapat melindungi perempuan dari lingkungan terkecil sampai negara.
Lies Marcoes dan Nurhayati Aida menyampaikan instrumen-instrumen pendukung perempuan bekerja, dari dunia internasional hingga nasional, seperti Konvensi Penghapusan Diskriminasi kepada Perempuan (CEDAW) dan regulasi tingkat nasional tentang ketenagakerjaan. Sesi ini menjadi penutup di hari pertama.
Hari kedua dimulai dengan review jenis pekerjaan, kerja produktif, reproduktif, dan kerja sosial. Identifikasi tersebut digunakan untuk menjelaskan konsep gender yang salah satu elemennya dikonstruksi oleh ajaran agama dan pemahaman manusia, diperdalam bersama Lies Marcoes.
Dilanjut oleh Dr. Moqsith Ghazali, membahas maqashid syariah sebagai metode pembacaan teks dalam mendukung perempuan bekerja dan mengaktualisasikan diri. Ada hal menarik yang disampaikannya “Fatwa itu hakikatnya tidak bisa dipukul rata. Mungkin fatwa yang dikeluarkan Bin Baz relevan untuk konteks politik di Arab Saudi saat itu. Tetapi ketika diterapkan di Indonesia terlihat aneh. Karena perempuan di Indonesia biasa berangkat bekerja, mencari nafkah sebagai hakim, sebagai advokat, guru, ustazah. Kalau kita melihat channel televisi di Arab Saudi, kita tidak akan melihat perempuan. Tetapi di sini ustazah ditonton oleh jemaah dan disiarkan televisi di seluruh Indonesia. Fatwa itu harus kontekstual.”Ujar Dr. Moqsith.
Untuk memperdalam lagi peserta diajak untuk mendiskusikan terkait lima hak dasar manusia yang dibaca dengan perspektif gender. Mereka dibagi menjadi lima kelompok dan diminta untuk membaca buku Fikih Perempuan Bekerja(buku yang diproduksi dan diterbitkan oleh Rumah KitaB pada tahun 2021) pada bagian yang membahas lima hak dasar manusia. Diantaranya, hak mempertahankan hidup (hifdzu al-nafs), hak atas nafkah dan hak aksesibilitas terhadap sumber-sumber ekonomi (hifdzu al-mâl), hak mengakses pengetahuan dan pendidikan (hifdzu al-‘aql), hak memelihara keturunan berkualitas (hifdzu al-nasl), dan hak memiliki pandangan keagamaan yang terbuka, toleran, dan berprinsip pada keadilan (hifdzu al-din). Hari kedua ditutup dengan kesimpulan yang disampaikan Achmat Hilmi terkait lima hak dasar manusia (dharuriyat al khams).
Hari terakhir, review dilakukan oleh Jamaluddin Muhammad, lalu Achmat Hilmi memperdalam kembali terkait maqashid syariah. Pada materi terakhir peserta dikenalkan dengan teknik mengelola media. Sesi ini diisi oleh Pandu Padmanegara dari Commcap. Peserta mendapatkan tips dalam mengembangkan media untuk berdakwah. Selain itu mereka juga diajak untuk berpartisipasi dalam kampanye Muslimah Bekerja yang diusung oleh Rumah KitaB.
Bagian terakhir dari pelatihan ini menjadi hal penting dalam keberlanjutan atau keluaran dari pelatihan ini, yaitu Rencana Tindak Lanjut (RTL). Pada sesi penutup panitia meminta perwakilan peserta untuk menyampaikan testimoninyayang diwakili oleh Cutra Sari (Penyuluh Kemenag). Testimoni lainnya disampaikan Ahmad Solechan (Ketua PCNU) bahwa realitanya masih banyak fakta yang memperlihatkan hambatan perempuan bekerja karena pandangan keagamaan. Dari cerita pengalaman pribadi tersebut dan proses pelatihan selama tiga hari semakin memperkuat bahwa peran para tokoh agama dan pendidik masyarakat yang berperspektif keadilan gender diperlukan untuk terus mendukung narasi perempuan bekerja. []
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!