Nabi Muhammad SAW Bukan Pengangguran

Kampanye Pilkada serentak pertama kali digelar pada tahun 2024. Kampanye masing-masing pasangan calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota berlangsung sangat meriah. Beberapa daerah yang mendapat sorotan media nasional, dua di antaranya adalah Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Jawa Tengah, mempertontonkan persaingan antara pasangan calon dari koalisi besar.

Di tengah keriuhan Pilkada DKI Jakarta, terdapat beberapa pernyataan yang menjadi sorotan publik. Salah satunya menyarankan janda kaya menikahi pemuda pengangguran dengan menganalogikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pengangguran yang menikahi Sayyidah Khadijah, seorang janda kaya di Kota Mekkah.

Apakah Benar Nabi Muhammad SAW Seorang pengangguran?

Kata “menganggur” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang tidak terlibat pekerjaan. Kudryavtsev Igor Vladimirovich dkk, dalam sebuah artikel berjudul “Definition Issues Forms of Unemployment and Their Specifics in The Historical and Legal and Moderns” di jurnal International of Psychosocial Rehabilitation tahun 2021, menyimpulkan bahwa pengangguran adalah:

“Fenomena sosial-ekonomi yang melibatkan tidak adanya pekerjaan di antara orang-orang yang aktif secara ekonomi (orang yang aktif secara ekonomi adalah mereka yang memiliki atau dapat memiliki penghasilan sendiri).”

Definisi ini dipilih karena cakupannya yang cukup luas, mewakili kondisi pengangguran di masa sekarang. Meskipun terdapat keragaman makna sosial, definisi tersebut lebih menggambarkan konsep asal pengangguran itu sendiri.

Bila merujuk definisi tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah definisi itu dapat mewakili kondisi Nabi Muhammad pada usia 25 tahun, saat beliau menikahi Khadijah, seorang janda kaya raya di Mekkah? Apakah benar status Nabi Muhammad murni sebagai seorang pengangguran?

Pernyataan bahwa Rasulullah SAW menganggur bertolak belakang dengan fakta sejarah yang ditulis oleh para ahli dengan referensi otoritatif. Misalnya:

“سِنُّهُ -صلى الله عليه و سلم- حين زواجه: قال ابن هشام : فلما بلغ رسول الله صل الله عليه وسلم خمسا و عشرين سنة, تزوج خديجة بنت خويلد بن أسد بن عبد العزى ابن قصي بن كلاب بن مرة بن كعب بن لؤيّ بن غالب, فيما حدثني غير واحد من أهل العلم عن أبي عمر المدني.
خروجه (صلى الله عليه وسلم) إلى التجارة بمال خديجة : قال ابن إسحاق : وكانت خديجة بنت خويلد امرأة تاجرة ذات شرف و مال, تستأجر الرجال في مالها وتضاربهم إياه بشيء تجعله لهم, وكانت قريش قوما تجارا, فلما بلغها عن رسول الله -صل الله عليه وسلم– ما بلغها: من صدق حديثه وعظيم أمانته, وكرم أخلاقه بعثت إليه, فعرضت عليه أن يخرج في مال لها إلى الشام تاجرا, وتعطيه أفضل ما تعطي غيره من التجار …”

Menurut Ibnu Hisyam, usia Rasulullah SAW saat menikah adalah 25 tahun. Beliau menikahi Khadijah binti Khuwailid sebagaimana dikabarkan oleh para ahli, termasuk Abu Umar Al-Madani. Nabi Muhammad SAW bekerja sebagai mitra bisnis yang memasarkan barang dagangan milik Khadijah ke Negeri Syam.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ishaq, Khadijah adalah pebisnis besar yang menyertakan banyak laki-laki sebagai mitra dagangnya. Ketika mendengar tentang kejujuran, keluhuran amanah, dan kemuliaan akhlak Rasulullah, Khadijah menawarkan Nabi Muhammad untuk menjadi mitra bisnisnya.

Data ini tercatat dalam Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, yang merupakan referensi otoritatif dalam memahami sejarah Nabi Muhammad SAW secara lebih rinci.

Fakta Mahar Pernikahan Rasulullah SAW

Mahar pernikahan Rasulullah SAW kepada Khadijah adalah 20 bakarah (unta betina muda). Jika dihitung dengan nilai unta betina di Saudi Arabia tahun 2024, yakni 25.000 Riyal Saudi (RS) per ekor, dengan kurs RS 1 = Rp4.222, maka nilai maharnya setara Rp2.111.000.000 atau lebih dari 2 miliar Rupiah.

Nilai mahar ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemuda mapan dan tidak hidup bergantung kepada Khadijah, meskipun kekayaan Khadijah jauh lebih besar.

Kritik terhadap Kata “Janda Kaya”

Pernyataan Khadijah sebagai “janda kaya” juga problematik. Kata “janda” sering kali bernada diskriminatif, menciptakan stereotip negatif terhadap perempuan, terutama yang mandiri secara ekonomi.

Ibnu Hisyam, dalam narasinya, tidak pernah menyebut Khadijah dengan istilah bernada merendahkan. Khadijah digambarkan sebagai perempuan mandiri, sukses, dan terhormat. Sebutan “janda kaya” yang ditujukan kepada Khadijah justru berlawanan dengan penghormatan yang diberikan sejarah kepadanya.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.