Merebut Tafsir: Membaca Kawin Anak dengan Kaca Pembesar

Oleh: Lies Marcoes Natsir

 

JIKA kawin anak dibaca sebagai polah remaja yang tak pintar menahan hasrat seksualnya, mungkin kita tersesat pikir. Jika kawin anak disebabkan orang tua terlalu miskin, mungkin kita hanya paham sebagian kecil dari problem sebenarnya yang mereka alami.

Setelah hampir satu dekade menekuni isu ini dengan berbagai cara: riset pemiskinan perempuan, kajian lapangan soal kawin anak, riset teks keagamaan, kajian hukum, kajian regulasi dan aksi ragam advokasi, saya sampai pada satu titik di mana kita mungkin bisa bersepakat bahwa perkawinan anak harus dilihat sebagai ujung yang paling tak kentara dari kegagalan politik ekonomi berbasis pengerukan kapital di desa-desa, dan tak terhubungnya pendidikan dengan kebutuhan hidup.

Hilangnya keterhubungan manfaat antara kebutuhan warga desa dengan pembangunan ekonomi besar-besaran terutama dalam industri ekstraktif, alih fungsi dan kuasa tanah menjadi industri perkebunan sawit, pabrik-pabrik, bangunan pabrik, jalan tol, rel kereta dan pariwisata, perkawinan anak menyeruak tanpa pintu kendali di tengah semua perubahan itu.

Kawin anak adalah bentuk kegagalan dari sebuah konsep besar yang meyakini industrialisasi seharusnya mampu mendukung masa belajar anak agar lebih lama tinggal di sekolah dan kelak mampu meraih kesejahteraan.

Nyatanya dalam pembangunan industri ekstraktif, alih fungsi lahan di desa, pendidikan seperti berjalan sendiri. Rendahnya pendidikan tak selalu menyeret orang ke kubangan pemiskinan melainkan ketakterjangkauan manfaat industri-industri itu oleh warga dan kaum perempuan di sekitarnya.

Dan dibandingkan prilaku buruk lain yang menyengsarakan anak perempuan, kawin anak adalah praktik kekejaman kemanusiaan yang paling mudah mendapatkan legitimasi halal karena praktik itu dilindungi oleh isu moral, demi kebaikan para puak dan kaum patriakh yang gagal mengantarkan mereka sampai kedewasaan yang sempurna setelah melepas sumber sumber ekonomi mereka.

Tak pelak, kawin anak adalah bukti paling nyata dari kegagalan industri semesta dalam melindungi anak perempuan ketika terjadi perubahan-perubahan dahsyat politik ekonomi yang melahirkan yatim piatu sosial di basis yang seharusnya paling kuat dalam melindungi mereka di desa dan kampung halaman.[]

19 Juli 2022

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.