Menyemai Asa di Kaki Rinjani
Oleh: Nur Hayati Aida
Nursyida masih ingat betul bagian-bagian yang paling hancur akibat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada ujung Juli 2018. Gempa yang mengguncang jelang kemarau itu menghancurkan saluran air, rumah-rumah, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas kesehatan. Sebagian Lombok lumpuh. Yang terparah daerah Lombok Timur yang berbatasan dengan Lombok Utara.
Nursyida tinggal di Tanjung, Lombok Utara, saat itu juga merasakan getaran gempa pertama dan setidaknya lima kali gempa susulan. Di wilayah sekitar Nursyida belum terlalu berdampak. Karenanya dia dan Mik Badrul, suaminya, masih bisa memberi bantuan darurat semampunya.
Bersama dengan para anggota Klub Baca Perempuan (KBP), sebuah komunitas para perempuan yang ingin mendampingi proses tumbuh kembang anak-anak mereka dengan bacaan dan pengetahuan, mereka bahu membahu memberikan bantuan darurat. Karena saluran air rusak, KBP pun bolak-balik mengantar suplai air bersih dan bantuan-bantuan lain ke beberapa daerah Lombok Utara dan Sembalun, Lombok Timur.
Bantuan-bantuan ini diperoleh dari berbagai mitra KBP dari dalam dan luar negeri berupa kebutuhan pangan, selimut, dan air bersih. Beberapa hari berselang, tepat tanggal 1 Agustus, tak dinyana gempa dahsyat kembali mengguncang Lombok Utara. Kali ini para anggota KBP menjadi pengungsi, dan meninggalkan rumah-rumah yang runtuh akibat gempa.
Dalam kesengsaraan, Nursyida dan Mik Badrul melihat sifat dasar kemanusiaan dan kehilangan solidaritasnya karena didera kekhawatiran. Mereka menceritakan hal ini dengan pemakluman penuh. Bagaimana perilaku orang, dalam situasi krisis, bisa berubah jadi serakah. Mereka berdua belajar bahwa hanya dengan rasa kasih sayang, kehidupan dapat berlanjut dan layak diperjuangkan.
Pada akhirnya, waktu juga, yang berkontribusi pada pemulihan warga. Pelan-pelan, warga Lombok Timur dan Lombok Utara, bangkit dan menata hidup dengan puing-puing sisa gempa. Begitupun KBP, kembali membangun ulang perpustakaan sebagai pusat literasi mereka. Aktivitas wisata mulai bergeliat, pasar dan hotel mulai ramai kembali.
Di tengah geliat pelan proses pemulihan kehidupan warga, gelombang Covid-19 menerjang batas-batas negara dan menyebar cepat hingga pelosok negeri, tak terkecuali Lombok Utara. “Setelah pelan-pelan bangkit dari terpaan gempa. Kini masyarakat harus bertahan dari sapuan virus, yang tak hanya menelan korban jiwa, tapi juga mata pencaharian mereka,” tutur Nursyida.
Berkebun Lahan Kosong
Kalau gempa menghantam fisik berbagai bangungan di Lombok Utara dan sekitarnya, pandemi Covid-19 menghancurkan mata pencaharian sebagian besar warga Lombok, terutama mereka yang menggantungkan hidup pada industri pariwisata.
Saat itu, banyak rumah tangga yang tak lagi punya penghasilan tetap untuk menghidupi keluarga. Termasuk keluarga-keluarga anggota KBP. Menghadapi persoalan baru ini, Nursyida dan Mik Badrul, memutar otak keras untuk cari jalan keluar. Caranya adalah memanfaatkan lahan-lahan kosong di sekitar sekretariat KBP dan menanaminya dengan sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan pangan para anggotanya.
Inisiatif ini disambut baik dan bekerjasama dengan program We Lead, sebuah konsorsium yang mengupayakan pengembangan kapasitas lembaga yang dipimpin perempuan, melalui inisiatif rapid response Covid-19. Mereka mulai menyemai bibit sayur, cabe, tomat, sawi, terung, di polybag dan tempat pembibitan.
Meski hidup dekat dengan alam, umumnya anggota KBP tak punya kecakapan bercocok tanam. Alhasil, musim tanam pertama jeblok. Berkali-kali pembibitan gagal tumbuh, dan berkali-kali pula mereka mencoba. Masalah lain adalah pengairan yang susah. “Secara otodidak mereka belajar mengelola tanah, tapi tetap saja menemui kendala,” tutur Nursyida.
Akhirnya, Nursyida dan suami meminta bantuan seorang kerabat yang pernah menjadi penyuluh pertanian dan belajar dari dia tentang pengelolaan kebun pangan. Perlahan mereka mampu mengatasi kendala-kendala dalam pengelolaan kebun.
Melihat perkembangan kebun makin membaik, anggota KBP mulai mendiskusikan pengelolaannya bersama Kanca-Kanak Pecinta Baca, satu sayap KBP yang anggotanya anak-anak dan remaja. Mereka membagi kerja dalam piket harian menjaga dan merawat kebun. Tanggungjawabnya, menyiram dan menyiangi lahan. “Aktivitas ini bagi anggota Kanca merupakan kegembiraan karena berbulan-bulan sekolah menerapkan sistem daring,” tutur Nursyida.
Persoalan hama dan pengairan mendapat solusi pada musim kedua. Kebun Pangan mulai kelihatan hasilnya, rimbun sayuran memenuhi lahan, para tetangga sekitar KBP mulai tergerak untuk mengelola tanah kosong mereka.
Satu dua dari mereka datang ke KBP untuk berkonsultasi tentang cara tanam. Soal paling susah adalah tanah di wilayah mereka bercampur pasir dan tak gampang diolah jadi lahan pertanian. Tapi dengan berbagai cara, KBP berhasil menanam sayuran. “Orang jadi tahu ternyata tanah berpasir di wilayah kami bisa ditanami sayur-mayur untuk pangan,” tutur Nursyida.
Promosi Sosial Media
Melalui laman sosial media, terutama, Facebook dan Instagram, secara berkala Nursyida mengabarkan perkembangan Kebun Pangan. Ini juga merupakan bentuk kreatif pelaporan publik lalu lintas keuangan mereka. Mitra mereka, sepasang suami istri asal Singapura, Mohamad Tahar Bin Jumaat dan Rosnawati Munir, yang sejak gempa pertama membantu pengadaan air bersih dan melanjutkan dengan program “Jumat Berkah.”
Dia membeli hasil panen Kebun Pangan dan mendonasikan sayur-sayur itu untuk masyarakat Lombok Utara. Menjelang kemarau Juli hingga Desember 2020 hasil panen melimpah. “Sambil mengantar bantuan air ke wilayah kering seperti Kampung Adat Dasan Gelumpang, kami mendistribusikan sayur-sayur itu ke dapur-dapur warga, jadi olahan makanan yang sehat dan murah yang lahir dari alam mereka sendiri,” tutur Nursyida.
Sepetak tanah berpasir warisan orang tua Nursyida itu menumbuhkan asa bagi anak-anak yang bersekolah di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Alam Anak Negeri. Gagasan mendirikan PAUD muncul setelah KBP mendirikan perpustakaan. Sekolah ini dirancang tak hanya, untuk menyiapkan anak-anak menguasai Calistung (baca, tulis, hitung) agar diterima di SD, namun juga untuk sarana bermain dan berinteraksi anak.
Sekolah yang dikelola KBP ini tak mematok biaya. Orang tua murid yang umumnya adalah pekerja migran, pelayan hotel, dan nelayan membayar semampunya dengan apa saja yang dipunya. Pun kalau tak memiliki apa-apa, anak-anak tetap bisa sekolah. Berkat hasil penjualan tanam musim kedua, 40 anak tersenyum gembira, karena mendapat seragam dan loker baru.
Lokasi Kebun Pangan juga kian tertata. Ia tepat di tengah-tengah lahan kosong. Ia tumbuh menjadi bagian komunitas Klub Baca Perempuan dan Kanca yang menyatu dalam bendera Rumah Indonesia. Di sana pula, Nursyida dan Mik Badrul membangun rumah yang lebih permanen. “Tempat anak-anak remaja belajar, berkreasi, dan bertumbuh. Mereka belajar komputer, fotografi, membaca puisi, menari, atau sekedar tetirah ketika mereka ngambek dari orang tuanya,” tutur Nursyida.
Area KBP berpagar bambu dengan lilitan bunga telang biru yang bermekaran. Pekarangan tampak tenang dan teduh karena rumbai daun oyong dan markisa membentang dari pagar depan sampai atap rumah. Hampir tak ada tempat kosong di halaman dan pekarangan rumah.
Dari arah timur bangunan utama, berdiri bangunan semi terbuka dari bambu yang difungsikan sebagai sekolah PAUD Alam Anak Negeri. Sedangkan di sisi barat, terletak sepetak tanah yang difungsikan sebagai kebun sayur dan pembibitan. Nyaris lahan di KBP dan PAUD penuh dengan sayuran dan pembibitan untuk disebar di musim tanam setelah hujan kembali turun awal November 2021 ini.
Menjadi Duta Baca dan Duta Pariwisata
Di saat semua pekerjaan terhenti karena pandemi, alam memberikan pangan yang dibutuhkan. Belajar dari Kebun Pangan yang dikelola selama pandemi, PAUD Alam Anak Negeri mulai memasukkan kurikulum pengelolaan tanah kepada anak didik dan wali muridnya. Setiap anak di PAUD memiliki tanaman yang harus mereka rawat, dan dari sana mereka bisa belajar memelihara tanaman dan memetik hasilnya sendiri.
Di sekolah ini, selain belajar metode montessori, secara langsung mereka belajar keragaman, toleransi, yang mereka terapkan dalam laku. PAUD Alam Anak Negeri dan Kanca, tak hanya berisi satu agama dan suku saja. Mereka membaur, saling belajar, mengasihi dan bekerjasama. Pun, KBP menanam bunga yang bisa dipakai umat Hindu untuk sesajen. Mereka memberikan bunga pada mereka secara gratis. Kini dari tanah sepetak di KBP, tumbuh asa dari anak-anak di kaki Gunung Rinjani.
PAUD Alam Anak Negeri dan Kanca terus menjalankan aktivitas kreatif dan wadah bagi anak dan remaja di sekitarnya. Ketua Kanca periode pertama, Rizka, misalnya, berhasil menjadi duta baca Kabupaten Lombok Utara berkat keaktifannya mengasuh taman baca Sanggaguri di halaman rumahnya. Anggota Kanca lainnya menjadi duta pariwisata Kabupaten Lombok Utara dan ada juga yang menjadi finalis mister tourism Indonesia, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tentu, ini tidak menjadi tolak ukur keberhasilan, namun bisa dibilang Kanca bisa tetap bertahan menjadi wadah dan ruang bagi anggota untuk mengembangkan minat, bakat dan kreativitasnya.
Pada Agustus 2022, Kanca dan KBP serta aktivis muda Lombok Utara menginisiasi pelatihan menulis yang didukung Rumah Kitab. Hal ini mereka ajukan karena melihat banyak potensi yang bisa dilakukan oleh aktivis muda lokal untuk menyuarakan perubahan dan gerakan dari desa. Pelatihan ini dihadiri 30 peserta dan berhasil mendorong Keisha menulis buku anak pertama yang ditulis oleh orang Lombok Utara. Judulnya, Kanca: Cahaya Dari Timur dan telah didiskusikan secara daring maupun luring bersama mitra literasi di Lombok Utara dan NTB.
“Dukungan yang dilakukan Rumah KitaB dan We Lead mungkin tak banyak, tapi KBP dan Kanca mampu mengoptimalkan potensi dirinya,” pungkas Nursyida.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!