Kisah Ibnu Batutah Beribadah Haji

PADA tahun 726 H/1326 M, Ibnu Batutah meninggalkan Mesir menuju Damaskus untuk bergabung dengan orang-orang Syam dalam perjalanan mereka ke tempat-tempat suci di Madinah al-Munawwarah dan Makkah al-Mukarramah. Ia menceritakan secara sinematik kesulitan yang dihadapi orang-orang Syam dalam perjalanan ini.

 

Menuju Madinah

Ibnu Batutah menggambarkan gurun di Semenanjung Arab setelah kota Ma’an di selatan Yordania sebagai tempat yang “di dalamnya hilang dan di luarnya lahir”. Gambaran ini benar; karena jalannya tidak rata, banyak bahaya, panas amat sangat menyengat, angin beracun menerpa kafilah dalam beberapa tahun, dan hanya sedikit yang lolos.

Rombongan Syam yang didampingi Ibnu Batutah berhasil memasuki Madinah, dan ia menggambarkan Masjid Nabawi: “Masjid Agung berbentuk persegi panjang, keempat sisinya dikelilingi ubin, dan di tengahnya terdapat halaman yang dilapisi kerikil dan pasir. Di sekitar masjid terdapat jalan yang dilapisi dengan batu-batu berukir. Raudhah yang suci—shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada penghuninya—berada di sisi depan di sebelah timur masjid, bentuknya menakjubkan dan tidak ada bandingannya, dilapisi marmer yang diukir dengan sangat indah, diselimuti dengan misk dan wewangian sepanjang waktu. Di halaman depannya terdapat paku perak yang mengarah kepada wajah yang mulia, dan di sana orang-orang berdiri di hadapan wajah yang mulia dengan menghadap kiblat.”

Karena di masa itu Madinah dan Makkah berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk Mesir, para sultan Mamluk biasa menunjuk para imam untuk dua masjid suci itu dari kalangan tokoh ahli fikih yang berada di dalam lingkup kekuasaan mereka. Umumnya orang-orang Mesir yang kerap mendapatkan posisi tersebut. Ibnu Batutah menyebutkan bahwa imam Masjid Nabawi saat itu adalah Syaikh Baha`uddin ibn Salamah, salah seorang tokoh terkemuka Mesir, dan Syaikh Izzuddin al-Wasithi, ulama yang saleh dan zuhud menjadi wakilnya. Sebelumnya, Syaikh Sirajuddin Umar al-Mashri biasa menyampaikan khutbah dan menjadi hakim di kota Madinah.

Ibnu Batutah menghabiskan banyak waktu di Madinah. Ia bercerita banyak tentang Masjid Nabawi dan para pelayannya. Ia juga menyampaikan beberapa kisah tokoh-tokoh terkenal dan petualangan mereka di kota Madinah. Kisah-kisah ini menggambarkan sisi kemanusiaan dan sosial dari kota suci tersebut, khususnya budaya pada masa itu.

Setelah rombongan Syam menyelesaikan kunjungan mereka ke Masjid Nabawi dan tinggal cukup lama di kota ini, Ibnu Batutah melanjutkan cerita mengenai perjalanannya dari Madinah menuju Makkah; terjal dan sangat berbahaya, hingga Allah menuntun mereka memasuki Makkah.

 

Di Makkah

Ketika angin sepoi-sepoi Makkah menerpa, keharuman dan kewangian, serta kemegahan kota mulai tampak di hadapannya, Ibnu Batutah berkata, “Di antara keajaiban ciptaan Allah Swt. adalah Dia telah membuat hati manusia agar condong ke arah pemandangan mengagumkan ini dan rindu untuk berada di dalamnya. Dia jadikan cinta kepadanya tertanam kuat di dalam hati, sehingga tidak ada seorang pun yang mencintainya kecuali ia akan membawanya ke dalam hatinya, dan tidak ada seorang pun yang meninggalkannya melainkan ia akan menyesali berpisah darinya, selalu merindukannya saat jauh darinya, dan berniat untuk kembali padanya berulang kali. Tanah Makkah yang diberkati menjadi pusat perhatian semua orang. Cinta kepadanya yang memenuhi hati merupakan hikmah dari Allah, dan pembenaran atas seruan Nabi Ibrahim as.. Rindu senantiasa menemani kala ia jauh, mewakilinya saat ia tiada, dan memberikan kemudahan bagi para pencarinya untuk menghadapi kesulitan. Betapa banyak orang lemah menyaksikan kematian dengan jelas tanpanya, dan melihat kerusakan di jalannya. Ketika Allah mempertemukan ia kembali dengannya, ia menyambutnya dengan suka cita dan kegembiraan, seolah-olah ia belum pernah merasakan kepahitan apa pun dengannya, dan belum pernah mengalami musibah apapun bersamanya. Ini adalah urusan Ilahi, ciptaan Ilahi, dan suatu petunjuk yang tidak ternoda oleh keraguan, tidak dikaburkan oleh syubhat, dan tidak terpengaruh oleh kamuflase, menguatkan pandangan dan mencerahkan pikiran.”

Ibnu Batutah melihat akhlak masyarakat Makkah, dan ia berkata, “Penduduk Makkah mempunyai perbuatan yang indah, kemurahan hati yang sempurna, akhlak yang baik, altruisme terhadap orang lemah dan terlantar, dan bertetangga baik dengan orang asing. Dan di antara akhlak baik mereka adalah, setiap kali salah seorang mereka mengadakan pesta, ia akan memulainya dengan memberi makan kepada tetangga-tetangganya yang miskin dan terlantar. Ia memanggil mereka dengan lembut, kasih sayang, dan akhlak yang baik, lalu memberi mereka makan. Banyak orang miskin yang terlantar itu potong berada di tempat orang-orang memasak roti. Jika salah seorang dari mereka memasak roti, lalu ia membawanya ke rumahnya, maka orang-orang miskin itu akan mengikutinya. Ia akan memberikan masing-masing dari mereka apa yang menjadi bagiannya, dan ia tidak membuat mereka pulang dengan kecewa. Dan jika ia hanya memiliki sepotong roti, ia akan memberikan sepertiga atau setengahnya, dan ia akan merasa puas dengan itu.”

 

Haji Menurut Ibnu Batutah

Adapun tata cara haji pada masa itu: persiapannya telah dilakukan dengan baik sejak hari pertama Dzulhijjah setiap tahunnya: “Pada hari pertama bulan Dzulhijjah, kendang dan rebana ditabuh pada waktu-waktu shalat, pagi dan petang, sebagai tanda musim berkah, dan itu berlangsung terus hingga hari naik ke Arafah.”

Pada hari ketujuh Dzulhijjah, “seorang khatib akan menyampaikan khutbah yang fasih setelah shalat Zuhhur untuk mengajari orang-orang tentang manasik mereka dan memberi tahu mereka tentang hari wukuf”. Hari berikutnya, tanggal 8 Dzulhijjah, hari Tarwiyah, orang-orang pergi ke Mina. “Mereka bangun pagi-pagi untuk berangkat ke Mina, dan para pangeran Mesir, Syam, dan Irak serta orang-orang alim bermalam di Mina. Ada rasa bangga di antara orang-orang Mesir, Syam, dan Irak Ketika menyalakan lilin (untuk penerangan), namun pujian atas hal itu selalu ditujukan kepada orang-orang Syam.”

Keesokan harinya, tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah, orang-orang berkumpul di Arafah, yang di tengah-tengahnya terdapat Jabal Rahmah. Pada hari Ibnu Batutah melihat gunung itu, di atasnya terdapat sebuah kubah yang dinisbatkan kepada Ummul Mukminin, Ummu Salamah ra.. Sementara di dasar gunung, Ibnu Batutah melihat: “Di sebelah kiri menghadap Ka’bah, terdapat sebuah bangunan kuno yang dikaitkan dengan Adam as., dan di sebelah kirinya terdapat batu-batu tempat Nabi Muhammad Saw. berdiri. Di sekelilingnya terdapat kolam-kolam dan pancuran air, dan di dekatnya ada tempat imam berdiri untuk menyampaikan khutbah dan menjamak shalat Zhuhur dan Ashar.”

Ketika hari Arafah telah usai, dan tiba saatnya bertolak ke Muzdalifah untuk menuntaskan ritual ibadah haji, “seorang imam memberi isyarat dengan tangannya lalu turun dari posisinya dan mendorong orang-orang untuk beranjak dengan kekuatan penuh yang membuat bumi dan gunung bergetar. Sungguh, itu adalah adegan dan pemandangan yang agung, jiwa-jiwa mengharapkan hasil yang baik, dan mendambakan curahan rahmat-Nya”.

Dari Muzdalifah, orang-orang mengambil batu-batu kerikil atau dari sekitar Masjid Al-Khaif untuk ritual Jumrah Aqabah pada hari kesepuluh, yaitu Hari Qurban, di mana para jamaah berqurban. Pada hari itu, “kiswah (penutup) Ka’bah dikirim dari kafilah Mesir ke Baitullah, dan ditempatkan di atapnya. Kemudian pada hari ketiga setelah hari Qurban: orang-orang Syaibi (Bani Syaibah, penjaga Ka’bah) mulai menyebarkannya di atas Ka’bah, penutup berwarna hitam pekat yang terbuat dari sutra yang dilapisi dengan linen, dan di atasnya terdapat pola yang ditulis dengan warna putih: Ja’alallâhu al-ka’bah al-bayt al-harâm qiyâman. Dan pada semua sisinya terdapat pola-pola yang ditulis dengan warna putih ayat-ayat al-Qur`an yang seakan-akan sinar terang di tengah kegelapan”.

Ibnu Batutah menyebutkan: “Raja Al-Nashir (Muhammad ibn Qalawun, Sultan Mamluk, w. 741 H) adalah orang yang menutup Ka’bah dengan kiswah. Ia mengirimkan gaji hakim, khatib, imam, muazin, penjaga, dan menyediakan kebutuhan Masjidil Haram berupa lilin dan minyak setiap tahunnya.”

Di masa itu, menurut Ibnu Batutah, para jamaah haji dari Mesir dan Syam serta orang-orang dari negara-negara terdekat yang mengikuti mereka akan berangkat empat hari sebelum rombongan jamaah haji dari Irak dan Khurasan. Ibnu Batutah tidak keberatan dengan perilaku orang-orang Irak dan Khurasan pada masa itu. Sebab biasanya, sebelum berangkat haji, mereka mengumpulkan para fakir-miskin untuk bersedekah. Bahkan, sesampainya di Makkah, mereka tidak meninggalkan kebiasaan mereka bersedekah. “Aku melihat mereka berjalan-jalan di sekitar Masjidil Haram pada malam hari. Siapapun yang mereka temui di Masjidil Haram, baik dari lingkungan sekitar maupun dari Makkah, mereka akan memberinya perak dan pakaian. Mereka juga memberikannya kepada orang-orang yang menyaksikan Ka’bah. Mungkin mereka menemukan seseorang sedang tidur dan memasukkan emas dan perak ke dalam sakunya sampai ia bangun.”

Inilah beberapa pemandangan yang dilihat oleh Ibn Batutah saat menunaikan ibadah haji tahun 726 H/1326 M atau lebih dari tujuh ratus tahun yang lalu. Meskipun terjadi perubahan dalam realitas politik sejak saat itu hingga kini, peristiwa haji yang mempertemukan manusia dari seluruh penjuru dunia, di mana mereka merendahkan diri di hadapan Allah, dan kepada-Nya mereka merasakan kesatuan dan kedekatan, akan tetap kekal dan abadi sepanjang sejarah.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.