Krisis Lingkungan dan Peran Islam
MANUSIA tidak boleh lagi berpangku tangan atau mengabaikan keseriusan masalah lingkungan yang dihadapi bumi saat ini. Akibat-akibat buruk dari perbuatan-perbuatannya yang terus-menerus untuk memperkuat kontrol, kekuasaan, dan cara-cara pengendalian sumber daya lingkungan, selain mentalitas produksi dan konsumsi yang diasosiasikan dengan model ekonomi kapitalis, benar-benar telah menempatkan bumi dalam bahaya.
Mencermati situasi bumi saat ini, sangat tidak mungkin melakukan perubahan besar dan cepat pada struktur politik dan ekonomi untuk mengatasi bahaya-bahaya terhadap lingkungan. Dan seiring dengan semakin meluasnya suara-suara gerakan ekologi yang menunjukkan dampak-dampak buruk tersebut dan menyerukan kebijakan untuk membatasi perambahan dan polusi, banyak negara mulai memasukkan masalah ini ke dalam agenda politik mereka.
Namun, hingga saat ini, belum ditemukan cara yang sebanding dengan besarnya bahaya-bahaya tersebut karena adanya hambatan-hambatan ekonomi, politik, dan filosofis. Sehingga banyak orang yang mulai mempertanyakan tradisi dan cara mereka memperlakukan lingkungan.
Banyak negara terlambat mengambil inisiatif untuk benar-benar berpartisipasi dalam menciptakan kerangka kerja yang efektif mengatasi permasalahan lingkungan. Mereka masih bergantung pada pola ekonomi konsumeris dan tidak mampu memenuhi kebutuhan riilnya.
Tindakan Amerika yang keluar dari Perjanjian Iklim Paris di tahun 2020 (sebelum akhirnya bergabung kembali pada tahun 2021) menunjukkan adanya masalah nyata dalam sistem internasional. Pertama, terjadinya pertikaian antara dua model ekonomi, salah satunya adalah upaya untuk menstimulasi kembali perekonomian setelah resesi yang dialami dunia dalam beberapa tahun terakhir dengan melanjutkan pola ekonomi abad ke-20, yaitu fokus pada produksi dan penyediaan lapangan kerja dengan mengorbankan masalah lingkungan dan model ekonomi lain yang berupaya menambahkan faktor lingkungan untuk menyeimbangkan perekonomian, meskipun hanya sebagian, untuk menghadapi bahaya yang dihadapi dunia.
Kedua, keputusan negara adidaya itu menunjukkan bahwa manusia telah menjadi tawanan politik dan gaya hidupnya, dan bahwa pola produksi dan konsumsi yang berlaku di dunia bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan telah menjadi penghambat bagi keberlangsungan eksistensi manusia. Tanpa pola produksi ini, delapan miliar manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mendapatkan kesempatan kerja untuk menghidupi dirinya sendiri.
Di sisi lain, jika pola tersebut terus berlanjut, akan membahayakan keberadaan manusia di planet bumi, dan bahkan membuat keberadaan bumi dan kelayakannya untuk kehidupan memunculkan pertanyaan menggelisahkan mengenai kemampuan manusia untuk mengubah pola ini.
Seluruh negara terkekang oleh perekonomian mereka. Dan cara mereka menangani masalah-masalah ekonomi dan pengangguran menunjukkan bahwa mereka tidak akan mampu dalam waktu dekat menemukan pendekatan untuk mengatasi permasalahan lingkungan.
Dalam konteks ini, tampaknya negara-negara Barat dan negara-negara ekonomi besar adalah satu-satunya pemain di panggung dunia dalam sebuah cerita yang berpusat pada keberadaan manusia dan cara hidupnya di muka bumi. Sebagian besar negara ini, yang berada di puncak tangga produksi dan peradaban, berpartisipasi dalam krisis lingkungan melalui perilaku mereka, tetapi mereka tidak terlibat dalam pertunjukan politik atau pemikiran guna mengatasinya.
Kalau mencermati dunia Islam, tampak bahwa sebagian besar masyarakat Muslim terlibat dalam konflik yang mendalam mengenai konsep penyelenggaraan negara dan pengaturan kelembagaan, selain permasalahan budaya dan ekonomi yang menjadi kendala bagi mereka untuk menghubungkan realitasnya dengan realitas dunia guna mencari solusi yang lebih efektif.
Konflik politik dan intelektual di dunia Islam yang terjadi sejak abad ke-19—yaitu konflik identitas antara titik tolak pemikiran Islam dan pemikiran luar—harus dihindari. Membaca kembali warisan agama adalah hal yang dibutuhkan dunia Islam saat ini. Sungguh memalukan jika pemikiran Islam tidak berpartisipasi dalam mengatasi isu-isu mendesak seperti lingkungan dan masa depan teknologi di dunia.
Pada abad ke-20, Al-Thahir ibn Asyur menambahkan al-hurrîyyah (kebebasan) sebagai tujuan keenam dan mendasar dari maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syariat). Saat ini filsafat dan pemikiran politik Islam perlu merespon dengan serius masalah-masalah lingkungan dan mempertimbangkan pelestarian dan rekonstruksi bumi sebagai tujuan pertama dari maqâshid al-syarî’ah. Karena semua tujuan lainnya didasarkan pada keberadaan manusia di muka bumi. Tidak mungkin mewujudkan tujuan-tujuan lainnya sebelum tujuan dasar ini tercapai.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!