Menggugat ‘Ternak’ Anak
Kata ‘ternak’ (mungkin) cukup keras untuk disandingkan dengan ‘anak’ manusia. Tetapi, kadang perlu kata yang tegas untuk memberikan kesadaran bahwa ada masalah dari cara kita melihat sosok anak.
Mulai dari ungkapan, “banyak anak, banyak rezeki”. Alhasil banyak pasutri yang berlomba-lomba mempunyai anak. Nyatanya, setelah anak melimpah, rezeki tetap saja terbawah. Sebab kunci rezeki bukan pada kuantitas, tetapi kualitas sumber daya insani yang digagas.
Pola pikir lain menegaskan bahwa keluarga yang ideal adalah yang melahirkan buah hati. Sepasang suami istri belum lengkap tanpa kehadiran anak. Hal ini juga menjadi stigma baru bagi mereka yang memilih untuk tidak mempunyai anak.
Terlebih di tengah kondisi ekonomi, sosial, politik hari ini, geliat childfree kian menggema. Ketika berbicara seputar otonomi tubuh dan kesuburan perempuan, sosok anak sering dikaitkan dan digambarkan sebagai beban. Alhasil, publik terbelah dengan dua arus utama yang bertolak belakang.
Di satu sisi, ada yang mendewakan kehadiran anak dalam keluarga, sebisa mungkin, anak harus ada, bagaimana pun caranya. Ada pula yang menegasikannya dengan segala macam alasan: ideologis hingga pragmatis.
Sebenarnya, ada opsi ketiga yang dapat kita pertimbangkan untuk melihat isu otonomi tubuh, kesuburan dan peran anak dalam keluarga. Sebagaimana yang diungkap oleh Toni Morrison dalam artikelnya berjudul “Women, Race and Memory” berikut:
“Daripada membatasi definisi feminin pada sebuah kromosom, ketimbang mengubah definisi untuk mengangkat kromosom lainnya, mengapa tidak memperluas definisi untuk menyerap keduanya? Kami memiliki keduanya. Karena tidak menginginkan atau membutuhkan anak bukan berarti kita harus meninggalkan panggilan hati untuk mengasuh.
Mengapa tidak mendefinisikan feminisme dengan makna baru-makna yang membedakannya dari memuja-perempuan dan dari mengagumi-lelaki? Yang benar, bahwa laki-laki bukanlah jenis kelamin yang superior; perempuan juga bukan jenis kelamin yang superior”.
Peraih Nobel Sastra pada 1993 ini memberikan tawaran definisi terkait feminisme. Alih-alih sebagaimana yang dipahami selama ini, feminisme itu anti-pria dan anak, justru feminis mencoba menyejajarkan perempuan dan laki-laki pada kasta yang sama. Tak ada relasi superior-inferior. Dan rasanya, feminisme semacam ini amat relevan dalam konteks keindonesiaan.
Terlebih, dalam tulisan tersebut, Morrison menegaskan, “Karena tidak menginginkan atau membutuhkan anak bukan berarti kita harus meninggalkan panggilan hati untuk mengasuh”. Bagiku, ini adalah spirit utama feminisme-keibuan. Bisa saja seseorang menolak memiliki anak biologis, tetapi panggilan jiwa seorang manusia untuk mengasuh sulit dibuat luruh.
Anak biologis itu adalah pilihan. Ada banyak pertimbangan yang membuat orang tidak bisa mempunyai anak. Misalnya kesehatan. Meski demikian, seseorang tetap dapat mengasuh melalui adopsi anak yang terlantar atau mendidik generasi penerus di instansi pendidikan.
Semua ini adalah kerja pengasuhan yang erat kaitannya dengan gerakan feminin. Pada pola pengasuhan ini juga, seorang perempuan tetap dapat independen dengan tubuhnya. Ia punya hak penuh untuk melahirkan atau tidak. Pada saat yang sama, ia tetap dapat mengasuh anak.
Di satu sisi, gerakan pengasuhan ini juga dapat menjadi solusi mengurangi anak-anak terlantar yang dibuang atau ditinggal oleh keluarganya sejak kecil. Tugas sebagai manusia adalah menyambung dan mencurahkan kasih sayang, shilah al-rahim. Bukan ‘beternak’ dengan melahirkan terus-menerus tanpa curahan kasih sayang.
Namun, kalau ada perempuan yang memilih melahirkan banyak anak dan ia mampu membesarkan dengan sepenuh hati, itu adalah pilihan hidupnya yang patut dihormati. Baik yang memilih mempunyai anak atau tidak, selama itu lahir dari kesadaran mandiri, bukan paksaan suami apalagi keluarga dan masyarakat, pilihan itu adalah jalan yang bermartabat.
Justru di sinilah ruang kebebasan itu patut dirayakan. Ketika semua bisa memilih ekspresi ketubuhan sesuai dengan keyakinannya, itulah otonomi. Meski pada saat yang sama, perlu digarisbawahi, setiap kemandirian ada pertanggungjawaban. Maka menjadi feminis bukan hanya mengajarkan kita menjadi pribadi yang berdikari, tetapi juga manusia yang mawas diri.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!