Mengenalkan Hak Reproduksi dan Seksualitas Kepada Para Santri
(Sebuah Catatan Lapangan)
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon
Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengadakan “Pelatihan Kecakapan Reproduksi dan Seksualitas untuk Remaja Muslim”. Kegiatan ini diselenggarakan di sejumlah pesantren di Cirebon, Sukabumi, dan Bandung, dengan melibatkan para santri putra-putri berusia remaja, rata-rata masih berumur 18 tahun. Mereka dikenalkan pada pengetahuan, pengelaman serta pendidikan tentang seksualitas dan hak-hak reproduksi bagi remaja (anak).
Dalam dunia pesantren, pengetahuan tentang seksualitas dan reproduksi sudah banyak disinggung dalam literatur kitab kuning. Di bab Thahârah (bersuci), misalnya, para santri dikenalkan dengan proses dan ciri-ciri pertumbuhan fisik remaja menuju dewasa (baligh), selain melalui pertumbuhan usia, laki-laki ditandai dengan keluar sperma melalui mimpi basah atau haid bagi perempuan. Juga dibedakan bagaimana bersuci dari hadats besar maupun hadats kecil, cara membedakan haid, nifas dan istihadhah, tentang perbedaan aurat laki-laki dan perempuan, dll. Meskipun pengetahuan tersebut dikenalkan dalam konteks ibadah (‘ubûdîyyah), namun, setidaknya bagi kalangan pesantren, membicarakan seksualitas bukan hal tabu dan dilarang, apalagi dalam konteks pendidikan.
Inilah pintu masuk dalam mengenalkan hak-hak seksualitas dan reproduksi kepada remaja santri. Tentu saja materi yang disampaikan disesuaikan kebutuhan anak santri baik laki-laki maupun perempuan, seperti pengenalan terhadap anggota tubuh, alat-alat reproduksi, perkembangan fisik maupun non-fisik selama masa pertumbuhan.
Selain itu, untuk membekali mereka dengan alat baca dan pisau analisis, para santri juga dikenalkan teori jender agar mereka bisa membedakan antara jenis kelamin biologis (berdasakran perbedaan kelamin/ciri-ciri fisik) dan jenis kelamin sosial (gender). Para santri juga diberikan pengetahuan tentang jenis-jenis pelecehan seksual; mitos dan fakta berkaitan dengan alat-alat reproduksi; juga tentang hak anak dalam hukum internasional, nasional, dan hukum Islam (maqâshid al-syarî’ah).
Untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman tentang hak-hak reproduksi anak dikalangan santri tidaklah mudah, karena mereka sudah memiliki pengetahuan, norma dan nilai yang sudah ditanamkan dan diajarkan di pesantren melalui kitab-kitab klasik. Meskipun demikian kebanyakan dari mereka masih tetap terbuka menerima pengetahuan baru meskipun berbeda dengan pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya.
Pada sesi diskusi tentang mitos dan fakta, misalnya, sebagian santri putri banyak yang masih meyakini bahwa di saat haid mereka tidak boleh menggunting rambut, memotong kuku, atau mengeluarkan darah. Pengetahuan seperti ini didapat dari beberapa keterangan ulama, salah satunya disebut oleh al-Ghazali dalam Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn. Al-Ghazali mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa bagian dari tubuh yang terlepas di saat haid (hadats), maka di akhirat nanti menuntut kepada pemiliknya untuk disucikan.
Contoh lain, sebagaimana disebut dalam kitab Kifâyah al-Akhyâr, disebutkan bahwa perempuan cantik tidak dianjurkan untuk shalat di luar rumah, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini membentuk norma-norma baru di kalangan santri. Jika ditelusuri akar persoalannya, kita akan menerima begitu saja tanpa bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Di sinilah dibutuhkan penafsiran dan kontekstualisasi baru. (bersambung)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!